• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lokasi Penelitian Sarana Fisik Provinsi NAD Awal

Pasca Gempa dan Tsunami

Bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004 telah menimbulkan banyak sekali korban jiwa, luka-luka dan hilang serta menyebabkan hancurnya harta benda dan rusaknya infrastruktur. Berdasarkan catatan Kompas tentang Gempa dan Tsunami (2005), jumlah korban yang meninggal dan hilang akibat gempa dan tsunami mencapai 236.116 jiwa yang tersebar diseluruh Nanggroe Aceh Darussalam, 18.761 km jalan dan 499 buah jembatan yang putus yang mengakibatkan transportasi dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya terhambat dan 1.644 buah kantor pemerintah rusak dan hancur, sehingga pelayanan publik terganggu.

Bencana yang mengakibatkan hilangnya kepemilikan materi dan keluarga dalam sekejap, apalagi dalam jumlah besar, sangat potensial menggoreskan trauma dan menyisakan ketakutan luar biasa bagi yang mengalaminya, sehingga beberapa hal dapat terjadi antara lain: (1) wajar jika orang menampilkan respon perilaku tidak lazim menyusul suatu kejadian yang sangat di luar batas kewajaran. Ada yang menyangkal bahwa keluarga besarnya hilang dan ditemukan tak bernyawa sehingga merasa sangat bersalah karena ia hidup sendirian. Beberapa hari setelah bencana, banyak orang merespon dengan cara-caranya sendiri diantaranya dengan menangis atau justru diam seribu bahasa, berteriak-teriak memanggil anaknya yang tidak ditemukan, tidak membolehkan jenazah orang terdekatnya diambil untuk dimakamkan dan sebagainya; dan (2) manusia memiliki coping mechanism alamiahnya sendiri sehingga dari sejumlah besar orang yang mengalami kekerasan atau bencana, cukup banyak yang mampu bangkit dari keruntuhan bencana. Beberapa hari setelah tsunami, masyarakat Aceh mulai “menggeliat” satu demi satu perlahan bergerak, bangun, berjalan, bahkan mencoba berjualan lagi. Hal tersebut menjadi contoh bahwa manusia dibekali dengan kemampuan menyelesaikan masalah secara alamiah. Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan di lapangan masih terdapat korban bencana yang mengalami masalah-masalah lebih serius, mengalami gangguan pasca trauma atau diagnosa lain, tetapi persentasenya relatif kecil, mungkin 5 persen saja dari keseluruhannya.

Letak Geografis

Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Mauraxa adalah dua dari sembilan kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh. Kecamatan Kuta Alam membawahi sebelas kelurahan/gampong dan Kecamatan Meuraxa membawahi enam belas kelurahan/gampong (Tabel 7). Batas-batas Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh yaitu sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kecamatan Baiturrahman, sebelah barat dengan Kecamatan Meuraxa dan sebelah timur dengan Kecamatan Syiah Kuala. Adapun batas-batas Kecamatan Meuraxa sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kecamatan Jaya Baru, sebelah timur dengan Kecamatan Kuta Raja dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Peukan Bada.

Tabel 7 Kelurahan/Gampong pada Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa

No Kecamatan Kuta Alam Kecamatan Meuraxa

1 Kota Baru Alue Deaah Tengoh

2 Bandar Baru Asonanggroe

3 Kuta Alam Blang Oi

4 Peunayong Cot Lamkuweuh

5 Mulia Deah Baro

6 Keuramat Deah Gampong

7 Laksana Gampong Baru

8 Beurawe Gampong Blang

9 Lampulo Gampong Pie

10 Lamdingin Lamjabat

11 Lambaro Skep Lampaseh Aceh

12 - Lambung 13 - Punge Ujong 14 - Punge Jurong 15 - Surin 16 - Ulhee-lhee Penduduk

Sebelum terjadi gempa dan tsunami jumlah kepala keluarga (KK) di Kecamatan Kuta Alam adalah 11.731 KK, dengan jumlah penduduk 54.017 jiwa, yaitu laki-laki 28.340 jiwa dan perempuan 26.673 jiwa. Pasca bencana gempa dan tsunami jumlah kepala keluarga yang selamat sampai Desember 2005 adalah 10.810 KK, dengan jumlah penduduk 47.280 jiwa dengan rincian laki-laki 25.369 jiwa dan perempuan 21.911 (Tabel 8).

Pasca bencana gempa dan tsunami, jumlah kepala keluarga yang selamat di Kecamatan Meuraxa sampai Desember 2005 adalah 4.725 KK, dengan jumlah

penduduk 11.396 jiwa dengan rincian laki-laki 7210 jiwa dan perempuan 4.186 jiwa (Tabel 9). Kalau diperhatikan jumlah penduduk yang tersisa di Kecamatan Meuraxa pasca gempa dan tsunami hanya sekitar 25 persen dari jumlah penduduk Kecamatan Kuta Alam, padahal sebelumnya wilayah ini merupakan wilayah padat penduduk. Hal ini disebabkan hampir semua kelurahan/gampong yang ada di Kecamatan Meuraxa berhadapan langsung dengan laut dan pelabuhan Ulele.

Tabel 8 Jumlah penduduk Kecamatan Kuta Alam pasca gempa dan tsunami No Kelurahan/Gampong Jumlah Penduduk Pasca Gempa dan Tsunami

KK LK PR ∑ 1 Kota Baru 408 1.081 973 2.054 2 Bandar Baru 1.273 3.675 3.709 7.384 3 Kuta Alam 1.175 2.623 2.219 4.842 4 Peunayong 813 1.956 1.376 3.332 5 Mulia 805 1.839 1.320 3.159 6 Keuramat 934 2.494 2.536 5.030 7 Laksana 664 3.177 2.492 5.669 8 Beurawe 1.766 3.359 3.037 6.399 9 Lampulo 1.537 1.977 1.446 3.423 10 Lamdingin 618 1.270 991 2.261 11 Lambaro Skep 817 1.918 1.809 3.727 Jumlah 10.810 25.369 21.911 47.280

Laporan Camat Kuta Alam, 2006.

Tabel 9 Jumlah penduduk Kecamatan Meuraxa pasca gempa dan tsunami No Kelurahan/Gampong Jumlah Penduduk Pasca Gempa dan Tsunami

KK LK PR ∑

1 Alue Deaah Tengoh 270 247 128 375

2 Asonanggroe 136 154 110 264 3 Blang Oi 417 735 446 1181 4 Cot Lamkuweuh 280 188 152 340 5 Deah Baro 165 210 102 312 6 Deah Gampong 193 205 155 360 7 Gampong Baru 285 300 237 537 8 Gampong Blang 93 143 71 214 9 Gampong Pie 93 132 40 172 10 Lamjabat 193 192 109 301 11 Lampaseh Aceh 459 750 450 1200 12 Lambung 309 677 313 990 13 Punge Ujong 300 786 229 1015 14 Punge Jurong 736 1432 1003 2435 15 Surin 270 324 247 571 16 Ulhee-lhee 526 735 394 1129 Jumlah 4725 7210 4186 11396

Laporan Yayasan Lamjabat, 2006

Berdasarkan Laporan Kegiatan Tabani Masholih Aceh (HTI, Januari 2005), anggota masyarakat yang selamat dari musibah gempa bumi dan tsunami

ditampung di lokasi-lokasi pengungsian, ditiap kecamatan terdapat sekitar 2-5 posko besar yang menampung sebanyak 300-4.000 pengungsi. Jumlah pengungsi di posko tidak tetap karena mereka pindah ke tempat lain pada saat tidak betah dan atau alasan lain. Selain di posko pengungsian, korban bencana juga ada yang masih tinggal di rumah-rumah penduduk yang masih utuh.

Perumahan

Jumlah rumah yang hancur/hilang/rusak akibat bencana gempa dan tsunami di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh 5.327 unit, dengan rincian rumah hancur/hilang 2.586 unit, rusak berat 1.147 unit dan rusak ringan 1.310 unit. Di Kecamatan Meuraxa Jumlah rumah yang rusak dan hancur hampir mencapai 100 persen dan yang tersisa hanyalah puing-puing dan bahkan tidak meninggalkan bekas.

Adat dan Budaya Masyarakat Aceh

Budaya merupakan salah satu warisan masyarakat di suatu desa atau daerah yang paling tinggi nilainya. Warisan ini tercipta dari hasil karya dan karsa masyarakat yang diterima secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya adalah milik rakyat, baik yang berdomisili di daerah terisolir maupun masyarakat diperkotaan. Budaya akan selalu mengalami perubahan. Hal ini disebabkan adanya dinamika sosial atau terjadinya proses perubahan sosial seiring dengan berjalannya waktu (Nyakpha, 2004).

Dalam sebuah tradisi budaya, katakanlah dalam masalah saudara, bagi masyarakat Aceh jika dikatakan, ”Saboh syehdara” atau “Saboh taloe darah,” artinya diantara mereka mempunyai hubungan darah atau hubungan kekerabatan. Pada “syedara lingka” dan “syedara gampoeng” didasarkan pada tempat tinggal atau tempat menetap. “Syehdara kaweun” (kawin) merupakan kekeluargaan yang dibangun melalui hubungan darah dan hubungan perkawinan (Kurdi, 2005).

Ketenteraman, keseimbangan, keamanan dan kedamaian merupakan hal-hal yang sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Mereka selalu berupaya dan menghormati nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah disepakati bersama atau aturan yang telah ditetapkan agama. “Seubakhe-bakhe ureung Aceh, wate geusebut nan Allah dan Nabi teuiem atawa seungap,” artinya sebodoh- bodohnya orang Aceh ketika disebut nama Allah dan nabinya mereka akan terdiam, tak meneruskan pekerjaan yang sedang ia lakukan (Syahrizal, 2004). Budaya ini

masih dirasakan dan terlihat dalam kehidupan hari-hari. Dengan menghargai adat masyarakat Aceh masih dapat bertahan hidup dalam kedamaian hati, ketenteraman jiwa, keseimbangan dan teguh dalam pendirian (Kurdi, 2005).

Bagi orang Aceh mempersepsikan dirinya sebagai orang Islam merupakan bagian dari kehidupan budaya, seakan-akan diri mereka telah menyatu dengan ajaran Islam (Husein, 1970). Ajaran itu memberi pengaruh terhadap perilaku masyarakat Aceh dalam membina hubungan dengan Allah SWT, hubungan masyarakat dengan alam sekitarnya dan hubungan dengan dirinya sendiri.

Struktur kemasyarakatan di Aceh terdiri dari syedara saboh ma, syedara saboh nek, syedara saboh aneuk, syedara lingka, syedara gampong dan kaoem. Artinya, struktur kemasyarakatan di Aceh terdiri dari saudara satu ibu, saudara satu nenek, saudara sesama anak, tetangga, sekampung dan sesama kaum muslimin. Latar belakang yang dibangun oleh masyarakat Aceh dalam memahami dan mengikat hubungan antara saudara adalah berdasarkan norma-norma agama. Oleh karena itu, tatanan budaya dalam kehidupan masyarakat Aceh, terutama di desa- desa, sering terdengar ungkapan “han teupeh bak tajak han teupeh bak tawoe saboeh nangroe Tuhan peulara” yang artinya kemanapun kita pergi dan pulang tidak ada yang menghalangi, karena semua dijaga oleh Allah yang maha Kuasa. Kalimat itu memiliki nilai sastra yang tinggi yang menunjukkan bahwa budaya orang Aceh tidak mengalpakan nilai-nilai keagamaan dalam setiap kesempatan baik berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial budaya (Sufi, 2002).

Orang Aceh pada umumnya berkarakter keras, tidak mau didikte, tidak cepat menyerah hampir dalam semua kesempatan dan teguh dalam menghadapi masalah. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan makanan yang di konsumsi dalam keseharian. Orang Aceh gemar makanan yang pedas-pedas, seperti gulai pliek ue, gulai kambing, ikan lele dan sambal yang terdiri dari asam sunti dan rempah-rempah yang sebagian besar bumbunya itu adalah cabe dan lada. Daging merupakan makanan yang mengandung protein yang dibutuhkan oleh tubuh apalagi ditambah dengan bumbu cabe dan lada membuat orang jadi “panas dan pedas”. Begitu juga dengan ikan lele dan ramuan-ramuan lainnya, jika kita perhatikan hampir semua makanan dari masakan tradisional aceh itu dapat dikatakan tidak ada yang tidak pedas (Sufi, 2002).

Menurut Hill (1960), sebelum tsunami, masyarakat Aceh memiliki banyak rujukan budaya yang menjadi dasar pemikiran mereka seperti lembaga adat, Hadih

Maja, adat istiadat, seni budaya, hikayat, pantun, syair dan struktur-struktur adat lainnya. Dalam karya seni tari, ditemukan gerak, likok, dan syair yang memuat pesan dengan kandungan nilai yang bersifat implisit, seperti dalam Tari Laweuty, Tari Pho, Tari Seudati, Tari Saman dan sebagainya. Pasca tsunami struktur lembaga dan seni-seni budaya yang ada dalam masyarakat Aceh itu sudah tidak dapat dijadikan rujukan karena di samping hancurnya lembaga adat, struktur budaya dari ketua- ketua adat meninggal dunia, khususnya mereka yang berdomisili dekat pesisir Aceh Barat dan Kota Banda Aceh.

Dalam beberapa kesempatan, ungkapan yang sering dijadikan rujukan perilaku terkesan memiliki bukti yang nyata. Sebelumnya orang Aceh mengetahui dan mempraktekkan adat-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, namun sekarang sudah ditinggalkan. Mereka suka mengutip beberapa sumber nilai dalam Hadih Maja, sehingga ditemukan sifat-sifat yang terpuji dengan konsekuensi buruk, memperlihatkan bukti yang amat nyata. Sifat geumaseh (pemurah) dan seutia (loyal- setia) adalah sifat dan perilaku yang amat terpuji dalam kurun waktu tertentu, namun pada kurun waktu lain sifat itu menjadi buruk akibatnya.

Banyak orang yang terlibat ketika terjadi tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Masing-masing mereka lari menyelamatkan diri. Banyak orang yang tidak setia kepada sanak keluarga apalagi kepada orang lain. Mayat bergelimpangan dimana-mana dalam keadaan telanjang bulat hanya sedikit diantara mereka yang memiliki budaya kesetiakawanan sosial. Di tempat lain ditemukan pula ungkapan serupa, “Ta weueh ie mata gob saboh tima, rho ie mata droe teueh saboh blang,” (untuk mencegah agar air mata orang lain jangan tumpah seember, akan boleh jadi tumpah air mata sendiri satu hamparan sawah). Ungkapan ini memiliki arti bahwa jika membantu orang, ingat-ingat nasib sendiri. Ini adalah suatu contoh bagaimana sifat suka menolong dan membantu kesulitan orang lain, justru harus dibayar dengan kerugian lebih besar pada diri sendiri, padahal sifat dan perilaku suka menolong orang lain merupakan sifat sangat terpuji dalam tata kehidupan orang Aceh (Kurdi, 2005).

Masalah-Masalah Keluarga Pasca Gempa dan Tsunami

Pengungsian, baik yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir, gempa bumi, angin topan (tornado), gelombang pasang (tsunami), maupun yang disebabkan oleh bencana sosial dan politik seperti tawuran antar warga, konflik antar ras, peperangan, dan lain-lain menyisakan permasalahan yang perlu segera

ditangani. Permasalahan tersebut berdampak pada terhambatnya pemenuhan kebutuhan dasar, tercerai berainya anggota keluarga dan timbulnya masalah psikososial yang pada akhirnya mempengaruhi keberfungsian sosial korban bencana. Bantuan pangan, sandang dan pemukiman yang bersifat sementara dapat saja diusahakan dengan segera untuk mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan dasar (fisiologis) korban bencana melalui bantuan pemerintah atau bantuan dari organisasi-organisasi non pemerintah. Berbagai masalah dihadapi keluarga korban bencana gempa dan tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam penelitian ini permasalahan-permasalahan yang dihadapi keluarga dikelompokkan menjadi enam, yaitu masalah pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian dan pekerjaan/pendapatan.

Masalah Pangan

Permasalahan pangan yang masih dialami oleh 52.2 persen keluarga adalah tidak adanya pangan hewani dalam menu yang disajikan setiap hari, dan makan kurang dari 3 kali sehari dengan menu bukan empat sehat masih juga dialami oleh 26.8 persen keluarga (Lampiran 2).

Jika dicermati data pada Tabel 10, secara keseluruhan masih ada 12.3 persen keluarga mengalami masalah pangan walaupun bencana sudah berlalu 1.5 tahun. Rata-rata skor masalah pangan secara keseluruhan adalah 29.21. Berdasarkan tipologi rata-rata masalah pangan paling tinggi dialami oleh keluarga utuh (30.08) dan terendah dialami oleh keluarga janda (24.43). Rendahnya masalah pangan yang dihadapi keluarga janda karena adanya bantuan-bantuan khusus untuk anak yatim.

Tabel 10 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pangan

Kategori masalah Pangan

Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)

n % n % n % n % Rendah 90 87.4 18 90.0 13 86.7 121 87.7 Sedang 7 6.8 1 5.0 2 13.3 10 7.2 Tinggi 6 5.8 1 5.0 0 0.0 7 5.1 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 30.08 28.32 24.43 29.21 Standar deviasi 25.36 24.84 23.46 24.98 Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 Maksimum 100.00 100.00 66.70 100.00 Analisis Anova antar

Pada saat data dikumpulkan, sebagian besar keluarga masih mendapatkan bantuan bahan makanan berupa beras (10 kg/individu), minyak (1 kg/individu) mie dan sarden yang diberikan tiap bulan yang jumlahnya berdasarkan banyaknya anggota keluarga. Namun demikian, tidak semua keluarga bernasib baik karena sebagian desa sudah tidak menerima bantuan apapun baik dari pemerintah maupun dari LSM.

Masalah Kesehatan

Adanya fasilitas pelayanan kesehatan gratis dari pemerintah dan LSM dalam dan luar negeri membuat keluarga tidak mengalami banyak masalah dalam hal pengobatan. Petugas medis secara rutin datang ke barak-barak pengungsian untuk memeriksa kesehatan tanpa dikenakan biaya. Namun demikian masih ada keluarga yang mengalami kesulitan untuk membayar biaya pengobatan pada saat mereka berobat ke dokter praktek. Hal ini dikarenakan mereka sakit pada saat petugas medis tidak datang ke barak-barak sehingga harus berobat sendiri ke dokter atau ke rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan masih ada 47.8 persen contoh menyatakan mengalami kesulitan dalam membayar obat-obatan. Jika dilihat berdasarkan tipologinya, 65 persen keluarga duda menyatakan sulit membayar obat- obatan dan hanya sebagian kecil (8.7%) keluarga yang menyatakan bahwa jika ada anggota keluarga yang sakit tidak selalu dibawa berobat ke dokter atau puskesmas (Lampiran 2).

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor masalah kesehatan yang paling rendah dijumpai pada tipologi keluarga utuh (25.73), dan skor tertinggi pada keluarga duda (40.00). Tingginya skor masalah kesehatan yang dihadapi oleh tipologi duda dimungkinkan karena contoh harus menghadapi sendiri masalah kesehatan anggota keluarga yang sebelumnya dibantu oleh istri.

Tabel 11 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah kesehatan

Kategori masalah Kesehatan

Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)

n % n % n % n % Rendah 55 53.4 8 40.0 7 46.7 70 50.7 Sedang 43 41.7 8 40.0 7 46.7 58 42.0 Tinggi 5 4.9 4 20.0 1 6.7 10 7.2 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 25.73 40.00 30.00 28.26 Standar Deviasi 29.59 34.79 36.84 31.37 Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00

tipologi keluarga

Pada keluarga utuh, adanya orang tua yang masih lengkap, permasalahan kesehatan dapat ditanggulangi bersama-sama. Pada tipologi janda, peran ibu relatif masih berfungsi terkait dengan kesehatan anggota keluarga. Namun demikian, berdasarkan analisis anova tidak ada perbedaan yang nyata terkait masalah kesehatan antara ketiga tipologi keluarga.

Masalah Pendidikan

Pada bulan-bulan pertama pasca bencana, proses belajar-mengajar sulit dilakukan. Bukan saja karena gedung sekolah rusak, tetapi juga karena sebagian guru yang mengajar dan siswa juga tak jelas keberadaannya atau kehilangan keluarga. Sekolah-sekolah di kawasan yang selamat dari amukan tsunami, masih dimanfaatkan menjadi tempat pengungsian (Hidayati, 2005).

Secara keseluruhan, masih ada 21.0 persen keluarga mengalami masalah pendidikan dengan kategori tinggi. Berdasarkan tipologi, keluarga duda mengalami masalah pendidikan paling tinggi dengan rata-rata 48.34, paling rendah dialami oleh tipologi keluarga janda yakni 35.55 (Tabel 12). Berdasarkan analisis anova tidak ada perbedaan yang nyata terkait masalah pendidikan antara ketiga tipologi keluarga.

Tabel 12 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pendidikan

Kategori masalah pendidikan

Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)

n % n % n % n % Rendah 63 61.2 13 65.0 10 66.7 86 62.3 Sedang 19 18.4 3 15.0 1 6.7 23 16.7 Tinggi 21 20.4 4 20.0 4 26.7 29 21.0 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 37.22 48.34 35.55 38.65 Standar Deviasi 40.24 38.21 38.77 39.72 Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00 Analisis Anova antar

tipologi keluarga 0.496

Pada saat penelitian ini dilakukan masih ada 5.3 persen anak usia sekolah yang tidak bersekolah pasca gempa dan tsunami. Untuk melaksanakan wajib belajar bagi anak usia sekolah pemerintah daerah telah memberikan perhatian yang serius dengan memberikan biaya pendidikan gratis mulai dari TK hingga jenjang SLTA, termasuk fasilitas sekolah seperti seragam, tas, sepatu, buku-buku dan snack gratis yang dibagikan seminggu sekali di sekolah.

Selain pendidikan formal, saat ini banyak pendidikan non formal yang bermunculan di Banda Aceh seperti yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat di Kecamatan Meuraxa. Yayasan ini melaksanakan berbagai kegiatan seperti pelatihan komputer, perbengkelan, menjahit, memasak dan pelatihan pertanian yang dilakukan oleh BRR dan LSM dengan sasaran utama adalah para remaja yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ibu-ibu yang tidak bekerja dan bapak- bapak yang kehilangan pekerjaan. Hal yang sama juga dilakukan di Kecamatan Kuta Alam. Namun demikian masih ada 33.9 persen anak keluarga contoh yang tidak mengikuti pendidikan non formal dengan berbagai alasan antara lain: (1) tidak sesuai dengan bakat; (2) tidak memiliki modal jika ingin buka usaha sendiri; (3) kurangnya lapangan pekerjaan; dan (4) membosankan. Permasalahan pendidikan lainnya yang dihadapi 48.6 persen keluarga adalah tidak mampu menyediakan fasilitas belajar di rumah untuk keperluan sekolah anak. Hal ini disebabkan karena sebagian besar keluarga masih tinggal di barak pengungsian (Lampiran 2).

Masalah Perumahan/Tempat Tinggal

Masalah perumahan/tempat tinggal sangat dirasakan oleh karena keluarga korban tsunami masih tinggal di tenda-tenda pengungsian. Sebagian besar keluarga merasa tidak nyaman dengan fasilitas sangat tidak memadai.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 34.8 persen keluarga menyatakan rumah untuk tempat berlindung tidak memadai, 29.7 persen menganggap rumah tidak dilengkapi dengan fasilitas MCK (mandi, cuci dan kakus), 31.4 persen menyatakan kurangnya ruangan untuk sekeluarga dan 25.4 persen keluarga menyatakan bahwa rumah/tempat tinggal saat ini tidak memiliki cukup penerangan (Lampiran 2). Hal tersebut dimungkinkan karena keluarga tinggal di barak-barak pengungsian karena pembangunan perumahan untuk para korban bencana yang dijanjikan pemerintah belum semua selesai. Disamping itu juga karena memang status mereka sebelum tsunami sebagai pengontrak yang tidak memiliki lahan untuk perumahan, jadi terus bertahan tinggal di barak-barak walaupun kondisi barak yang tidak memenuhi standar kesehatan. Hal ini dilakukan karena tidak mampu mengeluarkan biaya kontrak yang harganya sangat tinggi. Di tenda-tenda pengungsian, para pengungsi sering harus saling menyesuaikan diri, terutama karena situasi yang serba darurat. Sebagian pengungsi mengalami kesulitan untuk dapat menyesuaikan diri karena mengalami perubahan status,

misalnya ibu rumahtangga yang menjadi janda, bapak-bapak yang menjadi duda biasanya mengalami kekakuan dalam berperilaku.

Hasil pengkategorian skor masalah perumahan/tempat tinggal yang dihadapi keluarga menunjukkan bahwa sebanyak 25.4 persen keluarga mengalami masalah perumahan dengan kategori tinggi (Tabel 13). Skor masalah perumahan paling tinggi dialami oleh keluarga utuh (29.1 persen) dan paling rendah keluarga janda yaitu 6.7 persen. Tingginya skor permasalahan perumahan pada tipologi keluarga utuh dimungkinkan karena barak yang disediakan hanyalah satu ruangan yang berukuran 4x4 m dimana seluruh anggota keluarga baik laki-laki dan perempuan harus melakukan semua aktivitas dalam suatu ruangan tanpa ada dinding pembatas. Tidak ada perbedaan yang nyata terkait masalah perumahan antara ketiga tipologi keluarga.

Tabel 13 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah perumahan

Kategori masalah rumah

Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)

n % n % n % n % Rendah 61 59.2 16 80.0 13 86.7 90 65.2 Sedang 12 11.7 0 0.0 1 6.7 13 9.4 Tinggi 30 29.1 4 20.0 1 6.7 35 25.4 Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0 Rata-Rata 33.74 28.75 15.00 30.98 Standar Deviasi 40.78 39.96 28.03 39.68 Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00 Analisis Anova antar

tipologi keluarga 0.225

Masalah Pakaian

Pada hari-hari pertama bencana gempa dan tsunami, masalah pakaian sangat dirasakan oleh para korban yang selamat, 6 bulan pasca bencana bantuan pakaian yang diterima oleh korban cukup memadai , hal ini terbukti saat penelitian ini berlangsung hanya 16.7 persen anggota keluarga tidak memiliki pakaian yang memadai yaitu pakaian di rumah dan pakaian untuk bepergian (Lampiran 2). Bagi keluarga yang bekerja di kantor pemerintahan dan swasta disediakan pakaian dinas yang baru untuk menggantikan pakaian dinas yang hilang akibat tsunami. Rendahnya masalah pakaian ini juga diperkuat oleh sebagian keluarga yang menganggap masalah pakaian bukanlah masalah penting yang harus selalu dipenuhi, dan sudah menjadi suatu kebiasaan bagi keluarga yang berpenghasilan rendah pakaian baru hanya dibeli setahun sekali yaitu pada saat lebaran saja.

Terkait dengan masalah pakaian, secara keseluruhan hanya 8.0 persen keluarga tergolong dalam kategori tinggi (Tabel 14). Hasil analisis deskriptif mengindikasikan bahwa rata-rata skor masalah pakaian terendah dijumpai pada keluarga tipologi janda (10.00), tertinggi adalah pada tipologi keluarga duda (27.50). Tingginya skor permasalahan pakaian pada tipologi keluarga duda dimungkinkan karena tidak adanya istri yang mengurus masalah pakaian bagi seluruh anggota keluarga

Tabel 14 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pakaian

Kategori masalah

Dokumen terkait