• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.2. Karakteristik Subjek

Subjek pada penelitian ini adalah wanita berusia 20-50 tahun yang tergabung dalam unit PKK Desa Aman Damai yang bekerja sebagai petani. Pengumpulan data menggunakan metode consecutive sampling yang dilakukan pada bulan Oktober 2015 di Desa Aman Damai, didapatkan 45 wanita yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subjek penelitian. Karakteristik subjek penelitian dalam penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Rentang Usia Frekuensi(n) Persentase(%)

20-29 tahun 2 4,4

30-39 tahun 9 20

40-50 tahun 34 75,6

Total 45 100

Berdasarkan tabel diatas, jumlah subjek penelitian yang berusia 40-50 tahun memiliki persentase lebih banyak dibandingkan dengan responden yang berusia 20-39 tahun, yaitu sebesar 75,6%.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Frekuensi(n) Persentase(%)

Tidak Sekolah 29 64,4

SD 11 24,4

SMP 4 8,9

SMA 1 2,2

Berdasarkan tabel 5.2. dapat dilihat bahwa sebesar 29 dari total 41 subjek penelitian tidak bersekolah dan hanya satu orang subjek penelitian yang memiliki pendidikan terakhir paling tinggi, yaitu SMA.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Asupan Vitamin D

Asupan Vitamin D Frekuensi(n) Persentase(%)

Cukup 1 2,2

Kurang 44 97,8

Total 45 100

Berdasarkan tabel di atas, 97,8% subjek penelitian memiliki asupan vitamin D yang kurang, dan hanya satu subjek penelitian yang memiliki asupan

vitamin D ≥15 mcg per hari.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Paparan Sinar Matahari

Paparan Frekuensi(n) Persentase(%)

Cukup 36 80

Kurang 9 20

Total 45 100

Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup, yaitu lebih dari 1 jam paparan empat kali lebih banyak dibandingkan dengan subjek penelitian yang kurang paparan sinar matahari.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Pemakaian Sunblock

Sunblock Frekuensi(n) Persentase(%)

Tidak 35 77,8

Ya 10 22,2

Total 45 100

Berdasarkan tabel 5.5. distribusi frekuensi subjek penelitian yang tidak memakai sunblock ketika keluar rumah memiliki persentase lebih banyak dibandingkan dengan subjek penelitian yang meggunakan sunblock saat keluar rumah yaitu sebesar 77,8%.

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Pemakaian Hijab

Hijab Frekuensi(n) Persentase(%)

Tidak 21 46,7

Ya 24 53,3

Total 45 100

Berdasarkan tabel 5.6. distribusi frekuensi subjek penelitian yang memakai hijab ketika keluar rumah lebih banyak daripada subjek penelitian yang tidak meggunakan hijab saat keluar rumah yaitu sebesar 24 subjek.

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Indeks Massa Tubuh

IMT Frekuensi(n) Persentase(%)

Normal 19 42,2

Overweight 13 28,9

Obesitas 13 28,9

Berdasarkan tabel 5.7. subjek penelitian yang memiliki berat badan normal memiliki persentase terbesar yaitu 42,2%, sedangkan subjek penelitian yang memiliki berat badan berlebih (overweight) dan obesitas memiliki presentase yang sama.

Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Kadar 25(OH)D Serum

Kadar 25(OH)D Serum Frekuensi(n) Persentase(%)

Sufisiensi 1 2,2

Defisiensi-Insufisiensi 44 97,8

Total 45 100

Berdasarkan tabel 5.8. dapat dilihat bahwa hampir keseluruhan subjek penelitian mengalami defisiensi-insufisiensi 25(OH)D dalam serum, dan hanya satu subjek penelitian dari total 45 subjek penelitian yang masuk dalam kategori sufisiensi kadar 25(OH)D serum yaitu dengan nilai ≥ 30 ng/mL.

5.1.3. Hasil Analisis

Berdasarkan data yang didapat oleh peneliti, maka diperoleh analisis hubungan asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum. Hubungan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.9. Analisis Hubungan Asupan Vitamin D dengan Kadar 25(OH)D Serum

Asupan Vitamin

D

Kadar 25(OH)D Serum

Total (n) p-value PR 95% C.I Sufisiensi Defisiensi- Insufisiensi n % n % min max Cukup 0 0 1 2,2 1 1,000 1,02 0,98 1,07 Kurang 1 2,2 43 95,6 44 TBf Total 45 Keterangan:

TB= Tidak Bermakna; f= uji Fisher

Tabel 5.9. menunjukkan hasil analisis hubungan asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum. Didapati hanya satu subjek yang memiliki asupan vitamin D yang cukup dan subjek tersebut termasuk dalam kelompok defisiensi-sufisiensi, sedangkan pada subjek yang memiliki kadar 25(OH)D serum yang ≥30ng/mL memiliki asupan vitamin D yang kurang. Berdasarkan analisis tersebut, didapatkan p-value sebesar 1,000 yang artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum.

Tabel 5.10. Analisis Hubungan Gaya Hidup dengan Kadar 25(OH)D Serum

Gaya Hidup

Kadar 25(OH)D Serum

Total (n) p- value PR 95% C.I Sufisiensi Defisiensi- Insufisiensi n % n % min Max Paparan Cukup 1 2,2 35 77,8 36 1,000 0,97 0,92 1,02 Kurang 0 0 9 20 9 TBf Sunblock Tidak 1 2,2 34 75,6 35 1,000 0,97 0,92 1,03 Ya 0 0 10 22,2 10 TBf Hijab Tidak 1 2,2 20 44,4 21 0,467 0,95 0,87 1,05 Ya 0 0 24 53,3 24 TBf Keterangan:

TB= Tidak Bermakna; f= uji Fisher

Tabel 5.10. menunjukkan hubungan gaya hidup dengan kadar 25(OH)D serum. Dalam penelitian ini, gaya hidup terdiri dari paparan sinar matahari, pemakaian sunblock dan pemakaian hijab. Dari data tersebut didapati satu subjek yang memiliki kadar 25(OH)D serum dalam kategori sufisiensi memiliki paparan sinar matahari yang cukup, tidak memakai sunblock ketika keluar rumah dan tidak menggunakan hijab. Secara keseluruhan hasil analisis didapati nilai p pada paparan sinar matahari sebesar 1,000 , nilai p pada pemakaian sunblock sebesar 1,000 dan nilai p pada pemakaian hijab sebesar 0,467, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara gaya hidup dengan kadar 25(OH)D serum pada penelitian ini dikarenakan nilai p > 0,05.

Tabel 5.11. Analisis Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar 25(OH)D Serum

Indeks Massa Tubuh

Kadar 25(OH)D Serum

Total (n) p-value PR 95% C.I Sufisiensi Defisiensi- Insufisiensi n % n % min Max Normal 1 2,2 18 40 19 0,422 0,48 0,85 1,05 Overweigh- Obesitas 0 0 26 57,8 26 TB f Total 45 Keterangan:

TB= Tidak Bermakna; f= uji Fisher

Tabel 5.11. menunjukkan hubungan antara indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum. Terdapat satu subjek yang memiliki kadar 25(OH)D serum yang tergolong dalam kategori sufisiensi memiliki indeks massa tubuh yang normal, sedangkan 26 subjek yang memiliki indeks massa tubuh dalam kategori overweight dan obesitas termasuk dalam kategori defisiensi- insufisiensi kadar 25(OH)D serum. Berdasarkan data tersebut, peneliti melakukan analisis dengan Fisher’s Exact Test dikarenakan data tidak memenuhi syarat dari uji statistik Chi-square sehingga didapatkan nilai p= 0,422, karena p > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum.

5.2. Pembahasan

Rendahnya kadar 25(OH)D serum pada perempuan banyak dilaporkan di negara bermusim dan akhir- akhir ini semakin banyak laporan bahwa hal ini juga terjadi pada negara beriklim tropis, termasuk di Indonesia. Hal ini ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sari et al.(2014) pada 156 wanita di Sumatera Utara menunjukkan bahwa 95% dari subjek penelitian memiliki kadar 25(OH)D serum yang termasuk dalam kategori defisiensi-insufisiensi dengan kadar rata rata 17,71 ng/mL.

Berbagai faktor resiko bisa menyebabkan kurangnya kadar 25(OH)D serum pada perempuan di daerah tropis, antara lain asupan vitamin D yang kurang, perubahan gaya hidup perempuan yang cenderung menghindari matahari, dan indeks massa tubuh yang umumnya berada pada kategori overweight- obesitas pada perempuan.

5.2.1. Karakteristik Demografi

Karakteristik demografi berdasarkan lokasi penelitian didapati lokasi penelitian yaitu Kabupaten Langkat berada pada 3°14’–4°13’ Lintang Utara yang berarti paparan sinar matahari pada daerah tersebut maksimal karena dekat dengan garis ekuator 0°. Dalam hal ini peneliti berharap subjek penelitian mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup. Akan tetapi, dalam hasil penelitian ini, walaupun 96% subjek penelitian mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup yaitu paparan lebih dari 1 jam, sebesar 97,8% subjek penelitian mengalami defisiensi- insufisiensi kadar 25(OH)D serum.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nimitphong dan Holick (2013), di Delhi pada 404 subjek di segala usia termasuk balita, anak-anak usia sekolah, ibu hamil dan laki laki dewasa dan 48% subjek penelitian memiliki status ekonomi menengah kebawah, berada pada daerah 28,38° Lintang Utara yang mendapatkan paparan matahari sepanjang tahun menyatakan bahwa 91% dari subjek penelitian mengalami defisiensi vitamin D dengan kadar rata-rata 25(OH)D serum yang tidak jauh berbeda antara kelompok ekonomi memengah ke atas dan kelompok ekonomi menengah kebawah, yaitu sebesar 13,6 ng/mL dan 11,6 ng/mL. Hasil yang tidak jauh berbeda didapatkan dari penelitian pada 1137 relawan yang sehat di Mumbai, daerah India bagian barat yang terletak pada 18,56° Lintang Utara yang menyatakan bahwa 70% subjek penelitian mengalami defisiensi vitamin D dengan kadar rata-rata 25(OH)D serum 17,6 ng/mL dan prevalensi 79% terbanyak pada perempuan.

Secara umum, daerah yang berada pada garis ekuator lebih mendapatkan paparan matahari sepanjang tahun, hal ini merupakan faktor pendukung untuk sintesis vitamin D. Akan tetapi, paparan sinar matahari yang berlebih pada daerah

ekuator menyebabkan suhu lingkukan tinggi dan menyebabkan perubahan pola hidup masyarakat yang tinggal di sekitar ekuator. Sebagai contoh adalah penggunaan sunblock, pemakaian topi atau payung, berlindung di tempat teduh dan menggunakan pakaian yang menutupi tubuh sehingga menyebabkan kurangnya paparan sinar matahari yang di dapatkan. Hal ini menjadi faktor terjadinya defisiensi vitamin D pada masyarakat yang tinggal di daerah ekuator (Nimitphong dan Holick, 2013).

Berdasarkan karakteristik demografi subjek penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, sebesar 75,6% subjek penelitian berusia 40-50 tahun, ini merupakan usia yang rentang terhadap resiko defisiensi kadar 25(OH)D serum dikarenakan pada usia tersebut kebanyakan perempuan memiliki masalah gizi dikarenakan sindroma pre-menopause dan juga penurunan fungsi organ tubuh sehingga sintesis vitamin D tidak optimal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Moan et al.(2009) dalam Shirazi et al.(2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara usia dan kadar 25(OH)D serum. Hal ini disebabkan karena pada usia lanjut terjadi penurunan produksi vitamin D pada kulit, berkurangnya proses absorbsi pada sistem pencernaan dan karena menurunnya fungsi ginjal pada lansia. Namun, menurut penelitian yang diakukan oleh Sari (2014) secara umum, defisiensi dan insufisiensi dapat terjadi di berbagai kelompok usia, tidak ada hubungan usia lanjut seperti 50 tahun atau usia muda 20 tahun, semua kelompok usia mempunyai resiko untuk mengalami defisiensi vitamin D.

Karakteristik subjek berdasarkan pendidikan yaitu sebesar 64,4% subjek tidak bersekolah, hal ini dapat mempegaruhi pengetahuan subjek mengenai sumber makanan yang mengandung vitamin D dan pola pemilihan menu makanan yang dikonsumsi oleh subjek sehari hari. Menu makanan yang kurang bervariasi dan kurangnya konsumsi sumber makanan yang mengandung vitamin D dapat dilihat ketika peneliti melakukan analisis food recall 2x24 jam.

5.2.2. Asupan Vitamin D

Pada hasil penelitian ini, didapati nilai rata- rata asupan vitamin D sebesar 3,40 mcg per hari. Hal ini menunjukkan asupan vitamin D pada subjek sangat jauh dari angka kecukupan gizi (AKG) harian yang dianjurkan dalam PERMENKES RI (2013) sebesar 15mcg perhari. Sebanyak 97,8% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang. Asupan vitamin D tertinggi pada penelitian ini sebesar 15mcg per hari dan asupan terendah sebesar 0mcg per hari. Data pada penelitian ini tidak berdistribusi normal.

Pada analisis hubungan pada penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum (p-value= 1,000; PR= 1,02). Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) pada perempuan usia 20- 50 tahun di Kota Medan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum (p-value= 0,012; PR= 5,44) dan probabilitas seseorang mengalami defisiensi- insufisiensi dengan asupan vitamin D kategori kurang adalah sebesar 85%. Penelitian yang dilakukan oleh Shirazi et al.(2013) juga menunjukkan adanya hubungan dengan asupan vitamin D baik sehari hari dan asupan vitamin D yang bersumber dari sumplementasi memiliki hubungan dengan tingginya kadar 25(OH)D serum yang diteliti pada 727 orang perempuan di Swedia (p=0,001).

Sumber utama dari vitamin D selain paparan sinar matahari adalah asupan vitamin D, meskipun hubungan antara asupan vitamin D dan kadar 25(OH)D serum belum diteliti secara lanjut. Paparan sinar matahari dan diet mungkin dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan gaya hidup, misalnya rendahnya tingkat vitamin D, telah banyak dicatat terjadi pada kelompok yang berpenghasilan rendah (Jaaskelainen et al., 2013).

Kelemahan dalam penilaian asupan vitamin D dari penelitian ini adalah bias pada metode food recall 2x24 jam, karena kebanyakan subjek lupa atau tidak melaporkan hal yang sebenarnya. Kurangnya variasi dalam konsumsi makanan sehari- hari juga merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya asupan vitamin D pada subjek. Kebanyakan subjek mengkonsumsi sayuran yang sama dalam satu

hari dan sumber vitamin D kebanyakan pada subjek hanya kuning telur, karena kuning telur cukup mudah didapat dan terjangkau secara ekonomi. Selain itu, sumber vitamin D yang dapat digolongkan susah untuk didapat di daerah pedesaan, misalnya daging, ikan, jamur, susu dan secara ekonomis tergolong mahal merupakan salah satu penyebab kurangnya asupan vitamin D pada subjek penelitian.

5.2.3. Gaya Hidup

Hasil analisis hubungan gaya hidup dengan kadar 25(OH)D serum menghasilkan nilai p= 1,000 untuk paparan sinar matahari dan pemakaian sunblock ; p=0,467 untuk pemakaian hijab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara gaya hidup dengan kadar 25(OH)D serum pada subjek di penelitian ini.

Hasil penelitian untuk pemakaian sunblock dan pemakaian hijab ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) pada 156 perempuan sehat berusia 20- 50 tahun yang bekerja di lingkungan indoor dan outdoor di kota Medan, menyakatakan bahwa tidak ditemukannya hubungan antara pemakaian tabir surya dengan terjadinya defisiensi- insufisiensi (p= 0,680) dalam penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) menyatakan bahwa tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara cara berpakaian (pemakaian hijab) dengan terjadinya defisiensi-insufisiensi (p= 1,000 dengan menggunakan analisis uji statistik Fisher). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Binkey et al. (2007)pada 93 laki-laki dan perempuan di Honolulu, Hawai menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara paparan sinar matahari pada subjek yang tidak memakai sunblock dan paparan sinar matahari per minggu terhadap padar 25(OH)D serum (p= 0,18; r2= 0,02).

Untuk hasil penelitian paparan sinar matahari dengan kadar 25(OH)D serum, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Joh et al. (2015) pada 3.450 laki-laki dan perempuan sehat berusia 18- 29 tahun di Jepang bahwa paparan sinar

matahari sebesar ≥ 30 menit per hari tidak terlalu berpengaruh (moderate) terhadap kadar 25(OH)D serum pada tubuh (p= 0,032 ; β=0,37). Sedangkan

menurut penelitian yang dilakukan oleh Sari et al.(2013) tidak sejalan dengan penelitian ini, pada penelitian yang dilakukan pada 156 perempuan sehat pada musim kemarau di Indonesia menyatakan bahwa paparan matahari di musim kemarau lebih dari 60 menit per hari sangat berpengaruh terhadap kadar 25(OH)D serum pada perempuan (p= 0,007; r= 0,739). Pada penelitian yang dilakukan oleh Setiati (2008) pada 74 perempuan berusia 60- 90 tahun yang tinggal di 4 panti werda di Jakarta dan Bekasi menunjukkan bahwa paparan matahari selama 25 menit tiga kali seminggu pada jam 09.00 WIB dapat memperbaiki vitamin D, hal ini terbukti dengan peningkatan kadar 25(OH)D pada kelompok yang dipajan meningkat secara bermakna (p= 0,00).

Hasil pada penelitian ini memiliki bias, karena pengukuran lamanya paparan sinar matahari berdasarkan berapa lama subjek berada pada di luar rumah, bukan merupakan hasil pemantauan dari pajanan sinar matahari langsung pada daerah tertentu seperti wajah, telapak tangan dan lengan seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Setiati (2008). Banyak faktor yang mempengaruhi bias ini, antara lain pemakaian hijab sehingga bagian tubuh yang terpapar matahari dari subjek hanya bagian wajah dan telapak tangan, pemakaian sunblock yang mengurangi penyerapan dari sinar UV pada subjek, juga perilaku menghindar dari matahari pada perempuan, seperti berteduh dan menggunakan payung atau topi ketika akan terpapar sinar matahari langsung.

Berlidung di tempat yang teduh dan menghindari sinar matahari dapat mengurangi sinar UV sebesar 50%. Penggunaan sunblock pada perempuan dapat mengurangi sintesis vitamin D3 sebesar 92,5-99% (Hossein-nezhad dan Holick, 2013). Pada hasil penelitian ini 77,8% subjek tidak menggunakan sunblock akan tetap mereka tetap mengalami defisiensi-insufisiensi, hal ini memungkinkan bahwa walaupun subjek tidak menggunakan sunblock akan tetapi mereka tetap berusaha mengurangi paparan matahari dengan cara berlindung di tempat yang teduh ataupun menggunakan topi ketika pergi ke sawah sehingga mengurangi paparan sinar UV sebesar 50%.

Orang dengan warna kulit gelap, memiliki daya proteksi terhadap paparan sinar matahari dari melamin yang terkandung pada kulit mereka dan memiliki

kemampuan untuk memproduksi vitamin D 90% lebih rendah daripada orang berkulit putih (Manicourt dan Devogelaer, 2008). Pada penelitian ini, didapati 20 subjek yang tidak menggunakan hijab mengalami defisiensi-insufisiensi. Hal ini mungkin terjadi dikarenakan populasi pada penelitian termasuk ras mongoloid yang sebagian besar memiliki kulit sawo matang, sehingga memungkinkan pigmen kulit sebagai faktor pelindung sinar matahari.

Secara keseluruhan, paparan sinar matahari saja tidak cukup untuk memenuhi kadar 25(OH)D serum pada tubuh, tetapi juga harus diimbangi dengan asupan vitamin D yang adekuat, mengubah gaya hidup yang cenderung menghindari paparan sinar matahari serta dibutuhkan suplementasi vitamin D untuk memenuhi kebutuhan harian (Binkey et al., 2007).

Dokumen terkait