• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fortifikasi Minyak Goreng Curah dengan Vitamin A di Makassar Fortifikasi dilakukan dengan melarutkan 54.55 gram vitamin A palmitat 1,000,000 IU/g pada 1,500 kilogram (1.5 ton) minyak goreng curah setiap kali fortifikasi (20 ppm). Berikut perhitungan fortifikan yang ditambahkan dalam 1.5 ton (1500 kg) minyak pada fortifikasi dengan dosis 20 ppm:

Vitamin A palmitat 1 juta IU/gram 1 juta IU = 1,000,000 x 0.55 RE

= 550,000 RE atau 550,000 µg retinol/gram Untuk 1.5 ton minyak diperlukan vitamin A palmitat

Alat yang digunakan untuk fortifikasi berupa sebuah wadah (tank) yang dirancang khusus dan dilengkapi dengan baling-baling pengaduk (Gambar 2). Pengadukan dilakukan dengan kecepatan 500 rotasi per menit (rpm) selama satu jam.

Gambar 2 Alat fortifikasi minyak goreng curah di Makassar

Minyak goreng curah yang akan difortifikasi berdasarkan hasil analisis tidak mengandung vitamin A. Minyak tersebut kemudian difortifikasi vitamin A dengan dosis 20 ppm. Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kandungan vitamin A pada minyak goreng curah fortifikasi adalah 19.24 ppm dengan recovery sebesar 96.18%.

Tabel 2. Recovery minyak goreng curah fortifikasi di Makassar vitamin A pada minyak

non-fortifikasi (ppm)

vitamin A pada minyak fortifikasi (ppm) rata-rata (ppm) dosis fortifikasi (ppm) recovery (%) 16.81 23.34 18.64 17.85 18.36 18.27 19.72 18.19 19.24 19.10 19.81 19.91 0 19.67 19.24 20 96.18

19.93 19.70

Konsumsi Produk Gorengan di Pulau Barrang Lompo

Pulau Barrang Lompo terletak di kelurahan Barrang Lompo kecamatan Ujung Tanah kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pulau ini memiliki luas 49 hektar. Jumlah penduduk di pulau ini 4,018 jiwa, yang terdiri dari 1,959 laki-laki dan 2,059 perempuan. Mata pencaharian utama penduduk di pulau ini adalah nelayan.

Masyarakat pulau Barrang Lompo merupakan masyarakat yang konsumtif. Masyarakat di pulau ini lebih suka membeli makanan jadi dibandingkan membuatnya sendiri. Makanan jadi yang biasa dibeli untuk kemudian dikonsumsi adalah nasi kuning, gorengan dan sayuran.

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa 3 jenis makanan gorengan yang sering dikonsumsi di pulau Barrang Lompo adalah roti lasuna (56%), roti kambu (18%) dan jalangkote (15%). Roti lasuna merupakan makanan yang terbuat dari tepung terigu ditambah garam, penyedap dan air yang kemudian digoreng. Roti kambu adalah roti goreng yang berisi wortel dan soun yang telah ditumis sebelumnya. Jalangkote merupakan makanan khas Makassar seperti pastel yang berisi wortel, soun, ubi jalar putih dan toge yang telah ditumis sebelumnya (Gambar 4).

Gambar 3 Konsumsi produk gorengan

Ikan adalah bahan pangan yang dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat pulau Barrang Lompo. Berdasarkan hasil survei terhadap 100 orang, 66% diantaranya mengkonsumsi ikan goreng. Gambar 5 menunjukkan bahwa jenis ikan yang paling banyak dikonsumsi berturut-turut adalah ikan cakalang, ikan

56
 18
 15
 8
 3
 0
 10
 20
 30
 40
 50
 60
 Jumlah
R esponden
(%)
 Jenis
Gorengan
 ro,
lasuna
 ro,
kambu
 jalangkote
 donat
 ro,
goreng


layang dan ikan katombo (ikan kembung como). Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan katombo.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4 (a) roti lasuna, (b) roti kambu, (c) jalangkote, (d) ikan kembung goreng

Gambar 5 Konsumsi ikan goreng

Fortifikasi Minyak Goreng Curah dengan Vitamin A di Laboratotium Minyak goreng merupakan bahan pangan yang sangat potensial untuk difortifikasi vitamin A. Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam minyak dan lemak sehingga dapat terdistribusi dengan mudah dan tercampur dengan baik dalam minyak atau lemak (Soekirman 2003). .

32
 17
 15
 11
 8
 6
 12
 0
 5
 10
 15
 20
 25
 30
 35
 Jumlah
R esponden
(%)
 Jenis
ikan
 cakalang
 layang
 katombo
 sinrilik
merah
 sinrilik
 bandeng
 lainnya


Dosis fortifikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah 20 µg retinol/gram (20 ppm) atau 36 IU/gram. Dosis fortifikasi yang dilakukan pada umumnya adalah sekitar 25 IU/ gram minyak goreng sesuai rekomendasi “Manila Forum”. Dosis ini berkaitan dengan penyerapan minyak oleh pangan yang digoreng dan yang hilang selama proses penanganan dan pengolahan (Hariyadi 2002).

Hasil analisis menunjukkan bahwa minyak goreng curah yang digunakan memiliki kandungan vitamin A sebesar 0 ppm. Fortifikasi dilakukan dengan dosis 20.06 ppm. Tabel 3 menunjukkan bahwa kandungan vitamin A pada minyak goreng setelah fortifikasi adalah 20.09 ppm. Recovery vitamin A pada proses fortifikasi ini adalah sebesar 100.12 %.

Tabel 3 Recovery vitamin A vitamin A pada minyak

non-fortifikasi (ppm) vitamin A pada minyak fortifikasi (ppm) rata-rata (ppm) dosis fortifikasi (ppm) recovery (%) 20.99 20.88 18.86 0 19.63 20.09 20.06 100.12

Hasil recovery vitamin A di laboratorium (100.12%) lebih besar dibandingkan dengan hasil di lapang (96.18%). Hal ini disebabkan oleh perbedaan jumlah minyak goreng curah yang difortifikasi. Jumlah minyak goreng curah yang difortifikasi dalam sekali pengadukan di lapang adalah 1500 kg sedangkan di laboratorium sebanyak 4 kg.

Retensi Vitamin A pada Minyak Goreng Curah Fortifikasi

Pengujian retensi vitamin A dilakukan pada minyak goreng curah fortifikasi yang dipakai untuk menggoreng ikan kembung, jalangkote, roti lasuna dan roti kambu dengan suhu penggorengan 160-190oC. Winarno (1999) menyatakan bahwa suhu yang dicapai pada penggorengan normal adalah 163 – 196oC, tergantung dari jenis makanan yang digoreng. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa semakin sering dilakukan pengulangan penggorengan maka akan semakin menurun retensi vitamin A dalam minyak goreng tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Favaro et al. (1991) dalam Hariyadi (2002). Penurunan stabilitas vitamin A pada minyak goreng disebabkan oleh adanya paparan udara dan oksigen serta sinar ultraviolet (Andarwulan & Koswara 1992). Selain itu, stabilitas vitamin A juga dipengaruhi oleh suhu (Hariyadi 2002). Pada

penelitian ini faktor yang berpengaruh terhadap penurunan retensi vitamin A adalah suhu, paparan udara dan oksigen.

Tabel 4 Retensi vitamin A pada minyak goreng setelah pengulangan penggorengan Jenis pangan yang

digoreng Penggorengan ke- Suhu ( o C) Waktu menggoreng (menit) Retensi (%) 1a 89 2b 73 Roti Lasunaa 3c 160-170 6 63 1a 81 2b 73 Roti Kambua 3c 160-190 6 58 1a 86 2b 64 Jalangkotea 3c 160-190 4 51 1a 94 2b 77 Ikan Kembunga 3c 160-180 9 60 Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada penggorengan roti lasuna dengan suhu penggorengan 160-170oC, retensi vitamin A pada minyak goreng setelah penggorengan pertama adalah 89%, setelah penggorengan kedua 73% dan setelah penggorengan ketiga 63%. Retensi setelah pengulangan penggorengan pertama lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Favaro et al. (1991) dalam Hariyadi (2002), yaitu sebesar 83%. Namun, retensi setelah pengulangan penggorengan kedua dan ketiga pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Favaro et al. (1991) dalam Hariyadi (2002), yaitu 81% setelah penggorengan kedua dan 71% setelah penggorengan ketiga dengan suhu 130-170oC.

Tabel 4 menunjukkan bahwa setelah penggorengan roti kambu selama 6 menit pada suhu 160-190oC retensi vitamin A akan menurun menjadi 81-86%. Hasil ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Gopal & Ketyum (1956) dalam Bagriansky & Ranum (1998) yang menunjukkan bahwa retensi vitamin A akan menurun menjadi 71% setelah dilakukan penggorengan selama 5 menit dengan suhu 2000C.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap retensi vitamin A pada minyak goreng. Perlakuan pengulangan penggorengan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap retensi vitamin A (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa retensi vitamin A setelah penggorengan pertama berbeda nyata dengan retensi setelah

penggorengan kedua dan ketiga. Retensi vitamin A setelah penggorengan kedua berbeda nyata dengan retensi setelah penggorengan ketiga.

Pada saat proses penggorengan, minyak goreng terpapar langsung oleh oksigen. Oksidasi terjadi karena adanya reaksi antara oksigen dari udara dengan minyak di dalam penggorengan (Lawson 1995). Menurut Ketaren (1986), proses oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar maupun pada proses pengolahan menggunakan suhu tinggi. Beberapa produk dari reaksi oksidasi akan menguap, sedangkan sisanya masih berada di dalam minyak dan bisa mempercepat oksidasi lemak lebih lanjut (Lawson 1995). Menurut Perkins (1992), stabilitas minyak akan menurun akibat semakin tidak jenuhnya asam lemak yang terkandung, semakin lama waktu penggorengan dan semakin luasnya permukaan minyak yang terpapar udara.

Perbedaan yang nyata antara tiap pengulangan penggorengan disebabkan oleh adanya proses kenaikan suhu pada saat pemanasan minyak di setiap penggorengan. Selain itu, terjadi penurunan suhu pada saat jeda waktu antara penggorengan kesatu dan kedua atau dari penggorengan kedua ke penggorengan ketiga. Menurut Belitz dan Grosch (1986), kecepatan oksidasi dipengaruhi oleh suhu. Proses turun naiknya suhu ini akan menyebabkan minyak goreng dan komponen yang terdapat di dalamnya teroksidasi lebih cepat. Oksidasi vitamin A akan lebih cepat terjadi karena adanya oksidasi minyak goreng (Hariyadi 2002).

Kandungan Gizi dan Penyerapan Minyak Produk Gorengan Kadar air

Pada penelitian ini analisis kadar air dilakukan pada bahan mentah dan matang. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggorengan terhadap perubahan kadar air produk pangan. Hasil analisis kadar air terhadap berbagai produk gorengan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kadar air produk awal dan setelah digoreng (%)

Jenis pangan Kadar air (%) Pustaka (%)

mentah 65.20 - goreng 1a 39.81 - goreng 2a 48.84 - Roti lasunaa goreng 3a 34.13 - mentah 47.90 - goreng 1a 38.71 - Roti kambua goreng 2a 35.51 -

goreng 3a 36.38 - mentah 53.62 - goreng 1a 41.38 40.441) goreng 2a 41.46 - Jalangkotea goreng 3a 41.42 - mentah 77.50 76.001) goreng 1a 40.60 - goreng 2a 43.66 - Ikan kembunga goreng 3a 45.13 -

Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%. Sumber: 1) Hardinsyah & Briawan (1994)

Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar air akan menurun setelah produk pangan digoreng. Kadar air pada roti lasuna mentah adalah 65.20% sedangkan pada roti lasuna goreng berkisar dari 34.13% sampai 48.84%. Roti kambu mentah memiliki kadar air 47.90%, yang sudah digoreng memiliki kadar air berkisar dari 35.51% sampai 38.71%. Jalangkote mentah memiliki kadar air 53.62% dan yang sudah digoreng memiliki kadar air berkisar dari 41.38 % sampai 41.46%. Kadar air jalangkote yang sudah digoreng tidak berbeda jauh dengan kadar air pada pustaka (40.44%). Ikan kembung mentah memiliki kadar air 77.50% dan setelah digoreng berkisar antara 40.60 % sampai 45.13%. Kadar air ikan kembung mentah hasil penelitian (77.50%) tidak berbeda jauh dengan kadar air ikan kembung mentah pada pustaka (76%).

Kadar air produk pangan akan menurun setelah adanya proses penggorengan. Menurut Orthoefer et al. (1996), penggorengan akan menyebabkan terjadinya penguapan air. Wajan akan mentransfer panas sehingga menyebabkan air keluar dari produk yang digoreng dan kemudian akan diuapkan melalui permukaan produk. Air yang hilang selama penguapan kemudian akan diisi oleh minyak.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengulangan penggorengan dan jenis pangan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar air produk pangan. Hal ini berarti bahwa kadar air produk pangan setelah digoreng (pengulangan penggorengan 1, 2 dan 3) dalam penelitian ini tidak berbeda nyata satu sama lain.

Kadar lemak

Kadar lemak berbeda-beda pada setiap produk pangan. Analisis kadar lemak dilakukan pada produk pangan mentah dan produk pangan yang digoreng. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggorengan terhadap perubahan

kadar lemak produk pangan. Hasil analisis kadar lemak produk pangan ditampilkan pada Tabel 6.

Analisis berdasarkan berat kering (Tabel 6) menunjukkan bahwa roti lasuna mentah memiliki kadar lemak sebesar 0,63% sedangkan kadar lemak pada roti lasuna goreng berkisar antara 17.28% sampai 22.91%. Kadar lemak pada roti kambu mentah adalah 21.12% sedangkan pada roti kambu goreng berkisar antara 28.10% sampai 35.37%. Kadar lemak pada jalangkote mentah adalah sebesar 21.50% sedangkan pada yang sudah digoreng berkisar dari 32.23% sampai 35.16%. Ikan kembung mentah memiliki kadar lemak sebesar 11.65% sedangkan pada ikan kembung goreng berkisar dari 31.84% sampai 34.66%.

Kadar lemak jalangkote yang telah digoreng (%BB) hasil penelitian berkisar dari 19.01% sampai 21.87% sedangkan menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) pastel (jalangkote) memiliki kadar lemak sebesar 17.11%. Perbedaan yang cukup jauh ini diperkirakan terjadi karena perbedaan komposisi isi pada jalangkote serta adanya perbedaan ketebalan kulit yang dipakai. Isi dari jalangkote pada pada penelitian ini adalah ubi jalar putih, toge, soun dan wortel sedangkan isi dari pastel adalah kentang, wortel, soun dan daging ayam. Selain itu, juga diperkirakan adanya perbedaan suhu dan waktu menggoreng yang dipakai. Waktu menggoreng, luas permukaan, kadar air produk matang dan sifat alami dari bahan akan mempengaruhi jumlah minyak yang terserap (Lawson 1995). Jumlah minyak yang terserap ini yang kemudian akan mempengaruhi kadar lemak produk matang.

Tabel 6 Kadar lemak produk awal dan setelah digoreng (%) Kadar lemak (%) Jenis pangan BB BK Pustaka ( %BB) Mentah 0.22 0.63 - goreng 1a 11.49 19.09 - goreng 2a 8.86 17.28 - Roti lasunab goreng 3a 15.09 22.91 - Mentah 11.00 21.12 - goreng 1a 21.73 35.37 - goreng 2a 20.29 28.10 - Roti kambua goreng 3a 21.60 33.88 - Mentah 9.97 21.50 - goreng 1a 20.65 35.16 17.111) Jalangkotea goreng 2a 21.87 37.33 -

goreng 3a 19.01 32.23 - Mentah 2.70 11.65 1.251) goreng 1a 20.31 33.97 - goreng 2a 18.14 31.84 - Ikan kembunga goreng 3a 19.00 34.66 - Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.

BB : Berat Basah

BK : Berat Kering

Sumber: 1) Hardinsyah & Briawan (1994)

Hasil penelitian Hardinsyah dan Briawan (1994) menunjukkan bahwa ikan kembung mentah memiliki kadar lemak 1.25% sedangkan hasil penelitian berdasarkan berat basah, ikan kembung mentah memiliki kadar lemak sebesar 2.7%. Perbedaan yang cukup besar ini dapat disebabkan oleh iklim dan keadaan tempat tumbuh yang akan mempengaruhi komposisi lemak bahan pangan (Ketaren 1986).

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kadar lemak akan meningkat setelah produk pangan digoreng. Hal ini disebabkan oleh adanya minyak yang terserap ke dalam produk pangan. Penyerapan minyak ke dalam bahan pangan ini disebabkan oleh adanya proses penggorengan yang memakai minyak goreng sebagai media penghantar.

Proses penggorengan pada penelitian ini menggunakan minyak goreng sawit curah. Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), minyak kelapa sawit memiliki kadar lemak 100%. Peningkatan kadar lemak produk disebabkan oleh terserapnya minyak goreng ke dalam produk gorengan.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kadar lemak produk pangan sedangkan pengulangan penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar lemak produk pangan. Hal ini menunjukkan bahwa kadar lemak produk pangan hasil penggorengan pertama, kedua dan ketiga tidak berbeda.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar lemak roti lasuna berbeda nyata dengan roti kambu, jalangkote dan ikan kembung goreng. Pada roti lasuna mentah hanya terdapat lemak sebesar 0.63% (BK) sedangkan produk pangan yang lain memiliki kadar lemak diatas 11% (BK) sehingga hampir seluruh lemak pada roti lasuna goreng didapatkan dari minyak goreng. Orthoefer et al. (1996) menyatakan bahwa bentuk produk dan komposisi produk (kandungan lemak) mempengaruhi penyerapan minyak.

Pada saat dimasukkannya bahan pangan ke dalam minyak panas terjadi penguapan air dari bahan pangan yang ditandai dengan adanya gelembung-gelembung kecil yang kemudian akan hilang setelah bahan pangan mulai matang (Lawson 1992). Menurut Irawan (1992), pada saat awal proses penggorengan inilah terjadi penurunan kadar air yang paling besar.

Menurut Pokorny (1999), salah satu perubahan yang terjadi pada saat proses penggorengan berlangsung adalah penurunan kadar air. Hal ini terjadi karena air keluar dari bahan pangan yang digoreng, kemudian menguap di udara.

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa penurunan kadar air terbesar terjadi pada ikan kembung goreng dengan penurunan kadar air berkisar dari 63.67% sampai 69.33%. Penurunan kadar air yang besar ini disebabkan oleh besarnya kadar air awal pada ikan kembung.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penurunan kadar air sedangkan perlakuan pengulangan penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap penurunan kadar air. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penurunan kadar air ikan kembung berbeda nyata dengan roti lasuna, jalangkote dan roti kambu serta roti lasuna berbeda nyata dengan roti kambu dan jalangkote.

Tabel 7 Penurunan kadar air (%) pada produk gorengan

Jenis pangan Penggorengan ke- Penurunan kadar air (%)

1a 57.63 2a 38.90 Roti lasunab 3a 63.43 1a 16.87 2a 29.47 Roti kambuc 3a 24.05 1a 16.49 2a 15.99 Jalangkotec 3a 17.19 1a 69.33 2a 64.26 Ikan kembunga 3a 63.67

Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Selama proses penggorengan terjadi transfer panas secara konveksi dari wajan dan minyak goreng serta transfer panas secara konduksi pada produk

pangan dimana sebagai hasilnya terjadi transfer zat. Transfer zat tersebut berupa penguapan air dari bahan pangan dan menyerapnya minyak goreng ke dalam bahan pangan (Orthoefer et al. 1996),

Tabel 8 menampilkan data penyerapan minyak pada produk pangan. Penyerapan minyak pada produk pangan berkisar dari 10.73% sampai 23.02%. Lawson (1995) menyatakan bahwa pangan akan menyerap minyak sebanyak 4% sampai 30% dari berat matangnya. Pada kebanyakan bahan pangan, proporsi terbesar dari minyak yang terserap terakumulasi di dekat permukaan produk gorengan.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penyerapan minyak sedangkan pengulangan penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap penyerapan minyak. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa ikan kembung goreng berbeda nyata dengan jalangkote dan roti kambu. Jumlah minyak yang terserap dipengaruhi oleh waktu menggoreng, luas permukaan, kadar air produk matang dan sifat alami dari bahan (Lawson 1995).

Tabel 8 Penyerapan minyak (%) pada produk gorengan

Jenis pangan Penggorengan ke- Penyerapan minyak (%)

1a 18.47 2a 16.65 Roti lasunaab 3a 22.29 1a 14.26 2a 10.73 Roti kambub 3a 12.76 1a 13.67 2a 15.84 Jalangkoteb 3a 10.74 1a 22.32 2a 20.19 Ikan kembunga 3a 23.02

Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Penyerapan minyak yang besar pada ikan kembung disebabkan oleh besarnya penurunan kadar air (63.67-69.33%) yang terjadi pada saat proses

menggoreng. Penurunan kadar air yang terjadi pada roti kambu dan jalangkote tidak sebesar pada ikan kembung, yaitu hanya sebesar 16.87-29.47% pada roti kambu dan 15.99-17.19% pada jalangkote.

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa penurunan kadar air pangan memiliki hubungan yang nyata dan bersifat positif terhadap penyerapan minyak (r=0.888; p=0.000). Hal ini menunjukkan bahwa 88.8% variasi nilai penyerapan minyak ditentukan oleh penurunan kadar air. Penurunan kadar air yang semakin besar akan menyebabkan penyerapan minyak yang lebih besar. Hal ini sejalan dengan pernyataan Orthoefer et al. (1996) bahwa penyerapan minyak memiliki hubungan yang positif dengan penurunan kadar air.

Kandungan Vitamin A dari Minyak Goreng Curah Fortifikasi

Vitamin A merupakan zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh. Menurut Bagriansky dan Ranum (1998), vitamin A berfungsi untuk diferensiasi sel penglihatan, spermatogenesis, perkembangan embrio, imunitas, mempengaruhi indera perasa, pendengaran, nafsu makan serta pertumbuhan.

Kandungan vitamin A dari minyak goreng curah fortifikasi dapat dilihat pada Tabel 9. Kandungan vitamin A dari minyak goreng curah fortifikasi per 100 gram produk gorengan pada roti lasuna berkisar dari 148.74-209.60 µg, pada roti kambu 128.89-199.75 µg, pada jalangkote 89.33-192.12 µg dan pada ikan kembung 162.60-278.10 µg. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pangan dan pengulangan penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kandungan vitamin A per 100 gram produk gorengan.

Minyak goreng curah fortifikasi memberikan kontribusi sebesar 17.87%-55.62% per 100 gram produk gorengan terhadap Angka Kecukupan Vitamin A per hari untuk anak usia 7-9 tahun. Kontribusi terbesar diberikan oleh ikan kembung goreng hasil penggorengan pertama sedangkan kontribusi terkecil diberikan oleh jalangkote hasil penggorengan ketiga.

Tabel 9 Kandungan vitamin A dari minyak goreng curah fortifikasi Jenis pangan Penggorengan

ke- Vitamin A (µg/buah) Vitamin A (µg/100 g) AKG per hari (µg) Kontribusi per 100 g terhadap AKG (%) 1a 44.01 209.60 41.92 2a 39.81 148.74 29.75 Roti lasunaa 3a 47.84 197.87 39.57 1a 124.59 199.75 39.95 2a 72.26 128.89 25.78 Roti kambua 3a 76.97 130.80 26.16 1a 81.68 192.12 38.42 Jalangkotea 2a 59.93 158.68 5001) 31.74

3a 33.59 89.33 17.87 1a 156.94 278.10 55.62 2a 104.33 208.72 41.74 Ikan kembunga 3a 85.73 162.60 32.52

Jenis pangan atau angka dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%. 1) Angka kecukupan rata-rata per hari untuk anak usia 7-9 tahun

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)

Dokumen terkait