• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Harga Kedelai Tingkat Produsen

7. SIMULASI KEBIJAKAN

7.1. Kebijakan Harga Kedelai Tingkat Produsen

Simulasi harga riil kedelai tingkat produsen diupayakan mendekati harga kedelai impor, yaitu apabila harga tingkat produsen sama dengan impor (PPt = PIt) dan bagaimana jika persentase PPt dinaikkan dan diturunkan. Kebijakan menaikkan Pt bertujuan untuk melindungi pihak produsen/petani, sedangkan menurunkan harga kedelai akan menguntungkan pihak konsumen. Dengan menaikkan/menurunkan harga kedelai tingkat produsen secara wajar, maka diupayakan petani akan memperoleh keuntungan secara layak dan konsumen membeli dengan harga yang terjangkau. Dari data rata-rata selama lima tahun dapat dilihat bahwa PPt lebih tinggi 20.9 persen (Rp 1.050/kg) dari harga kedelai impor (Rp 830/kg).

Kenaikan PPt yang disimulasi adalah sebesar 5, 10 dan 20 persen. Kenaikan 20 persen dari PIt merupakan persentase yang paling mendekati PPt sesungguhnya. Kebijakan menurunkan PPt sampai 10 persen sulit diterapkan karena petani akan mengalami kerugian yang besar. Hasil simulasi kebijakan menaikkan PPt dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Simulasi Kenaikan Harga Riil Kedelai Tingkat Produsen

Keterangan : PPt = harga riil kedelai tingkat produsen PIt = harga riil kedelai impor

828.60 = harga riil tingkat produsen sama dengan harga impor

Tabel 13 menunjukkan bahwa dengan simulasi kebijakan PPt sama dengan PIt, maka PPt mengalami penurunan sebesar 1.57 persen (dari Rp 828.60/kg menjadi Rp 783.91/kg), sehingga petani kurang berminat untuk menanam kedelai yang berakibat pada penurunan luas panen dan produksi kedelai sebesar 5.02 persen. Volume impor mengalami peningkatan sebesar 4.2 persen, diduga dengan murahnya harga impor kedelai, maka volume impor kedelai meningkat.

Dengan naiknya PPt menunjukkan adanya peningkatan luas panen, produksi kedelai dan harga riil kedelai lokal. Sebaliknya, semakin besar persentase PPt, maka volume impor semakin menurun. Hal ini diduga dengan membaiknya harga kedelai lokal, maka meningkatnya minat petani untuk menanam kedelai, sehingga luas panen dan produksi kedelai semakin meningkat yang berakibat jumlah kedelai impor yang dibutuhkan akan semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai lokal dan pendapatan petani, maka pemerintah perlu

Simulasi % Simulasi

Variabel Dasar PPt = PIt

(828.60) 5% 10% 20%

Luas Panen Kedelai (ha) 783,906 -5.02 -3.36 -1.70 1.63

Produktivitas kedelai (ton/ha) 1.23 0.00 0.00 0.00 0.00

Produksi Kedelai (ton) 961,477 -5.02 -3.36 -1.70 1.63

Harga Riil Kedelai Lokal (Rp) 1,047.30 -1.57 -0.56 0.43 2.44

Volume Impor Kedelai (ton) 1,083,929 4.24 2.85 1.47 -1.31

% Simulasi PPt Naik

mengambil kebijaksanaan penentuan harga dasar kedelai. Kebijaksanaan ini sangat menguntungkan dari sisi penawaran dan petani.

Agar kedelai tingkat produsen dapat memiliki dayasaing, produsen harus meningkatkan kualitas biji dengan mengembangkan benih varietas unggul bermutu dan berbiji besar, sehingga produktivitas dapat ditingkatkan dan kualitas biji dapat menyamai kedelai impor. Selain itu perlu dipertimbangkan dari segi harga. Apabila harga kedelai tingkat produsen tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang lebih murah, sedangkan proteksi impor sulit dilakukan, maka perlu dilakukan efisiensi biaya produksi dan segementasi penggunaan kedelai pada industri olahan.

Efisiensi biaya produksi dilakukan dengan pengurangan biaya olah tanah dan penyiangan serta saat panen. Efisiensi pada pertanaman kedelai ditanam di lahan sawah setelah padi dapat dilakukan, karena lahan tersebut tidak perlu diolah kembali, yaitu dengan menggunakan sistem walik jerami dan biji kedelai langsung ditanam dan jerami digunakan untuk menutupi lahan, sehingga gulma tidak dapat tumbuh (Suprapto, 2004).

Efisiensi dengan menggunakan alat dan mesin pertanian (alsintan) olah tanah dan ternak jarang dilakukan untuk pertanaman kedelai, tetapi dilakukan untuk tanaman padi. Kedelai ditanam di lahan sawah dan lahan kering pada saat memasuki musim kemarau. Menurut penelitian Badan Litbang Pertanian dan IRRI (1996) bahwa dalam satu hektar penggunaan traktor dapat menghemat tenaga kerja sebanyak 242 jam atau 30 HOK pada musim hujan dan 129 jam atau 16 HOK pada musim kemarau. Penggunaan ternak pada musim hujan dapat menghemat tenaga kerja sebanyak 130 jam atau 16 HOK pada musim hujan, namum pada musim kemarau penggunaan ternak jarang dilakukan. Kendala yang dihadapi dalam menunjang penggunaan alsintan olah tanah adalah luas kepemilikan lahan petani yang sempit dan tidak adanya jalan menuju petak lahan. Penggunaan traktor dilakukan di lahan-lahan yang luas, seperti pada lahan bukaan baru.

Efisiensi lebih tepat dilakukan pada saat penanganan pasca panen dengan menggunakan threser yang akan mengurangi kehilangan hasil panen. Menurut Ananto, et al. (1992) bahwa penggunaan threser mampu menekan kehilangan hasil dari 5 persen menjadi 0.17 persen.

Berdasarkan hasil observasi ke industri tahu, tempe dan kecap, keinginan bahan baku kedelai pada industri olahan (tahu dan tempe) berbeda, sehingga perlu dilakukan segmentasi penggunaan biji kedelai. Industri tahu lebih menginginkan kedelai lokal karena rendemen (sari kedelai) yang dihasilkan lebih tinggi, sehingga akan menghasilkan tahu lebih banyak dengan citarasa yang khas (Lampiran 19). Oleh karena itu, pengembangan kedelai lokal lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri tahu. Demikian pula untuk industri kecap lebih menyukai kedelai lokal (Lampiran 21). Industri tempe lebih menyukai biji kedelai berukuran besar dan kualitas seragam yang dipenuhi dari kedelai impor (Lampiran 20), maka segmentasi kedelai impor lebih kepada industri tempe dan perlu dikembangkan penanaman kedelai varietas biji besar.

Untuk mengetahui pengaruh dayasaing kedelai lokal terhadap impor, jika harga kedelai tingkat produsen di bawah harga impor, maka simulasi dilakukan dengan menurunkan PDt sebesar 5 dan 10 persen dari harga riil kedelai impor, seperti pada Tabel 14.

Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan penurunan PPt 5 dan 10 persen dari PMt, maka harga riil kedelai lokal mengalami penurunan sebesar 2.57 dan 3.57 persen, sehingga petani kurang berminat untuk menanam kedelai yang berakibat pada penurunan luas panen dan produksi kedelai sebesar 6.68 dan 8.34 persen. Volume impor mengalami peningkatan sebesar 5.62 dan 7.10 persen. Semakin besar penurunan harga riil kedelai tingkat petani, maka luas panen dan produksi kedelai semakin menurun karena petani tidak berminat menanam kedelai.

Tabel 14. Simulasi Penurunan Harga Riil Kedelai Tingkat Produsen

Keterangan : PPt = harga riil kedelai tingkat produsen PIt = harga riil kedelai impor

828.60 = harga riil tingkat produsen sama dengan harga impor

Penurunan harga ini akan menyulitkan petani, kecuali apabila pemerintah memberikan subsidi sarana produksi (benih dan pupuk), sehingga biaya produksi petani dapat ditekan. Kebijakan harga dasar ini lebih berdampak pada peningkatan luas panen, produksi dan produktivitas daripada peningkatan permintaan dan impor kedelai. Implikasi pada peningkatan luas panen, produksi dan produktivitas adalah persentase peningkatan permintaan tertinggi untuk berusahatani adalah benih. Hal ini disebabkan apabila terjadi peningkatan luas panen, maka kebutuhan penggunaan benih menjadi lebih banyak.