• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan 3 menunjukkan penurunan kadar asetil akibat peningkatan suhu dari 40 o C menjadi 50 o C pada

konsentrasi katalis 1% adalah sebesar 1,35%. Meskipun besar kenaikan suhu sama

(10

o

C) tetapi peningkatan suhu hidrolisis dari 50

o

C menjadi 60

o

C pada konsentrasi

katalis 1% akan menyebabkan penurunan kadar asetil yang lebih besar yaitu 1,62%.

Pada penggunaan katalis dengan konsentrasi lebih tinggi yaitu 2% peningkatan suhu

dari 40

o

C menjadi 50

o

C akan menyebabkan penurunan suhu sebesar 1,70%.

Peningkatan suhu dari 50

o

C menjadi 60

o

C akan menyebabkan penurunan yang lebih

besar yaitu 1,97%. Penurunan kadar asetil selulosa diasetat pada proses hidrolisis

akan lebih besar jika peningkatan suhu dilakukan pada konsentrasi katalis taraf

tinggi dan suhu taraf tinggi.

111

Penelitian III.

Pembuatan dan Karakterisasi Membran Ultrafiltrasi dari Selulosa Diasetat; Pengaruh Kadar Asetil dan Konsentrasi Selulosa Diasetat

terhadap Karakteristik Membran Ultrafiltrasi

Pembuatan membran pada penelitian ini menggunakan selulosa diasetat mikrobial sebagai polimer dan dimetil formamida sebagai pelarut serta air sebagai non pelarut. Dimetil formamida (DMF) merupakan salah satu jenis pelarut yang dapat digunakan sebagai pelarut polimer pada pembuatan membran selulosa asetat. Meskipun selulosa diasetat dapat larut dalam pelarut selain DMF seperti aseton, dioksan dan tetrahidrofuran tetapi dalam penelitian ini hanya pelarut DMF yang dipilih. Hal ini dilakukan karena struktur pori membran selulosa asetat yang dibuat dengan metoda inversi fasa menggunakan pelarut DMF akan menghasilkan membran berpori. Menurut Mulder (1996) dan Cheryan (1998), pada pembuatan membran selulosa asetat metoda inversi fasa yang menggunakan DMF sebagai pelarut dan air sebagai non pelarut maka pembentukan morfologi membran akan mengikuti mekanisme instantaneous demixing sehingga membran yang dihasilkan merupakan membran berpori (porous membrane).

Selulosa diasetat mikrobial yang digunakan pada penelitian ini dibuat berdasarkan hasil penelitian tahap kedua, mempunyai kadar asetil 37,21%, 38,11%, 39,19 % dan 40,22 %. Hasil pengamatan terhadap larutan dope yang dibuat menunjukkan selulosa diasetat kadar asetil 37,21% dan 38,11% dapat larut secara sempurna dalam pelarut DMF pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12%, 14%, 16%,18% dan 20%. Selulosa diasetat kadar asetil 39,19 % hanya dapat larut sempurna pada konsentrasi selulosa

diasetat dalam larutan dope sebesar 12%, 14%, 16% dan 18% sedangkan selulosa diasetat kadar asetil 40,22 % hanya dapat larut sempurna pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12% dan 14%. Hal ini menunjukkan selulosa diasetat kadar asetil 37,21 % dan 38,11% mempunyai kelarutan yang lebih tinggi dalam DMF dibandingkan selulosa diasetat kadar asetil 39,19 % dan 40,22 % pada konsentrasi yang sama. Hal ini diduga terjadi karena semakin rendah kadar asetil selulosa diasetat maka semakin banyak gugus hidroksil yang terdapat didalamnya, sehingga kepolarannya meningkat. Dimetil forma mida merupakan jenis pelarut polar dengan momen dipol sebesar 3,82, konstanta dielektrika 38,2 dan titik didih 153 oC.

Hasil pengamatan terhadap membran yang dihasilkan menunjukkan tidak semua membran yang dihasilkan dapat digunakan. Membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21 % pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12% dan 14% tidak dapat digunakan karena membran yang dihasilkan terlalu tipis hingga mudah rusak. Demikian juga dengan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,11 % konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12% tidak dapat digunakan karena terlalu tipis dan mudah rusak. Dibandingkan dengan larutan dope yang lain, larutan selulosa diasetat kadar asetil 37,21 % pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12% dan 14% relatif sangat encer, apalagi jika dibandingkan dengan larutan dope selulosa diasetat kadar asetil 40,22 % pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 12%. Diduga hal ini terjadi karena selulosa diasetat kadar asetil 37,21 % mempunyai bobot molekul yang relatif lebih rendah dibandingkan selulosa diasetat kadar asetil 40,22 %. Menurut Rabek

113

(1983) larutan polimer yang dibuat dari polimer dengan bobot molekul yang tinggi akan cenderung mempunyai kekentalan yang lebih tinggi dibandingkan larutan polimer yang dibuat dari polimer dengan bobot molekul rendah. Hasil pengukuran bobot molekul selulosa diasetat dapat dilihat pada Tabel 18. Secara lengkap pengukuran bobot molekul selulosa diasetat dapat dilihat pada Lampiran 5a.

Tabel 18. Bobot molekul selulosa diasetat Kadar Asetil Selulosa Diasetat Bobot molekul 40,22 % 36 965 39,19 % 36 475 38,11 % 36 074 37,21 % 35 875 Selulosa asetat komersial (40,04%) 36 425

Membran yang dibuat dari selulosa diasetat mikrobial kadar asetil 40,22 % konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 16% dan 18% tidak dapat digunakan karena rusak (sobek). Hal ini terjadi karena dalam larutan cetak yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 40,22 % konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 16% dan 18% terdapat partikel halus yang tidak larut. Menurut Wenten (1999) larutan dope yang akan digunakan untuk membuat membran sebaiknya tidak mengandung partikel-partikel, sebaiknya polimer yang digunakan larut sempurna dalam pelarut. Partikel dalam larutan polimer akan menimbulkan goresan pada saat pencetakan membran.

Sebagai pembanding dalam penelitian ini digunakan polimer selulosa asetat komersial. Selulosa asetat komersial dapat larut sempurna dalam pelarut DMF hingga konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope sebesar 18 %. Hasil pengamatan terhadap larutan dope yang dihasilkan menunjukkan larutan dope

selulosa asetat komersial berwarna putih sedangkan larutan dope selulosa diasetat mikrobial berwarna kecoklatan. Hal ini diduga terjadi karena terdapat senyawa lain (aditif) dalam selulosa asetat komersial. Menurut Wijoyo (2002) hasil analisis terhadap spektrum FTIR selulosa asetat komersial dan selulosa asetat dari pulp abaca menunjukkan adanya senyawa aditif dalam selulosa asetat komersial.

Morfologi Membran

Membran berdasarkan morfologinya dibagi menjadi dua jenis yaitu membran simetris dan membran asimetris (Mulder, 1996). Membran simetris adalah membran yang mempunyai struktur permukaan lapisan atas sama dengan struktur permukaan lapisan bawah. Membran asimetris adalah membran yang mempunyai struktur permukaan lapisan atas tidak sama dengan struktur permukaan lapisan bawah dimana permukaan lapisan bawah membran mempunyai pori yang berukuran lebih besar dibandingkan pori pada lapisan atas.

Hasil pengamatan terhadap morfologi membran yang dihasilkan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan membran yang dihasilkan merupakan membran asimetris karena lapisan atas membran mempunyai pori-pori yang lebih kecil dibandingkan lapisan bawah. Menurut Mulder (1996) membran ultrafiltrasi selulosa asetat yang dibuat dengan metoda

115

inversi fasa merupakan membr an asimetris. Penampakan permukaan atas dan permukaan bawah membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 19a dan Gambar 19b.

Gambar 19a. Penampakan permukaan atas membran SDA yang dihasilkan

Menurut Mulder (1996) dan Wenten (1999) pada mekanisme

instantaneous demixing pembentukan pori membran terjadi segera setelah lapisan film dicelupkan ke dalam non pelarut, sebaliknya pada mekanisme delayed demixing diperlukan beberapa selang waktu sebelum terbentuk struktur membran. Proses yang terjadi pada saat lapisan film dicelupkan ke dalam bak koagulasi merupakan tahapan yang penting pada pembentukan struktur membran. Di dalam bak koagulasi akan terjadi difusi antara pelarut dengan non pelarut. Pelarut akan keluar dari lapisan film, ruang yang ditinggalkan akan diisi oleh non pelarut. Difusi antara pelarut dengan non pelarut akan berlangsung cepat pada lapisan atas film, sebaliknya bagian bawah akan tetap kaya pelarut.

Hasil pengamatan terhadap permukaan membran dengan menggunakan SEM menunjukkan penampakan permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21% berbeda dengan permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 40,22 %. Penampakan permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21% dan permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 40,22 % dapat dilihat pada Gambar 20 dan Gambar 21. Membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar ase til 37,21% mempunyai ukuran pori yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ukuran pori membran selulosa diasetat kadar asetil 40,22 %. Hal ini menunjukkan ukuran pori membran akan cenderung semakin kecil dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan.

117

Gambar 20. Penampakan permukaan atas membran SDA kadar asetil 37,21%

Fluks Membran

Fluks Air, Dekstran dan Albumin

Fluks merupakan salah satu parameter penting yang digunakan dalam penilaian kinerja membran filtrasi (Mulder, (1996); Cheryan, (1998)). Fluks adalah jumlah volume permeat yang diperoleh pada operasi membran per satuan waktu dan satuan luas permukaan membran (Cheryan, 1998). Fluks membran ultrafiltrasi berkisar 10 – 50 L.m-2.jam-1.bar-1 (Mulder, 1996)

Hasil pengukuran fluks air menunjukkan membran selulosa diasetat (SDA) yang dihasilkan mempunyai fluks air berkisar 50,16 – 135,00 L.m-2.jam-1. Nilai fluks air tertinggi diperoleh pada membran selulosa diasetat (SDA) kadar asetil 37,21 % konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar 16%, sedangkan fluks air terendah terjadi pada membran SDA kadar asetil 40,22 % konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar 14%. Hasil pengukuran fluks air dapat dilihat pada Lampiran 5b. Histogram hubungan antara kadar asetil selulosa diasetat dan konsentrasinya terhadap fluks air dapat dilihat pada Gambar 22.

Membran ultrafiltrasi yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai fluks air yang relatif lebih besar dibandingkan dengan membran ultrafiltrasi yang dibuat oleh Adyatmadja (2002). Adyatmaja (2002) membuat membran UF dari selulosa asetat dengan pelarut aseton, aditif formamida dan konsentrasi polimer 13%. Membran yang dihasilkannya mempunyai fluks air sebesar 42,41 L/m2.jam.bar. Membran ultrafiltrasi yang dibuat oleh Sabde et al. (1997) dari polimer selulosa asetat butirat mempunyai fluks air berkisar 25 – 600 L.m-2.jam-1.

119

konsentrasi SDA dalam larutan cetak

0 20 40 60 80 100 120 140 37,21% 38,11% 39,19% 40,22% SA komersial

Selulosa diasetat (kadar asetil)

Fluks air (L/m2.jam)

12% 14% 16% 18% 20%

Gambar 22. Histogram hubungan antara fluks air dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak

(pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar) Hasil pengukuran fluks dengan umpan dekstran (BM 37 kDa) konsentrasi 200 ppm diperoleh fluks berkisar 18,80 – 63,10 L.m-2.jam-1. Fluks dekstran tertinggi diperoleh pada konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar 16% dengan kadar asetil SDA 37,21%, sedangkan fluks terendah diperoleh pada konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar 14% dengan kadar asetil SDA 40,22%. Hampir sama dengan fluks air, membran yang dibuat dari selulosa SDA mempunyai nilai fluks dekstran relatif lebih tinggi dibandingkan nilai fluks dekstran membran selulosa diasetat komersial. Hasil pengukuran fluks dekstran membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 5c. Histogram hubungan antara kadar asetil selulosa diasetat dan konsentrasinya terhadap fluks dekstran dapat dilihat pada Gambar 23.

konsentrasi SDA dalam larutan cetak 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 37,21% 38,11% 39,19% 40,22% SA komersial

Selulosa Diasetat ( kadar asetil)

Fluks dekstran (L/m2.jam)

12% 14% 16% 18% 20%

Gambar 23. Histogram hubungan antara fluks dekstran dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak

(pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar) Hasil pengukuran fluks membran dengan menggunakan umpan albumin BSA (BM 67 kDa) pada konsentrasi 200 ppm diperoleh fluks berkisar 12,63- 54,43 L.m-2.jam-1. Fluks albumin tertinggi diperoleh pada konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar 16% dengan kadar asetil SDA 37,21%, sedangkan terendah diperoleh pada konsentrasi SDA dalam larutan dope sebesar 18% dengan kadar asetil SDA 39,19%. Hasil pengukuran fluks albumin membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 5d. Histogram hubungan antara kadar asetil selulosa diasetat dan konsentrasinya terhadap fluks albumin dapat dilihat pada Gambar 24.

121

konsentrasi SDA dalam larutan cetak

0 10 20 30 40 50 60 37,21 38,11 39,19 40,22 SA komersial

Selulosa Diasetat (kadar asetil)

Fluks albumin (L/m2jam)

12% 14% 16% 18% 20%

Gambar 24. Histogram hubungan antara fluks albumin dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak

(pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar) Nilai fluks dekstran dan albumin dari membran ultrafiltrasi yang dihasilkan pada penelitian ini secara umum telah sesuai dengan nilai fluks proses ultrafiltrasi umumnya. Menurut Mulder (1996) pada proses ultrafiltrasi nilai fluks membran berkisar 10 – 50 L.m-2.jam-1. Membran UF yang dibuat oleh Marliana et al. (2000) dari selulosa asetat dengan pelarut aseton dan formamida mempunyai fluks 46,16 L.m-2.jam-1. Fluks dekstran membran yang dihasilkan relatif lebih kecil dibandingkan fluks membran UF selulosa asetat yang dihasilkan oleh Renner (1991) yaitu fluks tripsin (20 kDa) sebesar 80–120 L.m-2.jam-1.

Pengaruh Kadar Asetil Selulosa Diasetat dan Konsentrasi Selulosa Diasetat terhadap Fluks Air, Dekstran dan Albumin

Hasil pengukuran fluks air, dekstran (37 kDa) dan albumin (67 kDa) membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21%, 38,11% dan 39,19% pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 16% dan 18% menunjukkan fluks air berkisar 62,06-135,00 L.m-2.jam-1, fluks dekstran berkisar 18,77-63,13 L.m-2.jam-1, dan fluks albumin berkisar 12,63-54,43 L.m-2.jam-1. Hubungan antara fluks air, dekstran dan albumin terhadap kadar asetil selulosa diasetat (37,21%, 38,11%, 39,19%) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak (16%, 18%) dapat dilihat pada Gambar 25.

0 20 40 60 80 100 120 140 37,21% 38,11% 39,19%

Selulosa Diasetat (kadar asetil)

Fluks (L/m2.jam) Konsentrasi SDA 16%, umpan air Konsentrasi SDA 18%, umpan air Konsentrasi SDA 16%, umpan dekstran Konsentrasi SDA 18%, umpan dekstran Konsentrasi SDA 16%, umpan albumin Konsentrasi SDA 18%, umpan albumin

Gambar 25. Grafik hubungan antara fluks air, dektran dan albumin dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) pada konsentrasi SDA dalam

larutan cetak 16% dan 18% (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar)

123

Fluks air, dekstran dan albumin membran yang dihasilkan cenderung menurun dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat (SDA) yang digunakan baik pada konsentrasi SDA 16% dan 18%. Hal ini diduga terjadi karena semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan maka permukaan membran yang dihasilkan cenderung semakin rapat. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan morfologi membran dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) seperti pada Gambar 20 dan 21. Permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat ka dar asetil 42,22% terlihat lebih rapat dibandingkan permukaan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar aetil 37,21%.

Hasil penelitian Sivakumar et al. (1998) menunjukkan membran UF yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 39,9 % mempunyai fluks air yang relatif lebih kecil dibandingkan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,5%. Sivakumar et al. (1998) juga menyatakan fluks air cenderung semakin rendah dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa asetat.

Kadar asetil selulosa asetat dipengaruhi oleh jumlah gugus asetil yang terdapat pada molekul-molekul selulosa asetat tersebut. Semakin rendah kadar asetil selulosa asetat menunjukkan semakin sedikit jumlah gugus asetil yang dikandungnya. Bobot molekul gugus asetil (CH3COO) lebih besar dibandingkan bobot molekul gugus hidroksil (OH). Bobot molekul selulosa asetat cenderung akan meningkat dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat.

Hasil pengukuran fluks air, dekstran dan albumin membran yang dihasilkan (Gambar 25) juga menunjukkan fluks membran yang dibuat pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 16% relatif lebih tinggi

dibandingkang membran yang dibuat pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 18%. Diduga hal ini terjadi karena semakin tinggi konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope menyebabkan semakin besar fraksi polimer akibatnya permukaan membran yang dihasilkan cenderung semakin rapat.

Hasil penelitian Sivakumar et al. (1998) juga menunjukkan hal yang sama yaitu membran ultrafiltrasi yang dibuat pada perbandingan pelarut dengan polimer sebesar 4 (konsentrasi polimer 20%) mempunyai fluks air yang lebih rendah dibandingkan membran yang dibuat pada perbandingan pelarut dengan polimer sebesar 4,71 (konsentrasi polimer 17,5%). Mulder (1996) menyatakan bahwa konsentrasi polimer dalam larutan dope berpengaruh terhadap permukaan membran yang dihasilkan, dimana semakin tinggi konsentrasi polimer maka permukaan membran yang dihasilkan akan semakin rapat. Hasil penelitian Sia haan et al. (1999) pada pembuatan membran ultrafiltrasi dari selulosa diasetat dengan pelarut aseton dan aditif PEG juga menunjukkan fluks cenderung menurun dengan semakin tinggi konsentrasi selulosa diasetat yang digunakan.

Selektifitas Membran

Rejeksi Dekstran

Umpan dekstran yang digunakan mempunyai bobot molekul rata-rata 37 kDa. Hasil pengukuran rejeksi dengan umpan dekstran pada konsentrasi 200 ppm menunjukkan koefisien rejeksi dekstran membran yang dihasilkan berkisar 37,11 – 70.33%. Data koefisien rejeksi membran dapat dilihat pada Lampiran 5e. Koefisien rejeksi dektran tertinggi diperoleh pada konsentrasi selulosa diasetat mikrobial dalam larutan dope 14% dengan kadar asetil 40,22% sedangkan

125

terendah terjadi pada konsentrasi selulosa diasetat mikrobial dalam larutan dope 16% dengan kadar asetil 37,21%. Histogram hubungan konsentrasi dan kadar asetil selulosa diasetat mikrobial yang digunakan terhadap koefisien rejeksi dektran membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 26.

konsentrasi SDA dalam larutan cetak

0 10 20 30 40 50 60 70 80 37,21 38,11 39,19 40,22 SA komersial

Selulosa Diasetat (%asetil)

Rejeksi Dekstran (%)

12% 14% 16% 18% 20%

Gambar 26. Histogram hubungan antara rejeksi dektran dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak (pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar) Membran ultrafiltrasi yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai nilai rejeksi (%) dekstran (37 kDa) lebih kecil dari 90%. Hal ini menunjukkan membran UF yang dihasilkan mempunyai MWCO (Molecular Weight Cut Off) lebih besar dari 37 kDa.

Rejeksi Albumin

Hasil pengukuran rejeksi terhadap umpan albumin (BM 67 kDa) menunjukkan koefisien rejeksi albumin membran yang dihasilkan berkisar 89,72–100%. Koefisien rejeksi albumin tertinggi diperoleh pada konsentrasi

selulosa diasetat mikrobial dalam larutan dope 18% dengan kadar asetil 39,19% dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 14% dengan kadar asetil 40,22%. Koefisien rejeksi albumin terendah terjadi pada konsentrasi selulosa diasetat mikrobial 16% dengan kadar asetil 37,21%. Semua membran selulosa diasetat mikrobial yang dihasilkan mempunyai koefisien rejeksi albumin diatas 90 % kecuali pada membran yang dibuat dari selulosa diasetat konsentrasi SDA dalam larutan dope 16% dengan kadar asetil 37,21% dengan nilai koefisien rejeksi albumin sebesar 89,72%. Hasil pengukuran rejeksi albumin membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 5f. Histogram hubungan kadar asetil selulosa diasetat mikrobial yang digunakan dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak terhadap koefisien rejeksi albumin membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 27.

konsentrasi SDA dalam larutan cetak

84 86 88 90 92 94 96 98 100 37,21 38,11 39,19 40,22 SA komersial

Selulosa Diasetat (%asetil)

Rejeksi albumin (%)

12% 14% 16% 18% 20%

Gambar 27. Histogram hubungan antara rejeksi albumin dengan kadar asetil selulosa diasetat dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak (pengukuran pada tekanan 1,4 bar,

127

Metoda pengukuran rejeksi padatan (Solute Rejection Measurements) atau dikenal dengan pengukuran Molecular Weight Cut Off (MWCO) merupakan metoda yang banyak digunakan untuk mengkarakterisasi membran ultrafiltrasi (Mulder, (1996); Cheryan, (1998)). MWCO didefinisikan sebagai ukuran bobot molekul partikel (makromolekul) yang 90 persen dapat direjeksi oleh membran. Kemampuan membran untuk menahan partikel ukuran tertentu merupakan parameter kinerja membran paling penting disamping kemampuan permeabilitasnya.

Hasil pengukuran rejeksi membran dengan menggunakan umpan berupa albumin BSA (bobot molekul 67 kDa) dan dekstran (bobot molekul 37 kDa) menunjukkan semua membran yang dihasilkan dapat menyaring lebih dari 90% albumin tetapi kemampuan menyaring dekstran kurang dari 90%. Membran UF yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21% konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 16%, 18%, 20% dan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,11% konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 14% dan 16% mempunyai nilai rejeksi albumin berkisar 89,72-95%, sehingga membran ini dapat dikelompokkan menjadi membran dengan MWCO 67 kDa.

Membran UF yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,11% konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 18% dan 20% dan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 39,19% konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 12%, 14%, 16% dan 18% serta membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 40,22% konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan dope 12% dan 14% mempunyai nilai rejeksi albumin berkisar 95-100% dan rejeksi dekstran berkisar 50-70%, sehingga membran ini dapat dikelompokkan

menjadi membran dengan MWCO kecil dari 67 kDa tetapi lebih besar dari 37 kDa. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran rejeksi dengan menggunakan umpan yang berbobot molekul antara 37 kDa hingga 67 kDa sehingga dengan metoda interpolasi (Lampiran 6h) membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 38,11% (konsentrasi SDA dalam larutan cetak 18%, 20%) dan membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 39,19% (konsentrasi SDA dalam larutan cetak 12%,14%,16%,18%) serta membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 40,22% (konsentrasi SDA 12%,14%) dikelompokkan sebagai membran ultrafiltrasi yang mempunyai MWCO sebesar 60 kDa.

Pengaruh Kadar Asetil Selulosa Diasetat dan Konsentrasi Selulosa Diasetat dalam Larutan Cetak terhadap Rejeksi Dekstran dan Albumin.

Hasil pengukuran rejeksi membran yang dibuat dari selulosa diasetat kadar asetil 37,21%, 38,11% dan 39,19% pada konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak sebesar 16% dan 18% dengan menggunakan umpan dekstra n (BM 37 kDa) dan album in (BM 67 kDa) menunjukkan koefisien rejeksi dekstran berkisar 37,11-70,16% sedangkan koefisien rejeksi albumin berkisar 89,72– 100%. Grafik hubungan kadar asetil selulosa diasetat mikrobial yang digunakan dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak terhadap koefisien rejeksi dekstran dan albumin membran yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 28.

129 0 20 40 60 80 100 120 37.21% 38.11% 39.1%

Selulosa diasetat (kadar asetil)

Rejeksi (%) konsentrasi SDA 16%, umpan dekstran konsentrasi SDA 18%, umpan dekstran konsentrasi SDA 16%, umpan albumin konsentrasi SDA 18%, umpan albumin

Gambar 28. Grafik hubungan antara rejeksi dekstran dan albumin dengan kadar asetil selulosa diasetat (SDA) dan konsentrasi SDA dalam larutan cetak

(pengukuran pada tekanan 1,4 bar, laju alir 45 L/jam, suhu kamar) Meskipun koefisien rejeksi albumin membran yang dihasilkan relatif tidak berbeda (lebih besar dari 90%) nam un kemampuan merejeksi membran yang dihasilkan cenderung semakin meningkat dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan terutama untuk umpan dekstran. Diduga hal ini terjadi karena semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan maka cenderung ukuran pori membran semakin kecil. Hal ini didukung hasil pengamatan permukaan membran dengan menggunakan SEM (Gambar 20 dan 21) yaitu permukaan membran cenderung semakin rapat dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan. Hal ini juga didukung oleh hasil pengujian terhadap fluks membran yang dihasilkan yaitu fluks cenderung semakin rendah dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan.

Hasil penelitian Sivakumar et al. (1998) menunjukkan rejeksi membran ultrafiltrasi selulosa asetat cenderung semakin besar dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat yang digunakan. Ulrich (1966) dalam Junaedi (2004) menyatakan kandungan asetil dalam membran selulosa asetat berpengaruh

terhadap permeabilitas dan selektifitas membran yang dihasilkan, permeabilitas akan semakin menurun dengan semakin tinggi kadar asetil sebaliknya selektifitas akan semakin meningkat dengan semakin tinggi kandungan asetil.

Koefisien rejeksi membran yang dibuat pa da konsentrasi selulosa diasetat 18% relatif lebih besar dibandingkan koefisien rejeksi membran yang dibuat pada konsentrasi selulosa diasetat 16%. Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi selulosa asetat dalam larutan dope maka ukuran pori membran ayng dihasilkan cenderung semakin kecil. Hasil pengukuran fluks membran juga mendukung dugaan ini karena fluks cenderung menurun dengan semakin tinggi konsentrasi selulosa asetat. Hal ini sesuai dengan Mulder (1996) dan Cheryan (1998) yang menyatakan permukaan membran akan semakin rapat dengan semakin tinggi konsentrasi polimer yang digunakan. Sabde et al. (1997) juga