• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kawasan Perdagangan Bebas Batam

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Kawasan Perdagangan Bebas Batam

Untuk menarik investasi yang lebih besar, berbagai negara telah menetapkan satu atau beberapa titik wilayahnya sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone), misalnya wilayah Batam di Indonesia yang ditunjuk sebagai kawasan perdagangan bebas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007. Pengembangan suatu wilayah sebagai kawasan perdagangan bebas berpengaruh

20 terhadap kondisi lingkungan di wilayah tersebut, sehingga pengendalian lingkungan perlu dilakukan dengan mengembangkan kebijakan pengendalian lingkungannya khusus di kawasan perdagangan bebas tersebut.

Kawasan perdagangan bebas atau export processing zone (EPZ) adalah suatu kawasan khusus yang ditetapkan di suatu negara dimana beberapa hambatan perdagangan normal seperti tarif dan kuota dihapuskan serta persyaratan birokrasi diturunkan dengan harapan akan menarik masuknya investasi dan bisnis baru di kawasan tersebut (Wikipedia, 2008). Zone perdagangan bebas dapat digambarkan sebagai pusat pabrikasi tenaga kerja yang intensif yang melibatkan impor dari komponen atau bahan baku serta ekspor dari produk pabrik. Kebanyakan FTZ berada di negara berkembang. Kawasan perdagangan bebas di Amerika Latin dimulai sejak awal dekade dari abad 20. Peraturan perdagangan bebas yang pertama di daerah ini ditetapkan di Uruguay dan Argentina pada tahun 1920-an. Pada tahun 2002, ada 43 juta tenaga kerja di sekitar 3000 FTZ di 116 negara-negara yang memproduksi pakaian, sepatu, sepatu karet, elektronika, dan mainan. Sasaran dasar dari EPZ adalah untuk meningkatkan devisa, mengembangkan industri berorientasi ekspor dan untuk menghasilkan peluang ketenaga-kerjaan (Wikipedia, 2008).

Terminologi FTZ dan AFTA dalam prakteknya mempunyai perbedaan yang mendasar. AFTA lebih ditekankan pada upaya untuk mengurangi hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif. Salah satu hambatan perdagangan yang akan dikurangi dalam konsep ini, adalah tarif bea masuk hingga mencapai nol persen sampai 5 persen. Jika Indonesia tidak siap, maka akan berakibat pada membanjirnya produk luar negeri yang mempunyai kualitas dan harga bersaing yang pada akhirnya bermuara pada terancamnya produk dalam negeri. Konsep FTZ sendiri difokuskan pada upaya menarik investasi asing yang berorientasi ekspor. Industri seperti ini mempunyai beberapa manfaat yaitu menghasilkan setoran pajak (PPh), menyerap tenaga kerja, menumbuhkembangkan industri lokal (UKM) yang menjadi mitra perusahaan PMA dan tumbuhnya industri jasa pendukung. Industri lokal didaerah FTZ tidak akan terganggu, karena produk dari PMA di daerah FTZ adalah berorientasi ekspor sehingga tidak akan menyaingi ataupun mematikan produk lokal. Ditinjau dari prosedur ekspor dan impor,

21 meskipun diberlakukan AFTA, prosedur ekspor impor tetap mengacu pada prosedur bea cukai masing-masing negara anggota. Bagi wilayah yang ditunjuk sebagai FTZ yang memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk, PPN dan PPnBM, maka prosedur ekspor dan impor yang harus dilalui menjadi lebih mudah dan cepat, karena tidak perlu melalui pemeriksaan yang berkaitan dengan pemungutan bea masuk, PPN dan PPnBm. Seperti di Batam yang selama ini telah berfungsi sebagai FTZ, prosedur keluar masuk barang dapat dipangkas dari 25 proses menjadi 11 proses (Bagian Pemasaran Otorita Batam, 2001).

Kawasan perdagangan bebas (KPB) atau free trade zone (FTZ) telah berkembang sejak tahun 1934 di Amerika Serikat setelah Undang-Undang tentang KPB di Amerika Serikat disahkan, tetapi baru tahun 1970-an perusahaan-perusahaan merasakan manfaat dari keberadaan KPB tersebut, baik untuk kepentingan ekspor dan impornya (Alavi dan Thompson, 1988). Perusahaan memanfaatkan KPB dalam melakukan kegiatan pengujian, penyortiran, pengemasan kembali, penyimpanan, dan persiapan penjualan barang ke penyalur. Alavi dan Thompsom (1988) lebih lanjut menjelaskan manfaat KPB dalam kegiatan impor dan ekspor barang, yaitu : (a) Di dalam KPB importir dapat menguji dan menyortir barang yang cacat dan rusak, sehingga dapat dikembalikan; (b) Beberapa barang seringkali perlu dirakit sebelum dipasarkan dengan menggunakan beberapa komponen lainnya yang berasal dari dalam negeri atau negara lainnya; (c) Kawasan KPB menjadi pusat distribusi barang sebelum barang diekspor ke luar negeri; (d) Barang domestik yang masuk ke KPB dapat memperoleh status ekspor. Mongelluzzo (2003) menyebutkan bahwa KPB dapat memangkas biaya dan mengetatkan roda suplai barang. Riset Mongelluzo (2003) di Los Angeles menunjukkan bahwa perbandingan total biaya kegiatan ekonomi di kawasan non-KPB dengan KPB masing-masing adalah US$ 11.615.000 dan US$ 10.845.920, sehingga adanya KPB dapat menghemat biaya sebesar US$769.080.

Keberadaan KPB memungkinkan terjadinya pemindahan kegiatan ekonomi dari negara investor ke negara yang memiliki KPB (host country). Pemindahan kegiatan tersebut selain berdampak terhadap peningkatan pendapatan negara pemilik KPB juga akan memberikan dampak terhadap lingkungan wilayah KPB.

22 Katz (2000) menyebutkan bahwa adanya pengurangan tarif di KPB akan meningkatkan investasi dalam fasilitas produksi dan arus transportasi lebih besar, sehingga menciptakan resiko terhadap peningkatan : (a) konsumsi air dan polusi yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga; (b) polusi udara yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga; (c) produksi limbah padat yang berasal dari peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga; (d) kehilangan lahan terbuka, termasuk berkurangnya zona resapan air dan habitat satwa liar; (e) ekstraksi sumberdaya alam, termasuk penambangan bahan bakar dan mineral; serta (f) polusi perairan laut dan tekanan terhadap wilayah pesisir.

Kawasan perdagangan bebas pun memiliki daya tarik ekonomi bagi pekerja, sehingga terjadi kenaikan populasi penduduk. Lebih lanjut Katz (2000) menyebutkan bahwa kebijakan penghilangan penghambat perdagangan (trade barriers) di Eropa menjadi penyebab langsung peningkatan kegiatan transportasi, polusi udara dan polusi limbah rumah tangga. Setiap kenaikan 1,5% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan 10-20% emisi polusi udara di Eropa (Katz, 2000). Namun hasil riset Liang (2006) tentang dampak investasi asing terhadap KPB di Cina menunjukkan bahwa adanya investasi memberikan manfaat terhadap perbaikan lingkungan karena investor tersebut menerapkan teknologi yang lebih efisien sehingga produktifitas lebih tinggi dan penggunaan sumberdaya alam lebih hemat. Perbedaan dampak dari KPB terhadap lingkungan tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah masing-masing dalam penyelenggaraan KPB (Katz, 2000; Liang, 2006). Linde-Rahr (2005) menyebutkan bahwa di tingkat nasional kebijakan lingkungan yang keras (stringent environmental policy) tidak cukup signifikan dalam pemilihan lokasi industri dibandingkan dengan pertimbangan faktor transportasi dan pertumbuhan ekonominya, tetapi di tingkat provinsi kebijakan lingkungan yang keras dapat mengurangi investasi asing.

Dampak lingkungan KPB dianalisis dengan mengacu pada kurva EKC (Katz, 2000; Copeland dan Taylor, 2004; Liang, 2006). Katz (2000) menyebutkan bahwa titik pendapatan dimana kepedulian terhadap lingkungan meningkat dicapai pada pendapatan per kapita per tahun sebesar US$5.000 di kawasan Mediteranian, sedangkan menurut Grossman dan Krueger (1999) sebesar US$8.000. Untuk mencapai pendapatan sebesar US$5.000 per kapita di Mesir

23 diprediksikan akan tercapai setelah 40 tahun dengan asumsi bahwa ada kegiatan ekonomi yang agresif melalui ekspansi ekonomi secara konsisten (Katz, 2000). Setiap negara tentunya memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan penerapan KPB di negaranya. Frankel dan Rose (2002) menyebutkan terdapat dua proposisi yang berkaitan dengan dampak lingkungan dari KPB, yaitu hipotesis pollution haven dan hipotesis Porter. Hipotesis pollution haven umumnya dilakukan oleh negara yang mengadopsi standar lingkungan yang longgar (lax environmental standards) dengan tujuan untuk menarik minat investasi dari perusahaan multinasional yang regulasi pengendalian lingkungan di negara asalnya dilakukan ketat. Hipotesis ini umumnya dilakukan oleh negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang yang memiliki KPB cenderung lebih kotor daripada negara maju yang menerapkan standar kualitas lingkungan lebih tinggi. Misalnya Sarkar (2009) menyoroti perjanjian di kawasan perdagangan bebas antara Amerika Serikat dan Dominika, dimana walaupun dalam perjanjian tersebut dimasukkan aspek lingkungan tetapi investor lebih tertarik menanamkan investasi di Dominika karena upah yang murah dan persyaratan lingkungan yang rendah, sehingga berdampak terhadap menurunnya peluang kerja dan investasi modal di wilayah Amerika Serikat.

Cole dan Fredikkson (2005) menyatakan bahwa hipotesis pollution haven

akan terjadi pada kondisi dimana keterlibatan struktur legislatif dan partisipasi publik rendah. Hipotesis Porter dilakukan dengan menerapkan kebijakan pengaturan lingkungan yang lebih ketat terhadap investor di KPB dengan tujuan untuk mendorong digunakannya inovasi teknologi dalam kegiatan produksi ekonominya yang lebih ramah lingkungan. Dalam hal ini regulasi lingkungan akan mendorong pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih efisien dan lebih produktif, sehingga tekanan terhadap lingkungan dapat dikurangi. Hipotesis

Porter akan efektif dilakukan pada KPB yang kebijakan pengendalian lingkungannya bersifat merit system atau insentif/disinsentif (Frankel dan Rose, 2002). Cole et al. (2006) menyebutkan bahwa investasi asing mempengaruhi kebijakan lingkungan dan dampaknya bersifat kondisional tergantung tingkat korupsi (degree of corruptibility) dari pemerintah setempat, yaitu pada tingkat korupsi pemerintahannya tinggi maka investasi asing cenderung menurunkan

24 standar kualitas lingkungan dan sebaliknya dengan makin bersihnya penyelenggaraan pemerintahan maka investasi asing cenderung mendorong peningkatan standar kualitas lingkungan. Dalam hal ini transparansi, demokrasi, dan tata kelola pemerintahan menjadi kunci penataan kebijakan perdagangan bebas yang sinergis dengan pengendalian lingkungan (CEC, 2002).

Integrasi kebijakan lingkungan dan perdagangan bebas masih lemah, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan (Butler, 1992; CEC, 2002). Seale dan Fairchild (1994) menyebutkan bahwa sejumlah kelompok pro lingkungan telah sejak lama meminta pelaksanaan perdagangan internasional dikaitkan dengan regulasi lingkungan, karena kebijakan perdagangan dapat digunakan untuk mempengaruhi negara lain dalam hal perbaikan lingkungan. Upaya untuk mengintegrasikan lingkungan ke dalam pengelolaan KPB dilakukan oleh CEC (2002) dengan meningkatkan partisipasi publik terhadap kegiatan pengembangan KPB. Lebih lanjut CEC (2002) menyebutkan bahwa keterlibatan publik sejak awal KPB penting difasilitasi untuk memantau dampak lingkungan dari perdagangan bebas yang terjadi. Hal ini terkait dengan dijalankannya pemerintahan yang transparan dan demokratis. Keterlibatan publik dalam pemantauan lingkungan KPB penting sebagai legitimasi bagi pengelola kawasan bahwa kegiatannya tidak menurunkan kualitas lingkungan, karena kebijakan lingkungan banyak yang memerlukan komitmen dan dukungan publik (CEC, 2002). Lebih lanjut CEC (2002) menyebutkan bahwa untuk mendorong partisipasi publik terhadap pengendalian lingkungan di KPB yang berada di Amerika Utara telah difasilitasi terbentuknya kelompok penasehat (advisory group) yang beranggotakan pakar dan kelompok pemerhati lingkungan untuk memberikan masukan dan memantau kualitas lingkungan di KPB dan sekitarnya kepada badan pengelola kawasan secara mandiri (independent).

Salah satu wilayah di Indonesia yang ditetapkan sebagai KPB adalah Batam. Pembangunan Pulau Batam dimulai oleh Pertamina berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Daerah Pulau Batam dan dimaksudkan sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi guna menunjang eksplorasi minyak dan gas bumi lepas pantai. Dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974 tentang

25 Penunjukan dan penetapan beberapa wilayah usaha bonded warehouse di daerah industri Pulau Batam, wilayah di daerah Batu Ampar, dan wilayah di daerah Sekupang bagian barat Pulau Batam ditetapkan lokasi tersebut sebagai bonded warehouse. Adapun perusahaan yang bertindak sebagai bonded warehouse adalah PT. Persero Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam. Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1972 tentang bonded warehouse, bonded warehouse adalah suatu sarana institusional dalam bidang perekonomian dan perdagangan yang mempunyai wilayah pengusahaan tertentu dalam daerah pabean Indonesia sebagai suatu tempat untuk menyimpan, menimbun, meletakkan, mengemas, dan atau mengolah barang-barang yang berasal: (a) dari luar daerah pabean tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor atau tujuan re-ekspor tanpa diolah terlebih dahulu di dalam bonded warehouse, atau (b) dari dalam daerah pabean tanpa terlebih dahulu dikenakan pengutan bea, cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor (Ditjen Bea Cukai, 2008).

Dalam perkembangan selanjutnya seluruh daerah industri Pulau Batam ditetapkan sebagai wilayah usaha bonded warehouse berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam sebagai Wilayah Usaha bonded warehouse. Kemudian dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone), wilayah lingkungan kerja daerah industri Pulau Batam ditambah dengan Pulau Rempang dan Pulau Galang. Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, Nomor 47 Tahun 2007, dan Nomor 48 Tahun 2007, Kawasan Batam, Kawasan Bintan, dan Kawasan Karimun masing-masing ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) dengan mendapat fasilitas fiskal berupa bebas dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KPBPB. Kawasan Batam meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setotok, Pulau

26 Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru (Ditjen Bea Cukai, 2008).

Batam selaku kota industri yang terkemuka di Asia Pasifik telah lama memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan globalisasi ekonomi terhadap kinerja pertumbuhan Batam. Sebagai barometer pertumbuhan ekonomi nasional, Batam secara signifikan harus mampu memperbaiki kinerjanya dalam meningkatkan jumlah investasi dan pertumbuhan ekonominya. Salah satu hal yang menjadi isu utama di Batam saat ini setidaknya adalah mengenai penerapan FTZ terhadap Batam. Seperti diketahui, selama ini Batam hanya dijadikan sebagai bonded zone, yang telah mengalami banyak perkembangan, sehingga diperlukan adanya satu perubahan konsep dari bonded menjadi FTZ. Namun sebagian orang ada yang menentang penerapan free trade ini dengan alasan bahwa pasar bebas yang akan diterapkan di ASEAN dengan adanya AFTA akan menjadikan status FTZ Batam menjadi percuma. Alasan yang dikemukakan dengan menghadapkan antara free trade dan AFTA sebenarnya tidak relevan dalam memandang Batam, karena ada perbedaan yang mendasar antara FTZ dan AFTA, walaupun keduanya berarti pasar bebas yang ada di suatu kawasan. Jadi pada dasarnya upaya menjadikan Batam sebagai FTZ tak lain adalah mempertahankan situasi dan kondisi Batam yang ada sekarang ini yang sebenarnya telah menjalankan fungsi-fungsi FTZ.

(Ditjen Bea Cukai, 2008).

Bagi Batam, dengan diterapkannya free trade zone, tidak ada sesuatu yang baru dan tidak ada perubahan yang mendasar. Hal ini merupakan legitimasi baru bagi pulau Batam untuk melanjutkan fungsi pulau Batam sebagai daerah industri yang berstandar internasional dan kompetitif di Asia Pasifik dan memberikan manfaat bagi masyarakat disekitarnya. Kesalahan persepsi atas konsep free trade zone yang dialami oleh segelintir pihak belakangan ini dapat berdampak negatif bagi perkembangan Batam, khususnya di mata investor asing yang sangat membutuhkan kepastian hukum bagi status pulau Batam. Perusahaan Penanaman Modal Asing berorientasikan ekspor bersedia merelokasikan pabriknya semata-mata untuk mencari efisiensi ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara asalnya. Penerapan FTZ secara de facto di Batam, diakui telah mampu memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan efisiensi biaya produksi.

27 Oleh sebab itu, Batam dilukiskan sebagai kawasan yang memenuhi persyaratan yang diperlukan bagi PMA berorientasi ekspor untuk menjalankan aktivitasnya. Motivasi para pengusaha swasta dalam relokasi adalah untuk memperluas pasar bagi produksinya di luar negara asal dan dalam perkembangan selanjutnya, karena persaingan global yang semakin ketat, maka perusahaan tersebut harus merelokasikan usahanya ke negara lain yang dapat memberikan efisiensi ekonomi yang lebih menarik (Ditjen Bea Cukai, 2008)..

Sementara itu, fasilitas perpajakan merupakan salah satu tolak ukur bagi perusahaan-perusahaan PMA untuk menentukan lokasi industrinya setelah membandingkan dengan kawasan-kawasan lain di berbagai negara. Batam tetap menarik minat investor untuk menanamkan investasinya. Fasilitas keringanan berupa keringanan perpajakan dan bea masuk yang diberikan kepada Batam telah mampu memberikan nilai tambah yang cukup besar bagi Batam dalam bersaing memperebutkan investasi atas kawasan sejenis lainnya yang ada di Asia Pasifik seperti Subic (Filipina), Johor (Malaysia), Shenzhen (Cina), Vietnam dan Thailand. Hingga akhir tahun 2007, ada 978 perusahaan PMA yang telah menanamkan investasinya di Batam.Lebih dari 8000 perusahaan skala kecil dan menengah (UKM) juga menjalankan aktivitasnya di Batam sebagai pendukung atau subcontractor bagi perusahaan PMA. Pertambahan jumlah perusahaan ini juga berimplikasi pada naiknya nilai investasi yang masuk ke Batam. Untuk tahun 2007 nilai investasi tercatat 4.765 juta untuk investasi PMA. Berlandaskan dari banyaknya perusahaan baru yang berorientasi ekspor di Batam menjalankan aktivitasnya, nilai ekspor non migas untuk tahun 2007 sebesar 6,06 milyar. Nilai ekspor tersebut meningkat sekitar 0.82 milyar dari ekspor tahun 2006 sebesar 5,24 milyar (Batam, 2008). Negara-negara tujuan ekspor Batam masih tetap didominasi oleh negara-negara yang menanamkan investasinya di Batam seperti Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Thailand, Uni Eropa, Bulgaria, Polandia dan beberapa negara lainnya di berbagai belahan dunia. Rata-rata negara yang menjadi tujuan ekspor telah menandatangani perjanjian penghapusan maupun pengurangan bea masuk yang ditandai dengan penerbitan CO (certificate of origin) pada produk perusahaan tersebut (Abdulah, 2001).