• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prospek Kelestarian

Kelestarian hasil menuntut tingkat produksi yang konstan untuk intensitas pengelolaan tertentu, dimana pertumbuhan dan pemanenan harus seimbang (Simon, 1994). Untuk mencapai kelestarian hasil kegiatan pengaturan hasil menjadi sangat penting. Metode pengaturan hasil yang digunakan oleh pihak Perum Perhutani khususnya di KPH Cepu hingga saat ini adalah metode Burn. Metode pengaturan hasil yang digunakan pihak Perum Perhutani khususnya di KPH Cepu merupakan metode pengaturan hasil yang statis. Artinya besarnya etat (volume dan luas) tetap untuk jangka waktu tertentu. Jangka waktu yang digunakan adalah sepuluh tahun. Hasil perhitungan etat volume dan etat luas serta hasil pengujian jangka waktu penebangan tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Etat dan Pengujian Jangka Waktu Penebangan di KPH Cepu

Variabel Nilai

Etat Luas (Ha/th) 227,16

Etat Massa Sebelum Uji (m3/th) 28,137,96

Etat Massa Setelah Uji (m3/th) 29,544,86

Banyaknya Pengujian 2

Selisih Daur dengan JWP Uji I (th) -3,87

Selisih Daur dengan JWP Uji II (th) 0,00

Nilai etat volume berdasarkan metode Burn ini didasarkan atas total volume tegakan persediaan dibagi dengan daur tanaman. Untuk penentuan total volume tegakan persediaan didasarkan pada umur tebang rata-rata. Pengujian jangka waktu penebangan didasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Kehutanan No, 143/KPTS/DJ/I/1974 tentang peraturan inventarisasi hutan jati dan peraturan penyusunan rencana pengaturan kelestarian hutan, khusus kelas perusahaan tebang habis jati. Nilai etat volume sebelum dilakukan pengujian adalah sebesar 28,137

m3/th, dan setelah dilakukan pengujian jangka waktu penebangan sebesar

29.544,86 m3/th. Pengujian jangka waktu penebangan dilakukan sebanyak dua

kali pengujian. Kelestarian hasil menurut Simon (1994) menuntut tingkat produksi yang konstan untuk intensitas pengelolaan hutan tertentu, dimana antara

2073 2375 1843 6975 6171 90245 536255 80386 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000

Jumlah Pohon (Batang)

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Tahun

Jumlah Pencurian Pohon

pertumbuhan dan pemanenan harus seimbang. Berdasarkan hasil pengujian jangka waktu penebangan diketahui untuk memperoleh volume tebangan yang kurang lebih sama setiap tahun waktu yang dibutuhkan lebih dari satu daur (80 tahun).. Sehingga dengan memperhatikan hal tersebut metode pengaturan hasil dengan menggunakan metode Burn memiliki prospek kelestarian yang rendah,

Selain itu juga karena metode pengaturan hasil dengan metode Burn merupakan metode pengaturan hasil yang statis, maka etat volume yang dihasilkan

setelah pengujian yaitu sebesar 29.544,86 m3/th berlaku untuk jangka sepuluh

tahun ke depan. Nilai etat volume yang relatif tetap untuk jangka sepuluh tahun kedepan menandakan bahwa dengan model pengaturan hasil yang statis, tegakan hutan dianggap tidak mengalami perubahan. Kenyataan di lapangan, hampir setiap tahun tegakan hutan mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi cenderung ke arah penuruan potensi tegakan hutan. Khusus di KPH Cepu, potensi tegakan hutan tanaman jati mengalami penurunan sebagai akibat gangguan hutan berupa pencurian kayu. Pada Gambar 2 tertera jumlah pohon yang dicuri sampai dengan tahun 2000 di KPH Cepu.

Gambar 2. Pencurian kayu di KPH Cepu

Metode pengaturan hasil dengan mengunakan metode Burn tidak bisa merespon terhadap pencurian kayu yang terjadi. Dengan adanya penurunan potensi tegakan sebagai akibat terjadinya gangguan hutan berupa pencurian kayu mengakibatkan etat volume yang dihasilkan dengan menggunakan metode Burn

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 500000 Volume (m3)

I II III IV V VI VII VIII IX MT MR

Kelas Umur

Tegakan Persediaan Awal Jangka Tegakan Persediaan Risalah Sela

dasar tersebut metode pengaturan hasil statis dengan menggunakan metode Burn yang digunakan di KPH Cepu memiliki prospek kelestarian yang rendah.

Hutan Terganggu

Kondisi tegakan hutan tanaman jati yang ada di KPH Cepu merupakan kondisi tegakan hutan yang terganggu. Hal ini dapat terlihat dari penurunan potensi tegakan antara awal jangka RPKH (tahun 1993) dengan hasil risalah sela tahun 1998. Pada Gambar 3 tertera perubahan potensi tegakan pada awal jangka dan risalah sela.

Gambar 3. Perubahan Potensi Tegakan Persediaan Awal Jangka dan Risalah Sela di KPH Cepu

Berikut disajikan tabel rekapitulasi luas dan volume tegakan persediaan pada awal jangka dan risalah sela pada KPH Cepu.

Tabel 8. Rekapitulasi Luas dan Volume Tegakan Persediaan Pada Awal Jangka dan Risalah Sela di KPH Cepu

Tegakan Persediaan Hasil Risalah awal

Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Kelas Hutan

Luas (Ha) Volume (m3) Luas (Ha) Volume (m3)

1 2 3 4 5 MT 93,7 16.491,2 69,1 12.161,6 MR 1.211,1 75.088,2 948,8 58.825,6 IX 214,3 45.030,4 230,8 48.497,5 VIII 1.689,3 302.044 765,72 136.910 VII 1.747,9 273.936 1.291,8 202.455 VI 1.880,4 241.232 735,4 94.342,9 V 1.931 236.092 2.392,23 292.484

Tabel 8, Lanjutan 1 2 3 4 5 IV 4.354,6 495.133 1.911,2 217.310 III 3.134,8 232.420 1.834,9 136.043 II 3.329,3 197.844 2.349,9 139.643 I 3.584,3 52.736,5 5.687,4 83.679,9 Jumlah 23.170,35 2.168.048,27 18.217,25 1.422.351,71

Luas total tegakan persediaan hasil risalah awal di KPH Cepu sebesar 23.170,35 Ha, lebih besar dari luas total tegakan persediaan hasil risalah sela sebesar 18.217,25 Ha, atau terjadi penurunan seluas 4.953,1 Ha (21,38%), Sedangkan volume total tegakan persediaan hasil risalah awal di KPH Cepu

sebesar 2.168.048,27 m3 lebih besar daripada volume total tegakan persediaan

hasil risalah sela sebesar 1.422.351,71 m3, atau terjadi penurunan sebesar

745.696,6 m3 (34,39%),

Penurunan potensi tegakan persediaan di KPH Cepu tidak terlepas dari terjadinya gangguan hutan berupa pencurian kayu. Seperti tertera pada Gambar 2, selama kurun waktu 1993 sampai dengan tahun 2000 jumlah pohon yang hilang adalah sebesar 791.169 batang. Jumlah pohon yang hilang di KPH Cepu berdasarkan data tersebut relatif cukup besar. Gangguan hutan yang terjadi di KPH Cepu khususnya pada tahun 1998 sampai dengan tahun1999 tidak terlepas dari gejolak politik yang terjadi di Indonesia.

Selain itu juga gangguan hutan berupa pencurian kayu di KPH Cepu tidak bisa terlepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan. Berdasarkan hasil penelitian Sakti (1998), faktor sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap pencurian kayu yang terjadi di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung. Faktor sosial ekonomi masyarakat tersebut secara keselur uhan dapat menerangkan tingkat pencurian kayu sebesar 70,2 % dan 29,8 % diterangkan oleh faktor lain.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sekitar Hutan

Seperti telah disebutkan di atas, gangguan hutan berupa pencurian kayu tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan. Masyarakat desa sekitar hutan adalah sejumlah besar komunitas yang juga

menginginkan hidup sejahtera (Darusman,2002). Menurut Mubyarto (1990) dalam Sianipar & Awang (2001) pembangunan kehutanan di Indonesia telah berla ngsung selama tiga dasawarsa dengan orientasi utama pada pemanfaatan kayu. Kenyataan ini hanya memberikan keuntungan bagi sedikit orang, sedangkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan masih tetap dalam kemiskinan. Kondisi ekonomi berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner pada desa contoh tertera pada Tabel 9.

Tabel 9. Kondisi Sosial Ekonomi Hasil Wawancara dan Kuesioner pada Desa Contoh di KPH Cepu

Variabel Sosial Ekonomi

Desa Temengan Desa Kemiri

Pendapatan rata-rata rumah tangga (Rp/kapita/th)

1.263.764 1.439.938

Pengeluaran rata-rata rumah tangga

(Rp/kapita/th) 1.146.184 1.349.000

Rata-rata jumlah anggota keluarga

(orang) 3 4

Mayoritas tingkat pendidikan SD SD

Mayoritas mata pencaharian Petani Petani

Jumlah responden miskin (orang) 28 21

Jumlah responden tidak miskin (orang ) 12 19

Persen jumlah responden miskin desa contoh (%) = 61,25 % Persen jumlah responden miskin desa contoh (%) = 38,75 %

Berdasarkan data pada Tabel 9, diketahui mayoritas mata pencaharian responden di kedua desa contoh adalah sebagai petani. Begitu pula halnya dengan mayoritas tingkat pendidikan responden di kedua desa contoh adalah sekolah dasar. Jumlah angota keluarga responden untuk Desa Temengan rata-rata sebanyak tiga orang dan Desa Kemiri rata-rata sebanyak empat orang. Selain itu juga pada Tabel 9 tertera informasi mengenai jumlah responden dalam kategori miskin dan tidak miskin pada masing- masing desa contoh.

Untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang tergolong miskin seperti

menurut Rusli et al (1995) dilakukan dengan penetapan suatu garis kemiskinan.

Kriteria yang digunakan untuk penetapan garis kemiskinan menggunakan kriteria Sajogyo. Kriteria Sajogyo didasarkan pada tingkat pengeluaran setara dengan

harga beras setempat. Berdasarkan kriteria Sajogyo suatu penduduk di pedesaan dikatakan berada di atas garis kemiskinan apabila tingkat pengeluaran per kapitanya lebih besar dari harga 320 kg beras/kapita/tahun. Jika harga satu kilogram beras pada saat penelitian adalah Rp 2400/kg maka untuk dapat dikatakan berada di atas garis kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan harus mempunyai pengeluaran per kapita per tahun lebih dari Rp. 768.000,-.

Berdasarkan data pada Tabel 9, diketahui jumlah responden yang tergolong dalam penduduk miskin dari total 40 responden pada Desa Temengan dan Desa Kemiri masing- masing sebanyak 28 orang dan 21 orang. Sehingga total responden dalam kategori miskin pada desa contoh di KPH Cepu adalah sebanyak 49 orang responden atau sebanyak 61,25 %. Sedangkan jumlah responden dalam kategori tidak miskin di KPH Cepu sebanyak 31 orang atau sebanyak 38,75 %. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan kondisi kesejahteraan responden yaitu masyarakat desa sekitar hutan sebagian besar masih tergolong rendah. Sehingga atas dasar tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan khususnya di Desa Temengan dan Desa Kemiri masih tergolong cukup memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan jumlah responden yang tergolong miskin pada masing- masing desa contoh yang cukup besar.

Berdasarkan data kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan, menjadi sangat jelas mengapa faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap jumlah pohon yang dicuri khususnya di KPH Cepu. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ya ng memprihatinkan mendorong masyarakat untuk memperbaiki kondisi sosial ekonominya. Salah satu cara yang paling mungkin adalah dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitarnya yaitu sumberdaya hutan. Hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat dengan sumberdaya hutan adalah dengan memanfaatkan kayu baik untuk keperluan pribadi atau dengan menjualnya.

Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner, rata-rata konsumsi kayu pertukangan untuk 40 responden pada Desa Temengan dan Desa Kemiri masing-

masing sebesar 0,44 m3/kapita/th dan 0,35 m3/kapita/th. Sedangkan rata-rata

masing- masing sebesar 29,84 sm/kapita/th dan 10,61 sm/kapita/th. Harga kayu jati yang telah ditetapkan oleh pihak Perum Perhutani berkisar Rp. 600.000,00

sampai Rp. 1.500.000,00 per m3 sedangkan harga jual kayu bakar adalah

Rp. 22.000,00/sm. Mengingat sebagian besar responden pada desa contoh termasuk dalam kriteria miskin berdasarkan penggolongan kemiskinan menurut Sajogyo, maka hampir dipastikan sebagian besar responden memenuhi kebutuhan akan kayu bakar dan kayu pertukangan dengan mengambilnya langsung dari hutan (mencuri). Pada Tabel 10 tertera rekapitulasi rata-rata konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar responden pada masing- masing desa contoh.

Tabel 10, Rekapitulasi Rata-rata Konsumsi Kayu Bakar dan Kayu Pertukangan Responden Desa Contoh di KPH Cepu

Desa Contoh Konsumsi Kayu Pertukangan

(m3/tahun/kapita)

Konsumsi Kayu Bakar (sm/ kapita /tahun)

Temengan 0,44 29,84

Kemiri 0,35 10,61

Atas dasar tersebut perlunya memasukan variabel gangguan hutan berupa pencurian kayu dalam penentuan jumlah volume pohon yang ditebang setiap tahun. Sedangkan variabel gangguan sendiri besarnya sangat dipengaruhi oleh variabel sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Untuk keperluan tersebut digunakan pendekatan sistem sebagai upaya penyusunan model pengaturan hasil yang memperhatikan seluruh aspek khususnya aspek gangguan hutan yang disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.

Selain itu untuk mengantisipasi akibat buruk dari variabel sosial ekonomi menurut Darus man (2002), masyarakat dan pemerintah daerah-nya harus merasa memiliki dan ikut berpartisipsi dalam pengelolaan hutan.

Lebih lanjut Darusman (2002) menyatakan, untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap hutan kiranya diperlukan beberapa upaya antara lain:

1. Pemulihan kelembagaan pemanfaatan hutan oleh masyarakat setempat,

disertai penyesuaian sampai batas-batas tertentu dengan kondisi-kondisi yang baru.

2. Pengembangan manfaat- manfaat lokal selain kayu, baik yang secara

3. peningkatan orientasi pemenuhan kebutuhan kayu dan hasil hutan lainnya untuk pasar lokal.

4. Peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat setempat, khususnya

yang menyangkut pengelolaan dan pemanfaatan hutan dalam menunjang pembangunan wilayah dan nasional.

Selain itu juga perlu dilakukan upaya peningkatan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan pengelolaan hutan. Menurut Kartasubrata (1986) gagasan mengenai peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan maupun desa sebaiknya diuji coba dan dikembangkan dalam “pilot proyek”.

Pendekatan Sistem

Penyusunan Model

Model yang dibuat dalam model pengaturan hasil ini terdiri dari tujuh sub model yaitu sub model potensi tegakan, sub model luas areal berhutan, sub model pengaturan hasil, sub model dinamika penduduk, sub model keuangan perusahaan, sub model gangguan hutan, dan sub model jumlah pengangguran. Antara sub model tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Sub model potensi tegakan dipengaruhi oleh sub model pengaturan hasil dan sub gangguan hutan. Besarnya jumlah pohon yang ditebang setiap tahun ditentukan berdasarkan sub model pengaturan hasil. Jumlah pohon yang akan ditebang setiap tahun sangat bergantung dari besarnya etat volume. Besarnya etat volume sangat dipengaruhi oleh sub model potensi tegakan, sub model pengaturan hasil dan sub model potensi tegakan akan berpengaruh terhadap sub model keuangan perusahaan. Pengaruh tersebut berupa penjualan kayu hasil tebangan yang ditentukan berdasarkan etat volume yang diperoleh pada sub model pengaturan hasil. Sedangkan untuk sub model potensi tegakan berpengaruh dalam penyediaan jumlah pohon yang akan ditebang setiap tahunnya. Sub model luas areal berhutan akan berpengaruh terhadap sub model pengaturan hasil dan sub model keuangan perusahaan. Luas areal berhutan akan mempengaruhi terhadap besarnya etat luas yang dihasilkan pada sub model

pengaturan hasil. Besarnya biaya pemeliharaan pada sub model keuangan perusahaan didasarkan pada etat luas pada sub model pengaturan hasil.

Sub model dinamika penduduk akan mempengaruhi sub model jumlah pengangguran dan sub model jumlah pengangguran akan mempengaruhi sub model gangguan hutan. Gangguan yang dimaksudkan di dalam sistem ini berupa pencurian kayu. Sub model gangguan ini akan mempengaruhi sub model potensi tegakan dan sub model luas areal berhutan. Semakin tinggi persentase gangguan maka akan berpengaruh terhadap potensi tegakan yang dihasilkan dan luas areal berhutan. Dengan terjadinya penurunan potensi tegakan dan luas areal berhutan akan berakibat pada keuangan perusahaan yang semakin menurun. Hubungan antara sub-sub model tersebut tertera pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan Antar Sub Model

Sub Model Potensi Tegakan. Sub model potensi tegakan digunakan untuk menggambarkan perubahan potensi tegakan tiap kelas umur di KPH Cepu.

Sub model ini terdiri dari state variable jumlah pohon tiap kelas umur yang

mengalami penambahan karena adanya jumlah pohon yang ditanam dan

jumlah pohon upgrwoth dan pengurangan jumlah pohon oleh penjarangan,

tebangan, mortality serta pencurian.

Aliran materi dalam sub model potensi tegakan dimulai dengan adanya penanaman. Jumlah penanaman didasari jumlah pohon per hektar dan besarnya etat luas. Dengan adanya penanaman akan menyebabkan bertambahnya jumlah pohon tegakan KU I. Jumlah pohon pada KU I akan

mengala mi pengurangan dengan adanya penjarangan, mortality dan pencurian. Dengan berjalannya waktu akan terjadi perpindahan jumlah pohon dari KU I

ke KU II yang dinyatakan dalam jumlah pohon upgrowth. Pada KU II dan

KU III yang menjadi aliran masuk berupa jumlah pohon upgrowth dari KU

sebelumnya sedangkan yang menjadi aliran ke luar berupa penjarangan,

mortality dan pencurian. Sedangkan pada KU IV, KU V, KU VI dan KU VII

aliran masuk dipengaruhi oleh jumlah pohon upgrowth dari KU sebelumnya ,

sedangkan aliran ke luar berupa penjarangan, mortality, pencurian dan tebangan sesuai dengan daur yang digunakan. Kelas umur VIII dan KU IX, aliran masuk berupa jumlah pohon upgrowth dari KU sebelumnya, sedangkan

aliran ke luar berupa penebangan, mortality dan pencurian. Mortality yang

terjadi pada setiap kelas umur menggambarkan jumlah pohon yang mati

secara alami. Besarnya mortality seperti halnya jumlah pohon digambarkan

dengan persentase mortality yang dikalikan dengan jumlah pohon dari suatu kelas umur.

Sub model potensi tegakan dapat memberikan gambaran mengenai tebangan yang dilaksanakan tiap tahun berdasarkan metode pengaturan hasil yang digunakan dan perlakuan silvikultur terhadap tegakan berupa penjarangan untuk tiap kelas umurnya. Penjarangan dilakukan berdasarkan daur teknis yang digunakan. Pada daur teknis 80 tahun penjarangan dilakukan terhadap tegakan KU I sampai KU VII. Sub model jumlah pohon ini tertera pada Lampiran 8.

Sub Model Pengaturan Hasil. Sub model ini berguna untuk menggambarkan besarnya etat tebang tahunan dan etat luas yang dapat dilaksanakan di KPH Cepu berdasarkan potensi tegakan yang dimiliki. Dalam sub model pengaturan hasil penentuan etat volume didasarkan pada volume

tegakan persediaan. Besarnya volume tegakan persediaan (standing stock)

didasarkan jumlah pohon pada masing- masing kelas umur yang dikalikan dengan volume per pohon pada masing- masing kelas umur tersebut. Sedangkan untuk etat luas diperoleh dari penjumlahan luas setiap kelas umur dibagi dengan daurnya.

Kegiatan penebangan pada kelas perusahaan jati di KPH Cepu dilakukan sampai dengan kals umur (KU) IV. Jumlah pohon yang ditebang setiap tahunnya ditentukan oleh besarnya volume per pohon dari kelas umur pohon yang akan ditebang dan etat volume. Daur yang digunakan berdasarkan daur teknis, Daur ini merupakan daur yang ditetapkan berdasarkan penggunaan kayu yang dihasilkan oleh suatu tegakan. Daur ini merupakan umur pada waktu suatu jenis yang diusahakan sudah dapat menghasilkan kayu yang dapat dipakai untuk tujuan tertentu (Simon, 1994). Sub model pengaturan hasil tertera pada Gambar 5.

Gambar 5. Sub Model Pengaturan Hasil

Sub Model Keuangan Perusahaan. Keuangan perusahaan tergantung dari kegiatan yang dilaksanakan tiap tahunnya. Keuangan perusahaan ini digambarkan dengan pendapatan bersih KPH. Besarnya pendapatan bersih KPH merupakan penerimaan perusahaan dikurangi dengan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tiap tahunnya. Dalam sub model ini pendapatan total dibatasi hanya berasal dari kegiatan tebang habis dan tebang penjarangan. Tebangan akan menghasilkan kayu yang bervariasi kualitasnya yaitu kualitas AI diameter 4-19 cm, AII diameter 20-29 cm, dan AIII diameter > 30 cm. Dari hasil pengalaman dan penelitian yang dilakukan oleh pihak Perum Perhutani khususnya KPH Cepu tebang habis (A2) rata-rata akan dapat menghasilkan kayu AI sebanyak 2%, kayu AII 6%, dan kayu AIII 92 % serta dapat manghasilkan kayu bakar sebanyak 6,60% dari volume total penebangan. Sedangkan pada tebangan penjarangan rata-rata akan diperoleh kayu AI sebesar 66%, AII sebesar 16% dan AIII sebesar 18% serta kayu bakar 25% dari total penjarangan.

Gambar 6. Sub Model Keuangan Perusahaan

Pengeluaran perusahaan merupakan segala pengeluaran yang digunakan untuk membiayai kegiatan perusahaan. Biaya usaha merupakan biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan usaha pengelolaan hutan Jati. Biaya ini meliputi biaya umum, pembinaan hutan, pemasaran, ekploitasi, sarana dan prasarana, bia ya penyusutan , biaya pendidikan dan latihan, dan biaya tata hutan dan perencanaan. Biaya pembinaan hutan meliputi biaya persemaian, biaya tanaman, biaya penyuluhan, biaya pemeliharaan, dan biaya perlindungan. Masing- masing besarnya biaya akan dipengaruhi oleh kegiatan yang dilakukan oleh KPH pada tahun berjalan. Selain biaya, pengeluaran perusahaan lainnya adalah IHH atau iuran hasil hutan. IHH diasumsikan sebesar 3 % dari penerimaan KPH. Pada sub model ini dapat memberikan gambaran mengenai perubahan pendapatan perusahaan tiap tahun yang sangat dipengaruhi oleh besarnya penerimaan dan biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan perusahaan. Perubahan pendapatan perusahaan dapat memberikan gambaran tingkat kemajuan suatu perusahaan. Sub model keuangan perusahaan tertera pada Gambar 6 di atas.

Sub Model Dinamika Penduduk. Sub model dinamika penduduk berguna memberikan gambaran perubahan jumlah penduduk atau laju kepadatan penduduk. Jumlah penduduk dalam sub model ini adalah total jumlah penduduk desa sekitar hutan KPH Cepu. Jumlah penduduk akan dipengaruhi oleh besarnya kelahiran, kematian, persentase jumlah penduduk yang ke luar, dan persentase jumlah penduduk yang masuk. Jumlah penduduk desa sekitar hutan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya tahun. Desa sekitar hutan adalah desa- desa yang berbatasan langsung dengan areal hutan KPH Cepu atau desa-desa yang berbatasan dengan desa-desa yang berbatasan langsung dengan areal hutan.

Jumlah desa sekitar hutan KPH Cepu berdasarkan buku RPKH Cepu jangka 1993-2002 terdiri dari 42 desa sekitar hutan dengan total jumlah penduduk desa sekitar hutan 104.338 jiwa. Wilayah kerja KPH Cepu hampir sebagian besar berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Blora. Sehingga untuk besarnya persen kelahiran, persen kematian, persen jumlah penduduk yang keluar dan jumlah panduduk yang masuk diasumsikan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora pada tahun 2003. Besarnya persen kelahiran rata-rata sebesar 0,707 % sedangkan persentase kematian rata-rata 0,358 %.

Dinamika penduduk selain dipengaruhi oleh adanya kelahiran dan kematian juga dipengaruhi oleh perpindahan penduduk. Penduduk tiap tahun ada yang ke luar dari desa itu untuk mencari kerja ke daerah lain atau ke kota, selain itu terdapat penduduk yang masuk atau datang. Besarnya penduduk yang ke luar dari desa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora pada tahun 2003 rata-rata sebesar 0,356% sedangkan yang masuk rata-rata sebesar 0,419%. Sub model dinamika penduduk tertera pada Gambar 7.

Gambar 7. Sub Model Dinamika Penduduk

Sub Model Luas Areal Berhutan. Sub model luas areal berhutan digunakan untuk menggambarkan perubahan luas tegakan jati tiap kelas umur.

Dokumen terkait