• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Sebelum penanaman dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisis. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah memiliki tekstur 20% pasir : 24% debu: 56% liat. Menurut Hardjowigeno (2007) jenis tanah tersebut termasuk ke dalam tanah berliat (halus). Tekstur tanah yang demikian sesuai untuk dijadikan lahan sawah (Djaenudin et al. 2003). Tanah memiliki pH (H2O) 4.7 (masam) dan kandungan bahan organik (C/N ratio) sedang (11%). Kandungan N-total rendah (0.15%), P2O5 sangat tinggi (Bray 1; 37.6 ppm), K2O 17 mg/100 g (HCl) berstatus rendah; kapasitas tukar kation (KTK) termasuk rendah (15.54 me/100g) dengan kejenuhan basa (KB) yang tinggi (64%). Hasil analisis tanah lahan penelitian disajikan pada Lampiran 4.

Penelitian ini dilakukan pada petakan di dalam rumah plastik berukuran 30 m x 12 m x 4.5 m. Kondisi iklim mikro di dalam rumah plastik yaitu suhu udara rata-rata pada pagi, siang, dan sore adalah 300C, 390C, dan 310C. Peningkatan suhu diikuti oleh menurunnya kelembaban relatif. Selama penelitian rata-rata kelembaban relatif pada pagi, siang, dan sore hari adalah 57%, 46%, dan 58%. Rekapitulasi suhu dan kelembaban di dalam rumah plastik selama penelitian disajikan pada Lampiran 5. Menurut Yoshida (1981), suhu antara 30 - 310C bukan merupakan suhu optimum tetapi juga bukan merupakan suhu maksimum untuk pertumbuhan padi. Suhu yang tinggi pada siang hari dikarenakan pada saat penelitian masuk musim kemarau. Suhu tinggi mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman, proses pembungaan, penyerbukan dan produksi menurun.

Sumber air untuk perlakuan pengairan berasal dari reservoar yang dibangun di samping rumah plastik. Air masuk dialirkan melalui pipa saluran berdiameter 2 inchi. Tiap-tiap pipa di masing - masing petakan terpasang flowmeter berdiameter ½ inchi untuk mengukur konsumsi air. Ketersediaan air mengalami defisit pada fase vegetatif maksimum (7 - 8 MST) karena curah hujan selama hampir satu musim tanam sangat sedikit. Data curah hujan dari Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor menunjukkan bahwa pada bulan Agustus - September curah hujan di lokasi penelitian kurang dari 200 mm. Bahkan pada bulan September (saat masuk fase pengisian gabah) curah hujan hanya 105.9 mm

(Lampiran 6). Rendahnya curah hujan ini menyebabkan pasokan air di bak penampungan semakin sedikit.

Terdapat serangan hama pada penelitian ini. Pada awal tanam, terjadi serangan hama keong di beberapa petakan. Keong ini merusak tanaman pada awal pertumbuhan sehingga dilakukan penyulaman. Pada saat menjelang panen terjadi serangan hama walang sangit. Hama walang sangit menyerang sebagian besar perlakuan sistem gogo. Kerusakan yang ditimbulkan dari serangan hama ini adalah bulir gabah menjadi cokelat dan banyak gabah yang hampa. Tidak ada serangan penyakit selama satu musim tanam. Keragaan perlakuan sistem pengairan ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Keragaan masing - masing perlakuan sistem pengairan : a. Konvensional; b. Jenuh air; c. Intermittent; d. Gogo

a

d c

b

Konsumsi Air

Perhitungan konsumsi air untuk satu musim tanam padi dilakukan sejak awal penugalan (tanam benih langsung) untuk sistem gogo dan sejak transplanting untuk sistem konvensional, intermittent, dan jenuh air. Pencatatan volume air dilakukan satu minggu sekali sampai menjelang panen. Berdasarkan Gambar 2 (a), banyaknya air yang dibutuhkan untuk masing - masing sistem pengairan berbeda. Di akhir pengamatan atau menjelang panen, sistem pengairan yang paling banyak membutuhkan air adalah sistem konvensional. Kebutuhan air tersebut berbeda nyata dengan kebutuhan air pada sistem lainnya.

Pemberian air yang konstan pada sistem gogo, memberikan jumlah kebutuhan air paling sedikit bila dibandingkan sistem lainnya. Kebutuhan air untuk sistem intermittent jauh lebih hemat dari sistem konvensional dan jenuh air. Sistem Intermittent hanya mengkonsumsi sekitar 37.9% dan sistem jenuh air sekitar 74.3% dari total konsumsi pengairan konvensional. Selama satu musim tanam, pengairan konvensional mengkonsumsi air sebanyak 426 768 liter, pengairan jenuh air sebanyak 317 106 liter, pengairan intermittent 161 882 liter, dan metode gogo mengkonsumsi air sebanyak 3 883 liter. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pengairan tanaman padi dengan sistem sawah pada kondisi air terbatas dapat digunakan sistem pengairan intermittent.

Gambar 2. Konsumsi air kumulatif sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b) selama satu musim tanam

Konsumsi air untuk dua varietas padi (IR-64 dan Jatiluhur) secara statistik tidak berbeda secara nyata (disajikan pada Gambar 2 (b)). Namun di akhir pengamatan, varietas Jatiluhur yang merupakan varietas padi untuk lahan kering (upland rice) mengkonsumsi air sebanyak 232 906 liter, varietas IR-64 (lowland

rice) mengkonsumsi 221 913 liter air. Meskipun secara statistik tidak berbeda, namun terdapat selisih konsumsi air antara dua varietas. Varietas Jatiluhur mengkonsumsi air hampir 11 000 liter lebih banyak dibandingkan IR-64. Fakta tersebut menunjukkan bahwa, varietas padi lahan kering, meskipun memiliki kemampuan berproduksi baik pada kondisi air terbatas, ternyata jika ditanam pada lahan basah/sawah akan mengkonsumsi air lebih banyak dibandingkan varietas padi lahan basah. Hal ini sesuai dengan penelitian Supijatno et al. (2012), bahwa Jatiluhur mengkonsumsi air lebih banyak daripada varietas lain ketika dibudidayakan dengan cara penggenangan.

Besarnya konsumsi air dari setiap perlakuan diduga karena tingkat perkolasi dan perembesan yang sangat tinggi. Air yang masuk ke petakan cepat meresap ke dalam tanah sehingga air tidak bertahan lama dapat menggenangi petakan. Selain itu, lahan yang digunakan merupakan lahan sawah bukaan baru artinya lahan sawah yang dikonversi dari lahan kering dan belum ada lapisan tapak bajak (hard pan) yang terbentuk (Suriadikarta & Hartatik 2004). Lapisan tapak bajak ini berfungsi untuk menahan air pada tanah - tanah yang disawahkan sehingga air dapat terus menggenangi tanah selama produksi padi. Menurut Ritung dan Suharta (2007), lapisan tapak bajak terbentuk di bawah lapisan olah yang terjadi melalui reaksi kimia tanah dan diendapkan pada horizon di bawahnya. Pembentukan lapisan tapak bajak ini membutuhkan waktu yang lama tergantung dari sifat fisik dan kimia tanah.

Pengolahan tanah dilakukan sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk melumpurkan tanah. Pelumpuran tanah membentuk tanah menjadi butiran - butiran halus yang dapat menahan air lebih lama sehingga mampu menjaga kondisi tanah tetap jenuh air. Akan tetapi pengolahan tanah dan pelumpuran memerlukan air yang cukup banyak. Dari hasil penelitian ini, untuk tiga kali pengolahan tanah sampai menjadi lumpur rata - rata mengkonsumsi air sebesar 9 983 liter air (9.9 m3) per luasan petak atau sekitar 11 000 m3/ha. Menurut Setiobudi dan Fagi (2009), untuk mengolah tanah sampai melumpur, petani yang hemat air membutuhkan 1 450 m3/ha dan petani yang boros air membutuhkan air sampai 2 730 m3/ha. Penerapan sistem gogo yang tidak memerlukan pelumpuran maupun penggenangan mampu menghemat air lebih besar.

Berdasarkan hasil penelitian ini, sistem pengairan intermittent dapat dijadikan alternatif dalam budidaya padi di lahan basah karena air yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan pengairan konvensional. Penghematan ini memberikan peluang untuk memperbaiki distribusi air irigasi ke sawah - sawah petani yang menggunakan air irigasi. Dengan penghematan air tersebut, sawah para petani pengguna air irigasi dapat terairi secara merata. Selain itu, pengurangan penggunaan air pada budidaya padi sawah akan memberikan peluang penggunaan air bagi sektor lain.

Tinggi Tanaman

Faktor tunggal perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing menunjukkan pengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman, namun interaksinya tidak berpengaruh nyata (Lampiran 7). Gambar 3 (a & b) menunjukkan pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap pertambahan tinggi tanaman padi. Pada Gambar 3a, sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Tinggi tanaman di akhir pengamatan pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent masing–masing adalah 127.0 cm, 114.5 cm, dan 119.8 cm. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Darmadi (2011) yang menunjukkan bahwa sistem pengairan konvensional dan intermittent memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada tinggi padi varietas unggul baru (VUB). Perbedaan tinggi yang nyata ditunjukkan pada sistem gogo yaitu 106.8 cm, tinggi ini lebih pendek dari tiga sistem lainnya. Menurut Manurung (2002), secara umum kondisi anaerob mampu meningkatkan rata - rata tinggi tanaman untuk semua varietas padi yang diuji (Jatiluhur, Mentaya, Ciherang, IR-64, dan Lariang). Tinggi tanaman secara substansi berkurang oleh kekeringan daripada oleh pengairan yang teratur (Farooq et al. 2010).

Gambar 3b menunjukkan pertambahan tinggi tanaman pada varietas IR-64 dan Jatiluhur. Tinggi tanaman berbeda nyata antara kedua varietas tersebut. Jatiluhur memiliki rata-rata tinggi mencapai 136.2 cm sedangkan IR-64 memiliki rata-rata tinggi hanya 97.9 cm. Hasil yang sama juga pernah dilaporkan oleh Manurung (2002) yang menyebutkan bahwa varietas Jatiluhur memilki tinggi

tanaman lebih tinggi dibandingkan varietas IR-64 baik pada kondisi aerob maupun anaerob. Varietas IR-64 menunjukkan tinggi maksimum pada saat diairi secara teratur sedangkan tinggi minimum pada kondisi kekeringan (Farooq et al. 2010).

Gambar 3. Pertumbuhan tinggi tanaman pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)

Jumlah Anakan dan Jumlah Anakan Produktif

Pengamatan jumlah anakan mulai dilakukan pada saat tanaman berumur dua minggu setelah tanam sampai berumur 10 MST. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali. Sidik ragam peubah jumlah anakan menunjukkan perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing berbeda nyata, dan interaksinya hanya berbeda nyata pada 5 MST (Lampiran 7). Sedangkan pada peubah jumlah anakan produktif, perlakuan sistem pengairan, varietas dan interaksinya menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 8). Banyaknya jumlah anakan yang dihasilkan tanaman padi pada setiap sistem pengairan dan varietas padi ditunjukkan pada Gambar 4.

Perbedaan jumlah anakan pada setiap sistem pengairan ditunjukkan pada Gambar 4a. Sistem gogo menghasilkan jumlah anakan paling banyak dengan 12.6 anakan per rumpun pada saat tanaman berumur delapan minggu sementara tiga sistem lainnya tidak menunjukkan perbedaan jumlah anakan yang nyata sampai umur 10 minggu. Banyaknya jumlah anakan pada sistem gogo terkait dengan jumlah benih yang ditanam pada awal penanaman.

a b

Gambar 4. Pertambahan jumlah anakan tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)

Meskipun terjadi penurunan jumlah anakan pada 9 dan 10 MST pada sistem gogo, tetapi jumlah anakan pada akhir pengamatan (10 MST) tetap paling banyak diantara sistem yang lain. Jumlah anakan pada 10 MST untuk sistem konvensional, jenuh air dan intermittent masing - masing adalah 7.4, 7.9, dan 8.3 anakan per rumpun. Namun demikian terlihat bahwa masih terjadi pertambahan jumlah anakan untuk sistem lahan basah setelah 10 MST. Darmadi (2011) melaporkan bahwa pengairan konvensional dan pengairan intermittent menghasilkan jumlah anakan total yang tidak berbeda secara statistik. Secara umum, tanaman padi yang ditanam pada lahan basah menghasilkan pertumbuhan jumlah anakan yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditanam pada lahan kering.

Gambar 4b menunjukkan jumlah anakan yang dihasilkan oleh dua varietas padi. Varietas padi sawah (IR-64) memberikan jumlah anakan lebih banyak dibandingkan varietas Jatiluhur (padi gogo). Rata-rata jumlah anakan yang dihasilkan pada akhir pengamatan (10 MST) yaitu 10.3 anakan per rumpun untuk IR-64 dan 7.1 anakan per rumpun untuk Jatiluhur.

Interaksi pada peubah jumlah anakan per rumpun terjadi pada 5 MST (Tabel 1). Jumlah anakan terbanyak dihasilkan oleh varietas IR-64 pada sistem gogo dengan 13.3 anakan per rumpun dan terendah dihasilkan oleh varietas Jatiluhur pada sistem konvensional dengan 4.7. Informasi yang diperoleh dari hasil ini adalah baik IR-64 maupun Jatiluhur, pertumbuhan anakan terbanyak diperoleh dengan menggunakan sistem gogo. Hal ini selaras dengan hasil

a

penelitian Santosa (2002) yang menyebutkan bahwa genotipe Jatiluhur pada perlakuan digenangi menghasilkan anakan yang lebih rendah 10% - 23% dibandingkan dengan perlakuan kering.

Tabel 1. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah anakan dan jumlah anakan produktif

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada masing - masing peubah pengamatan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Interaksi pada peubah jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif terbanyak diperoleh dari varietas IR-64 pada sistem gogo dengan rata-rata 9.9 anakan/rumpun (Tabel 1). Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali pada varietas Jatiluhur dengan sistem pengairan konvensional yaitu 5.1 anakan/rumpun. Hasil ini memberikan informasi bahwa varietas padi lahan basah maupun lahan kering mempunyai daya kemampuan yang sama untuk menghasilkan anakan produktif apabila ditanam pada kondisi kering maupun tergenang. Sedangkan hasil penelitian Manurung (2002) juga menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif varietas IR-64 dan Jatiluhur tidak berbeda nyata baik ditanam pada kondisi aerob maupun anaerob.

Jumlah Daun

Perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah daun, namun interaksinya tidak berbeda nyata (Lampiran 7). Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada empat sistem pengairan dan dua varietas ditunjukkan pada Gambar 5. Jumlah daun maksimum pada semua perlakuan terjadi pada minggu ke delapan setelah tanam. Sistem gogo memberikan jumlah daun terbanyak dengan 57.6 helai daun per rumpun. Varietas IR-64 memiliki jumlah daun lebih banyak (44.4 helai) dari varietas Jatiluhur (32.2 helai). Banyaknya jumlah daun ini berkaitan dengan banyaknya jumlah anakan Sistem Pengairan

Jumlah anakan per rumpun 5 MST

Jumlah anakan produktif per rumpun

IR-64 Jatiluhur IR-64 Jatiluhur

Konvensional 7.3 bc 4.7 d 8.4 ab 5.1 b

Jenuh Air 5.6 cd 6.5 cd 7.1 ab 6.8 ab

Intermittent 6.5 cd 4.9 cd 9.3 a 7.2 ab

0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 2 4 6 8 10 Ju m la h D a u n Umur Tanaman (MST) Konvensio nal Jenuh Air Intermitte nt Gogo 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 2 4 6 8 10 Ju m la h D a u n Umur Tanaman (MST) IR64 Jatiluhur yang dihasilkan setiap varietas. Pengurangan jumlah daun pada sistem gogo mengindikasikan bahwa tanaman beradaptasi di lingkungan yang terbatas pengairannya dengan mengurangi kehilangan air yang lebih besar akibat transpirasi. Keragaan pertumbuhan tanaman padi pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6.

Gambar 5. Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)

Berdasarkan respon pertumbuhan yang ditunjukkan pada Gambar 3, 4, dan 5 memperlihatkan bahwa air mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman padi. Secara umum, pertumbuhan tanaman pada peubah jumlah anakan dan jumlah daun pada kondisi kering (sistem gogo) lebih baik dibandingkan pada lahan basah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan fase perkecambahan dimana benih mengalami stres anaerob pada kondisi basah (Santosa 2002).

Pada tahap pertumbuhan vegetatif, air digunakan oleh tanaman untuk pembelahan dan pembesaran sel yang terwujud dalam pertambahan tinggi tanaman, perbanyakan daun dan pertumbuhan akar (Kramer 1969). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman padi yang ditanam pada lahan basah menunjukkan respon yang lebih baik pada karakter tinggi tanaman. Tinggi tanaman varietas padi pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditanam pada sistem gogo.

Respon yang berbeda ditunjukkan pada peubah jumlah anakan dan jumlah daun. Padi yang ditanam pada kondisi air terbatas menghasilkan jumlah anakan dan jumlah daun paling banyak jika dibandingkan dengan padi yang ditanam pada lahan yang basah selama pengamatan. Akan tetapi kecenderungan yang ditunjukkan adalah terjadi penurunan jumlah anakan dan jumlah daun sejak 8

MST sampai akhir pengamatan. Pengairan yang terbatas tidak mampu mendukung tanaman padi mempertahankan pertumbuhannya sampai menjelang panen.

Gambar 6. Keragaan pertumbuhan tanaman padi pada sistem pengairan berbeda : (a & b) fase vegetatif (5 MST) pada lahan basah (lowland) & lahan kering (upland); (c & d) fase generatif (11 MST) pada lahan basah (lowland) & lahan kering (upland)

Penurunan respon pertumbuhan ini menyebabkan menurunnya aktivitas fotosintesis yang pada akhirnya akan menurunkan produksi tanaman. Kekurangan air akan mempengaruhi fotosintesis tanaman akibatnya dapat mengganggu produksi karbohidrat (Kramer 1969; Tisdale & Nelson 1975; Fitter & Hay 1991; Gerik et al. 1996). Tanaman yang hanya toleran genangan apabila ditanam pada kondisi tidak tergenang maka akan mengalami gangguan fisiologis (Manurung 2002).

a

d c

Kerapatan Stomata, Kerapatan Trikoma dan Warna Daun (SPAD) Perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing menunjukkan pengaruh nyata terhadap peubah kerapatan stomata, namun interaksinya tidak berbeda nyata. Varietas berpengaruh nyata terhadap peubah kerapatan trikoma, namun perlakuan pengairan dan interaksi pengairan dengan varietas tidak berbeda nyata (Lampiran 8).

Berdasarkan Tabel 2, kerapatan stomata karena pengaruh sistem pengairan berkisar antara 278 – 436 stomata/mm2 dan kerapatan trikoma berkisar antara 74-96 trikoma/mm2. Varietas IR-64 mempunyai kerapatan stomata dan trikoma tertinggi dengan 417.3 stomata dan 99.6 trikoma per mm2. Sedangkan varietas Jatiluhur memiliki kerapatan 353.1 stomata/mm2 dan 75.2 trikoma/mm2. Distribusi stomata sangat berhubungan dengan kecepatan dan intensitas transpirasi pada daun. Haryanti (2010) menyatakan bahwa jumlah stomata/mm2 dan banyak sedikitnya jumlah trikoma daun merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya transpirasi pada tanaman.

Tabel 2. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap kerapatan stomata, kerapatan trikoma dan warna daun

Perlakuan Kerapatan Stomata (stomata/mm2) Kerapatan Trikoma (trikoma/mm2) Warna Daun (SPAD) Sistem Pengairan Konvensional 402.5 a 91.7 38.7 Jenuh Air 424.5 a 87.8 39.9 Intermittent 436.2 a 96.0 39.0 Gogo 277.7 b 74.2 38.3 Varietas IR-64 417.3 a 99.6 a 40.5 a Jatiluhur 353.1 b 75.2 b 37.5 b

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk perlakuan sistem pengairan atau varietas menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Farooq et al. (2009) menjelaskan bahwa stomata memainkan peranan penting dalam proses fotosintesis dan transpirasi tanaman. Varietas yang berbeda memiliki stomata yang berbeda baik dalam segi ukuran, kerapatan, dan morfologinya. Besarnya konsumsi air tanaman dipengaruhi juga oleh besarnya transpirasi tanaman. Kehilangan air tanaman melalui transpirasi terjadi melalui

stomata di daun. Tanaman kehilangan banyak air ketika terjadi transpirasi berlebihan melalui stomata sehingga jaringan tanaman mengalami defisit air ketika air yang diberikan tidak cukup (Kramer 1969). Rendahnya kerapatan stomata pada sistem gogo merupakan cara tanaman mempertahankan hidupnya pada kondisi lingkungan yang kurang air melalui pengurangan kerapatan stomata untuk mengurangi transpirasi yang berlebihan. Dengan demikian mekanisme yang terjadi adalah tanaman mengoptimalkan peranan stomata untuk mencegah kehilangan air dari daun (Nguyen et al. 1997).

Perlakuan sistem pengairan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peubah warna daun (SPAD), sedangkan varietas berbeda nyata dan tidak terjadi interaksi yang nyata antara sistem pengairan dan varietas (Lampiran 8). Pengukuran warna daun dilakukan menggunakan chlorophyll meter (SPAD Minolta). Nilai SPAD (warna daun) secara langsung berhubungan dengan konsentrasi N dalam daun (Cho et al. 2006; Fen et al. 2010) dan dapat mengindikasikan kandungan klorofil dalam daun (Li et al. 2009; Kumagai et al. 2009). Kumagai et al. (2009) juga menyebutkan bahwa SPAD digunakan untuk memprediksi kandungan dari ribulose 1,5–bisphospate carboxylase (Rubisco). Pengukuran tingkat kehijauan daun (Tabel 4) pada penelitian ini dilakukan pada saat tanaman berumur 8 MST.

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 2, sistem pengairan tidak mempengaruhi tingkat kehijauan daun. Tingkat kehijauan daun tanaman padi berkisar antara 38-40. Tidak adanya pengaruh ini dikarenakan pada penelitian ini pemberian pupuk N dilakukan dengan dosis dan pada waktu yang sama untuk semua perlakuan. Sementara untuk varietas, tingkat kehijauan daun IR-64 (40.5) berbeda nyata dengan Jatiluhur (37.5). Hasil penelitian Li et al. (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai yang terbaca pada SPAD, semakin tinggi pula konsentrasi N dan kandungan klorofil dalam daun. Hal ini berarti, varietas IR-64 lebih baik dalam penyerapan N dalam tanah dan memiliki kemampuan berfotosintesis lebih baik dari Jatiluhur.

Kumagai et al. (2009) melaporkan bahwa terdapat korelasi yang sangat nyata antara pembacaan SPAD dengan kandungan klorofil daun, kandungan Rubisco, tingkat fotosintesis dan maximum quantum yield di fotosistem II (PSII).

Semakin tinggi nilai SPAD yang terbaca semakin tinggi pula nilai komponen - komponen tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun tidak berbeda secara statistik, namun tanaman padi yang ditanam pada lahan basah memilik nilai SPAD yang lebih tinggi dibanding tanaman padi yang ditanam pada lahan kering. Artinya bahwa pada sistem lahan basah, kandungan klorofil dan Rubisco padi lebih banyak. Hal ini juga mengindikasikan bahwa terjadi reaksi fotokimia pada PSII dan asimilasi CO2 yang kuat akibat adanya Rubisco sehingga akan meningkatkan laju fotosintesis tanaman.

Umur Berbunga, Komponen Hasil dan Hasil

Sidik ragam peubah umur berbunga menunjukkan hanya perlakuan sistem pengairan yang memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan perlakuan varietas dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Umur berbunga ditentukan pada saat 50% populasi telah mengeluarkan malai. Berdasarkan Tabel 3, tanaman padi lebih cepat berbunga pada sistem gogo yaitu sekitar 80 hari setelah penanaman benih atau bersamaan dengan hari semai pada sistem pengairan lainnya, pada sistem pengairan lainnya umur berbunga tanaman padi pada sekitar 85 - 86 HSS. Menurut Santosa (2002), secara umum, penggenangan menyebabkan umur berbunga genotipe padi gogo toleran naungan lebih lambat 7 - 10 hari dibandingkan dengan perlakuan kering. Umur berbunga kedua varietas serempak sekitar 84 hari setelah semai. Umur berbunga galur - galur padi gogo pada pertanaman monokultur berkisar antara 72 - 85 hari setelah tanam (Sasmita et al. 2006) sedangkan galur-galur padi sawah berbunga pada umur 84 - 100 hari setelah tanam (Sukirman 2005).

Cepatnya umur berbunga tanaman padi pada sistem gogo terkait dengan mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Tanaman akan cepat menyelesaikan siklus hidupnya sebelum datang kelangkaan air atau tingkat kekeringan yang lebih parah. Mekanisme ini salah satu diantaranya adalah dengan mempercepat umur berbunga dan umur panen (Fukai & Cooper 1995).

Tabel 3. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap umur berbunga, panjang malai, jumlah gabah malai-1, dan kepadatan malai

Perlakuan Umur Berbunga (HSS) Panjang Malai (cm) Jumlah Gabah Malai-1 Kepadatan Malai (butir/cm) Sistem Pengairan Konvensional 86.0 a 26.7 174.9 6.5 Jenuh Air 85.5 a 22.4 172.6 7.7 Intermittent 84.7 a 22.4 167.7 7.5 Gogo 80.5 b 23.0 148.6 6.5 Varietas IR-64 84.6 24.6 119.1 b 15.4 b Jatiluhur 83.8 22.7 212.7 a 19.7 a

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (sesuai faktor perlakuan) menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Sidik ragam peubah panjang malai menunjukkan baik perlakuan sistem pengairan, varietas dan interaksi keduanya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata. Sidik ragam peubah jumlah gabah malai-1 dan kepadatan malai menunjukkan hanya perlakuan varietas yang memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan sistem pengairan dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (Lampiran 8).

Berdasarkan Tabel 3, sistem pengairan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah panjang malai, jumlah gabah malai-1, dan kepadatan malai. Hal ini menunjukkan bahwa penghematan air tidak menurunkan kuantitas komponen produksi padi. Sehingga padi yang pengairannya hemat mempunyai potensi

Dokumen terkait