• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Spektra Gugus Fungsi FTIR Surfaktan APG Komersial

Pemilihan katalis pada proses sintesis APG, bertujuan untuk mempercepat proses sintesis APG. Schick (1987) menyatakan bahwa katalis asam yang dapat digunakan pada sintesis surfaktan APG antara lain :

15

 Katalis asam onorganik, misalnya : asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.  Katalis asam organik, misalnya : asam trifluoroasetat, asam para toluena

surfonat, asam sulfosuksinat, dll.

 Asam yang berasal dari surfaktan, misalnya : asam alkil benzena surfonat, akohol lemak surfat, dll.

Buchanan dan Wood (2000) menyatakan bahwa katalis yang digunakan pada sintesis surfaktan APG sebaiknya katalis p-toluene sulfonic acid (asam para toluena sulfonat/PTSA), karena merupakan katalis organik dan bersifat mudah terurai oleh lingkungan serta merupakan jenis asam lemah. Selain itu, penggunaan jenis asam lemah bertujuan untuk memudahkan pada proses netralisasi. Katalis PTSA juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al. 2000).

Katalis yang digunakan sebaiknya tidak menggunakan asam kuat karena dapat menghidrolisa glukosa, selain itu juga dapat bersifat korosif pada pipa besi ataupun stainless steel. Buchanan dan Wood (2000) menyatakan bahwa penggunaan katalis pada sintesis APG sebaiknya 0.009, 0.018, 0.027 dan 0.036 mol, namun penggunaan katalis PTSA sebaiknya digunakan dengan 0.018 mol. Proses ini terjadi pada suhu 140-150 0

Penggunaan bahan baku sakarida yang berasal dari pati terlebih dahulu terjadi proses hidrolisis kemudian proses alkoholisis, selain menghasilkan produk butil glikosida juga terbentuk warna yang gelap akibat degradasi dari gula.

C, dengan tekanan 4.5-7 bar selama selama 30 menit (Wuest et al. 1992).

2.2.2.2 Tahap Transasetalisasi

Produk dari tahap butanolisis yaitu butil glikosida kemudian direaksikan dengan alkohol lemak C10 dan C12. Putri (2010) menyatakan bahwa optimasi ratio mol pati tapioka dengan alkohol lemak sebesar 1:4.7. Butil glikosida tidak dapat bercampur dengan alkohol lemak C10 dan C12, hal ini dikarenakan perbedaan polaritas untuk itu perlu dilakukan penambahan solubilizer (Balzer dan Luders 1994). Schmitt (1993) menyatakan bahwa penggunaan solubilizer N-metil 2 pirolidon (NMP) dapat melarutkan metil monoglikosida dan alkohol lemak C10 dan C12, namun bahan ini bersifat racun terhadap lingkungan. Salah satu solubilizer yang sejenis dengan NMP dan bersifat tidak mencemari lingkungan adalah dimetil solfooksida (DMSO) dengan rumus molekul (CH3)2SO. DMSO merupakan asam

lemah dengan titik didih 179 0C dan akan terpisah pada saat distilasi. Penggunaan DMSO sebaiknya 0.1 mol/bobot mol pati (Balzer dan Luders 1994).

Katalis asam yang digunakan pada proses transasetalisasi juga menggunakan PTSA sebanyak 0.009 mol/bobot mol pati. Pada proses ini, butanol dan air akan teruapkan dan ditampung dalam separator. Proses transasetalisasi ini terjadi pada suhu 110-120 0

Kondisi asam dan suhu tinggi selama proses sintesis akan menghasilkan produk sekunder (by-product) seperti polidekstrosa yang berupa endapan pasta berwarna gelap. Penggunaan suhu tinggi (>120

C dengan tekanan vakum dan selama 2 jam (Wuest et al. 1992).

0

C) dapat mempercepat pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat (McCurry et al. 1994). Borsotti dan Pellizzon (1996) menyatakan bahwa pemakaian katalis dapat menghasilkan endapan yang berupa pasta pada proses transasetalisasi, untuk itu perlu dilakukan penyaringan sebelum dilanjutkan ke tahap pemurnian.

2.2.2.3 Tahap Pemurnian Proses Netralisasi

Proses netralisasi bertujuan untuk mengatur pH produk, agar produk pada kondisi basa dengan pH 8-9. Basa yang digunakan untuk proses netralisasi ini diantaranya natrium hidroksida, potasium hidroksida, aluminium hidroksida dan lain sebagainya (Wuest et al. 1992). Proses netralisasi dilakukan pada suhu 70-90 0

Penggunaan natrium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan, karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol ataupun produk. NaOH yang digunakan untuk proses netralisasi sebaiknya dengan konsentrasi 50% (McCurry dan Pickens 1990). Penambahan katalis NaOH pada proses ini juga akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al. 1992). Pada umumnya industri menggunakan NaOH pada proses netralisasi, karena selain murah juga lebih efisien (Ketaren 1996).

C dengan tekanan 1 atm dan waktu 30 menit.

Pada proses ini ratio mol pati terhadap alkohol lemak akan berpengaruh pada jumlah basa yang digunakan, karena alkohol lemak cenderung bersifat asam. Semakin banyak jumlah alkohol lemak yang digunakan, maka semakin banyak pula basa yang dibutuhkan (Hill et al. 2000).

17

Proses Distilasi

Proses distilasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan yang rendah, agar alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi teruapkan. Proses ini terjadi pada suhu 140- 160 0

Hasil akhir dari proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar yang berbentuk pasta berwarna coklat kehitaman dan bau yang kurang enak. Produk surfaktan APG yang beredar dipasaran berwarna bening dengan bau yang enak, oleh sebab itu perlu dilakukan proses pelarutan dan pemucatan untuk memperoleh surfaktan APG yang sesuai beredar dipasaran.

C dengan tekanan vakum selama 2 jam. Wuest et al. (1992) mengatakan bahwa semakin panjang rantai atom alkohol lemak yang digunakan maka akan semakin tinggi suhu yang dibutuhkan dan semakin rendah tekanannya. Pada proses ini diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak sekecil mungkin pada produk surfaktan APG yang dihasilkan, yaitu kurang 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi efektifitas kerja dari surfaktan APG.

Proses Pelarutan

Proses pelarutan merupakan proses pengenceran APG kasar yang diperoleh setelah proses distilasi. Pelarutan dilakukan dengan penambahan air, dimana air yang digunakan untuk pengenceran sebaiknya pada suhu sekitar 60-80 °C dengan perbandingan 1 : 1 dari bobot APG kasar (Borsotti dan Pellizon 1996).

Proses Pemucatan (Bleaching)

Tahap pemurnian merupakan suatu tahap untuk meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa metode pemurnian yang dikenal adalah secara kimia dan fisika. Pemurnian secara fisika membutuhkan peralatan penunjang yang cukup spesifik, sehingga diperoleh produk akhir yang lebih baik pula dengan warna yang lebih jernih. Pemurnian secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan hanya memerlukan metode pencampuran dengan senyawa kimia lainnya (Hernani 2007).

Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan

bau yang tidak diinginkan. Proses pemucatan (bleaching) merupakan tahap akhir dari proses sintesis surfaktan APG.

Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dan logam alkali yang dilakukan pada suhu 80-90 0C selama 40-60 menit pada tekanan normal (Hill et al. 2000). McCurry et al. (1994), menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna yang tidak diinginkan pada produk surfaktan APG. Konsentrasi NaOH dan MgO yang efektif digunakan sekitar 250-1000 ppm, namun lebih baik lagi sekitar 500-700 ppm. Penggunaan logam alkali NaOH dan MgO sebagai bahan aktivator serta penambahan H2O2 akan menghasilkan surfaktan APG berwarna lebih jernih, dimana konsentrasi H2O2

adalah 35% (b/v) sebanyak 2% dari bobot surfaktan APG kasar (b/b).

2.2.3 Bahan pemucat pada sintesis surfaktan APG

Bahan pemucat (bleaching agent) merupakan suatu bahan yang dapat memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Pemucatan dengan bahan kimia pada umumnya dibagi dua macam yaitu pemucatan dengan proses oksidasi dan proses reduksi. Proses ini melibatkan proses oksidasi dan reduksi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dengan menggunakan bahan kimia banyak digunakan, karena hilangnya sebagian produk dapat dihindarkan dan zat warna yang diubah menjadi zat yang tidak berwarna tetap tinggal dalam produk (Djatmiko dan Ketaren 1985). Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, CaSO4, TiO2

Hidrogen peroksida (H

, dll.

2O2) merupakan cairan yang berwarna bening namun agak lebih kental daripada dalam air. Hidrogen proksida merupaka kegunaan larutan ini adalah sebagai baha peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya, hanya air dan oksigen.

19

Hidrogen peroksida ditemukan oleh Louis Jacques Thenard di tahun 1818. Senyawa ini merupakan bahan kimia anorganik yang terdiri atas gas hidrogen (H2) dan gas oksigen (O2), dengan titik didih 150.2 0

Penggunaan hidrogen peroksida biasa dikombinasikan dengan NaOH atau alkali lainnya, dimana semakin basa kondisi suatu reaksi maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi dan sangat mudah terurai. Proses penguraian hidrogen peroksida juga dapat dipercepat dengan meningkatnya suhu selama proses reaksi. Zat reaktif dalam sistem pemucatan dengan hidrogen peroksida dalam suasana basa yaitu anion perhidroksil (HOO

C. Hidrogen peroksida banyak digunakan sebagai bahan pemucat (bleaching agent) pada industri pulp, kertas, tekstil, farmasi, deterjen, perawatan diri, makanan dan minuman. Pada kondisi normal (kondisi ambient) dan asam, hidrogen peroksida sangat stabil. Namun pada kondisi basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun akan semakin tinggi. Selain itu, hidrogen peroksida dapat merusak ikatan rangkap pigmen, dari yang berwarna menjadi komponen tidak berwarna (Onggo dan Astuti 2005).

-

H

), dimana anion yang terbentuk berasal dari penambahan alkali dan terjadi reaksi sebagai berikut :

2O2 + HO-↔ HOO- + H2 Ion HOO

O -

H

inilah yang mempunyai peran aktif didalam proses pemutihan, namun jika terdapat logam transisi seperti Fe, Mn, Mg dan Cu maka reaksi dekomposisi hidrogen peroksida dalam larutan basa berlangsung menurut reaksi berikut :

2O2 + HO2 → H2O + O2

Pada saat mengalami dekomposisi, hidrogen peroksida terurai menjadi air dan gas oksigen (Ulia 2007). Pada proses pemucatan, diharapkan yang terjadi pada persamaan reaksi yang pertama karena menghasilkan ion HOO

+ HO

-

. Pada reaksi yang kedua proses pemucatan berlangsung dengan memberikan efek oksidasi dengan terbentuknya senyawa O2 namun daya pemucatannya kurang efektif jika dibandingkan dengan persamaan pertama (Fuadi dan Sulistya 2008).

2.3 Pembuatan sabun cuci tangan cair

Penggunaan sabun dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak asing lagi, yang fungsi utamanya merupakan sebagai pencuci. Berbagai jenis sabun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mulai dari sabun cuci (krim dan bubuk), sabun

mandi (padat dan cair), sabun tangan (cair), serta sabun pembersih peralatan rumah tangga (cair dan krim). Sabun cuci tangan cair adalah bahan pencuci dan pembersih cair yang digunakan untuk mencuci tangan (Paul et al. 2003).

Wibisono dan Budiono (2004) menyatakan bahwa berdasarkan dari jenis bahan bakunya, sabun dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu : (1) Sabun yang dibuat dari asam lemak dan logam yang digaramkan. Logam yang

digunakan biasanya dari jenis logam alkali, misalnya natrium dan kalium. Jenis sabun yang dihasilkan di antaranya adalah sabun mandi padat dan krim.

(2) Sabun yang dibuat dari bahan dasar zat aktif permukaan (ZAP). Pada umumnya, sabun dengan bahan dasar ZAP menghasilkan produk cair. Salah satu contoh zat aktif permukaan adalah alkil poliglikosida (APG).

Pencucian adalah proses membersihkan suatu permukaan benda padat dengan bantuan larutan pencuci melalui suatu proses kimia-fisika yang disebut deterjensi. Sifat utama dari kerja deterjensi adalah membasahi permukaan yang kotor kemudian melepaskan kotoran. Pembasahan berarti penurunan tegangan muka padatan-cair. Pencucian atau pelepasan kotoran berlangsung dengan jalan mendispersikan dan mengemulsi kotoran, lalu dengan bantuan aksi mekanik kotoran menjadi terlepas dari permukaan benda padat. Kotoran padat dapat melekat karena adanya pengaruh : ikatan minyak, gaya listrik statik, dan ikatan hidrogen (Amato 2007).

Somasundaran et al. (2007) menyatakan bahwa surfaktan berbasis pati (gula) memiliki sifat pembusaan yang baik, tidak beracun pada permukaan kulit terutama pada pemakaian untuk tangan serta dapat mengurangi efek iritasi karena pengaruh pemakaian surfaktan jenis lain.

Pada pembuatan sabun, peran bahan penolong dan pengisi sangat besar karena akan sangat menentukan mutu dan kenampakan sabun yang dihasilkan. Zat- zat yang biasa digunakan sebagai bahan penolong adalah : (1) Garam, berfungsi sebagai pengental. Semakin banyak jumlah garam yang dimasukkan, maka sabun yang dihasilkan akan semakin kental (2) Alkali, pengatur pH larutan sabun dan penambah daya deterjensi (3) Zat pemberi busa, untuk meningkatkan pencucian yang bersih. Jika sabun tanpa busa, maka kemungkinan besar sabun telah mengendap sebagai sabun kalsium atau sabun tidak larut lainnya (4) EDTA, sebagai pengikat logam sadah dan pengawet (5) Pewangi, untuk memberikan aroma tertentu

21

sesuai selera dan meningkatkan daya tarik dari sabun yang dihasilkan (6) Zat warna, memberi warna pada sabun agar mempunyai penampilan menarik (Perdana dan Hakim 2007).

2.3.1 Polisorbat 20

Polisorbat merupakan etilen oksida yang diesterkan pada gugus hidroksi dengan asam lemak. Adanya gugus etilen pada molekul menyebabkan sifat-sifat hidrofilik yang menonjol jika dibandingkan dengan ester asam lemak. Pada umumnya polisorbat digunakan sebagai zat pelarut dan pengemulsi. memadukan lebih dari satu surfaktan dapat digunakan untuk sistem emulsi yang mempunyai keseimbangan antara hidrofilik dan hidrofobik (Rusmawati et al. 2002).

Polisorbat 20 termasuk dalam jenis surfaktan nonionik, yang memiliki karakter : berbentuk cairan seperti minyak, berwarna jernih kuning muda, berbau khas, rasa pahit, sangat larut dalam air. Polisorbat memiliki nama lain yaitu tween 20, polioksietilen sorbitan monolaurat, emulsifier tween 20. Rumus molekul dari polisorbat adalah C58H114O26 , bobot molekul 1 227.54 g/mol dan titik didih 100 0C (Wikipedia 2007).

2.3.2 Triklosan

Triklosan merupakan bahan kimia yang tergolong dalam zat antiseptik dan anti mikroba yang banyak terdapat pada sabun, obat kumur, pasta gigi, deodorant dan sebagainya. Triklosan mempunyai daya antimikroba dengan spektrum luas yang dapat membunuh berbagai macam bakteri yang terdapat pada kulit dan permukaan lainnya serta mempunyai sifat toksisitas yang rendah (Glaser 2004). Triklosan berupa padatan bubuk berwarna putih dengan rumus kimia C12H7Cl3O2

Pada pencapaian kondisi yang efektif, penggunaan triklosan pada sabun pembusa cair antiseptik diimbangi dengan polisorbat 20. Penggunaan polisorbat 20 bertujuan untuk membantu melarutkan triklosan, karena triklosan merupakan bahan yang tidak larut dalam air (Paul et al. 2003). Formulasi sabun pembusa cair antiseptik dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Formulasi sabun pembusa cair antiseptik Bahan Komposisi (%) Surfaktan 35-70 Polisorbat 20 10-30 Triklosan 0.2-2 Pewangi 1-3 Air 40-80

Sumber : Paul et al. (2003)

2.4. Karakteristik surfaktan APG 2.4.1 Stabilitas Emulsi

Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakterisasi terpenting serta mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan. Emulsi merupakan adalah campuran dari dua atau lebih bahan yang tidak bercampur (unblendable), saling ingin berpisah karena mempunyai berat jenis yang berbeda. Cairan yang satu terdispersi dalam bentuk globula-globula atau butir- butir kecil di dalam cairan lainnya. Cairan yang mendispersikan disebut dengan fase kontinyu, sedangkan butir-butir yang terlarut disebut dengan fase terdispersi (Somasundaran et al. 2007). Emulsi cenderung memiliki penampilan berawan, karena fase antarmuka menyebar. Emulsi yang tidak stabil merupakan emulsi yang tidak terbentuk secara spontan. Pembentukan emulsi dapat terjadi dengan adanya getaran, pengadukan atau pada proses penyemprotan. Emulsi yang tidak stabil akan cepat terpisah tanpa adanya getaran, guncangan kecuali terjadi secara terus menerus. Emulsi dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu emulsi dengan sistem o/w (oil in water) dan emulsi dengan sistem w/o (water in oil). Kondisi tergantung dari bagian yang menjadi fase kontinu atau bagian yang menjadi fase diskontinu. Contoh umum untuk emulsi o/w adalah air susu dan mayonaise, sedangkan contoh emulsi w/o adalah margarin dan mentega. Komponen yang paling penting dalam pembentukan emulsi adalah minyak, karena minyak menentukan apakah bentukan emulsi adalah o/w atau w/o. Jenis dan jumlah minyak yang ditambahkan berpengaruh terhadap kestabilan emulsi.

2.4.2 Tegangan Permukaan

Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase (Myers 2006). Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik

23

dan hidrofilik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antarmuka (Rosen 2004). Tegangan permukaan dapat diukur menggunakan Tensiometer metode Du Nouy yang dinyatakan dalam dyne/cm atau mN/m.

2.4.3 Tegangan Antarmuka

Tegangan antarmuka adalah gaya persatuan panjang yang terjadi pada antarmuka dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Tegangan antarmuka merupakan hal yang sangat penting dalam memberikan ciri terhadap suatu surfaktan. Kemampuannya menurunkan tegangan antarmuka disebabkan karena surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik (Myers 2006). Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut, kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan. Surfaktan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka (Matheson 1996). Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar 1989).

2.4.4 H L B (Hydrophile - Lipophile Balance)

Keseimbangan antara jumlah molekul hidrofilik dan hidrofobik dihitung dengan nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance). Nilai HLB berkisar antara 0-40, hal ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas surfaktan berdasarkan data emulsi. HLB dapat menunjukkan tipe aplikasi surfaktan tergantung nilai interval HLB. Emulsifier untuk water in oil emulsi (w/o emulsion) harus yang bersifat hidrofobik dengan nilai HLB 3-6, sedangkan untuk oil in water emulsi (o/w emulsion) diperlukan emulsifier dengan HLB 8-18 (Schick 1987). Nilai HLB dan aplikasinya (Metode Griffin) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai HLB, karakteristik dan aplikasinya

Kisaran HLB Aplikasi

3-6 emulsi air dalam minyak (w/o)

7-9 sebagai bahan pembasah

8-14 emulsi minyak dalam air (o/w)

9-13 untuk deterjen

10-13 sebagai solubilizer

12-17 untuk dispersant

3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Surfaktan APG (Alkil Poliglikosida) merupakan surfaktan nonionik yang pada umumnya digunakan sebagai formulasi beberapa produk-produk perawatan diri (personal care products), formulasi herbisida, produk kosmetik maupun untuk pemucatan kain tekstil. Bahan baku surfaktan APG adalah alkohol lemak (fatty alcohol) yang berbasis minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit atau minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil) serta karbohidrat dari pati seperti tapioka. Proses sintesis surfaktan APG dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap butanolisis dan transasetalisasi, dimana kedua cara ini kemudian dilanjutkan dengan tahap pemurnian yaitu netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Penggunaan bahan baku pati pada proses sintesis surfaktan APG memiliki beberapa keunggulan, diantaranya ketersediaan pati yang banyak serta harganya yang lebih murah. Pada tahap transasetalisasi, produk dari tahap butanolisis (butil glikosida) direaksikan dengan alkohol lemak pada panjang rantai atom C10 dan C12. Hal ini dikarenakan alkohol lemak C10 dan C12 memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta sebagai bahan pembersih yang baik untuk produk-produk perawatan diri (personal care products) (Rosen 2004). Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan bau yang tidak diinginkan pada surfaktan APG. McCurry et al. (1994), menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) sebagai bahan aktivator dengan konsentrasi berkisar antara 500-700 ppm. Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan dikaji sintesis surfaktan APG dari jenis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C10 dan C12

Surfaktan APG memiliki kinerja yang dapat meningkatkan kestabilan emulsi, mampu menurunkan tegangan permukaan serta mampu menurunkan tegangan antarmuka. Surfaktan APG terbaik yang dihasilkan, diaplikasikan pada pembuatan sabun cuci tangan cair. Sabun cuci tangan cair yang dihasilkan, diuji karakteristiknya berupa pH, bobot jenis, cemaran mikroba serta uji organoleptik.

yang akan menghasilkan tingkat kejernihan dan karakteristik surfaktan APG yang baik.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Proses, Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan Agustus 2010.

3.3 Bahan dan Alat 3.3.1 Bahan

Bahan baku utama pada penelitian ini adalah alkohol lemak (fatty alcohol) dengan panjang rantai karbon C10 dan C12 yang diperoleh dari PT. Ecogreen Oleochemical di Batam, serta tapioka yang dibeli di supermarket Bogor. Bahan kimia untuk pereaksi pada sintesis surfaktan APG adalah butanol, aquadest, katalis p-toluene sulfonic acid (PTSA), Dimetil sulfooksida (DMSO), H2O2, NaOH, MgO. Bahan kimia untuk analisis surfaktan APG adalah piridina, xilena, benzene. Bahan kimia yang digunakan pada pembuatan sabun cuci tangan cair adalah triklosan, polisorbat 20 dan pewangi. Bahan kimia untuk analisis sabun cuci tangan cair adalah garam fisiologis dan Plate Count Agar (PCA).

3.3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor double jacket yang dilengkapi dengan termostat, agitator dan motor, kondensor, pompa vakum, magnetic stirrer, oven, Cole-parmer surface tensiometer, pH meter, hot plate, termometer, FTIR Spectronic 20, timbangan analitik, buret dan statif serta peralatan glassware.

3.4 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu : sintesis surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) berbasis alkohol lemak dari jenis panjang rantai atom C10 dan C12 dan tapioka, serta mengaplikasikan surfaktan APG hasil sintesis terbaik pada pembuatan sabun cuci tangan cair.

27

3.4.1 Sintesis Surfaktan APG

3.4.1.1 Proses sintesis surfaktan APG

Untuk sintesis surfaktan APG yang dilakukan pada penelitian ini, bahan baku yang digunakan berupa alkohol lemak C10 dan C12

Pada tahap transasetalisasi, hasil dari tahap butanolisis direaksikan dengan alcohol lemak C

dan pati. Ratio bahan untuk proses sintesis surfaktan APG pada tahap butanolisis adalah pati:butanol:air:katalis PTSA dengan ratio mol 1:8.5:8:0.018. Bobot air yang digunakan pada sintesis surfaktan APG ditentukan berdasarkan kadar air awal yang terdapat pada pati. Analisis kadar air pada pati, dapat dilihat pada Lampiran 1.

10 (A1) dan C12

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Tersarang, dengan kajian pengaruh tiga faktor yaitu jenis alkohol lemak (fatty alcohol), bahan aktivator dan konsentrasi bahan aktivator. Jenis alkohol lemak terdiri dua taraf faktor yaitu :

Dokumen terkait