• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman morfologi Pleurotus sp.

Keanekaragaman morfologi Pleurotus sp. dimulai dengan pengamatan terhadap pertumbuhan tubuh buahnya. Pengamatan dilakukan pada warna tudung (pileus), diameter tudung dan panjang tangkai. Pengamatan ini dikhususkan untuk isolat jamur tiram yang pengekstraksian DNA-nya dilakukan di Bogor, yaitu pada isolat Pleurotus sp. 17, Pleurotus sp. 16, Pleurotus sp. 5 dan Pleurotus sp. 19.

Keempat jamur tiram ini merupakan hasil dari penumbuhan selama kurang lebih empat bulan, dengan waktu inokulasi pada bulan September yang ditumbuhkan pada media campuran serbuk gergaji, kapur, dedak dan gips atau dinamakan baglog dengan ukuran 0.5 kg. Pada waktu penumbuhan suhu dan kelembaban lingkungan disesuaikan dengan kebutuhan tumbuh jamur tiram yaitu antara 28-320C dan kelembaban 80-100%.

Keempat isolat lainnya merupakan hasil ekstraksi DNA yang telah dilakukan sebelumnya di Jerman, isolat tersebut adalah Pleurotus sp. 21,

Pleurotus sp. 23, Pleurotus sp. 24 dan Pleurotus sp. 25. Pengamatan terhadap morfologi jamur tiram tersebut telah dilakukan sebelumnya, sehingga total keseluruhan isolat jamur tiram yang diamati dalam penelitian ini adalah delapan isolat.

Pengamatan morfologi luar pada Pleurotus sp. 17, Pleurotus sp. 16, dan

Pleurotus sp. 19 mempunyai tudung berwarna putih. Ketiga isolat tersebut mempunyai pinggiran tudung yang bergelombang. Memiliki panjang tangkai yang antara 1,6 cm – 2,5 cm, diameter tudung terkecil antara 5,2 cm - 7,0 cm, dan diameter tudung terkecil antara 1,1 cm – 5,2 cm (Tabel 6).

Tabel 6. Hasil pengamatan morfologi pada Pleurotus sp.

No Nama Isolat Diameter Tudung Terkecil (cm) Diameter Tudung Terbesar (cm) Panjang Tangkai (cm) Warna Tudung 1 Pleurotus sp. 17 1,5 7,0 1,6 Putih 2 Pleurotus sp. 16 1,1 5,2 2,1 Putih 3 Pleurotus sp. 19 5,2 5,5 2,5 Putih 4 Pleurotus sp. 5 2,6 5,5 0,7 Coklat

P. ostreatus memiliki tudung berwarna putih susu atau putih kekuning-kuningan dengan garis tengah 3 cm - 14 cm. Ciri-ciri ini dimiliki oleh ketiga sampel tersebut, yaitu Pleurotus sp. 16, Pleurotus sp. 17,dan Pleurotus sp. 19.

Pleurotus sp. 17 berasal dari Biologi IPB, sedangkan Pleurotus sp. 16 merupakan jamur yang telah dibudidayakan di daerah Bogor. Pleurotus sp. 19 merupakan jamur tiram yang dikoleksi di Laboratorium Patologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Pleurotus sp. 5 mempunyai kesamaan warna tudung dengan Pleurotus sp. 25 yaitu berwarna coklat, namun mempunyai bentuk tudung berbeda. Pleurotus

sp. 5 diperoleh dari daerah Bogor (B), mempunyai panjang tangkai yang pendek yaitu 0,7 cm dan pinggiran tudung agak gelombang. Permukaan tubuh buah halus pada bagian tengahnya. Pleurotus sp. 25 diperoleh dari LIPI Kebun Raya dan mempunyai warna tudung coklat.

Pleurotus sp. 21 merupakan hasil mating dua miselium monokarion yang kompatibel dari isolat P. ostreatus MA yang tudungnya berwarna abu-abu.

Pleurotus sp. 23 berasal dari monokarion miselium isolat P. ostreatus MA yang berwarna abu-abu. Pleurotus sp. 21 dan Pleurotus sp. 23 berasal dari Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, PSIH (Pusat Studi Ilmu Hayati).

Pleurotus sp. 24 tudung berwarna merah atau dikenal juga dengan nama jamur tiram merah. Pleurotus sp. 24berasal dari Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, PSIH.

Berdasarkan karakter morfologi, isolat jamur tiram yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan adanya keanekaragaman dan dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok. Dibuktikan dengan adanya perbedaan warna tudung, diameter tudung, dan perbedaan panjang tangkai (Lampiran 1). Parameter pengukuran yang paling signifikan terlihat dari warna tudung jamur tiram. Bentuk tudung juga menunjukkan keanekaragaman, yaitu ada yang berbentuk bulat dan ada juga yang berbentuk menyerupai cangkang kerang seperti Pleurotus sp. 5.

Keanekaragaman genetik Pleurotus sp.

Ekstraksi DNA

Pengamatan dilakukan setelah tubuh buah muncul kemudian tubuh buah tersebut diambil dan disimpan dalam kantung plastik berisi silika gel yang selanjutnya disimpan dalam freezer dengan suhu -200C. Tubuh buah jamur tiram terdiri atas tudung dan tangkai (Gambar 9).

(b)

Gambar 9. Tubuh buah jamur: tudung tubuh buah (a), tangkai tubuh buah (b)

Analisis keanekaragaman genetik dilakukan dengan mula-mula melakukan ekstraksi DNA. Ekstraksi DNA menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) yang telah dimodifikasi (Murray dan Thompson 1980,

dalam Yunanto, 2005). Sampel yang digunakan pada waktu awal ekstraksi adalah 10 isolat, yaitu Pleurotus sp. 6, Pleurotus sp. 17, Pleurotus sp. 16, Pleurotus sp. 3, Pleurotus sp. 4, Pleurotus sp. 19, Pleurotus sp. 18, Pleurotus sp. 5, Pleurotus

sp. 8, dan Pleurotus sp. 2. Namun, setelah dilakukan esktraksi DNA, ternyata dari 10 isolat, yang muncul pita DNA-nya hanya delapan isolat yaitu Pleurotus sp. 6,

Pleurotus sp. 17, Pleurotus sp. 16, Pleurotus sp. 3, Pleurotus sp. 4, Pleurotus sp. 19, dan Pleurotus sp. 18. Pita DNA yang diperoleh tidak dalam waktu bersamaan, melainkan membutuhkan waktu kurang lebih dua bulan untuk mendapatkan delapan isolat.

Kedua sampel Pleurotus sp. yaitu Pleurotus sp. 8 dan Pleurotus sp. 2, setelah dilakukan ekstraksi berulang-ulang ternyata pita DNA tetap tidak dapat muncul. Berdasarkan hasil elektroforesis ekstraksi DNA, dari delapan isolat tersebut hanya empat isolat Pleurotus sp. yang dapat dianalisis untuk proses selanjutnya. Isolat tersebut adalah Pleurotus sp. 16, Pleurotus sp. 17, Pleurotus

sp. 19 dan Pleurotus sp. 5.

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h)

5 kali

20 kali

Gambar 10. Hasil ekstraksi DNA yang dilakukan di Bogor pada 8 isolat; (a) Pleurotus sp. 6; (b) Pleurotus sp. 17; (c) Pleurotus sp. 16; (d) Pleurotus sp. 3; (e) Pleurotus sp. 4 (f) Pleurotus sp. 19;(g)

Pleurotus sp. 18; (h) Pleurotus sp. 5

Hasil elektroforesis ekstraksi DNA diperlukan untuk mengetahui kualitas DNA, sehingga dapat ditentukan pengenceran yang diperlukan untuk proses selanjutnya yaitu PCR-RFLP. Pengenceran DNA yaitu hasil ekstraksi DNA yang didapatkan dicampur aguabides. Perbandingan antara DNA dan aquabides

disesuaikan dengan besarnya pengenceran. Jika pita DNA yang terlihat saat elektroforesis tebal maka diperlukan pengenceran yang besar misalnya 20 kali. Pengenceran 20 kali dilakukan untuk Pleutorus sp. 16 dan Pleutorus sp. 17 (Gambar 10). Jika pita DNA yang terlihat tipis pada gel elektroforesis maka pengenceran yang dilakukan tidak besar yaitu 5 kali (Gambar 11). Pengenceran 5 kali dilakukan pada semua isolat yang telah diekstraksi di Jerman dan Pleurotus

(a) (b (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i)

5 kali

Gambar 11. Hasil ekstraksi DNA yang dilakukan di Jerman pada 9 isolat: (a) Pleurotus sp. 21; (b) Pleurotus sp. 22; (c) Pleurotus sp. 23; (d) Pleurotus sp. 24; (e) Pleurotus sp. 25; (f) Pleurotus sp. 26; (g) Pleurotus sp. 27; (h) Pleurotus sp. 9;(i) Pleurotus sp. 28

Terdapat sembilan isolat yang telah diekstraksi sebelumnya di Jerman, hasil ekstraksi tersebut kemudian dielektroforesis. Hasil elektroforesis menunjukkan pita DNA terlihat sangat tipis dan terletak pada base pair yang sama (Gambar 11).

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorphisms (PCR-RFLP)

Analisis keanekaragaman selanjutnya adalah PCR-RFLP dengan menggunakan pasangan primer universal untuk jamur yaitu ITS1 dan ITS4. Wilayah ribosomal DNA (rDNA) Internal Transcribed Spacer (ITS) mempunyai peranan penting dalam investigasi sistematik molekular untuk angiosperma pada tingkat intergenik dan interspesifik.

ITS ini dapat digunakan untuk membedakan antara tanaman berbunga, bryophytes, dan beberapa ordo dari alga dan fungi, termasuk fungi yang patogenik dan non patogenik (Jobes dan Thien, 1997). ITS berada pada daerah ribosom (Anonym, 2006 c). Untuk itu pengenalan DNA berada pada daerah ribosom.

Untuk mengetahui apakah ITS ini dapat digunakan pada Pleurotus sp., maka diujikan terlebih dahulu dengan menggunakan satu isolat saja yaitu

Pleurotus sp. 16. Berdasarkan elektroforesis PCR-RFLP Pleurotus sp. 16 ternyata memberikan hasil, dengan terlihatnya pita DNA (Lampiran 3). Kegiatan

PCR-800 bp

M (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i)

RFLP dilanjutkan untuk ketiga isolat lainnya Pleurotus sp. 17, Pleurotus sp. 19, dan Pleurotus sp. 5 (Lampiran 3). PCR-RFLP dilanjutkan untuk enam isolat Pleurotus sp. lainnya yang pengekstraksiannya dilakukan di Jerman. Hasil elektroforesis menunjukkan empat isolat saja yang terlihat pita DNA-nya. Keempat isolat tersebut yaitu Pleurotus sp. 21, Pleurotus sp. 23, Pleurotus sp. 24 dan Pleurotus sp. 25. Ke delapan isolat yang berhasil saat PCR-RFLP, kemudian dielektroforesis bersamaan guna melihat ukurannya dalam base pair pada marker yang digunakan. Pita DNA yang muncul terlihat tebal, sehingga cukup sulit untuk mengetahui secara tepat berapa ukurannya pada marker. Produk PCR-RFLP dengan primer ITS1 dan ITS4 untuk ke delapan sampel Pleurotus sp. berada pada kisaran 650 bp sampai 800 bp (Gambar 12). 2642 bp 1000 bp 500 bp Gambar 12. Hasil elektroforesis PCR-RFLP

(a) Pleurotus sp. 16; (b) Pleurotus sp. 17; (c) Pleurotus sp. 19; (d) Pleurotus sp. 5; (e) Kontrol negatif; (f) Pleurotus sp. 21;(g)

Pleurotus sp. 23; (h) Pleurotus sp. 24; (i) Pleurotus sp. 25.

Pada PCR-RFLP tersebut juga diikutsertakan kontrol negatif, yaitu produk PCR tanpa DNA. Dalam penelitian oleh Mirhendi et. al (2006) pasangan universal spesifik fungi (ITS1 dan ITS4) berhasil mengamplifikasi daerah ITS untuk semua ragi yang diuji, yang menghasilkan singel produk PCR-RFLP secara tepat pada 510 bp - 870 bp.

Keanekaragaman genetik dapat terlihat melalui hasil PCR-RFLP, yang ditunjukan dengan letak pita DNA pada nilai base pair yang berbeda. Pleurotus

2642 bp 1000 bp 500 bp eror 600 bp 700 bp 800 bp

sp. 17, Pleurotus sp. 16, Pleurotus sp. 21, dan Pleurotus sp. 23 berukuran 700 bp. Pleurotus sp. 19 berada berukuran 680 bp, Pleurotus sp. 5 berukuran 790 bp,

Pleurotus sp. 24 berukuran 750 bp, dan Pleurotus sp. 25 berukuran 750 bp.

Restriksi

Analisis keanekaragaman genetik berikutnya adalah pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi. Pemotongan dilakukan pada empat sampel yang diekstraksi di Bogor yaitu Pleurotus sp. 16, Pleurotus sp. 17, Pleurotus sp. 19, dan Pleurotus sp. 5. Enzim restriksi yang digunakan untuk memotong hasil PCR-RFLP adalah AluI dan HindIII (Gambar 13). Hasil pemotongan dengan enzim restriksi HindIII tidak terjadi perpotongan, terlihat dari nilai pita DNA yang masih sama seperti hasil produk PCR-RFLP yaitu pada kisaran 650 bp – 800 bp (Gambar 13). HindIII tidak memberikan hasil karena tidak mengenali situs pemotongan pada produk amplifikasi DNA yang dihasilkan. Berikutnya pemotongan untuk keempat isolat lainnya hanya digunakan enzim restriksi AluI, karena sudah terlihat adanya pemotongan.

M (a) (b) (c) (d) (a) (b) (c) (d)

Gambar 13. Hasil elektroforesis pemotongan enzim restriksi AluI dan HindIII

(a). Pleurotus sp. 17; (b). Pleurotus sp. 16; (c). Pleurotus sp. 19; (d). Pleurotus sp. 5

Enzim restriksi (atau endonuklease restriksi) memotong DNA pada daerah yang spesifik (Brown, 1991). AluI dengan daerah sekuen yaitu 5'AGCT dan 3'TCGA yang memotong pada G dan C. HindIII dengan daerah sekuen 5'AAGCTT dan 3'TTCGAA memotong pada A dan A. Enzim endonuklease

2642 bp 1000 bp 500 bp 2642 bp 1000 bp 500 bp

restriksi dimanfaatkan dalam analisis molekular struktur kromosom dan gen (pemetaan DNA). Analisis proses degenerasi sel yang dikaitkan dengan pengubahan sisi restriksi khusus dan analisa keterkaitan filogenetik dengan pembandingan sisi restriksi khusus pada gen-gen penting seperti haemoglobin (Suhartono, 1989).

Hasil elektroforesis dengan enzim restriksi AluI menunjukkan adanya perpotongan yaitu dari hasil produk PCR sebesar 700 bp menjadi 600 bp. Namun, hasil elektroforesis pita pemotongan tidak terlihat, kemungkinan karena pita terlalu tipis atau terlalu berada di bawah. Menurut Finkeldey (2005) panjang potongan restriksi dapat diamati bila sebagian besar dari DNA dipotong (dicerna) oleh enzim pemotong (enzim restriksi) menjadi fragment-fragment atau potongan-potongan kecil.

M (a) (b) (c) (d) (e) M (f) (g) (h) (i) (j)

Gambar 14. Hasil elektroforesis pemotongan dengan enzim restriksi AluI

(a). Pleurotus sp. 17; (b). Pleurotus sp. 16; (c). Pleurotus sp. 19; (d). Pleurotus sp. 5; (e).Kontrol negatif; (f). Pleurotus sp. 21;(g). Pleurotus sp. 23; (h). Pleurotus sp. 24; (i). Pleurotus sp. 25;(j). Kontrol negatif

Pada hasil restriksi ini juga terjadi kesalahan atau eror pada isolat Pleurotus

sp. 17 karena pemotongan pada daerah tersebut tidak memungkinkan (Gambar 14). Jika dijumlahkan potongan pita tersebut tidak sesuai dengan produk hasil PCR-RFLP. Konsentrasi yang tidak tepat dari MgCL2, NaCl atau KCL akan menyebabkan penurunan aktivitas enzim dan juga akan mengakibatkan perubahan spesifikasi enzim, sehingga pemotongan DNA terjadi pada urutan pengenal tambahan yang tidak baku (Brown, 1991).

Pada elektroforesis kedua untuk keempat sampel yang diekstraksi di Bogor terdapat satu sampel yang tidak muncul yaitu Pleurotus sp. 17 (Gambar 14). Apabila pada elektroforesis pertama terlihat adanya pita DNA namun kali ini tidak muncul. Aktifitas enzim-enzim endunuklease restriksi bergantung kepada adanya sisi pengenalan secara khusus dan kation divalen esensial. Parameter lain yang mempengaruhi aktivitas enzim pada umumnya adlah suhu, kekuatan ion dan pH (Suhartono, 1989). Ketiga sampel Pleurotus sp. lainnya, pita perpotongan sudah terlihat dengan pola perpotongan yang umumnya sama, adanya perpotongan berukuran 100 base pair. Untuk memperjelas pola potongan pita DNA pada ketujuh isolat Pleurotus sp. yang berhasil muncul pada saat elektroforesis restriksi dengan enzim restriksi AluI (Gambar 15).

Gambar 15. Pola pemotongan pita DNA oleh enzim restriksi AluI pada tujuh sampel Pleurotus sp.

Keempat sampel Pleurotus sp. yang telah diekstrak di Jerman menunjukkan pemotongan pita DNA yang lebih bervariasi dan terlihat jelas. Pola perpotongan hampir sama pada kedua sampel yaitu Pleurotus sp. 21, dan Pleurotus sp. 23, yang terpotong pada ukuran 100 bp dan 600 bp. Pada Pleurotus sp. 24pita DNA terpotong menjadi tiga bagian. Dengan pita perpotongan fragmen DNA berukuran 100 bp, 150 bp dan sekitar 500 bp. Pleurotus sp. 25 mempunyai perpotongan pada ukuran 100 bp dan di sekitar 650 bp.

Molekul ITS mengandung beberapa wilayah sekuen yang tersimpan, untuk memperoleh jajaran sekuen secara tepat. Dengan variabilitas sekuen yang cukup pada wilayah lain dari molekul DNA, maka dapat digunakan sebagai penanda

2642 bp

1000 bp

500 bp

jenis spesifik yaitu Restriction Fragment Lenght Polymorphisms (RFLP) (Merhendi et al, 2006). 100 600 100 580 90 100 600 100 600 100 600 100 150 500 100 650

Gambar 16. Pemotongan pita DNA dengan enzim restriksi AluI pada

Pleurotus sp.

Pleurotus sp. 16 mempunyai potongan pita DNA yang berukuran 100 bp dan 600 bp. Pleurotus sp. 19 pita DNA terpotong pada ukuran 100 bp dan 580 bp.

Pleurotus sp. 5 mempunyai potongan pita DNA berukuran 90 bp, 100 bp dan 600 bp (Gambar 16). Perpotongan pita dengan 90 bp dan 100 bp pada Pleurotus sp. 5 terlihat menyatu, tetapi apabila dilihat secara tepat, sebenarnya ada dua pita perpotongan. Jumlah total perpotongan pada setiap pita DNA, mempunyai nilai

base pair yang sama dengan hasil PCR-RFLP untuk tiap jenisnya.

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menskoring pola perpotongan pita DNA. Apabila ada pita perpotongan maka diberi nilai 1 dan jika tidak ada diberi nilai 0 (Tabel 7). Variasi perpotongan pita terjadi oleh ada tidaknya situs pengenal (recognition sites) untuk enzim restriksi spesifik (Finkeldey, 2005).

Pleurotus sp. 19 Pleurotus sp. 24 Pleurotus sp. 25 Pleurotus sp. 5 700 bp 790 bp 680 bp Pleurotus sp. 16 750 bp 750 bp 700 bp Pleurotus sp. 21 700 bp Pleurotus sp. 23

Tabel 7. Hasil skoring pemotongan dengan enzim restriksi AluI

Lokus Individu Pleurotus

sp. 16 sp. 19 sp. 5 sp. 21 sp. 23 sp. 24 sp. 25 L-1 0 0 1 0 0 0 0 L-2 1 1 1 1 1 1 1 L-3 0 0 0 0 0 1 0 L-4 0 0 0 0 0 1 0 L-5 0 1 0 0 0 0 0 L-6 1 0 1 1 1 0 0 L-7 0 0 0 0 0 0 1

Dari hasil skoring maka terdapat tujuh lokus yang menunjukkan pola perpotongan pita DNA. Hasil ini kemudian dimasukan kedalam progam Software

POPGEN Ver.3.2 untuk diolah lebih lanjut guna mengetahui jarak genetik dan dendogram jarak genetik. Dalam Tabel 8, menunjukkan angka-angka jarak genetik pada Pleurotus sp..

Tabel 8. Jarak genetik antar jenis Pleurotus sp.

Jenis Pleurotus sp. 16 sp. 19 sp. 5 sp. 21 sp. 23 sp. 24 sp. 25 sp. 16 **** sp. 19 0,3365 **** sp. 5 0,1542 0,5596 **** sp. 21 0,0000 0,3365 0,1542 **** sp. 23 0,0000 0,3365 0,1542 0,0000 **** sp. 24 0,5596 0,5596 0,8473 0,5596 0,5596 **** sp. 25 0,3365 0,3365 0,5596 0,3365 0,3365 0,5596 ****

Jarak genetik digunakan untuk menunjukkan seberapa dekat kekerabatan antar genetik jamur tiram tersebut dilihat dari nilainya. Berdasarkan Tabel 8, jarak genetik antara Pleurotus sp. 25 dengan Pleurotus sp. 16, Pleurot sp. 19, Pleurotus

sp. 21 dan Pleurotus sp. 23 adalah 0,3365.

Begitu pula dengan Pleurotus sp. 19 dengan Pleurotus sp. 16, Pleurotus sp. 21 dan Pleurotus sp. 23. Jarak genetik terdekat adalah pada Pleurotus sp16 dengan Pleurotus sp. 21 dan Pleurotus sp. 23, serta Pleurotus sp. 21 dengan

Pleurotus sp. 23 yaitu sebesar 0,000. Jarak genetik terjauh pada Pleurotus sp. adalah pada Pleurotus sp. 5 dengan Pleurotus sp. 24 sebesar 0,8473.

Menurut Singh dan Singh (1995) bahwa hubungan isolat individu atau keseluruhan populasi dapat dinyatakan dalam angka-angka, analisis ini juga dapat ditampilkan dalam dendogram. Dengan menggunakan metode Unweighted Pair-Gouping Method with Aritmatic Averaging (UPGMA), dihasilkan dendogram jarak genetik (Gambar 17).

Gambar 17. Dendogram jarak genetik pada tujuh isolat Pleurotus sp. hasil restriksi AluI

Dengan menggunakan dendogram jarak genetik, pengelompokkan atau klaster antara Pleurotus sp. lebih terlihat jelas. Pleurotus sp. 16, Pleurotus sp. 21 dan Pleurotus sp. 23 termasuk kedalam satu klaster pertama. Walaupun secara morfologi jamur tiram tersebut berbeda terutama pada warna tubuh buah.

Pleurotus sp. 21 dan Pleurotus sp. 23 berwarna tubuh abu, sedangkan Pleurotus

sp. 16 berwarna putih.

Setelah itu Pleurotus sp. 5 bergabung dengan klaster pertama. Secara morfologi warna tubuh buah Pleurotus sp. 5 adalah coklat. Jadi, jika dibandingkan secara morfologi warna tubuh buah jamur tiram berwarna abu, coklat dan putih berada dalam satu kelompok. Kelompok berikutnya adalah Pleurotus sp. 19 dan

Pleurotus sp. 25, membentuk klaster ketiga. Sama seperti klaster sebelumnya warna tubuh buah jamur tersebut berbeda yaitu putih dan coklat. Pleurotus sp. 24 tidak termasuk ke dalam kedua klaster tersebut. Pleurotus sp. 24 berdasarkan warna tubuh buahnya, berbeda dengan jenis Pleurotus sp. lainnya yaitu berwarna merah.

Observations D is t a n c e 3 2 1 2,91 1,94 0,97 0,00 Observations D is ta n c e 2 3 1 1,57 1,05 0,52 0,00

Hasil dari analisis keanekaragaman morfologi dan genetika ternyata berbeda dalam hal pengelompokkan. Jika secara morfologi jamur tersebut berada dalam satu kelompok, namun ternyata secara genetika tidak berada dalam kelompok yang sama. Teknik PCR-RFLP dengan menggunakan primer ITS1 dan ITS4 memetakan DNA pada daerah khusus ribosom. Ribosom merupakan struktur yang paling kecil yang tersuspensi di dalam sitoplasma, dan pada ribosom itulah tempat berlangsungnya sintesis protein (Kimball, 1998).

Kesesuaian pengelompokkan berdasarkan karakter morfologi dan genetik

Mengingat hanya kesediaan 3 sampel dengan informasi morfologi dan genetik yang lengkap, maka analisis hanya dilakukan pada 3 Pleurotus sp., yaitu:

Pleurotus sp. 16, Pleurotus sp. 19, dan Pleurotus sp. 5. Pengelompokkan dengan menggunakan software minitab ver. 14 yang hasil analisisnya telampir pada Lampiran 4. Gambar 18, menunjukkan hasil pengelompokkan dendogram pada ketiga Pleurotus sp..

Ket: 1. Pleurotus sp. 16 2. Pleurotus sp. 19

3. Pleurotus sp. 5

Gambar 18. Dendogram: morfologi (A), genetik (B)

Berdasarkan perbandingan antara dendogram morfologi dan genetik, ternyata tidak terjadi kesesuaian, karena hasil pengelompokkan Pleurotus sp. tidak sama. Pada dendogram morfologi Pleurotus sp. 16 dan Pleurotus sp. 19 berada dalam satu klaster, sedangkan Pleurotus sp. 5 berada pada klaster kedua. Pada dendogram genetik Pleurotus sp. 16 dan Pleurotus sp. 5 berada dalam satu klaster, sedangkan Pleurotus sp. 19.

Dokumen terkait