• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

4.2. Studi autekologi tumbuhan sagu di P Seram, Maluku

4.2.9. Interaksi dengan komponen abiotis

Hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis / PCA) faktor iklim menunjukkan bahwa dua komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data iklim sebesar 100 %. Dua komponen utama tersebut (PC1 dan PC2) memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat iklim masing-masing sebesar 55,5 % dan 44,5 % (Tabel 24).

Tabel 24. Eigenvalues matriks korelasi faktor iklim

Komponen Eigenvalue Proportion Cumulative PC1 2,777 0,555 0,555 PC2 2,223 0,445 1,000

Pada PC1 terdapat dua variabel sebagai penciri utama faktor iklim yaitu sinaran surya mikro dan curah hujan. Sementara pada PC2 secara dominan dicirikan oleh tiga variabel yaitu temperatur mikro, kelembaban mikro, dan sinaran surya lokal (Tabel 25).

Tabel 25. Eigenvector komponen utama variabel iklim

Variable PC1 PC2 Temperatur mikro 0,351 -0,544

Kelembaban mikro -0,090 0,663 Sinaran surya lokal 0,406 0,494 Sinaran surya mikro 0,598 -0,050

Curah hujan -0,588 -0,136

Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel iklim menggunakan loading plot menunjukkan bahwa terjadi korelasi positif antara variabel sinaran surya lokal dan sinaran surya mikro. Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot kedua variabel itu (Gambar 29). Korelasi positif ini mengandung pengertian bahwa apabila sinaran surya lokal meningkat, maka dengan sendirinya akan terjadi peningkatan sinaran surya mikro. Korelasi yang sama terjadi pula antara variabel sinaran surya dengan temperatur mikro, dan kelembaban mikro. Artinya apabila sinaran surya meningkat, maka temperatur mikro dan kelembaban mikro akan bertambah. Meningkatnya sinaran surya yang diikuti dengan peningkatan temperatur mikro, dikarenakan sinaran

surya sesungguhnya adalah merupakan pancaran radiasi gelombang

elektromagnetik yang dapat menimbulkan efek panas. Efek ini kemudian diukur sebagai derajat panas yang dikenal sebagai temperatur.

Dalam konteks ini temperatur yang dimaksud adalah temperatur mikro. Sedangkan dalam kaitan dengan korelasi positif antara sinaran surya dengan kelembaban mikro, dikarenakan temperatur yang ditimbulkan oleh sinaran surya dapat menyebabkan terjadinya evaporasi (penguapan air rawa) pada habitat sagu. Uap air ini kemudian terperangkap dalam tajuk rumpun sagu karena tutupan lahan oleh tajuk sagu mencapai >50 %. Jumlah kandungan uap air yang terukur di bawah tajuk sagu tersebut yang dikenal sebagai kelembaban mikro. Argumen

0,75 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50 0,75 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50 First Component S e c o n d C o m p o n e n t CH Sry_mikro Sry_lokal RH_mikro T_mikro

Loading Plot of T_mikro; ...; CH

yang dipakai untuk menjelaskan bahwa terjadi tutupan lahan yang cukup tinggi didasarkan pada jumlah intensitas sinaran surya yang masuk di antara rumpun sagu hanya sekitar 46,97 %.

Gambar 29. Interaksi variabel iklim dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku Pada Gambar 29 tampak pula bahwa variabel curah hujan memiliki korelasi negatif dengan sinaran surya lokal, sinaran surya mikro, dan temperatur mikro. Hal ini ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh plot curah hujan dengan ketiga variabel yang disebutkan di atas membentuk sudut tumpul. Korelasi yang besifat negatif ini mengandung pengertian bahwa dengan semakin bertambah curah hujan, maka sinaran surya (lokal maupun mikro), dan temperatur mikro akan menurun. Sinaran surya yang berkurang ini dikarenakan pada umumnya bila terjadi hujan senantiasa terdapat keawanan atau diawali dengan munculnya awan yang menghalangi sinaran surya tembus ke permukaan bumi. Kemudian dengan adanya hujan, maka dengan sendirinya dapat menurunkan temperatur udara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat interaksi antara variabel iklim yang satu dengan yang lain, baik interaksi yang bersifat positif maupun negatif.

Dengan mempertimbangkan akar ciri (eigenvalues) sebagai skor komponen utama (skor PC) dan vektor ciri (eigenvector) terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel terhadap habitat sagu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor iklim terhadap habitat sagu di P. Seram sebesar 6,69 % (Tabel 26). Variabel iklim yang memiliki kontribusi tertinggi adalah sinaran surya mikro, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,66 %. Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah adalah temperatur mikro sebesar 0,78 %.

Tabel 26. Kontribusi variabel iklim terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku

Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%)

Temperatur mikro Kelembaban mikro Sinaran surya lokal Sinaran surya mikro Curah hujan 2,223 2,223 2,223 2,777 2,777 0,351 0,663 0,494 0,598 0,588 0,78 1,47 1,10 1,66 1,63 Jumlah 3,38

Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 24 di atas, dapat disusun model indeks habitat sagu terkait dengan peran faktor iklim di P. Seram sebagai berikut :

HS(F-iklim) = (0,78T-mikro) + (1,47RH-mikro) + (1,10Sry-lokal) + (1,66Sry-mikro) +

(1,63C-hujan) ……… (25)

dimana : HS = habitat sagu terkait dengan faktor iklim T-mikro = temperatur mikro

RH-mikro = kelembaban mikro Syr-lokal = sinaran surya lokal Sry-mikro = sinaran surya mikro C-hujan = curan hujan

Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam persamaan-25 di atas, tampak bahwa habitat sagu di P. Seram atas dasar sifat iklim sangat ditentukan oleh variabel intensitas sinaran surya mikro, selain itu ditentukan pula oleh sinaran surya lokal. Hal ini berarti bahwa tumbuhan sagu memiliki penyinaran yang cukup untuk dapat tumbuh dengan baik. Fakta ini menunjukkan

bahwa sagu merupakan jenis tumbuhan yang memerlukan penyinaran langsung. Apabila terjadi hambatan penyinaran akan mempengaruhi pertumbuhannya. Fakta ini juga semakin memperkuat argumen bahwa kematian tunas anakan sagu antara lain dipengaruhi oleh banyaknya intensitas sinaran surya yang masuk sampai ke bagian bawah tajuk rumpun sagu. Banyak tunas anakan sagu mengalami kematian karena terjadi kompetisi yang kuat diantara individu setiap rumpun dalam mendapatkan sinaran surya. Sinaran surya yang masuk sampai dekat rumpun sagu hanya sekitar 423,82 lux setara 12,40 %, dibandingkan dengan rata- rata intensitas sinaran surya terukur sebesar 1427,56 lux.

Kontribusi variabel curah hujan dan kelembaban mikro terhadap habitat sagu, tertinggi kedua dan ketiga setelah sinaran surya mikro. Hal ini mengandung makna bahwa curah hujan dan kelembaban mikro memiliki peran cukup besar dalam menentukan habitat sagu di P. Seram. Peran yang sama juga terjadi pada variabel iklim yang lain seperti temperatur mikro. Peran curah hujan terhadap habitat sagu berkaitan dengan jumlah curah hujan atau tipe iklim. Dalam konteks itu, maka terdapat kecenderungan bahwa bahwa habitat sagu di P. Seram banyak tumbuh pada jumlah curah hujan berkisar antara 1.672,44 – 5.898,32 mm/tahun, termasuk tipe hujan A dan B menurut Schmidt-Ferguson (1951 dalam BPPT 1982 dan BPKH 2006).

Dalam rangka menjelaskan pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu, dilakukan analisis regresi komponen utama. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu di P. Seram masing-masing sebesar 7,1 % dan 5,3 % (Lampiran 18). Persamaan regresi komponen utamanya secara berurutan sebagai berikut :

Y1 = 15,74 - 1,321 X1 + 0,4645 X2 - 0,0021 X3 - 0,0049 X4 + 0,0247 X5 … (26) Y2 = -1897,31 + 2814,27 X1 - 5672,75 X2 + 293,69 X3 + 62,42 X4 + 2,99 X5

……….. (27)

dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun sagu (ind/ha), Y2 = produksi pati sagu (kg/batang), X1 = temperatur mikro, X2 = kelembaban mikro, X3 = sinaran surya lokal, X4 = sinaran surya mikro, X5 = curah hujan.

Pada persamaan regresi di atas tampak bahwa variabel temperatur mikro memiliki pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel iklim yang lain, baik terhadap jumlah populasi rumpun maupun produksi pati sagu. Kondisi temperatur mikro memberikan pengaruh yang bersifat negatif atau kurang menguntungkan bagi pertambahan jumlah rumpun sagu. Namun terhadap produksi pati bersifat positif, mengandung makna bahwa kondisi temperatur mikro cukup baik terhadap penambahan produksi pati sagu. Fakta ini memberikan petunjuk bahwa pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun sagu yang bersifat positif tidak selalu diikuti dengan pengaruh positif terhadap produksi pati sagu, demikian sebaliknya pengaruh negatif faktor iklim terhadap jumlah rumpun sagu tidak selalu diikuti dengan pengaruh negatif terhadap produksi.

Variabel iklim berikut yang berpengaruh cukup kuat terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah kelembaban mikro. Variabel ini memberikan pengaruh yang bersifat positif, artinya kondisi kelembaban mikro berperan dalam penambahan jumlah rumpun, tetapi tidak menguntungkan bagi peningkatan produksi pati. Hal ini berarti bahwa kondisi kelembaban mikro yang baik bagi penambahan jumlah rumpun dicapai pada taraf yang tidak bersamaan dengan tingkat kelembaban mikro yang baik bagi peningkatan produksi pati. Demikian pula dengan variabel iklim yang lain seperti sinaran surya lokal dan sinaran surya mikro.

Curah hujan merupakan variabel iklim yang memberikan pengaruh sepadan terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Artinya variabel ini memberikan pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun dan juga terhadap produksi pati sagu. Dalam kaitan dengan pembentukan rumpun dan produksi pati sagu, maka diperlukan curah hujan dalam jumlah yang memadai. Jika curah hujan berkurang dapat menghambat pembentukan rumpun baru, demikian pula untuk produksi pati sagu.

Intensitas sinaran surya mikro memberikan pengaruh yang bersifat negatif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Hal ini mengandung makna bahwa sinaran surya mikro tidak memberikan andil dalam penambahan jumlah rumpun sagu. Dengan kata lain apabila sinaran surya mikro cukup tidak akan membentuk rumpun baru, karena apabila sinaran surya terpenuhi maka percabangan basal

tumbuh menjadi individu baru tidak jauh dari pohon induk. Dengan kata lain individu baru yang terbentuk berdekatan dengan pohon induk. Apabila sinaran surya berkurang, maka dapat menambah jumlah rumpun yang terbentuk. Fenomena ini memperkuat argumen tentang mekanisme pembentukan rumpun yang terbentuk pada kondisi sinaran surya berkurang. Dengan berkurangnya sinaran surya percabangan basal akan memanjang keluar menjauh dari pohon induk atau rumpun mencari ruang dengan sinaran surya memadai untuk tumbuh menjadi individu baru. Dalam perkembangan selanjutnya dari individu ini kemudian muncul percabangan basal baru atau anakan secara bersama-sama menjadi rumpun sendiri.

Pengaruh faktor iklim terhadap tumbuhan sagu diawali oleh pengaruh sinaran surya sebagai sumber energi utama dalam kehidupan. Sinaran surya lokal memainkan peranan penting dalam mengendalikan variabel iklim yang lain seperti sinaran surya mikro, temperatur mikro, dan kelembaban mikro. Apabila sinaran surya lokal meningkat maka sinaran surya mikro ikut pula bertambah dan senantiasa terjadi fluktuasi dari waktu ke waktu. Sinaran surya merupakan sumber energi utama bagi kehidupan. Energi surya dalam bentuk radiasi ditangkap tumbuhan melalui daun oleh klorofil. Kemudian melalui proses fotosintesis dirubah menjadi energi kimia, selanjutnya energi ini dipergunakan untuk pertumbuhan dan tersimpan pada tempat penyimpanan (zink) yakni pada bagian batang.

Sinaran surya terkait pula dengan temperatur mikro dan kelembaban mikro. Sinaran surya senantiasa memancarkan radiasi yang dapat menimbulkan efek panas. Efek panas ini selanjutnya meningkatkan termperatur udara. Pada umumnya dengan meningkatnya temperatur udara akan menurunkan tingkat kelembaban relatif. Dengan adanya perubahan temperatur dan kelembaban relatif, maka akan mempengaruhi jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Secara teoritis dengan meningkatnya temperatur maka proses reaksi dalam tubuh tumbuhan akan meningkat, tetapi pada kondisi temperatur yang sangat tinggi dapat menghambat pertumbuhan. Dengan meningkatnya kondisi temperatur mikro dapat meningkatkan produksi pati sagu.

Kelembaban relatif dan temperatur udara selain berkaitan dengan sinaran surya, juga berkaitan dengan curah hujan. Apabila curah hujan meningkat maka kelembaban relatif akan bertambah, sedangkan temperatur udara akan menurun. Peran curah hujan dalam pertumbuhan sagu bukan saja berkaitan dengan naik- turunnya kelembaban dan temperatur, tetapi curah hujan juga mempengaruhi tumbuhan sagu melalui ketersediaan air. Dengan meningkatnya curah hujan, maka ketersediaan air ikut meningkat, selanjutnya kebutuhan air tumbuhan akan terpenuhi, dan sebaliknya jika curah hujan berkurang atau tidak terjadi hujan, terutama pada tipe habitat lahan kering.

b. Interaksi dengan parameter tanah

Hasil analisis PCA faktor tanah menunjukkan bahwa tiga komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data sifat tanah sebesar 85,4 %. Tiga komponen utama tersebut (PC1, PC2, dan PC3) memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat tanah masing-masing sebesar 42,8 %, 25,4 %, dan 17,2 % (Tabel 27).

Tabel 27. Eigenvalues matriks korelasi faktor tanah

Komponen Eigenvalue Proportion Cumulative PC1 3,848 0,428 0,428 PC2 2,289 0,254 0,682

PC3 1,547 0,172 0,854

Pada PC1 terdapat tiga variabel sebagai penciri utama faktor tanah yaitu pH (KCl), KTK, dan kalsium. Pada PC2 secara dominan dicirikan oleh empat variabel yaitu C-organik, kalium, bulk density dan partikel liat. Sementara PC3 penciri dominannya adalah magnesium dan ferrum (Tabel 28).

Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel tanah menggunakan loading plot menunjukkan bahwa C-organik berkorelasi positif dengan pH (KCl), kalsium, KTK, magnesium, dan kalium. Partikel liat memiliki korelasi positif dengan BD (bulk density) (Gambar 30). Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip yang dibentuk oleh pasangan variabel-variabel tersebut. Korelasi yang bersifat positif ini mengandung pengertian bahwa jika terjadi

0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 First Component S e c o n d C o m p o n e n t C_organik Liat BD Fe Magnesium Kalsium Kalium KTK pH (KCl)

Loading Plot of pH (KCl); ...; C_organik

0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 First Component S e c o n d C o m p o n e n t Liat BD Fe Magnesium Kalsium Kalium KTK C_organik pH (KCl)

Loading Plot of pH (KCl); ...; Liat

peningkatan C-organik maka akan terjadi peningkatan pula pada variabel lain yang menjadi pasangannya. C-organik merupakan indikator yang menjelaskan tentang banyak-sedikitnya kandungan bahan organik tanah. Dalam kaitan dengan korelasi positif dengan pH (KCl), dikarenakan bahan organik dapat berparan dalam meningkatkan kemasaman tanah (Syekhfani (1997).

Tabel 28. Eigenvector komponen utama variabel tanah

Variable PC1 PC2 PC3 pH (KCl) 0,416 0,187 -0,156 C_organik 0,348 0,363 -0,193 KTK 0,494 0,098 -0,023 Kalium 0,305 -0,421 0,156 Kalsium 0,425 0,163 0,142 Magnesium 0,348 -0,100 0,546 Fe -0,142 0,192 0,694 BD 0,031 -0,532 0,171 Liat 0,213 -0,539 -0,290

Korelasi positif antara pH (KCl) dengan kalsium, magnesium, dan kalium, dikarenakan unsur-unsur tersebut selain sebagai unsur hara bagi tumbuhan, juga merupakan kation basa yang dapat meningkatkan pH tanah. Bahan kapur yang sering dipakai sebagai bahan untuk memperbaiki kemasaman tanah biasanya mengandung kation-kation tersebut, seperti kalsit (CaCO3) dan dolomit

[CaMg(CO3)2] (Hardjowigeno 1992).

Pada Gambar 30 tampak pula bahwa C-organik berkorelasi positif dengan KTK. Dengan bertambahnya kandungan bahan organik tanah, maka KTK tanah akan meningkat. Hal ini dikarenakan bahan organik memiliki KTK sekitar 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Misalnya pada tanah-tanah mineral yang mengandung mineral liat montmorilonit, KTK-nya berkisar antara 80-150 me/100 gr, sedangkan KTK bahan organik berkisar antara 100-300 me/100 gr (Syekhfani 1997). Partikel liat memiliki korelasi positif dengan bulk density. Hal ini dikarenakan liat merupakan partikel tanah berukuran paling kecil dan memiliki muatan listrik, baik positif maupun negatif. Partikel yang mempunyai muatan berbeda akan terjadi tarik menarik. Dengan ukuran partikel yang sangat kecil (<0,002 mm) dan adanya daya tarik menarik ini, maka terjadi pemadatan partikel yang berimplikasi pada peningkatan bulk density.

Korelasi antara pH dan Fe bersifat negatif, mengandung makna bahwa dengan bertambahnya kandungan Fe, maka pH tanah akan berkurang. Hal ini dikarenakan Fe merupakan kation masam yang memiliki andil dalam meningkatkan kemasaman tanah (pH turun). Secara teoritis kemasaman tanah yang meningkat dikarenakan oleh kandungan ion H+ yang meningkat, artinya dengan meningkatnya ion H dalam tanah, pH tanah akan turun. Ion Fe memiliki kemampuan dalam memecahkan (melisis) molekul air menjadi ion H+ dan OH-. Kemudian ion OH- diikat oleh Fe membentuk besi hidroksida [Fe(OH)3] dan

membebaskan tiga ion H+ (Syekhfani 1997). Reaksinya sebagai berikut : Fe3+ + 3H2O Fe(OH)3 + 3H+

Dengan mempertimbangkan eigenvalues sebagai skor komponen utama (skor PC) dan nilai eigenvector terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel tanah terhadap habitat sagu.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor tanah terhadap habitat sagu di P. Seram sebesar 10,15 % (Tabel 29). Variabel tanah yang memiliki kontribusi tertinggi adalah KTK, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,90 %. Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah adalah BD sebesar 0,27 %.

Tabel 29. Kontribusi variabel tanah terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%) pH (KCl) 3,848 0,416 1,60 C-organik 2,289 0,363 0,83 KTK 3,848 0,494 1,90 Kalium 3,848 0,305 1,17 Kalsium 3,848 0,425 1,64 Magnesium 1,547 0,546 0,85 Fe 1,547 0,694 1,07 BD 1,547 0,171 0,27 Liat 3,848 0,213 0,82 Jumlah 10,15

Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 28 di atas, dapat disusun model indeks pertumbuhan sagu terkait dengan peran faktor tanah di P. Seram sebagai berikut :

HS(F-tanah) = (1,60pH-KCl) + (0,83C-org) + (1,90KTK) + (1,17K) + (1,64Ca) +

(0,85Mg) + (1,07Fe) + (0,27BD) + (0,82Liat) ………... (28)

dimana : HS(F-tanah) = habitat sagu terkait dengan faktor tanah

pH-KCl = kemasaman tanah potensial C-org = karbon organik

KTK = kapasitas tukar kation K = Kalium

Ca = Kalsium Mg = Magnesium Fe = Ferrum BD = bulk density

Liat = partikel liat

Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam pers-28 di atas, tampak bahwa pertumbuhan sagu di P. Seram dalam kaitannya dengan sifat tanah sangat ditentukan oleh variabel kapasitas tukar kation (KTK). Hal ini berarti bahwa sagu menghendaki tanah dengan kesuburan yang memadai. Argumen ini

dikemukakan karena KTK merupakan parameter tanah yang berkaitan dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut subur, dan sebaliknya apabila KTK rendah termasuk kurang subur. Selain itu pertumbuhan sagu dikendalikan pula oleh kation-kation basa seperti K, Ca, dan Mg dan kondisi kemasaman tanah. Pada model dalam pers-28 di atas, tampak bahwa dua sifat fisika tanah yaitu bulk density dan partikel liat, memiliki peran yang lebih kecil dibandingkan dengan sifat tanah yang lain. Hal ini dapat dijadikan petunjuk bahwa untuk pertumbuhan sagu peran sifat fisik tanah kurang dominan.

Hasil analisis regresi komponen utama untuk mengetahui pengaruh variabel tanah terhadap jumlah populasi rumpun sagu menunjukkan bahwa terdapat lima variabel tanah memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah populasi rumpun sagu di P. Seram. Lima variabel dimaksud yaitu kapasitas tukar kation (KTK), kalsium, magnesium, ferrum, dan bulk density. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun sagu sebesar 4,3 % (Lampiran 19). Persamaan regresi komponen utamanya sebagai berikut :

Y1 = 9,363 - 0,016 X1 - 0,0389 X2 + 0,0526 X3 - 0,128 X4 + 2,284 X5….. (29) dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun, X1 = KTK, X2 = Kalsium, X3 =

Magnesium, X4 = Ferrum, X5 = bulk density.

Sedangkan hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh faktor tanah terhadap produksi pati sagu diperoleh kontribusi pengaruh faktor tanah sebesar 60,9 %. Persamaan regresi komponen utamanya sebagai berikut :

Y2 = 745,19 + 63,731 X1 + 21,909 X2 + 2,087 X3 + 1,935 X4 + 31,129 X5 +

48,988 X6 - 32,131 X7 - 0,030 X8 + 1,647 X9 ……..……… (30)

dimana : Y2 = produksi pati sagu, X1 = pH (KCl), X2 = C-organik, X3 = KTK, X4 = Kalium, X5 = Kalsium, X6 = Magnesium, X7 = Ferrum, X8 =

bulk density, X9 = liat.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua variabel tanah yang diuji berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu, tetapi terhadap produksi pati

sebagian besar variabel tanah memberikan pengaruhnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh sifat tanah terhadap jumlah populasi rumpun sagu lebih terbatas dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap produksi pati. Terdapat variabel tanah yang memberikan pengaruh yang bersifat positif atau menguntungkan. baik terhadap jumlah populasi rumpun maupun produksi. Demikian pula sebaliknya terdapat variabel yang berpengaruh negatif atau bersifat tidak menunjang terhadap populasi rumpun dan juga produksi pati. Pengaruh yang bersifat menguntungkan bagi pertumbuhan tidak selalu diikuti dengan pengaruh yang serupa terhadap produksi pati sagu. Kapasitas tukar kation, pengaruhnya terhadap jumlah populasi rumpun bersifat negatif, namun sebaliknya terhadap produksi pati bersifat positif. Demikian pula dengan pengaruh variabel kalsium dan bulk density.

Pada persamaan regresi (pers-29) tampak bahwa variabel tanah yang paling berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah bulk density. Variabel ini berkaitan dengan partikel penyusun tanah. Tanah yang memiliki bulk density tinggi biasanya memiliki kandungan liat yang banyak. Tumbuhan sagu banyak tumbuh dan berkembang pada tanah-tanah yang memiliki kandungan liat tinggi. Tumbuhan sagu biasanya tumbuh pada lahan-lahan aluvium berupa endapan pada dataran rendah, bagian lembah, atau berupa endapan di sisi kiri kanan sungai. Variabel bulk density berkaitan dengan kepadatan tanah, dan tingkat kepadatan tanah di dalam habitat sagu P. Seram berada pada kondisi yang memadai yakni berkisar antara 1,07 – 1,31, dengan kelas tekstur lempung liat dan liat berdebu. Pada kondisi tersebut menunjang dalam penambahan jumlah rumpun sagu, dalam arti mendukung percabangan basal tumbuh keluar menjauhi rumpun induk dan kemudian membentuk rumpun baru.

Kapasitas tukar kation (KTK) dan unsur hara kalsium memberikan pengaruh yang bersifat negatif terhadap jumpah populasi rumpun sagu. Artinya kedua variabel ini tidak menunjang dalam penambahan jumlah rumpun sagu. Hal ini dapat dikarenakan kedua variabel tersebut merupakan variabel kesuburan tanah. Tanah yang subur dapat mendorong penambahan jumlah anakan. Dengan semakin bertambahnya jumlah anakan, maka radius rumpun semakin bertambah. Penambahan radius ini dapat menyebabkan penyatuan rumpun yang satu dengan rumpun yang lain. Dengan demikian maka jumlah populasi rumpun akan semakin

berkurang. Jadi jumlah populasi rumpun sagu yang bersifat negatif, bukan dikarenakan terjadi kematian rumpun atau rusaknya rumpun. Tetapi penyatuan rumpun dalam komunitas sagu itu sendiri.

Lain halnya dengan unsur hara magnesium. Unsur hara ini memberikan pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Artinya kondisi kesuburan magnesium rata-rata sekitar 0,46 % dapat menambah jumlah rumpun sagu. Magnesium merupakan unsur hara yang berperan dalam penyusunan atau pembentukan klorofil. Rumus kimia klorofil-a dan kloroofil-b sebagai berikut : klorofil-a C55 H72 O5 N4 Mg dan klorofil-b C55H70O6N4 Mg

(Anonim 2010). Karena magnesium merupakan penyusun klorofil, maka berkaitan dengan fotosintesis. Hal ini berarti bahwa apabila jumlah magnesium cukup, maka klorofil yang terbentuk bertambah. Dengan demikian dapat meningkatkan fotosintesis, selanjutnya dapat meningkatkan hasil fotosintesis (fotosintat). Meningkatnya fotositat dapat meningkatkan jumlah buah dan biji. Buah atau biji sagu ini penting sebagai calon individu baru yang kemudian dapat tumbuh membentuk rumpun baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat sifat tanah yang berperan dalam meningkatkan jumlah populasi rumpun sagu melalui pengaruhnya terhadap organ vegetatif. Dalam konteks ini melalui perpanjang cabang basal (rhyzome), dan juga dapat melalui organ generatif berupa buah atau biji sagu.

Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, variabel kemasaman tanah (pH) memberikan pengaruh yang paling tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel