V. ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN RADIASI SURYA PADA TANAMAN
5.4.3 Hubungan LAI dengan Intersepsi Radiasi Surya
. Jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh varietas Granola lebih besar dibandingkan dengan Atlantis. Hal ini disebabkan oleh morfologi dan
karakteristik dari kedua varietas berbeda dalam mengintersepsi radiasi surya yang diwakili oleh nilai k (koefisien pemadaman) yang dihitung dalam percobaan ini yaitu k = 0,318 (Granola) dan k = 0,176 (Atlantis). Hasil ini sesuai dengan pendapat Makarim (2009) yang menyatakan bahwa jumlah radiasi surya yang terintersepsi oleh tanaman dipengaruhi oleh varietas, karena varietas yang berbeda akan memiliki karakteristik atau morfologi tertentu.
Indeks luas daun (LAI) pada tanaman kentang berhubungan dengan jumlah radiasi surya kumulatif yang diintersepsi oleh tajuk tanaman (Higashide 2009). Gambar 15 menunjukkan hubungan antara LAI dengan radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman kentang pada Percobaan II dan III.
(a) (b) Gambar 15. Hubungan nilai LAI dengan intersepsi radiasi surya kumulatif pada
tajuk tanaman, pada Percobaan II (a), dan Percobaan III (b).
Intersepsi radiasi surya semakin besar dengan peningkatan nilai LAI sampai mencapai nilai maksimum yaitu pada saat tajuk tanaman menutup rapat permukaan tanah. Intersepsi radiasi surya akan berkurang dengan penurunan nilai
LAI seiring dengan bertambahan umur tanaman, karena daun sudah mulai mengering dan rontok.
Pada Percobaan II pola hubungan antara LAI dan radiasi yang diintersepsi tajuk pada perlakuan ukuran umbi bibit serupa dengan perlakuan jarak tanam. Pada Gambar 15a terlihat tanaman kentang dengan ukuran umbi bibit kecil mengintersepsi radiasi surya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran umbi bibit sedang dan besar, dengan kisaran LAI yang juga lebih kecil dibandingkan dengan ukuran umbi bibit sedang dan besar.
Pada percobaan III nilai LAI dari varietas Atlantis rata-rata lebih besar dibandingkan Granola, sehingga seharusnya jumlah radiasi yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang varietas Atlantis lebih besar. Namun berdasarkan hasil ini terjadi sebaliknya, varietas Granola mengintersepsi radiasi surya lebih besar. Seperti disebut sebelumnya, hal ini disebabkan oleh karakteristik dan morfologi tajuk dari kedua varietas dalam mentransmisikan radiasi surya sehingga menghasilkan nilai koefisien pemadaman yang berbeda. Tanaman yang ditanam dengan jarak tanam lebih rapat (20 cm x 20 cm) juga mengintersepsi radiasi surya yang lebih banyak dari jarak tanam yang renggang (20 cm x 40 cm), baik pada varietas Granola maupun Atlantis.
5.4.4. Biomassa Tanaman Kentang.
Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman dari minggu ke minggu setelah tanam terus meningkat diikuti dengan pertambahan biomassa yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan hubungan yang erat antara intersepsi radiasi surya oleh tajuk tanaman dengan biomassa yang didukung oleh hasil penelitian Wajid (2010) yang menyatakan bahwa jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman akan proporsional dengan berat kering (biomassa) tanaman. Rasio antara biomassa dengan radiasi yang diintersepsi tersebut merupakan indikator efisiensi penggunaan radiasi surya oleh tanaman yang secara langsung dapat diukur dari jumlah radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman dan biomassa tanaman (Vieira et al. 2009). Kejadian radiasi surya yang mengenai klorofil tanaman, memungkinkan klorofil membentuk bahan kering dalam proses fotosintesis
Berat kering tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang umum digunakan untuk menggambarkan keseluruhan pertumbuhan tanaman atau suatu
organ tertentu (Kooman et al. 1996). Pada tanaman kentang biomassa yang
dihasilkan akan dialokasikan ke bagian akar, batang, dan, dan umbi, yang proporsinya tergantung pada fase perkembangan tanaman (Tekalign dan Hammes 2005). Gambar 16 menunjukkan berat kering akar, batang, daun dan umbi menurut perlakuan jarak tanam dan ukuran umbi pada Percobaan II.
(a) (b)
Gambar 16. Biomassa akar, batang, daun dan umbi pada Percobaan II, perlakuan jarak tanam (a) dan perlakuan ukuran umbi bibit (b). Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku
Jarak tanam J1 (20 cm x 20 cm) menghasilkan biomassa akar, batang, daun, dan umbi yang lebih tinggi dari jarak tanam J2 (20 cm x 30 cm). Hal ini dikarenakan pada jarak tanam J1 intersepsi radiasi surya lebih besar sehingga biomassa yang dihasilkan lebih tinggi.
Ukuran besar umbi bibit juga berpengaruh terhadap biomassa yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kentang dengan ukuran umbi besar menghasilkan biomassa akar, batang, daun, dan umbi yang lebih besar dari ukuran umbi sedang dan kecil. Perbedaan hasil ini bisa disebabkan oleh laju pertumbuhan pada tanaman kentang dengan ukuran umbi bibit besar lebih tinggi dibandingkan ukuran umbi bibit sedang dan kecil.
Pada pengukuran biomassa umbi, minggu pertama pengukuran belum semua tanaman kentang memiliki umbi. Biomassa umbi yang terukur semakin bertambah tiap minggu seiring dengan semakin besar nilai LAI dan intersepsi radiasi pada tajuk. Biomassa umbi paling tinggi dihasilkan dari tanaman kentang yang berasal dari umbi besar dan jarak tanam 20 cm x 20 cm (U1J1). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sutapradja (2008), penggunaan umbi bibit yang besar dengan jarak tanam rapat menghasilkan umbi lebih banyak. Semakin besar ukuran umbi bibit, maka semakin banyak pula jumlah tanaman yang dipanen.
Gambar 17 menunjukkan berat kering akar, batang, daun dan umbi menurut perlakuan jarak tanam dan varietas pada Percobaan III. Biomassa umbi yang dihasilkan dari varietas Granola dan Atlantis minggu setelah tanam juga terus meningkat.
Rata-rata berat umbi kering varietas Atlantis, dengan kadar air sebesar 84%, tiap minggu selama pengukuran berlangsung adalah 184,4 g m-2, lebih besar dari Granola sebesar 140,2 g m-2. Hal ini dikarenakan LAI varietas Atlantis lebih besar dibandingkan varietas Granola. Menurut Shah (2004) produksi kentang secara signifikan ditentukan oleh LAI. Setelah minggu ke sebelas pengukuran memasuki fase matang fisiologi, rata-rata daun tanaman kentang kelihatan kekuning-kuningan, daun mulai gugur, keseluruhan hasil asimilasi diakumulasikan ke umbi dan pada akhirnya tanaman kering dan mati, pada tahapan ini pertumbuhan umbi maksimum.
(a) (b)
Gambar 17. Biomassa akar, batang, daun dan umbi pada Percobaan III, perlakuan jarak tanam (a) dan perlakuan varietas (b). Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku.
5.4.5. Efisiensi Penggunaan Radiasi (RUE)
Radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman kentang digunakan untuk pertumbuhan organ-organ tanaman termasuk produksi umbi. Efisiensi
tanaman dengan radiasi yang diintersepsi oleh tajuk tanaman secara kumulatif (Richter et al. 2001). Nilai RUE menunjukkan efisiensi radiasi surya yang digunakan dalam proses fotosintesis tanaman untuk menghasilkan biomassa tanaman. Semakin besar nilai RUE maka semakin efisien tanaman dalam menggunakan radiasi surya dan semakin besar biomassa yang terbentuk (Mondani
et al. 2011). Nilai RUE dapat pula digunakan untuk mengevaluasi morfologi tanaman dan pembatasan produksi pada kondisi iklim dan cuaca yang berbeda
(Tesfaye et al. 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Shah et al. (2004) nilai RI (radiation
interception) dan RUE dapat digunakan untuk memprediksi produksi biomassa yang dihasilkan dalam sistem pertanian. Perhitungan nilai RUE pada Percobaan II dan III ini menggunakan data berat kering di atas tanah, yang terdiri dari batang
dan daun (above ground biomass/AGB) dan data berat kering total (akar, batang,
daun, dan umbi) dari kentang varietas Granola (G1 dan G2) dan Atlantis (G4).
Data biomassa yang diamati pada penelitian ini merupakan nilai akumulasi berat kering akar, batang, daun, dan umbi setiap minggu. Perhitungan akumulasiradiasi surya yang terintersepsi juga dilakukan setiap minggu bersamaan dengan pengamatan biomassa tanaman.
Gambar 18 menunjukkan grafik hubungan antara radiasi surya yang terintersepsi oleh tajuk tanaman kentang secara kumulatif dengan penambahan biomassa pada Percobaan II dan III. Kemiringan grafik antara biomassa dengan intersepsi radiasi surya menunjukkan RUE. Berdasarkan grafik pada Gambar 18 nilai RUE untuk kentang varietas Granola (G1 dan G2) dan Atlantis (G4) pada Percobaan II dan III ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai RUE tanaman kentang pada Percobaan II dan III.
Varietas Nilai RUE (g MJ-1) Penggunaan data Granola (G1) Granola (G2) Atlantis (G4) 0,63 1,37 0,45 1,12 0,72 1,79
AGB (above ground biomass)
Biomassa total
AGB(above ground biomass)
Biomassa total
AGB(above ground biomass)
(a) (b)
Gambar 18. Hubungan radiasi surya kumulatif yang diintersepsi tajuk tanaman kentang dengan penambahan biomassa tanaman kentang pada (a) Percobaan II varietas Granola (G1) dan (b) Percobaan III varietas Granola (G2) dan Atlantis (G4).
Tanaman kentang varietas Granola (G1) pada Percobaan II dengan menggunakan data AGB, memiliki nilai RUE sebesar 0,63 g MJ-1. Nilai ini lebih
besar dari Granola (G2) yang hanya menghasilkan RUE = 0,45 g MJ-1 namun
lebih kecil dari Atlantis (G4) sebesar 0,72 g MJ-1. Demikian juga berdasarkan biomassa total, RUE varietas Granola (G1) memiliki RUE lebih tinggi yaitu 1,37 g MJ-1 dibandingkan Granola (G2) sebesar 1,12 g MJ-1 tetapi lebih rendah dari varietas Atlantis (G4) sebesar 1,79 g MJ-1
Tabel 10. Nilai RUE tanaman kentang hasil-hasil penelitian sebelumnya
.
Peneliti RUE (g MJ-1 Radiasi (MJ m
) -2 Data yang digunakan
) Varietas
Oijen (1991) 3,17 Global Biomasaa total Bintje dan Granola Nurmala (1999) 1,4 – 6,8 PAR Biomasaa total Granola
Suryanto (2005) 1,4 PAR Biomasaa total Granola Rezig at al. (2010) 4,47 – 4,77 Global Biomasaa total Spunta Shah (2010) 1,97 – 2,78 PAR Biomasaa total -
Mondani et al. (2011) 0,97 – 1,10 PAR Biomasaa total Chenopodium album
Keterangan : PAR = Photosynthetically Active Radiation
Hal ini menunjukkan bahwa nilai RUE sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanaman, nilainya dapat berbeda meskipun pada varietas yang sama tetapi generasinya yang berbeda seperti ditunjukkan oleh Granola (G1) dan Granola (G2). Nilai RUE kentang varietas Atlantis pada Percobaan III lebih besar dibandingkan dengan varietas Granola. Nilai RUE varietas Atlantis yang lebih
besar dibandingkan dengan varietas Granola menunjukkan bahwa meskipun varietas Atlantis mengintersepsi radiasi surya lebih kecil, namun biomassa yang dihasilkan lebih besar. Nilai-nilai RUEyang didapatkan pada percobaan II dan III
ini mendekati nilai RUE hasil penelitian sebelumnya, seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 10.
5.5. Kesimpulan
1. Percobaan II menghasilkan rata-rata nilai indeks luas daun (LAI) pada jarak tanam rapat (20 cm x 20 cm) lebih tinggi dari jarak tanam renggang (20 cm x 30 cm) yaitu masing-masing 1,54 dan 0,90; dan Percobaan III juga menghasilkan LAI pada jarak tanam rapat (20 cm x 20 cm) lebih tinggi dari jarak tanam renggang (20 cm x 40 cm) yaitu 1,87 dan 1,25. Radiasi yang jatuh di atas tajuk dengan jarak tanam rapat lebih sedikit ditransmisikan ke bawah tajuk tanaman kentang.
2. Perbedaan morfologi tanaman pada varietas Granola dan Atlantis yang
diwakili koefisien pemadaman (kGranola = 0,318, kAtlantis = 0,176) menentukan
jumlah radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman. Pada kondisi yang sama, radiasi surya yang diintersepsi oleh kentang varietas Granola (G2)
sebesar 324,1 MJ m-2 lebih besar dibandingkan varietas Atlantis (G4) sebesar
305,6 MJ m-2
3. Kentang varietas Granola (G1) pada Percobaan II mendapatkan RUE untuk
biomassa di atas tanah (AGB) sebesar 0,63 g MJ
.
-1
, sedangkan untuk biomassa total sebesar 1,37 g MJ-1. Nilai RUE pada Percobaan III kentang varietas Granola (G2) untuk AGB sebesar 0,45 g MJ-1 dan untuk biomassa total
sebesar 1,12 g MJ-1, sedangkan pada varietas Atlantis (G4) RUE untuk AGB
sebesar 0,72 g MJ-1 dan untuk biomassa total sebesar 1,79 g MJ-1. Dengan demikian, tanaman kentang varietas Granola (G1) memiliki RUE yang lebih tinggi dibandingkan varietas yang sama tetapi generasi berikutnya (G2). Namun demikian, varetas Atlantis memiliki RUE lebih tinggi dibandingkan varietas Granola baik G2 maupun G1.
VI. MODEL SIMULASI PERKEMBANGAN, PERTUMBUHAN DAN NERACA AIR TANAMAN KENTANG PADA DATARAN TINGGI DI INDONESIA4 1
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model simulasi perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air tanaman kentang guna memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia. Model simulasi tanaman kentang yang disusun menjelaskan mekanisme proses perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi selama siklus pertumbuhan tanaman sebagai respon terhadap fluktuasi unsur-unsur cuaca/iklim. Penelitian lapang pada tiga lokasi di Pacet dan Galudra di Provinsi Jawa Barat, serta di Kerinci, Provinsi Jambi dilakukan untuk menunjang penyusunan model tersebut; yaitu untuk kalibrasi model (Pacet) dan validasi model (Galudra dan Kerinci). Hasil pengujian dengan uji t berpasangan antara prediksi model dengan observasi di Galudra dan Kerinci untuk varietas Granola menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05) pada peubah umur tanaman, biomassa akar, batang, dan umbi, LAI serta kadar air tanah. Pengujian pada varietas Atlantis menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05) pada biomassa akar dan umbi serta kadar air tanah. Namun demikian, berdasarkan uji grafik hubungan antara prediksi model dengan pengukuran lapang menghasilkan koefisien determinasi
(R2
This research aims to construct a simulation model of development, growth and waterbalance of potato crop. Reasearch also predicts climate change impact on potato productivity in several potato production center in Indonesia. The crop model being constructed explains process mechanism of development and growth during crop life cycle as a response to fluctuation of weather/climatic variables. Three field experiments were conducted at three locations at Pacet and Galudra in West Java Province, and at Kerinci in Jambi Province, to support the model development; for model calibration (Pacet) and model validation (Galudra and Kerinci). Paired t-test between model predictions of Granola variety with observations showed that there were not significant differences (P > 0,05) on all variables tested, except leaf biomass. In Atlantic variety, there were not significant differences (P > 0,05) on root, tuber biomass and soil water content. Based on graphical test of relationship between model predictions and field measurements showed coefficient of determination were (R
) yang lebih besar dari 0,80 untuk semua peubah yang diuji. Berdasarkan validasi model tersebut, model simulasi tanaman kentang mampu menduga umur tanaman, produksi biomassa dari masing-masing organ tanaman berupa akar,
batang, daun, dan umbi, serta LAI dan kadar air tanah sesuai dengan pengukuran
lapang.
Kata Kunci : Model, simulasi, pertumbuhan, perkembangan, neraca air, kentang
ABSTRACT
2
4
Paper telah diterima pada Jurnal Tanah Tropika (JTT) Universitas Lampung. Model simulasi Perkembangan, Pertumbuhan, dan Neraca Air Tanaman Kentang pada Dataran Tinggi di Indonesia. 2012. Salwati, Handoko, Las I, Hidayati R.
) greater than 0,80 for all variables. Generally, results on validation suggested that model predictions
were not significantly different with field measurements at Galudra (Granola variety) and Kerinci (Atlantis and Granola variety) for variable of plant ages, biomass of root, stem, leaf and tuber, leaf area index, and soil water content. Key words: Growth, model, potato, simulation, water balance.
6.1. Pendahuluan
Produktivitas kentang Indonesia yang rata-rata 15 ton ha-1 masih rendah,
apabila dibandingkan dengan rata-rata negara penghasil kentang yaitu 45 ton
ha-1 (Gustianty 2008). Potensi kentang menurut hasil penelitian mencapai 35 ton
ha-1 (Nurtika 2007), sehingga terjadi senjang (gap) produktivitas yang masih
jauh yaitu 20 ton ha-1
Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global diperkirakan akan membawa dampak yang signifikan terhadap produksi kentang nasional karena tanaman kentang hanya berproduksi tinggi pada daerah bersuhu rendah dan sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Antisipasi dampak perubahan iklim khususnya peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan terhadap produksi kentang nasional memerlukan informasi tentang hubungan antara perubahan unsur-unsur cuaca/iklim tersebut dengan senjang produktivitas kentang di Indonesia.
(57,1%). Fluktuasi unsur-unsur cuaca merupakan salah satu penyebab senjang produktivitas kentang sekarang ini.
Model simulasi tanaman yang mampu menjelaskan pengaruh unsur-unsur cuaca terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang di Indonesia akan bermanfaat untuk melakukan prediksi dampak perubahan iklim terhadap penurunan produktivitas kentang di berbagai wilayah Indonesia. IPCC
(2007) memperkirakan kenaikan suhu di Indonesia sekitar 2 – 3 oC pada tahun
2050. Jika hal ini terjadi maka peningkatan suhu tersebut analog dengan penurunan ketinggian lahan kentang sekitar 300 – 500 m. Hal ini akan berdampak luas, karena saat ini produksi kentang di Indonesia diusahakan di atas 800 m dpl (Sutapradja 2008), sehingga jika kenaikan suhu tersebut akan terjadi maka untuk mempertahankan produksi kentang saat ini lahan kentang akan bergeser pada ketinggian di atas 1.100 m atau bahkan di atas 1.300 m. Akibatnya, luas lahan kentang akan semakin sempit sehingga secara langsung
akan menurunkan luas panen dan produksi kentang nasional jika tidak diimbangi oleh peningkatan hasil per satuan luas lahan.
Proses yang terjadi pada perkembangan dan pertumbuhan tanaman sangatlah kompleks menyangkut hubungan antara tanah, tanaman, dan iklim. Pemahaman proses yang kompleks tersebut dapat disederhanakan melalui model simulasi tanaman berdasarkan informasi tanah, tanaman dan iklim. Hubungan antara iklim dengan tanaman menempati porsi yang cukup banyak dalam model pertumbuhan tanaman, jika dibandingkan dengan faktor tanah (lahan). Hal ini disebabkan unsur iklim selalu berubah secara diurnal maupun musiman, serta dapat menyebabkan fluktuasi produksi tanaman dari musim ke musim.
Perubahan unsur iklim dan hubungannya dengan perkembangan, pertumbuhan, dan hasil tanaman semakin diketahui dan digunakan secara luas setelah didukung oleh perkembangan teknologi di bidang komputer. Perkembangan teknologi komputer dan kompleksnya proses perkembangan dan pertumbuhan tanaman di lapang, mendorong pelaksanaan penelitian lapang ini ke
pengunaan model simulasi tanaman. Model simulasi tanaman adalah suatu
penyederhanaan dari sistem pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang kompleks. Model simulasi tanaman kentang yang disusun diharapkan dapat
mendekati kenyataan tentang perkembangan, pertumbuhan dan hasil tanaman di lapang, sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu perencanaan pertanian.
Model simulasi tanaman yang dirancang tetap mempunyai keterbatasan dan merupakan distorsi dari sistem yang sebenarnya. Model harus digunakan secara teliti, cermat dan seksama dengan data yang selengkap mungkin. Namun demikian karena berbagai keuntungan dan manfaat, penggunaan model sebagai analisis kuantitatif untuk berbagai penelitian dan pemecahan masalah sampai saat Model simulasi tanaman yang disusun dikembangkan menggunakan pendekatan mekanisme proses (mekanistik), yang menghubungkan proses fisiologis dan morfologis tanaman sebagai respon terhadap lingkungan fisik tanaman terutama kondisi iklim. Melalui pemanfaatan data iklim, tanah dan tanaman dari hasil penelitian lapang yang mekanisme prosesnya dapat dijelaskan dalam model simulasi tanaman, maka perkembangan, pertumbuhan dan hasil tanaman di suatu wilayah dan waktu tertentu dapat diprediksi.
ini berkembang pesat (Bey 1991). Handoko (1996) menambahkan, model simulasi meskipun memiliki keunggulan, tetap mempunyai keterbatasan karena model dibuat hanya untuk menggambarkan suatu proses atau beberapa proses tertentu dari suatu sistem, sehingga model simulasi tidak akan memberikan hasil yang baik terhadap proses-proses diluar tujuan model.
Tujuan utama pembuatan model simulasi tanaman yang bersifat mekanistik pada dasarnya bukan pada ketepatan model, melainkan bagaimana model tersebut dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam sistem yang dimodelkan. Pemodelan tanaman kentang yang disusun dapat didasarkan pada distribusi penggunaan energi radiasi surya oleh tanaman untuk memproduksi bahan kering tanaman kentang (Wolf 2002). Secara implisit diasumsikan bahwa fungsi utama tanaman adalah mengkonversi energi radiasi surya menjadi energi kimia yang lebih stabil melalui fotosintesis, yang dapat segera tersedia apabila
dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman (Edward et al. 1986). Bakema (1985)
juga menyatakan bahwa model tanaman merupakan suatu gugus persamaan yang menghitung fotosintesis tanaman sebagai fungsi dari data cuaca harian dan luas daun.
Hasil panen ditentukan oleh produksi biomassa atau bahan kering tanaman dan merupakan hasil akhir proses fotosintesis (Tekalign 2005). Produksi biomassa
(bahan kering tanaman) merupakan fungsi dari PAR (photosynthetically active
radiation) yang diintersepsi oleh daun (Myneni et al. 1997). Produksi biomassa berasal dari aliran asimilat yang jumlahnya tergantung pada radiasi datang dan luas daun aktif berfotosintesis (Tekalign 2005).
Pemodelan tanaman kentang merupakan pendekatan kuantitatif untuk memprediksi pertumbuhan, perkembangan dan hasil tanaman serta peubah yang berhubungan dengan faktor lingkungan (Monteith 1996; Wolf 2002). Pemodelan hasil tanaman dengan kondisi defisit air dapat menjelaskan perilaku tanaman pada kondisi lapang umumnya, karena efisiensi penggunaan radiasi surya tergantung
pada pengaruh defisit air tanah. Arkebauer et al. (1994) juga menyatakan, bahwa
perhitungan neraca air tanah harian dapat dihubungkan langsung dengan RUE, pertumbuhan dan hasil tanaman.
Penyusunan model simulasi pertumbuhan dan perkembangan serta neraca air tanaman kentang memperhatikan lingkungan tumbuh, kebutuhan air, dan proses fisiologis tanaman
Model simulasi pertumbuhan, perkembangan dan neraca air tanaman kentang disusun untuk menjelaskan mekanisme proses pertumbuhan yang terjadi selama masa hidup tanaman dan hasil akhir. Model juga akan mensimulasikan komponen-komponen proses yang terjadi selama masa pertumbuhan tanaman seperti neraca air (kadar air tanah), pertumbuhan tanaman (LAI, berat kering akar, batang, daun dan umbi) serta fase-fase perkembangan tanaman. Model simulasi tanaman kentang yang sudah disusun dan sudah diuji keabsahan selanjutnya digunakan untuk mensimulasikan pengaruh perubahan iklim terhadap hasil dan produktivitas tanaman kentang pada berbagai sentra produksi kentang di Indonesia.
kentang itu sendiri. Lahan merupakan faktor lingkungan fisik tanaman kentang dalam skala terbatas yang harus mendapat perhatian, secara relatif masih dapat diperbaiki apabila ternyata kurang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Namun iklim merupakan salah satu faktor lingkungan fisik yang belum dapat dikendalikan, kecuali pada kondisi terbatas seperti dalam rumah kaca, dan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan serta produksi tanaman.