• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kapasitas Antioksidan

B. UJI ORGANOLEPTIK

8. Kapasitas Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menunda atau menghambat oksidasi lipid atau molekul lainnya dengan menghambat tahap inisiasi atau propagasi dari rantai reaksi oksidasi. Antioksidan alami banyak terdapat pada bahan pangan, contohnya komponen fenolik.

Salah satu cara untuk mengukur kapasitas antiosidan adalah dengan metode radical scavenging. Metode ini umum digunakan karena antioksidan dalam bahan pangan umumnya bekerja dengan cara ini. Metode yang umum digunakan adalah metode DPPH. Kapasitas antioksidan sendiri didefinisikan sebagai kemampuan senyawa untuk mengurangi jumlah prooksidan (Anonim i, 2005). Satuan yang digunakan untuk mengukur kapasitas antioksidan ini adalah AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Selain AEAC, biasa juga digunakan satuan TEAC (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity). Kapasitas antioksidan dari nasi sorghum sebesar 47,65 mg AEAC/g sampel. Jumlah ini cukuplah besar mengingat RDA Vitamin C yang kurang lebih 60 mg per harinya. Nasi sorghum bisa menjadi sumber antioksidan yang potensial.

D. INDEKS GLISEMIK

Efek glisemik dari suatu bahan pangan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk menggambarkan seberapa cepat dan tinggi kenaikan kadar gula darah setelah mengkonsumsi bahan pangan tertentu. Efek glisemik juga menggambarkan kecepatan respon tubuh manusia untuk mengembalikan kadar gula darah menjadi normal (Whitney et. al., 1990). Kadar gula darah normal manusia berkisar antara 70-110 mg/dl (Wardlaw, 1999).

Beras merupakan bahan pangan yang dikenal memiliki indeks glisemik sedang sampai tinggi. Kisaran indeks glisemik beras menurut Miller et. al. (1992) yaitu antara 66-93. Nilai yang beragam tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, tapi faktor yang paling berperan adalah kadar amilosa dari beras. Beras dengan kadar amilosa rendah dan amilopektin tinggi cenderung memiliki indeks glisemik tinggi karena amilopektin lebih mudah dicerna oleh tubuh dan juga lebih cepat diserap oleh tubuh. Faktor lainnya yang berperan dalam menentukan nilai IG dari bahan pangan adalah cara pengolahan pangan, ukuran partikel pangan, tingkat gelatinisasi pati, kadar gula dan gaya osmotik pangan, kadar serat pangan, kadar lemak dan protein pangan dan kadar antigizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Metode pengukuran indeks glisemik pada penelitian ini dilakukan secara in vivo menggunakan panelis manusia. Hal ini dilakukan karena manusia merupakan organisme yang sangat rumit metabolismenya sehingga tidak mungkin untuk membuat model in vitro yang sesempurna tubuh manusia. Panelis yang digunakan adalah 10 orang, dengan 5 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Panelis yang digunakan harus memiliki BMI normal (antara 18,5-24,9). Data ini dapat dilihat pada Tabel 9.

Sampel nasi sorghum A yang diberikan kepada panelis setara dengan 50 g karbohidrat, yaitu sebanyak ± 164 g. Sampel yang dikonsumsi harus setara dengan 50 g karbohidrat, kalau tidak akan mengakibatkan kesalahan dalam analisis. Pengambilan darah dilakukan dari pembuluh darah kapiler di ujung jari. Penelitian Ragnhild et .al. (2004), mengatakan bahwa darah yang diambil dari pembuluh kapiler memiliki variasi kadar gula darah antar panelis yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena. Alat yang

digunakan untuk mengukur kadar gula darah tersebut dinamakan glucometer. Pengambilan darah dilakukan tiap selang waktu 30 menit, tapi apabila diinginkan hasil yang lebih teliti maka selang waktu bisa dipersempit.

Tabel 9. Data klinis panelis indeks glisemik Panelis Tinggi (m) Berat (kg) BMI

1 1,75 71 23,18 2 1,67 54 19,36 3 1,66 51 18,51 4 1,55 57 23,73 5 1,58 49 19,63 6 1,62 58 22,10 7 1,57 51 20,82 8 1,58 48 19,23 9 1,67 56 20,08 10 1,71 55 18,81

Perhitungan indeks glisemik dilakukan dengan membandingkan luasan kurva kadar gula darah terhadap waktu sampel dengan standar yaitu glukosa. Glukosa digunakan sebagai standar karena glukosa adalah karbohidrat yang diserap oleh tubuh. Jumlah glukosa yang harus dikonsumsi yaitu 50 g, angka ini dipilih karena jumlah ini dianggap cukup untuk menimbulkan pengaruh pada kadar gula darah yang bisa diamati. Kurva standar dan sampel dibuat pada hari yang berbeda. Panelis dipuasakan terlebih dahulu sebelum diambil darahnya bertujuan untuk membiarkan kadar gula darah normal kembali sehingga pada saat menganalisis tidak ada pengaruh dari karbohidrat lainnya. Untuk perhitungan, kadar gula darah panelis untuk tiap selang waktu dirata- rata terlebih dahulu dan dapat dilihat pada Tabel 10. Setelah itu, dihitung kenaikan kadar gula darah tiap selang waktu 30 menit (Tabel 11) baru kemudian dibuat kurvanya (Gambar 17).

Tabel 10. Respon kadar gula darah panelis (mg/dl) Menit ke- Sampel 0 30 60 90 120 Glukosa 75,5 148,7 127,8 106,3 81,3 Nasi sorghum A 78,5 120,3 96,7 84,3 78,5

Tabel 11. Kenaikan gula darah panelis setelah mengkonsumsi standar dan sampel Menit ke- Sampel 30 60 90 120 Glukosa 73,2 52,3 30,8 5,8 Nasi sorghum A 41,8 18,2 5,8 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0' 30' 60' 90' 120' Waktu (menit) Kadar gul a darah (mg/ dl ) Standar Sampel

Gambar 17. Grafik kenaikan kadar gula darah panelis

Dari hasil perhitungan cara ini diperoleh nilai indeks glisemik nasi sorghum A sebesar 41. Maka, nasi sorghum A dapat digolongkan sebagai makanan ber-indeks glisemik rendah (<55). Bila nilai IG perorangan dihitung dahulu kemudian dirata-rata didapat IG nasi sorghum sebesar 45. Nilai indeks glisemik berbagai bahan pangan sumber karbohidrat lainnya dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai indeks glisemik berbagai jenis bahan pangan dengan glukosa sebagai standar

Bahan Pangan Indeks Glisemik

Nasi sorghum* 41 Beras 80 Beras Basmati 58 Singkong 78 Sukun 90 Pisang 92 Kimpul 95 Gembili 90 Ubi jalar 179 Ganyong 95 Sumber: Anonim j (2006). * Hasil Penelitian

Bisa dilihat bahwa beras memiliki IG yang tergolong tinggi (80), begitu juga dengan singkong (78), dan beberapa umbi-umbian sumber karbohidrat lainnya. IG nasi sorghum jauh lebih rendah daripada bahan-bahan pangan tersebut. IG nasi sorghum bahkan lebih rendah dari beras Basmati yang selama ini dikenal sebagai beras untuk penderita diabetes. Sebenarnya, kebanyakan sayur, buah dan kacang-kacangan, terutama kedelai, memiliki indeks glisemik yang lebih rendah daripada sorghum. Sayur dan buah cenderung memiliki IG yang rendah karena sebagian besar karbohidrat yang terkandung di dalamnya berupa serat yang tidak bisa dicerna oleh enzim pencernaan kita. Kedelai memiliki IG rendah karena mengandung fitat didalamnya yang merupakan komponen antinutrisi. Meskipun IG dari bahan pangan tersebut rendah, tapi mereka tidak bisa menggantikan nasi sebagai sumber energi karena kandungan kalorinya yang rendah.

Nilai IG yang rendah disebabkan karena kemampuan tanin untuk berikatan dengan protein dan polisakarida (von Elbe dan Schwartz, 1996). Tanin akan membentuk kompleks dengan enzim amilase (protein) yang akan

mengakibatkan turunnya aktifitas dari amilase. Hal tersebut akan mengakibatkan turunnya kemampuan tubuh untuk memecah karbohidrat, sehingga tidak mengakibatkan kenaikan gula darah yang tinggi dalam waktu singkat. Semakin banyak tanin, maka akan semakin banyak pula enzim amilase yang terkompleks sehingga akan makin menurunkan kemampuan tubuh untuk mencerna karbohidrat. Selain itu, tanin juga dapat berikatan dengan karbohidrat yang mengakibatkan karbohidrat menjadi lebih sulit untuk dipecah tubuh. Sayangnya, tidak hanya enzim amilase yang diikat oleh tanin, tapi juga enzim pencernaan lainnya dan protein yang kita konsumsi. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut efek samping dari konsumsi produk ini.

Karena nasi sorghum tergolong memiliki IG rendah, maka nasi sorghum baik dikonsumsi penderita diabetes. Nasi sorghum tidak akan menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang tinggi dalam waktu singkat, yang tidak baik bagi penderita diabetes, karena mereka kekurangan/tidak memiliki enzim untuk menurunkan kadar gula darah tubuh ke tingkat normalnya. Bahan pangan dengan IG rendah dapat memperbaiki pengendalian metabolik pada penderita diabetes tipe II dewasa. Selain itu, studi pemberian jangka menengah pangan dengan IG rendah pada penderita diabetes menunjukkan bahwa pangan dengan IG rendah berhubungan dengan peningkatan pengendalian gula darah (Miller, et. al., 1991). Oleh karena itu, penderita diabetes disarankan untuk mengkonsumsi bahan pangan ber-IG rendah. Bahan pangan ber-IG rendah juga baik untuk para non-diabetes karena jika mereka mengkonsumsi bahan pangan IG tinggi, yang akan meningkatkan kadar gula darah tinggi dalam waktu singkat, akan meningkatkan beban kerja pankreas untuk menghasilkan insulin dalam jumlah banyak. Lama kelamaan, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sejumlah yang diperlukan, sehingga akan mengakibatkan diabetes tipe II. Konsumsi bahan pangan ber-IG rendah akan membantu mencegah terjadinya hal ini. Untuk lebih lanjutnya, mungkin bisa diajukan klaim nasi sorghum sebagai bahan pangan ber-indeks glisemik rendah, membantu mengatasi dan mencegah penyakit diabetes melitus.

Dokumen terkait