• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden dan Apotek

1. Karakteristik responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama masa kerja, pekerjaan lain dan penghasilan perbulan.

a. Umur

Umur berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menyikapi masalah yang ada disekitarnya. Penelitian yang dilakukan Havard Growth Study menunjukkan bahwa proses pertumbuhan dan perkembangan inteligensia diawali pada umur remaja dan mencapai puncak pada umur 30 tahun. Pada umur tersebut seseorang mampu berpikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat memahami prinsip-prinsip abstrak yang berlaku (Azwar, 1995).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 8% responden yang berumur kurang dari 25 tahun, 60% responden berumur antara 25 tahun sampai dengan kurang dari 35 tahun, 8% responden berumur antara 35 tahun sampai

dengan kurang dari 45 tahun, 16% responden berumur antara 45 tahun sampai dengan kurang dari 55 tahun, 8% berumur lebih dari 55 tahun.

Umur sebagian responden (60%) berada pada umur produktif di mana pada umur tersebut responden mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan inteligensia sehingga mampu berpikir kritis dalam menghadapi masalah yang dialami responden sebagai drug informer dan responden diharapkan mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada pengunjung apotek dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya serta dapat membina hubungan yang baik dengan rekan sejawat dan tenaga kesehatan lainnya.

8% 60% 8% 16% 8% kurang dari 25 thn 25 sampai kurang dari 35 tahun

35 sampai kurang dari 45 tahun

45 sampai kurang dari 55 tahun

lebih dari 55 tahun

Gambar 1. Umur responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 76% responden adalah wanita dan 24% pria. Data tersebut dapat dilihat pada gambar 2.

76% 24%

wanita pria

Gambar 2. Jenis Kelamin responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta

c. Tingkat Pendidikan

Pendidikan yang lebih tinggi walaupun sifatnya tidak mutlak diasumsikan dapat mempengaruhi inteligensi atau pola pikir seseorang mengenai masalah kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas juga wawasan atau pengetahuan yang dimilikinya bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Beberapa penelitian menyatakan bahwa inteligensi berbanding lurus dengan tingkat pendidikan (Azwar, 2003a).

Di kalangan apoteker, selalu ada program peningkatan pengetahuan yang dikenal dengan istilah pendidikan berkelanjutan. Badan kesehatan dunia menyatakan peran farmasis dalam istilah 7 bintang (seven star pharmacist) salah satunya adalah life-long learner yaitu farmasis harus senang belajar dan semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru dalam melakukan praktek profesi. Dalam pengelolaan apotek, apoteker selalu belajar sepanjang kariernya, membantu memberikan pendidikan dan memberikan peluang untuk meningkatkan

pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Anonim, 2004). Dalam hal ini membantu memberikan pendidikan dapat juga berarti memberikan pengetahuan mengenai obat kepada pasien sebatas informasi obat yang diperlukan seperti: cara pakai, dosis, efek samping, aturan pakai, indikasi, kontraindikasi, interaksi obat, upaya-upaya tambahan dalam rangka mempercepat penyembuhan, pilihan lain yang lebih murah dan cara penyimpanan. Meningkatkan pengetahuan dapat membantu meningkatkan pelayanan informasi obat kepada pengunjung apotek.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa persentasi tertinggi sebesar 84% responden berpendidikan apoteker, kemudian secara berturut-turut adalah S2 Apoteker sebesar 12% dan S3 Apoteker sebesar 4%. Data tersebut dapat dilihat pada gambar 3.

84%

12% 4%

Profesi apoteker S2 S3

Gambar 3. Tingkat pendidikan responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta

d. Lama masa kerja di apotek

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persentasi terbesar lama masa kerja responden adalah antara 1 sampai dengan kurang dari 5 tahun

sebanyak 40%, kemudian secara berturut-turut 20% responden bekerja selama lebih dari 15 tahun, selanjutnya responden bekerja antara 5 sampai dengan kurang dari 10 tahun dan antara 10 sampai dengan kurang dari 15 tahun mempunyai persentasi yang sama yaitu 16% dan urutan terakhir responden bekerja selama kurang dari 1 tahun sebanyak 8%.

8% 40% 16% 16% 20% <1 th 1-<5 th 5-<10 th 10-<15 th >15 th

Gambar 4. Lama masa kerja responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta.

Responden yang aktif dalam melakukan pekerjaan kefarmasian dan hadir setiap hari di apotek, kemungkinan semakin lama masa kerja responden maka pelayanan kefarmasian akan semakin meningkat mutunya karena responden semakin tahu jenis pelayanan yang dibutuhkan oleh pasien/penderita. Selain itu semakin lama responden bekerja dalam melakukan pekerjaan kefarmasian juga semakin banyak pengalaman yang dimilikinya dalam hal berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung terhadap masyarakat hal ini untuk memudahkan

responden memberikan pelayanan informasi obat tetapi ini tidak berlaku bagi responden yang tidak aktif dan tidak hadir setiap hari di apotek.

e. Pekerjaan lain

Responden yang bekerja rangkap di dua tempat dapat menyebabkan terlalu lelah, berkurangnya tenaga, maupun konsentrasi sehingga kemungkinan bisa terjadi kekeliruan-kekeliruan terutama dalam pelayanan obat dengan resep dokter (Hartono, 2003). Apabila responden terlalu lelah dan berkurang tenaga serta konsentrasinya berkurang kemungkinan bisa terjadi kekeliruan dalam memberikan informasi obat.

Dari hasil penelitian didapat 52% responden tidak memiliki pekerjaan lain sedangkan sisanya 48% memiliki pekerjaan lain. Pekerjaan lain tersebut antara lain : Dosen (16%), Pegawai Negeri Sipil (20%), dan wiraswasta (12%). Hal ini berarti 48% apoteker tersebut tidak dapat sepenuhnya berada di apotek selama apotek buka dan memberikan pelayanan informasi obat karena apoteker tersebut bekerja pada institusi lain, misalkan : apoteker yang juga bekerja sebagai dosen atau pegawai negeri sipil. Ini tidak sesuai dengan standart prosedur operasional farmasis di apotek yang menyebutkan bahwa farmasis dalam hal ini apoteker harus mudah ditemui, menyediakan waktu, bisa berempati, menunjukkan ketertarikan, perhatian, bersahabat, asertif dan mentaati prosedur yang berlaku (ISFI, 2004).

Permenkes No. 1332/MENKES/X/2002 menyebutkan apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA harus menunjuk apoteker pendamping. Hal ini berarti apabila apoteker berhalangan hadir maka

apoteker harus menunjuk apoteker pendamping yang dapat menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek sehingga tugas apoteker sebagai drug informer tetap berjalan. Meskipun hampir separuh responden memiliki pekerjaan lain diharapkan mereka bisa membagi waktu kerjanya sehingga tugas dan tanggung jawab di apotek tidak terbengkalai atau tidak ditinggalkan.

Gambaran tentang pekerjaan responden selain sebagai apoteker di apotek dapat dilihat pada gambar 5.

52% 16% 20% 12% tidak ada dosen pegawai negeri sipil wiraswasta

Gambar 5. Pekerjaan lain responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta

f. Penghasilan perbulan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persentasi penghasilan tertinggi responden adalah lebih dari 1 juta sampai dengan kurang dari 2 juta yaitu 56%, kemudian lebih dari 2 juta rupiah.yaitu 36% dan terakhir 501 ribu sampai dengan 1 juta rupiah yaitu 8%.

Dari persentasi penghasilan perbulan dapat terlihat bahwa penghasilan walaupun bukan faktor mutlak, relatif berpengaruh dalam semangat kerja

responden, serta dapat menentukan besarnya kesempatan yang didapat oleh responden untuk mengembangkan dirinya serta memperoleh wawasan yang lebih luas. Salah satu contoh dalam hal ini, misalnya: meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hingga ilmu yang didapat dapat disumbangkan kepada masyarakat, memanfaatkan media internet, membeli buku atau media massa sehingga dapat mengetahui perkembangan kefarmasian di era globalisasi, semua hal ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Apoteker yang penghasilannya kurang, kemungkinan agak kesulitan untuk mendapatkan hal-hal tersebut.

0% 8%

56% 36%

< 500 ribu 501 ribu-1 juta >1 juta-2 juta >2 juta

Gambar 6. Tingkat penghasilan responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta.

2. Karakteristik apotek

Dokumen terkait