Gambaran Umum Partisipan
Dua partisipan yang terlibat dalam penelitian memiliki karakteristik dan latar belakang keluarga, pendidikan, sosial yang berbeda. Berikut ini ialah gambaran umum dari masing-masing partisipan:
Romli adalah seorang mahasiswa yang menyukai kegiatan seni dan fotografi. Kecintaannya pada kegiatan mountaineering muncul saat teman-temannya mengajaknya untuk mendaki gunung Merbabu yang mempunyai tinggi mencapai 3126 mdpl, cukup tinggi dan beresiko untuk pendaki pemula seperti Romli. Romli sangat tertarik untuk mengikuti kegiatan mountaineering tersebut. Romli berpikir bahwa ketika berada di gunung, dia akan mendapatkan pemandangan yang indah untuk karya seni photography-nya. Romli tidak memiliki dasar apa-apa tentang kegiatan mountaineering. Kegiatan Romli saat ini masih seputar kuliah dan bermain, tidak ada kegiatan yang terlalu beresiko untuk keselamatannya. Keinginannya untuk bergabung dengan komunitas pecinta alam di kampusnya terhalang karena kurangnya kepercayaan diri untuk bergabung dengan teman-teman komunitas pecinta alam di kampusnya.
Romli tinggal di lingkungan vihara bersama keluarganya, dia anak ketiga dari empat bersaudara. Ayah dan ibunya bekerja di vihara, sehingga Romli sangat menguasai ajaran Agama Buddha dengan baik. Di lingkungan rumahnya Romli sangat menjaga sikap dan sifatnya. Hubungan kekeluargaanya sangat baik, jarang diantara mereka yang menciptakan konflik. Romli cenderung terbuka kepada Ibu dan adik perempuannya, dia bisa menceritakan apa saja yang menjadi masalah kepada ibu dan adik perempuannya. Tidak ada yang mempunyai basic pendaki gunung di keluarga Romli, namun ibunya mengatakan bahwa kakeknya pernah mendaki beberapa gunung di pulau Jawa.
b) Pitung (Bukan nama sebenarnya)
Pitung adalah seorang mahasiswa di perguruan tinggi swasta yang bertempat di Kota Salatiga. Pitung sudah menyukai kegiatan-kegiatan yang ekstrim dari semenjak menduduki bangku SMP kelas 3. Awalnya Pitung mengikuti kegiatan yang dinamakan caving, atau susur
goa dan setelah itu P2 memulai pendakian pertamanya. Pendakian pertama Pitung dilakukan di gunung Dempo, saat itu Pitung diajak oleh teman-temanya. Pitung mulai aktif mengikuti kegiatan-kegiatan adventure dan thrilling saat duduk dibangku SMA kelas 1 dan mulai mengikuti komunitas pecinta alam Garis Milang di Lahat, Palembang.
Pitung sangat tertarik dengan kegiatan yang memacu fisik dan adrenalin yang dilakukan di alam bebas, hal ini didukung oleh keseriusannya mengikuti program DIKSAR pecinta alam. Pitung mengikuti program DIKSAR selama Sembilan hari. Dihari kedua program DIKSAR, Pitung mengalami kecelakaan yang cukup serius akibat tersambar kobaran api yang berasal dari spiritus. Dengan tekad yang kuat yang sudah dia kumpulkan sejak menduduki bangku SMP, Pitung tetap meneruskan pendakian tersebut walaupun tubuhnya penuh dengan luka bakar yang cukup serius. Kecelakaan tersebut tidak mumbuat Pitung jera mengikuti kegiatan-kegiatan yang ekstrim. Pitung sangat menyukai kegiatan KORAD atau rafting dalam subkegiatan pecinta alam. Walaupun rafting sangat berbahaya bagi keselamatannya, Pitung pernah mengikuti semua kegiatan yang dimiliki semua divisi pecinta alam seperti, rafting, rock climbing, mountaineering, caving dan observation.
Pitung anak ketiga dari empat bersaudara, ketiga saudaranya semua laki-laki. Pola asuh dari orang tuanya sangat keras dan hal tersebut membuat anak-anaknya menjadi pemberontak. Pitung sering bertengkar dengan adiknya yang keempat, sehingga dia sudah terbiasa menyikapi pertengkaran dengan adiknya. Walaupun Pitung sering betengkar dengan adiknya, dia tetap menyayangi adiknya dan hubungannya sampai sekarang terjaga dengan baik. Pitung termasuk orang yang sangat pandai bergaul, dia bisa menjangkau kalangan mana saja.
Gambaran Dimensi Sensation seeking trait Partisipan
a) Thrill and Adventure Seeking (TAS)
Thrill and adventure seeking (TAS) ialah kebutuhan individu untuk melakukan tindakan
berisiko dan penuh petualangan yang menawarkan sensasi unik. Berikut ini ialah gambaran dari dimensi thrill and adventure seeking yang dimiliki oleh kedua partisipan.
Romli:
1. Romli merasakan sensasi yang berbeda ketika ia naik gunung. Beberapa gunung di Jawa Tengah yang ia daki menimbulkan sensasi yang berbeda-beda. Romli merasakan keindahan alam yang tidak dapat ia rasakan di kota. Pengalaman yang menegangkan ia rasakan ketika ia melewati hutan, tebing dan medan yang berbatu juga cuaca yang ekstrim di atas gunung. Hal tersebut membantu melatih fisiknya untuk menjadi lebih kuat.
“Awalnya tidak tahu apa-apa tentang naik gunung. Pertama kali diajak teman naik gunung. Lalu merasakan sensasi yang menarik ketika naik gunung…. Paling favorit gunung Merbabu, tapi masing punya keindahannya masing-masing, sensasinya masing-masing. Merapi bebatuan, kalau merbabu banyak hutannya. Sudah tidak merasakan sensasinya, awalnya sih merasakan keindahan alamnya tapi aku lebih nyaman di merbabu. Kalau andong kita bisa langsung view puncak, pemandangannya bagus. Lawu karena dinginnya, malah untuk melatih fisik saya.”
2. Romli dapat merasakan bagaimana kesulitannya ketika jauh dari peradaban. Romli hanya bergantung pada perlengkapan yang secukupnya, hanya dibalutkan dengan sleeping bag dan jaket yang dia kenakan. Tidak ada yang bisa Romli lakukan selain bertahan di tengah-tengah gunung yang kapan saja bisa menghilangkan nyawanya.
“Naik gunung hanya membawa bawaan sendiri, saya merasakan titik nol, tidak punya apa-apa dan tidak bisa mengharapkan orang lain.”
3. Setiap resiko yang terjadi di gunung, Romli siap menanggungnya. Beberapa kali Romli mengalami kecelakaan yang mengakibatkan luka fisik, bahkan Romli pernah tersesat di tengah-tengah hutan. Namun semua itu adalah hal yang harus Romli tanggung, karena setiap resikonya adalah keputusan yang tepat menurut Romli.
“Kalau naik gunung resikonya badan capek, kecelakaan itu yang harus saya tanggung.”
4. Keinginan Romli melakukan kegiatan mountaineering sangat besar. Romli mempunyai keinginan untuk mendaki gunung yang lebih tinggi dan berbahaya dari sebelumnya.
“Besar banget, kalau tentang tertarik kegiatan mountaineering. Cuma masalah dimodal, kalau ada yang kasih modal ke gunung apa saja pasti
berangkat…. Saya memang kepikiran untuk ke gunung yang lebih tinggi
tetapi tidak everest dulu, mungkin Jaya Wijaya”
5. Romli sering melakukan tindakan yang membahayakan keselamatannya saat di gunung, ia pernah terbakar saat menyalakan api unggun. Romli sebelumnya sudah diingatkan oleh teman-temannya agar tidak membuat api unggun di gunung karena pada saat itu sedang musim kemarau dan rumput-rumput sangat rentan untuk terbakar. Romli pun hampir terperosok ke jurang saat hendak mengambil kayu bakar yang berada di tebing, padahal salah satu temannya sudah mengingatkan agar tidak membuat api unggun di gunung. Lalu kebiasaan Romli lainnya adalah berlari kencang saat menuruni gunung, kebiasaan tersebut seringkali ia lakukan saat
menuruni gunung yang kapan saja bisa menimbulkan kecelakaan untuk dirinya maupun pendaki lain.
“Nah itu kecelakaan kedua, kecelakaan yang ketiga yang paling saya inget itu, itu saya diajak temen ke gunung Andong nah dia nganterin temen-temennya saya ngikut, nah itu lagi saya diajak ketendanya mereka saya ndak mau karena takut ngeganggu acara mereka, karena kan saya ngikut orang luar istilahnya orang luar ngikut ya kan, diajak ketenda ndak mau diluar kedinginan, kebetulan saya bawa bahan bakar, tapi bahan bakarnya bensin, itu salah saya..heheh... itu salah saya sendiri, eh terusan pas saya mau nyumet, apan itu ee nyalain api iya kan, itu apinya nyamber ke botol bensin nah saya bingung ini gimana caranya. kemudian saya injak, botolnya meletot,
“Kalo turun gunung tuh saya sukanya lari, kadang saya sering ndak sabar untuk nunggu teman-teman saya”.
Pitung:
1. Sejak SMP, Pitung hanya sekedar masuk goa, naik gunung hanya sekali. Pitung mulai tergabung di dalam komunitas pecinta alam ketika menduduki bangku SMA kelas satu. Hal tersebut didorong oleh keinginan Pitung sendiri. Pitung sangat tertarik terhadap kegiatan petualangan yang memacu adrenaline, outbond, dan hal-hal yang bersinggungan dengan alam.
“Dari SMP Cuma sekedar masuk goa, naik gunung hanya sekali…. Pada waktu SMA kelas satu, sudah masuk organisasi pecinta alam, memang keinginan sendiri karena tertarik dengan alam bebas”
2. Pitung pernah mengikuti semua kegiatan rafting, mountainaring, caving, navigation. Semua kegiatan tersebut memiliki resiko kecelakaan yang tinggi. Pitung menyukai kegiatan tersebut karena hal tersebut membuatnya hidup dan membuat adrenaline-nya
meningkat. Selain itu, semua kegiatan tersebut adalah syarat mengikuti DIKSAR yang dia inginkan sejak SMP.
“Saya pernah mengikuti semuanya, karena itu syarat mengikuti DIKSAR… Tertarik kerena memacu adrenalin”
3. Pitung memiliki kebiasaan yang membahayakan saat menuruni gunung, yakni ia seringkali berlari saat menuruninya. Hal tersebut ia lakukan karena ia merasakan keseruan tersendiri yang membuatnya merasa senang.
“Wih asik kak kalo turun gunung itu sambil lari.. Senang sekali aku kak! Biasanya
aku lari dulu ke bawah terus nunggu teman-teman, terus nanti lari lagi, nunggu lagi. Begitu saja terus kak sampai di bawah….”
b) Experience Seeking (ES)
Experience seeking mengacu pada ekspresi individu terhadap pengalaman baru
melalui pemikiran, penginderaan, dan gaya hidup yang tidak konvensional dan tidak konform dalam berbagai. Gambaran experience seeking kedua partisipan dijabarkan sebagai berikut: Romli:
1. Romli menyatakan bahwa masing-masing kegiatan mountaineering punya keseruannya sendiri. Selain naik gunung, Romli mempunyai hobbi photography, theatre dan melukis. Ada sensasi tersendiri yang dirasakan dari kegiatan-kegiatan tersebut.
“Punya keseruan masing-masing antara naik gunung dan kegiatan yang lain. “
2. Romli pernah melakukan pendakian sendirian, Romli merasakan kesulitan dan banyak pelajaran yang dia dapat dari pendakiannya tersebut, seperti; refleksi diri, ketenangan,
kemandirian, dan naluri bertahan hidup. Ketenangan yang ia rasakan di gunung membuatnya sanggup untuk merefleksikan dirinya, bagaimana ia melihat potensi dari dalam dirinya sendiri.
“Ketika saya sendirian, saya merasa tenang di gunung, saya mendapatkan sensasi tenang. Saya bisa refleksi diri dan melatih kemampuan survival”
3. Romli seringkali naik gunung sendiri, kira-kira sebanyak lima sampai enam kali. Dia mendapatkan pengalaman baru. Terkadang ketika kembali ke kota dia merasa jadi anti sosial dan rindu melihat orang-orang dan teman-temannya.
“Sering naik sendiri, naik sendiri lima sampai enam kali. Dapat pengalaman, terus pulang-pulang jadi anti social dan kangen sama orang-orang. Kangen tapi jadi anti sosial”.
Pitung:
1. Pitung tidak pernah kapok, ia tetap melanjutkan sampai selesai karena ia sudah bertekad dari SMP. Maka, ketika ada kesempatan sewaktu SMA, ia tidak mundur sekalipun terjadi kecelakaan. Pitung merasa bahwa pengalaman yang diperolehnya saat pra-DIKSAR akan sia-sia jika ia mundur.
“Karena sudah tekad, jadi saya harus menyelesaikannya. Saya tetap naik gunung tapi tidak mengikuti latihan fisik, karena penuh luka bakar dari kaki sampai muka. Saya mengikuti kegiatan fisik kurang lebih dua hari. Waktu melakukan DIKSAR kurang lebih Sembilan hari. Setelah tes fisik hanya dua hari setelah itu saya terbakar.”
Disinhibition merefleksikan perilaku impulsif yang ekstrovert pada individu, meliputi
keinginan yang kuat (desire) untuk melakukan perilaku yang mengandung risiko sosial dan risiko kesehatan.
Romli:
1. Romli pernah melanggar di bagian NAPSA ketika berada di gunung. Menurut Romli, alkohol bukan NAPSA, dia hanya membawa bawa yang ringan-ringan saja, diantaranya kopi rokok dan ganja. Karena dia menganggap ketiga hal tersebut adalah teman ketika dia naik gunung. Romli pun pernah menerima tawaran alcohol dan ganja oleh pendaki lain, hal tersebut membuat dirinya merasa mempunyai teman yang mempunyai kesukaan yang sama. Merasa bahwa ganja dan alcohol bukan sesuatu yang illegal dimata Romli.
“Saya pernah melanggar di bagian NAPSA… Alkohol bukan NAPSA sih, saya hanya bawa yang ringan-ringan saja, diantaranya kopi rokok dan ganja. Karena itu teman, yang temenin ya tiga hal itu…. Saya pernah menerima tawaran oleh pegunung juga. Paling ganja, minuman dan rokok”.
2. Pernah ada yang mengingatkan untuk tidak membawa ganja, tapi Romli tetap membawa ganja saat melakukan kegiatan mountaineering secara diam-diam. Dia percaya ketika di gunung tidak akan ada yang memeriksa barang bawaannya dan Romli yakin bahwa ganja tidak membuatnya melakukan tindakan criminal atau merugikan orang lain, melainkan membuatnya merasa tenang saat melakukan pendakian ataupun sedang beristirahat di gunung.
“Pernah ada yang mengingatkan, tapi saya tetap bawa tapi diam-diam saja. Di
gunung juga tidak ada pemeriksaan kok mas… Saya merasa tenang di gunung,
3. Romli merasakan ketenangan dan euphoria saat menggunakan ganja di gunung. Romli pun menggunakan ganja saat beristirahat di gunung untuk melepaskan lelah, karena ganja membuat badannya menjadi rileks dan cepat tidur, juga kualitas tidurnya menjadi baik.
“Saya merasa tenang sehabis menghisap ganja, kalau sedang istirahat tidur lebih enak dan keika bangun badan menjadi lebih segar”.
Pitung:
1. Pitung sudah terbiasa mengkonsumsi minuman keras sebelumnya, selain itu saat ia berada di gunung minuman beralkohol berfungsi untuk menghangatkan tubuhdan karena faktor cuaca yang dingin, ia juga pernah menggunakan ganja selama di gunung. Pitung tidak merasa takut tertangkap saat menggunakan ganja karena pendaki lain juga melakukannya dan semua pendaki saling mengerti sehingga tidak ada yang melaporkan.
“Kalau minuman keras sudah biasa, untuk menghangatkan juga karena faktor cuaca yang dingin. Pernah bawa ganja juga… Tidak takut, pendaki lain di daerah saya banyak yang suka, semua pendaki saling mengerti, kalau ada yang mau melaporkan juga tidak aka nada yang mau menangkap di atas gunung.”
2. Pitung pernah naik gunung hanya untuk bersenang-senang saja dan pesta pora di Gunung Kaba bersama teman-temannya karena menurut Pitung, Gunung Kaba mudah untuk dijangkau dan medannya tidak terlalu sulit.
“Pernah, di Kaba kita paling banyak hanya senang-senang saja”
3. Pitung merasa lebih santai dan bebannya menjadi hilang saat menggunakan ganja di gunung. Pitung jadi lebih banyak senyum dan tidak memikirkan kelalahan fisik pada saat pendakian selain
itu pitung menjadi cepat lapar sehingga ia sering mengkonsumsi makanan dan minuman hal tersebut membuat daya tahan tubuh Pitung tetap terjaga selama di gunung.
“Wiih.. enak bener kak… Jadi rileks, santai, rasanya happy aja terus pengen cengar-cengir sendiri. Badannya juga jadi nggak kerasa capeknya, malah laper terus kak, makan aja terus di atas gunung.. Dinginnya jadi nggak berasa di aku kak…”
d) Boredom Susceptibility (BS)
Pada dimensi boredom susceptibility, yakni dimensi yang mengacu pada perilaku individu yang antipati terhadap pengalaman yang repetitif, pekerjaan yang rutin, kehadiran orang-orang yang dapat terprediksi, dan reaksi ketidakpuasan terhadap kondisi yang membosankan, tidak nampak pada kedua partisipan, baim Romli maupun Pitung. Kedua patisipan tidak melakukan aktivitas naik gunung ketika mereka sedang merasa bosan dengan rutinitas yang dijalaninya setiap hari.
Selain empat dimensi yang dikemukakan oleh Zuckerman, peneliti menemukan pula bahwa melalui kegiatan mountaineering, kedua partisipan mendapatkan modal sosial berupa jejaring pertemanan baru yang menguntungkan bagi mereka ketika ingin berkunjung atau melakukan kegiatan naik gunung lain di kemudian hari.
Romli:
”Lha enak kalo naik gunung tuh jadi kenalannya banyak. Pas ke Rinjani kemarin tuh aduh rame banget, ada yang dari Jakarta mereka, dari Lampung, semua ketemu disitu. Mana ada satu cewek cantik banget Cuma belom sempet minta nomernya.. Hehehe. Ya itu sih serunya jadi banyak temennya”
“Itu kak, temenku dari Jogja besok ajak naik lagi… Yang dulu ketemu pas di
Merbabu itu kak.. Kalo sama dia ni aku cocok lah kak, nggak repot orangnya, mau susah bareng juga. Soalnya pernah kak aku ajak temenku tapi mikirin dirinya sendiri. Males aku kak kalo gitu. Malah temen-temen yang ketemu kenal di gunung nah malah cocok sama aku, jadi sering janjian lagi ketemu kalo pas aku main-main sana”.
PEMBAHASAN
Fokus dalam penelitian ini bermaksud untuk mengetahui gambaran sensation seeking
trait para pendaki gunung (mountaineers). Untuk memahami gambaran tersebut secara
komprehensif, penelitian ini menggunakan pandangan Zuckerman (2007) yang mendapati bahwa terdapat empat dimensi sensation seeking trait, yakni: thrill and adventure seeking (TAS),
experience seeking (ES), disinhibition (DIS), dan boredom susceptibility (BS).
Thrill and adventure seeking (TAS) merupakan salah satu dimensi dalam sensation seeking trait yang merefleksikan kebutuhan pendaki gunung untuk melakukan tindakan yang
berisiko dan penuh petualangan yang menawarkan sensasi unik pada tiap pendaki gunung. Hal ini mempengaruhi dorongan para pendaki gunung untuk melakukan kegiatan yang berisiko tinggi. Kedua partisipan baik Romli maupun Pitung, menunjukan kecenderungan untuk mencari sensasi melalui kegiatan-kegiatan yang memicu adrenalin dan berisiko untuk keselamatannya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dorongan yang kuat pada kedua partisipan untuk selalu mencari kegiatan-kegiatan yang berbahaya seperti naik gunung (mountaineering) dengan ketinggian di atas 2500 mdpl. Meskipun beberapa kali mengalami kecelakaan seperti anggota tubuh yang terbakar bahan bakar, terperosok ke jurang, tersesat di hutan, kehabisan uang dan bahan baku pangan dalam perjalanan, baik Romli maupun Pitung tetap menyenangi kegiatan
naik gunung karena mereka merasa memiliki gairah hidup saat mendapati adrenalinnya terpacu melalui kegiatan-kegiatan ekstrim.
Dimensi kedua dalam sensation seeking trait ialah experience seeking (ES) yang mengekspresikan pencarian pendaki gunung terhadap pengalaman baru (novel experiences) melalui pemikiran, penginderaan, dan gaya hidup yang tidak konvensional dan tidak konform dalam berbagai hal. Pencarian pengalaman (experience seeking) juga nampak dalam sensation
seeking trait khususnya pada Romli. Bagi Romli, ia dapat melakukan aktivitas naik gunung
sendiri dan hal itu seringkali ia lakukan karena ketika naik gunung, ia merasakan bahwa dirinya bisa merefleksikan hidup seolah kembali ke titik nol. Ia pun menyatakan bahwa ia merasakan ketenangan setiap kali ia berada di gunung. Berbeda dengan Romli, Pitung tidak menunjukkan pengalaman intrapersonal yang mendalam saat melakukan aktivitas naik gunung. Kedalaman pengalaman yang dimiliki Romli ini dapat disebabkan karena latar belakang keluarga Romli yang menganut ajaran agama Buddha yang menjunjung tinggi keseimbangan dan kesatuan tubuh dengan alam.
Pada dimensi disinhibition (DIS) yang merefleksikan perilaku impulsif dan mengandung risiko sosial serta kesehatan pada pendaki gunung, baik Romli maupun Pitung cenderung menunjukkan perilaku ini melalui tindakan mengkonsumsi alkohol dan ganja selama perjalanan di gunung. Selain itu, pengambilan keputusan baik Romli maupun Pitung tidak melalui pertimbangan yang matang. Beberapa kali partisipan mengalami kecelakaan fisik disebabkan oleh kurangnya pertimbangan yang matang dalam memutuskan sesuatu, sebagai contoh menyalakan api menggunakan bahan bakan cair di tempat yang bukan untuk melakukan pembakaran di kawasan gunung. Kedua partisipan pun sering mengkonsumsi minuman beralkohol yang berlebihan di gunung. Mereka merasa aman ketika mengkonsumsi minuman
beralkohol, diluar dari fungsi minuman beralkohol dapat menghangatkan badan. Kedua partisipan bisa mendapatkan teman baru dari kebiasaan menggunakan ganja dan alkohol. Terkadang mereka ditawarkan oleh pendaki lain untuk bergabung mengkonsumsi ganja dan alkohol. Sebagai pendaki gunung, ganja dan alkohol sudah tidak asing bagi mereka, menurut Romli ganja membuatnya lebih tenang ketika berada di alam bebas. Berbeda dengan Pitung, menurut Pitung ganja membuatnya senang dan membuatnya lebih rileks ketika beristirahat di gunung.
Studi cross-section yang dilakukan oleh Donohew et al. (2000), mengidentifikasikan bahwa sensation seeking memiliki peran yang krusial di dalam penyalahgunaan drug dan alkohol. Individu dengan sensation seeking trait yang tinggi cenderung terlibat dalam situasi yang berisiko dan terhubung dengan perilaku yang berbahaya. Hasil penelitian ini juga sependapat dengan yang dikemukakan oleh Lee dan Crompton (1992) bahwa yang mempengaruhi perilaku wisatawan adalah tempat tujuan wisata. Individu yang cenderung mencari hal-hal unik dan baru akan memilih tempat tujuan wisata yang dapat memenuhi keinginan mereka, misal daerah yang bebas dan fleksibel untuk mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma.
Boredom Susceptibility (BS) yang merefleksikan perilaku pendaki gunung yang antipati
terhadap pengalaman yang repetitif, pekerjaan yang rutin, kehadiran orang-orang yang dapat terprediksi, dan reaksi ketidakpuasan terhadap kondisi yang membosankan. Pada kedua partisipan tidak dorongan untuk melakukan kegiatan mountaineering yang disebabkan karena kebosanan mereka pada rutinitas sehari-harinya.
Jika dikaji melalui studi neuroscience terkait kematangan otak yang berpengaruh pada
menghambat dorongan pencarian sensasi (Nelson et al. 2002; Steinberg 2008). Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia kedua pasrtisipan yang sudah memasuki tahap perkembangan dewasa awal, yakni 21 tahun (Pitung) dan 25 tahun (Romli) tidak sejalan dengan kemampuan kontrol atas impuls pencarian sensasi yang dilakukan partisipan. Hal ini sekaligus