• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 DESKRIPSI DATA PENELITIAN

3 Southern Oscillation Index (SOI)

Southern Oscillation adalah osilasi tekanan di atmosfir kawasan laut Pasitik dan atmosfir kawasan laut Indonesia-Australia. SOI dibuat untuk memonitor osilasi selatan dengan menggunakan nilal perbedaan antara tekanan atmosfer di atas permukaan laut di Darwin (Australia) dan Tahiti (Pasifik Selatan) (Boer 1999).

Pada saat tekanan di Tahiti lebih tinggi dibanding dengan tekanan udara di Darwin, nilai SOI akan tinggi (positif). Bersamaan itu suhu muka laut di Pasifik Timur lebih dingin dan sebagai pusat tekanan tinggi dan di Pasifik Barat lebih panas dan menjadi pusat tekanan rendah. Dengan keadaan tersebut terjadi angin pasat yang menguat dan bergesernya pusat konvergensi sirkulasi Walker ke arah Pasifik Barat yang menyebabkan penguapan di wilayah Pasifik

12

Barat bertambah dan sebagai dampaknya jumlah hujan di Indonesia meningkat yang umumnya sebagai indikasi munculnya La Nina.

Jika tekanan udara di Tahiti lebih rendah dibanding dengan tekanan udara di Darwin, maka nilai SOI rendah (negatif). Permukaan air laut yang panas dan pemanasan daratan oleh radiasi matahari di Pasifik Timur mengakibatkan suhu permukaan lautnya meningkat dan menciptakan pusat tekanan rendah. Sebaliknya, pada wilayah Pasifik Barat yang suhu permukaan lautnya lebih dingin menciptakan pusat tekanan tinggi, angin pasat menjadi melemah seiring dengan bergesernya pusat konvergensi sirkulasi Walker ke Pasifik Tengah dan Timur. Hal ini mengakibatkan penguapan bergeser kearah Pasifik Tengah dan Timur sehingga Pasifik Barat mengalami kekurangan ketersediaan uap air yang ada di udara dan ini merupakan indikasi munculnya

El Nino.

4 Indian Ocean Dipole Mode (IODM)

IODM merupakan sebuah fenomena samudra dan atmosfer di samudra Hindia yang ditandai dengan anomali negatif suhu permukaan laut di Sumatera dan anomali suhu positif di bagian barat samudra Hindia (Saji et al. 1999). IODM diasosiasikan dengan perubahan angin tenggara di samudra Hindia sehingga akan mempengaruhi daerah konvektif di ekuator, Sirkulasi Walker, dan presipitasi.

Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IODM yakni

Dipole Mode Index (DMI). DMI merupakan gradien anomali suhu permukaan laut bagian barat dan bagian timur Samudera Hindia. Saji et al. (1999) mempelajari posisi titik anomali suhu permukaan laut (dipole) di Samudra Hindia tropis bagian barat dengan Samudera Hindia tropis bagian timur. DMI positif (+) terjadi saat anomali suhu muka laut Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya. Akibatnya, terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat sedangkan di benua maritim Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat DMI negatif (-), seperti yang dikemukakan Ashok et al. (2001).

Metode Eksplorasi Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data curah hujan bulanan dan faktor eksogen seperti yang telah disebutkan sebelumnya yang terdiri dari SST Nino 3.4, anomali SST 3.4, DMI dan SOI selama 21 tahun dari bulan Januari 1980 sampai dengan Desember 2000. Tahap awal yang dilakukan untuk mengidentifikasi model dengan eksplorasi data. Berdasarkan eksplorasi data akan diketahui bentuk sebaran data, pola kecenderungan data terhadap waktu, keeratan hubungan curah hujan dengan faktor eksogen. Pola sebaran dan kesimetrikkan dapat diketahui berdasarkan diagram kotak dan garis.

Model deret waktu diidentifikasi dengan menggunakan plot autokorelasi (Auto Correlation Function/ACF) dan plot autokorelasi parsial (Parsial Autocorrelation Function/PACF). Fungsi ACF berguna untuk mengukur keeratan hubungan antara pasangan pengamatan pada waktu t dengan pengamatan pada waktu (t+k) dari proses stokastik yang sama dan hanya dipisahkan oleh selang waktu k. Fungsi PACF berguna untuk mengukur keeratan hubungan antara pasangan pengamatan pada waktu t dengan pengamatan pada waktu (t+k) setelah hubungan linier dalam pengamatan pada waktu (t+1) sampai waktu (t+k-1) telah dihilangkan. Untuk mengukur tingkat keeratan hubungan curah hujan dengan faktor eksogen digunakan plot korelasi silang (Cross Correlation Function/CCF).

Hasil Eksplorasi data curah hujan di Indramayu

1 Pendugaan data hilang

Stasiun-stasiun penakar curah hujan telah dibangun untuk memantau dan mengetahui pola curah hujan dari waktu ke waktu, di Indramayu terdapat 26 stasiun penakar hujan aktif yang dipergunakan dalam penelitian ini. Gambar 3 menunjukkan tebaran dan posisi masing-masing stasiun tersebut.

Gambar 3 Peta stasiun curah hujan di Kabupaten Indramayu (Sumber : BMKG)

Eksplorasi data curah hujan dilakukan untuk mengetahui kelengkapan data dan pola data yang dipergunakan dalam pemodelan. Berdasarkan hasil eksplorasi, pada setiap bulan terdapat data hilang, seperti yang tercantum pada Gambar 4. Pada bulan Januari terdapat 5.46% data hilang (tertinggi) dan pada bulan Maret terdapat 2.82% (terendah).

Gambar 4 Persentase data hilang

Data hilang dengan persentase kehilangan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 mengindikasikan bahwa tidak ada data yang tersimpan pada peubah amatan. Hal tersebut dapat disebabkan berbagai hal di antaranya: alat ukur yang kurang akurat, tidak tercatat dan masalah-masalah teknis lainnya. Data hilang merupakan masalah yang penting dalam berbagai bidang penelitian karena dapat menyebabkan bias dan inefisiensi dalam memprediksi respon dari amatan.

Penanganan data hilang dapat dilakukan berdasarkan prosedur : amatan lengkap, imputasi, pembobotan dan pemodelan (Little & Rubin 1987). Di antara teknik yang berbasiskan prosedur yakni metode rata-rata bergerak (moving average). Proses perhitungan pendugaan data hilang dengan rata-rata bergerak dilakukan terhadap semua stasiun-stasiun penakar hujan. Berdasarkan proses tersebut, diperoleh rata-rata nilai Mean Absolute Deviation (MAD) pada setiap bulan (Gambar 5) dengan persentase kehilangan rata-rata sebesar 3.7% memiliki rata-rata galat pendugaan sebesar 34.78%.

16

Gambar 5 Persentase nilai Mean absolute deviation (MAD) pada setiap bulan

Setelah data dilengkapi, deskripsi data curah hujan ditunjukkan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut, nampak bahwa rata-rata yang tinggi terjadi pada musim hujan yakni bulan Desember, Januari, Pebruari dan Maret. Penurunan nilai rata-rata curah hujan terjadi pada saat peralihan musim (April-Mei), demikian juga kenaikkan nilai rata-rata terjadi pada peralihan musim (Oktober-November). Nilai rata-rata curah hujan rendah terjadi pada musim kemarau yakni bulan Juni, Juli, Agustus, dan September.

Tabel 1 Nilai curah hujan minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku

Bulan Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan baku Januari 189 461 285 57 Pebruari 132 245 182 29 Maret 77 246 141 41 April 59 192 136 32 Mei 32 109 70 20 Juni 17 103 49 20 Juli .00 33 17 9 Agustus .00 19 8 7 September .00 23 5 6 Oktober 24 126 58 25 November 67 211 149 37 Desember 96 287 190 44 51.01 50.01 43.38 32.63 27.32 27.26 16.26 13.10 20.53 38.26 52.58 45.02 B u l a n

2 Pola sebaran curah hujan

Diagram kotak dan garis rata-rata curah hujan di 26 stasiun curah hujan pada bulan Januari 1980 sampai dengan Juni 2000 ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram kotak dan garis curah hujan di setiap stasiun curah hujan dari bulan Januari 1980 sampai dengan bulan Juni 2000

Pada umumnya pola sebaran data di setiap stasiun tidak simetrik dengan banyak pencilan pada nilai-nilai besar dan tampak lebar kotak kuartil antar stasiun curah hujan tidak sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa keragaman data antar stasiun curah hujan tidak homogen.

Demikian juga diagram kotak dan garis rata-rata curah hujan di 26 stasiun curah hujan mulai bulan Juli 1980 sampai dengan Desember 2000 (Gambar 7).

18

Gambar 7 Diagram kotak dan garis curah hujan di setiap stasiun curah hujan dari bulan Juli 1980 sampai dengan bulan Desember 2000

Pada umumnya pola sebaran data di setiap stasiun tidak simetrik dengan banyak pencilan pada nilai-nilai besar dan tampak lebar kotak kuartil antar stasiun curah hujan tidak sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa keragaman data antar stasiun curah hujan tidak homogen.

Ketidakhomogenan ragam dan pola sebaran curah hujan yang tidak simetrik seperti ditunjukkan dengan diagram kotak garis (Gambar 6 dan 7) dapat diatasi dengan melakukan transformasi. Bentuk transformasi data ditentukan dengan metode transformasi kuasa (power transformation), yang dikenalkan dan dikembangkan oleh Box dan Cox sekitar tahun 1964. Persamaan transformasi,

Dengan merupakan parameter transformasi, merupakan curah hujan ke-t, . Nilai untuk masing-masing stasiun ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai masing-masing stasiun curah hujan

No Nama Stasiun No Nama Stasiun

1 Anjatan 0.2 14 Salam Darma 0.3 2 Bugel 0.2 15 Gantar 0.3 3 TL Kacang 0.3 16 Bangkir 0.3 4 Cikedung 0.3 17 Cidempet 0.2 5 Kroya 0.3 18 Indramayu 0.2 6 Sukadana 0.3 19 Jatibarang 0.3 7 Smr Watu 0.3 20 Juntinyuat 0.3 8 Tugu 0.3 21 Ked Bunder 0.2 9 Kr.Asem 0.3 22 Lohbener 0.2 10 LW Semut 0.2 23 Losarang 0.3 11 Wanguk 0.2 24 Sudi Mampir 0.3 12 GBWetan 0.3 25 Krangkeng 0.4 13 Bondan 0.3 26 SudiKamp 0.3

3 Plot autokorelasi dan plot autokorelasi parsial

Plot ACF dan PACF curah hujan dilakukan untuk beberapa satsiun yakni stasiun Anjatan, Sumurwatu, Salam Darma, Gantar, Kedokan Bunder dan Sudimampir ditunjukkan pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut, stasiun curah hujan memiliki plot ACF dan PACF yang mirip. Pada plot ACF, tampak nilai ACF turun lambat pada lag 12, 24, 36, dan kelipatan 12 lainnya. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh musiman dengan panjang musiman 12 bulan. Pada plot PACF, tampak nilai PACF yang nyata pada lag 1, sekitar lag 4 dan sekitar lag 12. Nilai PACF yang nyata di sekitar lag 12 menunjukkan adanya pengaruh musiman. Berdasarkan plot ACF dan PACF diduga model deret waktu untuk curah hujan yakni autoregressive lag-(1) atau AR(1) dengan musiman 12 bulan.

20

Gambar 8 Plot ACF dan PACF curah hujan untuk stasiun Anjatan, Sumur Watu, SalamDarma, Gantar, Kedokan Bunder dan SudiMampir

Hasil eksplorasi data eksogen

Tebaran nilai SST di kawasan Nino 3.4 ditunjukkan pada Gambar 9, nampak dari gambar bahwa beberapa waktu tertentu terjadi kenaikkan nilai SST yang signifikan dan juga penurunan yang signifikan. Pada saat terjadi kenaikkan suhu yang signifikan akan menurunkan curah hujan di Indonesia. Sebaliknya, pada saat terjadi penurunan suhu yang signifikan, di Indonesia akan terjadi kenaikkan curah hujan.

Gambar 9 Tebaran nilai SST di kawasan Nino 3.4

Deskripsi data SST Nino 3.4 ditunjukkan pada Tabel 3. Rata-rata tertinggi tertinggi nilai SST Nino 3.4 terjadi pada bulan Mei sebesar 27.92 dan terendah terjadi pada bulan November sebesar 26.59. Nilai ragam antar bulan tidak memperlihatkan adanya perubahan yang mencolok. Hal ini menunjukkan bahwa SST di kawasan tersebut tidak terdapat kecenderungan naik terus ataupun turun terus dari waktu ke waktu.

Tabel 3 Nilai SST Nino 3.4 minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku

Bulan Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan baku Januari 24.6 29.0 26.6 1.2 Pebruari 25.2 29.0 26.8 1.1 Maret 25.9 29.0 27.3 0.9 April 26.7 29.2 27.8 0.7 Mei 26.8 29.1 27.9 0.8 Juni 26.2 28.9 27.7 0.7 Juli 25.7 28.8 27.2 0.7 Agustus 25.4 28.8 26.8 0.8 September 25.4 28.8 26.7 0.8 Oktober 24.6 29.0 26.7 1.2 November 24.4 29.1 26.6 1.2 Desember 24.6 28.9 26.7 1.2

22

Tebaran nilai anomali SST Nino3.4 ditunjukkan pada Gambar 10. Dalam beberapa waktu tertentu menunjukkan nilai positif dan beberapa waktu lainnya negatif.

Gambar 10 Tebaran data anomali SST Nino3.4

Deskripsi data anomali SST 3.4 ditunjukkan pada Tabel 4, nilai anomali sebesar 2.48 pada bulan November (tertinggi). Nilai anomali sebesar -2.15 terjadi pada bulan November (terendah). Nilai ragam sebesar 1.52 terjadi pada bulan Januari (terbesar).

Tabel 4 Anomali SST Nino 3.4 minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku

Bulan Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan baku Januari -2.02 2.39 -0.012 1.23 Pebruari -1.61 2.16 -0.006 1.08 Maret -1.40 1.64 0 0.88 April -1.16 1.37 -0.003 0.72 Mei -1.13 1.21 -0.001 0.75 Juni -1.48 1.23 -0.009 0.74 Juli -1.52 1.64 -0.001 0.72 Agustus -1.43 1.99 0.005 0.79 September -1.35 2.12 0.003 0.84 Oktober -2.07 2.33 0.002 1.10 November -2.15 2.48 -0.003 1.19 Desember -2.03 2.31 0.031 1.23

Tebaran nilai SOI tampak pada Gambar 11. Pada beberapa tahun tertentu bernilai positif tertinggi, yang berarti jumlah curah hujan di Indonesia

meningkat. Pada beberapa tahun tertentu bernilai negatif (terendah), yang berarti jumlah curah hujan di Indonesia menurun.

Gambar 11 Tebaran nilai SOI

Deskripsi data nilai SOI ditunjukkan pada Tabel 5, dengan nilai SOI tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 1.61, sedangkan nilai SOI terendah terjadi pada bulan Agustus dengan nilai -1.69.

Tabel 5 Nilai SOI minimum, maksimum, , rata-rata, dan simpangan baku

Bulan Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan baku Januari -1.19 -0.00 -0.68 0.33 Pebruari -1.31 0.09 -0.53 0.35 Maret -0.93 0.49 -0.20 0.40 April -0.44 0.77 0.29 0.31 Mei -0.52 0.58 0.01 0.35 Juni -1.51 -0.23 -0.92 0.33 Juli -1.67 -0.35 -1.19 0.39 Agustus -1.69 0.20 -1.03 0.46 September -1.18 0.29 -0.61 0.41 Oktober -1.21 1.61 -0.32 0.68 November -0.94 1.13 -0.25 0.48 Desember -0.80 0.21 -0.46 0.26

Tebaran nilai DMI ditunjukkan pada Gambar 12, dari waktu ke waktu nilai DMI cenderung stabil, namun ada beberapa waktu yang menunjukkan nilainya melonjak tajam.

24

Gambar 12 Tebaran nilai indeks dipole mode

Deskripsi data DMI ditunjukkan pada Tabel 6, nilai DMI terbesar 22.4 (November) sedangkan terendah -33.3 (Februari). Simpangan baku terbesar terjadi pada bulan April dan terkecil terjadi pada bulan Desember.

Tabel 6 Nilai DMI minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku

Peubah Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan baku Januari -30.6 15.6 -1.3 12.2 Februari -33.3 13.3 -2.9 11.5 Maret -28.5 9.4 -6.5 11.6 April -24.4 21 -5.5 14.8 Mei -22.4 14.7 -2.4 10.6 Juni -24.1 13.9 -4.3 11.0 Juli -19.3 14.6 -1.4 9.9 Agustus -23.6 14.9 -2.7 10.4 September -21.4 20.1 -1.4 10.9 Oktober -20.2 14.6 -2.4 10.5 November -31.1 22.4 -0.9 11.9 Desember -21.3 13.3 -1.8 9.4

Hubungan antara Curah Hujan dengan Faktor Eksogen

Keeratan hubungan antara curah hujan dengan faktor eksogen dapat diketahui berdasarkan plot CCF. Plot CCF antara curah hujan dengan SST Nino 3.4, anomali SST 3.4 ditunjukkan pada Gambar 13. Nilai CCF lag (k) menunjukkan korelasi antara curah hujan pada waktu t dengan SST Nino 3.4 atau anomali SST pada waktu (t+k).

Gambar 13 (a)-(f) Plot CCF antara curah hujan dan SST Nino 3.4, (g)-(l) plot CCF antara curah hujan dengan anomali SST Nino 3.4

(l) (f) (k) (e) (j) (d) (c) (i) (a) (b) (g) (h)

26

Gambar 14 (a)-(f) Plot CCF antara curah hujan dan DMI, (g)-(l) plot CCF antara curah hujan dengan SOI

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) (k) (l)

Pada Gambar 14 tampak CCF antara curah hujan di stasiun Anjatan, Sumur Watu, Salam Darma, Gantar, Kedokan Bunder, dan Sudi Mampir dengan SST Nino 3.4 dan anomali Nino 3.4 memiliki pola yang hampir sama. Korelasi curah hujan dengan SST 3.4 lebih tinggi daripada curah hujan dengan anomali SST 3.4. Oleh karena itu, curah hujan cenderung lebih dipengaruhi SST 3.4 daripada anomali SST 3.4. Nilai korelasi bernilai negatif dan korelasi tertinggi terjadi pada sekitar lag (-2) atau sekitar lag (-1), berarti peningkatan SST Nino 3.4 pada saat (t-2) atau (t-1) cenderung menurunkan curah hujan pada saat (t).

Pada Gambar 14 tampak CCF antara curah hujan di stasiun Anjatan, Sumur Watu, Salam Darma, Gantar, Kedokan Bunder, dan Sudi Mampir dengan SOI dan DMI memiliki pola yang hampir sama. Korelasi curah hujan dengan DMI lebih tinggi daripada curah hujan dengan SOI. Oleh karena itu, curah hujan cenderung lebih dipengaruhi DMI daripada SOI. Nilai korelasi bernilai negatif dan korelasi tertinggi terjadi pada lag (-5) atau sekitar lag (-4), berarti peningkatan DMI pada saat (t-5) atau (t-4) cenderung menurunkan curah hujan pada saat (t).

Hubungan Spasial antar Stasiun Curah Hujan

Hubungan curah hujan antar stasiun curah hujan dapat diketahui melalui plot CCF dan lag-nya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15. Pada gambar tersebut tampak bahwa nilai CCF tertinggi terjadi pada lag (0), hal ini berarti bahwa curah hujan antar stasiun memiliki keterkaitan pada waktu (t) yang sama.

Jarak antar stasiun curah hujan dapat ditentukan melalui jarak geodesi (Smith & Kolenikov 2004). Misalkan dan masing-masing merupakan koordinat (longitude, latitude) dari dua stasiun curah hujan, jarak antar dua stasiun curah hujan

Jarak = 12732.4 (km) dengan

28

Plot antara nilai CCF dengan jarak antar curah hujan dan persamaan garis ditunjukkan pada Gambar 16. Berdasarkan gambar tersebut, tampak terdapat hubungan yang erat antara nilai CCF dengan jarak antar stasiun curah hujan, namun bila jarak antar stasiun curah hujan semakin jauh maka nilai CCF antar stasiun curah hujan tidak semakin kecil. Dengan demikian jarak antar stasiun curah hujan tidak mempengaruhi besar curah hujan atau dengan kata lain tidak memiliki hubungan spasial.

Gambar 16 Plot antara CCF dengan jarak antar stasiun curah hujan dan persamaan garisnya

Simpulan

Pada data curah hujan di Indramayu, terdapat korelasi temporal dengan model deret waktu AR (1) dengan pengaruh musiman periode 12 bulan. Curah hujan dipengaruhi oleh faktor eksogen: SST Nino 3.4 pada lag (0) dengan korelasi bernilai negatif, dipengaruhi anomali SST Nino 3.4 pada lag (0) dengan korelasi bernilai negatif yang cukup kecil, dan dipengaruhi oleh DMI dan SOI pada lag (0) dengan korelasi bernilai positif. Meskipun korelasinya cukup kecil, namun faktor eksogen tersebut berperan dalam menentukan curah hujan di suatu lokasi tertentu.

Berdasarkan uraian ini, model curah hujan di Indramayu merupakan model deret waktu AR (1). Dalam penelitian ini, model deret waktu AR (1) pada masing-masing lokasi curah hujan digunakan secara simultan dengan menambahkan pengaruh faktor eksogen .

30

Dokumen terkait