• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iklim Indonesia 38

Dalam dokumen Meteorologi laut Indonesia i Indonesia i (Halaman 44-65)

Seperti telah diuraikan pada Bab terdahulu, iklim daerah tropis ditandai dengan tingginya curah hujan dan evaporasi dimana untuk wilayah Indonesia curah hujan lebih tinggi daripada evaporasi. Akibat dari kedua proses tersebut, daerah tropis memiliki tutupan awan yang tinggi yang mengakibatkan rendahnya jumlah radiasi di permukaan. Sebenarnya jumlah radiasi dalam bentuk energi gelombang pendek terbanyak diterima di daerah tropis. Akan tetapi tutupan awan menghalangi radiasi masuk. Selain itu awan berfungsi sebagai cermin dimana nilai albedo yang sangat kecil sehingga jumlah radiasi yang dipantulkan oleh awan sangat tinggi dan hanya lebih kecil daripada tutupan es di daerah kutub. Karena pesatnya proses curah hujan dan evaporasi, maka daerah tropis merupakan daerah yang paling lembab di muka bumi, terutama daerah tropis yang berada diatas pulau. Hal ini karena pulau-pulau berfungsi sebagai pusat aktivitas konveksi atau pusat pertumbuhan awan terutama di daerah pesisir. Untuk lautan, kuatnya proses hujan dan evaporasi mengakibatkan daerah tropis memiliki nilai salinitas yang rendah terutama pada waktu musim hujan dimana terdapat tambahan kontribusi besar dari aliran sungai dari daratan.

Perbedaan nilai salinitas antara puncak musim hujan dan puncak musim kering tidak terlalu drastis jika dibandingkan oleh perbedaan suhu muka laut. Meskipun demikian perbedaan suhu muka laut di daerah tropis tidak sedemikian besar dibandingkan dengan daerah non tropis. Perbedaan terbesar dari rentang normal untuk suhu muka laut lebih disebabkan oleh faktor luar seperti cold surge di laut Cina Selatan pada bulan Januari hingga Maret, ENSO atau Indian Dipole. Meskipun perbedaan suhu muka laut maksimum dan minimum tidak

terlalu besar, tetapi pengaruh terhadap jumlah curah hujan sangat besar. Peningkatan suhu muka laut sedikit dapat mengakibatkan besarnya suplai uap air yang mendorong tingginya curah hujan. Dapat dikatakan, daerah tropis berada di ambang kritis suhu muka laut yang mendorong curah hujan maksimum dan minimum. Karena faktor luar sangat tidak dominan, seperti siklon tropis, maka pengaruh perubahan suhu muka laut terhadap curah hujan lebih dominan. Sebagai hasilnya kemampuan perubahan atau peramalan cuaca dan iklim di daerah tropis jauh lebih baik untuk skala bulanan hingga semi tahunan dibandingkan untuk skala harian hingga bulanan.

Selain tingginya nilai curah hujan dan evaporasi, daerah tropis ditandai dengan lemahnya angin permukaan dan tingginya tekanan udara permukaan. Perubahan tekanan udara juga relatif kecil dibandingkan skala perubahan waktu sehingga sulit terjadi pembentukan angin kencang. Hal yang terakhir ini juga didukung oleh lemahnya gaya koriolis bumi di daerah tropis yang menyebabkan tidak mungkinnya di daerah tropis terbentuk atau menjadi lintasan siklon tropis. Daerah yang bebas siklon tropis biasanya terletak diantara 10 LU dan 10 LS. Meski tidak menjadi tempat tumbuh dan lintasannya, daerah tropis mendapat pengaruh dari siklon tropis yang lewat pada ekornya. Biasanya hal ini menyebabkan angin kencang dan curah hujan tinggi di daerah ekor siklon. Sedangkan daerah yang jauh dapat mengalami kekurangan awan karena tertarik kedaerah siklon. Angin permukaan untuk daerah tropis umumnya lemah, hal ini berlawanan dengan angin pada level atas yang umumnya relatif kencang. Salah satu penyebab lemahnya angin permukaan adalah karena kecilnya perbedaan tekanan udara permukaan di daerah tropis. Pada musim hujan, akibat kuatnya suplai udara basah dan konveksi udara, sirkulasi angin kencang pada level atas terganggu sehingga angin pada level tersebut lebih lemah daripada pada musim kemarau. Lemahnya angin permukaan di daerah tropis membawa konsekuensi lemahnya sirkulasi arus laut di daerah tropis jika dibandingkan dengan

Januari

Juli

Samudera Pasifik Samudera

Pasifik

Samudera Hindia Samudera Hindia

Indonesia Indonesia Asia Asia Australia Australia Ga mba r 4.2. Pol a m u sim an angi n dan h u ja n di wi la y ah In do

Curah hujan rerata Indonesia (1961-1990)

Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Juni Juli Agu. Sep. Okt. Nop.

Monsun Asia (Musim Hujan) Perioda Transisi Monsun Australia (Musim kemarau) Perioda Transisi

daerah non tropis. Pengaruh faktor luar dapat merubah ini. Seperti contohnya arus lintas Indonesia yang konsisten selalu mengalir dari samudera Pasifik ke samudera Hindia melewati benua maritim Indonesia. Arus ini mengalir lebih bukan karena pengaruh angin permukaan tetapi karena tekanan masa air permukaan di daerah kolam hangat (warm pool) disebelah utara pulau Papua. Meskipun angin permukaan lemah, tetapi pola tahunannya berubah ubah mengikuti pola monsun, sehingga pola sirkulasi arus laut Indonesia secara umum dapat diprediksi.

4. 2. Pembagian Iklim Indonesia

Pola iklim Indonesia didominasi sifat monsunal karena pergerakan titik kulminasi matahari dari bumi belahan utara ke selatan dan sebaliknya dalam skala setengah tahunan (Gambar 4.1 dan 4.2). Hal ini mengakibatkan nilai kontras akumulasi hujan pada puncak musim hujan dan puncak kemarau. Sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BMG, jika hujan diatas 150 mm, maka dikategorikan bulan basah, sebaliknya apabila curah hujan dibawah 150 mm per bulan akan disebut bulan kering. Meskipun dipengaruhi monsoon, tidak semua daerah Indonesia memiliki pola iklim tahunan yang serupa (Gambar 4.3). Untuk daerah selatan Indonesia, memiliki satu puncak hujan dan satu puncak kemarau. Sedangkan untuk daerah sebelah utaranya dapat memiliki dua puncak hujan dan dua puncak bawah. Pada daerah tengah dan utara Indonesia, terkadang disebut daerah iklim ekuatorial dimana tidak jelas nampak perbedaan puncak musim kemarau dan hujan pada pola tahunannya. Kedua puncak atas terjadi pada saat titik kulminasi matahari melewati daerah tersebut. Dan kedua puncak bawah terjadi pada saat titik kulminasi meninggalkan daerah tersebut. Puncak musim hujan terjadi pada saat pergantian tahun dan puncak musim kemarau pada pertengahan tahun. Wilayah Indonesia bagian selatan hanya memiliki satu puncak atas dan bawah karena pergerakan monsun berhenti di daerah tersebut. Hal

ini karena di samudera Hindia sebelah selatan kepulauan Indonesia tidak terdapat pulau pulau lagi yang menjadi pusat konveksi.

A

B

C

Kalimantan Irian Java Australia Indian Ocean Pacific Ocean S um ate ra 0 2 4 6 8 10 12 14 J F M A M J J A S O N D CH ( m m /h a ri) A J F M A M J J A S O N D B C J F M A M J J A S O N D

Gambar 4.3. Pembagian wilayah Ikklim Indonesia berdasarkan pola curah hujan

tahunan dengan pola hujan tahunan (gambar inset). Pembagian wilayah adalah pola monsunal (A), pola semi monsunal atau ekuatorial (B) dan pola anti monsunal (C). Selain variasi utara selatan, terdapat variasi barat timur pola iklim di wilayah Indonesia. Untuk wilayah bagian selatan, semakin ke timur maka musim kemarau akan semakin panjang. Hal ini dikarenakan lebih cepatnya pusat konveksi meninggalkan daerah tersebut mengikuti pola kulminasi matahari. Selain bergerak utara selatan, pergerakan suhu laut di wilayah maritim Indonesia sebenarnya juga bergerak dari arah barat laut tenggara. Sehingga daerah ini lebih banyak mengalami musim kemarau.

Perkecualian dari pola iklim diatas terjadi di wilayah Maluku Utara dimana pola iklimnya bertolak belakang dari pola iklim monsunal umum wilayah lain Indonesia. Puncak dari musim hujan bukannya terjadi pada akhir tahun tetapi pada tengah tahun. Apabila diteliti lebih lanjut, ternyata anomali iklim ini lebih disebabkan oleh aliran arus laut

di daerah tersebut (Gambar 4.4). Pada pertengahan tahun, arus laut hangat mengalir dari daerah kolam hangat di utara pulau Papua masuk ke laut utara Maluku. Akibatnya daerah ini mengalami puncak musim hujan. Pada pertengahan tahun yang lain, arus laut dingin mengalir ke daerah ini dan menghambat pertumbuhan daerah konvektif di wilayah ini. Akibatnya pola iklim tahunan lebih diatur oleh pola arus laut permukaan dan menunjukkan pola kebalikan dan pola monsoon umumnya. Arus laut yang bersifat bolak balik di kepulauan Maluku ini mengacu pada arus permukaan hingga lapisan thermoklin pada kedalaman sekitar 200 m. Untuk arus dari Arlindo pada kedalaman yang lebih tidak terlihat pengaruh sifat bolak balik namun adalah pergerakan arus yang persisten dari samudera Pasifik menuju samudera Hindia.

Gambar 4.5. Arus laut wilayah sekitar Indonesia pada bulan Juni (atas) dan Desember (bawah) menurut Wyrtki (1961).

Jauh sebelum era satelit pada akhir tahun 60an, telah dibuat studi mengenai sistim arus laut wilayah Indonesia oleh beberapa riset Belanda dengan proyek Snellius I dan Snellius II. Hasil dari proyek penelitian ini dapat dilihat pada laporan Naga report oleh Wirtky (1961) sebagaimana terlihat di Gambar 4.5. Hasil laporan Naga tersebut tidak jauh berbeda dengan gambaran arus hasil keluaran model pada gambar sebelumnya. Hal ini karena apa yang digambarkan lebih pada komponen iklim tahunan yang secara klimatologis tidak berubah. Hingga saat ini Naga report masih menjadi acuan utama dari beberapa studi kelautan wilayah Indonesia baik untuk observasi maupun dalam pemodelan arus laut.

4. 3. Komponen iklim Indonesia

Meskipun tidak pernah disebut secara eksplisit pada berbagai penelitian terdahulu apa yang menjadi komponen pembentuk iklim Indonesia, berikut ini adalah beberapa komponen iklim utama yang membentuk variabilitas iklim Indonesia disarikan dari beberapa penelitian terdahulu.

‐ Pergerakan utara selatan ITCZ

‐ Arus Lintas Indonesia (Arlindo)

‐ Aktivitas El Niño Southern Oscillation

‐ Indian Dipole mode

‐ Indian Summer monsoon

‐ Cold surge (seruak dingin) dan cross equatorial advection

‐ Variabilitas Intra seasonal (MJO), gelombang easterly Kelvin dan equatorial jet

‐ Proses adveksi dan konveksi lokal

‐ Angin darat dan laut serta variabilitas diurnal

‐ Siklon tropis

‐ Variabilitas pada frekuensi lain seperti: osilasi quasi biennial, variabilitas dekade dan skala panjang perubahan iklim.

4. 4. Monsoon dan ITCZ

Monsoon adalah fenomena iklim global dimana terjadi perubahan iklim di atmosfir dan laut. Penyebab utama dari fenomena ini adalah pergerakan titik kulminasi matahari terhadap bumi yang bergerak utara selatan dan terciptanya kontras tekanan dan suhu antara benua dan samudera. Fenomena monsoon selain mengikuti fungsi kulminasi matahari juga mengikuti pola garis pantai karena pada daerah tersebut terjadi pusat pusat konveksi dan juga diakibatkan oleh pola kontras antara benua dan samudera. Sehingga pergerakan daerah fenomena monsoon tidak murni bergerak arah utara selatan. Untuk wilayah Indonesia terjadi pergerakan masuk dan keluarnya monsoon dari barat

laut menuju tenggara. Hal ini dikarenakan mengikuti posisi benua dan samudera yang mengapit wilayah benua maritim.

Gambar 4.6. Peta daerah monsoon muka bumi berdasarkan definisi dari Ramage

1971.

Pergerakan titik pusat konveksi membawa akibat daerah pumpunan awan konvektif lintas benua yang dikenal dengan istilah Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ, Daerah Konvergensi lintas tropis). Daerah ini memiliki ciri, tempat kumpulan awan, tempat bertemunya angin pasat timur laut dan tenggara dan daerah dengan suhu muka laut maksimum. Tempat bertemunya kedua angin pasat ini ditandai dengan angin arah timuran sekaligus merupakan daerah konvergensi yang disebut sabuk ITCZ.

Kontras antara benua Asia dan Australia yang semakin memperkuat pergerakan utara selatan dari ITCZ. Apabila salah satu benua tersebut tidak ada maka pergerakan utara selatan dari ITCZ akan tidak sekuat yang terjadi selama ini. Jikalau kita perhatikan wilayah monsunal lain di muka bumi (Gambar 4.6) maka jelas sekali posisi daerah monsun yang mengikuti garis pantai dari benua. Apabila tidak terdapat benua

Australia maka pergerakan monsoon di benua maritim Indonesia tidak akan mencapai wilayah selatan Indonesia. Selain itu juga diamati bahwa musim penghujan di wilayah selatan Indonesia jauh lebih pendek daripada musim penghujan di sebelah utara Indonesia karena wilayah selatan adalah wilayah puncak selatan dari pergerakan ITCZ. Sedangkan wilayah tengah dan utara mengalami dua kali dilewati oleh ITCZ sehingga memiliki sifat curah hujan tahunan dua puncak. Sifat lebih pendeknya musim penghujan di wilayah selatan juga dikarenakan oleh sifat masuk dan keluarnya ITCZ ke wilayah Indonesia dari barat laut menuju tenggara dan sebaliknya yang mengikuti kontras sebaran benua dan samudera.

Definisi monsun menurut Khromov (1957) daerah monsun merupakan daerah dimana arah angin yang dominan berbalik arah paling sedikit 120° antara bulan Januari dan Juli. Januari adalah maksimum musim dingin di BBU dengan suhu rata-rata terendah di BBU dan Juli adalah maksimum musim panas dengan suhu rata-rata tertinggi di BBU. Ramage (1971) memberikan definisi monsun dengan menambahkan kriteria kekuatan angin (wind strength) dan mengidentifikasi daerah- daerah yang meliputi Afrika, Asia, dan Australia sebagai daerah yang memenuhi kriteria angin yang berbalik arah dan kriteria hujan monsun. Definisi modern dari monsun sebagaimana yang diusulkan oleh Wang et al. (2001) memakai sifat kontras antar benua dan samudera. Prinsip ini dipakai Wang et al. (2001) untuk definisi indeks dari Monsun India yaitu memakai dua kotak aliran angin zonal pada ketinggian level 850 hPa di tengah sub kontinen India dan di laut Arab atau sebelah barat laut samudera Hindia. Untuk wilayah Indonesia, hingga saat ini belum ada definisi indeks monsun yang dipakai, salah satu penyebabnya adalah ada beberapa tipe monsunal di benua maritim dan sifat lokal yang sangat mempengaruhi variabilitas iklim akibat orografis dan rupa bumi.

Pergerakan arus laut yang diakibatkan oleh pola monsunal yang mengikuti titik kulminasi matahari menyebabkan perubahan distribusi

ikan pada kedua musim tersebut. Perubahan di laut juga terjadi karena penurunan suhu laut permukaan pada musim kemarau yang mengakibatkan beberapa jenis ikan dalan naik ke level kedalaman laut yang lebih tinggi. Pada waktu musim kemarau lautan jauh lebih tenang sehingga mengakibatkan tingkat turbiditas yang rendah. Sifat terakhir ini lebih disukai oleh ikan ikan di lautan sehingga potensi tangkap di musim kemarau lebih tinggi dibandingkan di musim hujan.

4. 5. ENSO

El Niño Southern Oscillation (ENSO) adalah sebuah fenomena interaksi laut atmosfer yang berpusat di wilayah ekuatorial samudera Pasifik (Philander, 1983, 1990). El Niño sendiri berarti bayi laki laki dalam bahasa Peru (Spanyol) karena puncak dampak yang dirasakan di wilayah tersebut terasa pada saat mendekati Natal atau akhir tahun dengan matinya banyak ikan di laut lepas pantai Peru.

Dampak dari fenomena ini terasa secara global. Osilasi dari fenomena ini membawa dua fenomena yaitu El Niño dan La Niña, yaitu berhubungan berturut turut dengan fase hangat dan dingin di wilayah ekuator Pasifik. Secara normal terdapat kolam hangat (wam pool) di sebelah utara pulau Papua yang merupakan tempat berkumpulnya arus permukaan dari aliran sabuk dunia sebelum dihantar melalui Arlindo melalui wilayah benua maritim menuju samudera Hindia. Kolam hangat ini juga tempat sirkulasi Walker dimana terjadi pengangkatan masa udara (convection center). Pada saat El Niño, terjadi perpindahan daerah wam pool menuju ke timur daerah ekuator Pasifik dan meninggalkan daerah subsidensi (berlawanan dengan daerah konveksi) di utara Papua. Daerah wam pool mendingin dan dengan arlindo membawa arus dingin ke benua maritim yang juga menyebabkan kekeringan akibat terhambatnya penguapan akibat dinginnya laut (Aldrian dan Susanto 2003, Hamada et al. 2002 dan

Hendon 2003). Gejala sebaliknya pada saat La Niña terjadi lebih penghangatan di daerah wam pool.

Gambar 4.7. Perubahan tinggi muka laut dan kedalaman thermokline akibat angin

passat tenggara dan sewaktu terjadi El Niño

Penumpukan massa air di daerah wam pool tersebut menyebabkan aliran geostropis massa air dari samudera Pasifik menuju samudera Hindia melalui Indonesia yang dikenal sebagai arus lintas Indonesia (arlindo). Penumpukan di wam pool tersebut menyebabkan ketinggian muka laut di daerah wam pool diatas daripada di samudera Hindia. Penumpukan panas di permukaan membawa implikasi pada

penumpukan panas di bawah permukaan yang menebalkan lapisan thermoklin di daerah wam pool (Gambar 4.7). Pada saat El Niño terjadi perpindahan massa air hangat ke timur di permukaan dan di bawahnya, sehingga terjadi perubahan lapisan thermoklin yang menipis di daerah barat samudera Pasifik dan massa air hangat mengalir ke timur. Penyebab utama aliran massa air hangat ke timur hingga saat ini belum diketahui tetapi kemungkinan akibat perbedaan gradien suhu dan energi akibat penumpukan energi di daerah wam pool dibandingkan dengan di Pasifik tengah.

Gambar 4.8. Anomali curah hujan Indonesia (dalam %) pada saat El Niño memakai

analisa komposit tahun El Niño antara 1960 – 1993 (Aldrian, 2003).

Menurut analisa Aldrian dan Djamil (2007) terhadap curah hujan wilayah Jawa timur, ditemukan bahwa pengaruh ENSO merupakan sinyal terkuat kedua setelah monsun. Hal ini dapat dipahami karena

kuatnya pengaruh ENSO terhadap iklim wilayah Indonesia disebabkan oleh kuatnya pengaruh wilayah wam pool dan arlindo terhadap iklim benua maritim. Selanjutnya penelitian dari Aldrian et al. (2007) juga menemukan bahwa model iklim global berkinerja baik untuk wilayah Indonesia pada saat tahun tahun ENSO. Diluar tahun tahun ENSO kinerja model iklim menurun drastis. Dampak utama selain kekeringan yang terasa di Indonesia adalah maraknya kebakaran hutan dan gangguan suplai air permukaan yang dirasakan pada beberapa waduk utama di Indonesia.

Gambar 4.9. Anomali curah hujan Indonesia (dalam %) pada saat La Niña memakai

analisa komposit tahun La Niña antara 1960 – 1993 (Aldrian, 2003).

Fenomena monsoon adalah gejala alam umum yang terjadi pada skala waktu tahunan di Indonesia. Variasi pola umum ini berubah akibat proses pemanasan global atau karena fluktuasi gejala ENSO. ENSO

adalah fenomena global laut atmosfir yang memiliki dampak global terhadap iklim di muka bumi. Gejala ENSO membawa implikasi laut indonesia lebih dingin pada kejadian El Niño dan lebih hangat pada kejadian La Niña. Akibatnya terjadi peningkatan jumlah hujan pada tahun La Niña dan penurunannya pada tahun El Niño (Gambar 4.8 dan 4.9). Untuk wilayah Indonesia, akibat pola monsunal yang mengatur pola sirkulasi arus laut permukaan, pengaruh El Niño dan La Niña ternyata dibatasi hanya pada musim kemarau. Karena pada musim ini-

Gambar 4.10. Beberapa proses di atmosfir saat terjadinya El Niño

lah arus laut dari Pasifik mengalir masuk ke wilayah Indonesia (Gambar 4.4) dengan implikasi perubahan akibat kedua fenomena global tersebut. Sedangkan pada musim hujan pengaruh dari kedua fenomena global tersebut dihambat oleh tidak mendukungnya pola arus laut, dimana pola arus permukaan menuju keluar wilayah

Indonesia. Berdasarkan kriteria diatas, maka pengaruh El Niño akan lebih memperburuk iklim Indonesia karena pengurangan jumlah hujan terjadi pada puncak musim kemarau, sedangkan La Niña lebih bukan merupakan bencana karena terjadi juga di musim kemarau yang tidak terlalu kering.

4. 6. Seruak Dingin (Cold Surge)

Pengaruh arus laut terhadap pola iklim tahunan juga terjadi pada wilayah lainnya. Pada bulan Januari hingga Maret, di wilayah laut Cina Selatan terjadi peristiwa cold surge (seruak dingin) dimana arus laut dingin mengalir dari sebelah utara dan membawa akibat penurunan curah hujan secara drastis di wilayah ini. Apabila cold surge tidak terjadi, daerah ini akan mengalami pola ekuatorial seperti daerah lainnya. Dengan adanya cold surge ini, wilayah sekitar laut Cina Selatan tersebut akan mengalami perbedaan pola curah hujan yang mencolok pada bulan bulan sekitar kejadi cold surge. Cold surge terjadi karena di Siberia pada puncak musim dingin (winter) memiliki tekanan udara yang tinggi. Tekanan udara tinggi ini mendorong aliran angin permukaan ke selatan yang mendorong aliran arus ke selatan. Aliran arus laut permukaan ini bersifat dingin karena di bumi belahan utara sedang mengalami puncak musim dingin.Dari uraian diatas kita melihat peranan laut dalam membentuk pola iklim di wilayah Indonesia dan berfungsi sebagai interaksi laut atmosfir.

Saat ini untuk menentukan indeks cold surge dipakai kondisi cuaca di Hongkong. Cold surge dikatakan sampai di Hongkong apabila:

1) Suhu di Hongkong turun 5 ºC atau lebih selama 24 jam. 2) Angin meridional minimal 10 knot / 5 ms-1.

3) Beda tekanan udara di 30 ºLU – 115 ºBT dan Hongkong sama dengan atau lebih besar dari 10 mb.

Beberapa dampak dari penjalaran cold surge ke wilayah Indonesia adalah Kebakaran hutan di propinsi Riau, penundaan atau tekanan ITCZ ke wilayah selatan yang sering mengakibatkan banjir di wilayah Sumatera Selatan serta banjir di Jakarta apabila cold surge diserta oleh fase aktif MJO (diterangkan kemudian) dan sebuah vorteks di barat daya Jawa.

Gambar 4.9. Contoh penjalaran dari sebuah episode cold surge antara tanggal 18

dan 30 Desember 1999 berdasarkan angin meridional. Gambar menunjukkan pergerakan setiap dua harian pada level ketinggian 925mb (Aldrian dan Utama 2007).

4. 7. Diurnal, MJO, interannual

Selain faktor tahunan tersebut, pola iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor faktor non tahunan seperti pada frekuensi yang lebih tinggi seperti harian intra seasonal dan frekuensi rendah seperti faktor inter tahunan. Wilayah tropis memiliki ciri faktor harian yang kuat karena tidak adanya perbedaan suhu permukaan dan tekanan yang besar antar selang waktu berbeda. Konsekuensinya adalah sirkulasi angin permukaan yang lemah di daerah ini. Kekurangan dari faktor angin permukaan yang lemah akan menyebabkan kuatnya pengaruh angin lokal seperti angin darat dan laut, angin lembah dan gunung dan angin

Dalam dokumen Meteorologi laut Indonesia i Indonesia i (Halaman 44-65)

Dokumen terkait