• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. KEDELAI NASIONAL DAN INTERNASIONAL

4.3. Kebijakan Impor dan Tarif

Impor kedelai Indonesia setiap tahun mulai meningkat dan meningkat tajam sejak tahun 1999. Menurut data Ditjen P2HP, Departemen Pertanian (2004), dari tahun 2000 - 2004 urutan ranking terbesar negara pemasok kedelai impor ke Indonesia adalah Amerika Serikat (66 persen), Argentina (5 persen), Malaysia (4 persen), Canada dan Singapura (1 persen). Indonesia makin mengalami peningkatan impor sejak liberalisasi radikal atas tekanan IMF pada tahun 1998. Tingkat ketergantungan impor kedelai saat ini sebesar 55 persen. Padahal komoditi ini menyerap 2.5 juta jiwa tenaga kerja rumah tangga di Indonesia (Sawit, 2003).

Situasi perekonomian dunia yang dilanda arus globalisasi ditandai dengan dihapuskannya hambatan perdagangan internasional. Hal ini berarti instrumen tarif sulit diandalkan untuk melindungi produk-produk pertanian kita. Kecenderungan kelompok negara membentuk blok perdagangan bebas merupakan tantangan sekaligus peluang untuk merebut pasar. NAFTA di Amerika Utara, AFTA di Asia ataupun PTE di Eropa akan mendorong Indonesia memasuki persaingan pada pasar dunia. Sebagai konsekuensi, negara kita turut meratifikasi perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Word Trade Organization (WTO). Indonesia sejak krisis ekonomi 1998 mengurangi seluruh tarif bea masuk komoditi pertanian dan menghapus semua subsidi kepada petani, kecuali Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras (Sawit, 2003).

Di dalam perundingan Komisi Pertanian pada bulan Juli 2004 dihasilkan “Paket Juli 2004”. Meskipun negara berkembang mendapatkan ketentuan penetapan SP (special product) dan SSM (special safeguard mechanism), ternyata negara maju juga berhasil mendapatkan ketentuan penetapan SP (sensitive product) sebagai upaya mengecualikan beberapa produk pertaniannya dalam perdagangan bebas.

Oleh karena itu, ke depan pemerintah masih perlu mempertimbangkan kebijakan proteksi sekaligus promosi terhadap produk-produk pertanian strategis dan yang menjadi sumber pendapatan petani. Selain itu, pemerintah harus aktif bergabung dalam kelompok negara berkembang untuk melawan arus globalisasi yang merugikan negara berkembang. Kebijakan proteksi yang dapat dilakukan antara lain penetapan tarif impor dan pengaturan impor, sedangkan untuk kebijakan promosi, pemerintah dapat memberikan subsidi sarana produksi, subsidi harga output maupun bunga kredit untuk modal usahatani.

Siap atau tidak menghadapi era globalisasi, pilihannya adalah meningkatkan daya saing komoditi untuk pasar domestik maupun pasar dunia. Selama ini pemerintah telah berupaya mengurangi impor kedelai melalui penetapan tarif impor dan mendukung peningkatan produksi kedelai dalam negeri agar mampu bersaing dengan kedelai impor.

Amerika Serikat sebagai pemasok kedelai terbesar di dunia memberikan kemudahan bagi importir kedelai nasional, melalui kredit lunak. Hal ini diberikan karena Amerika melihat lemahnya posisi tawar pelaku agribisnis nasional sebagai akibat rupiah yang terdepresiasi dan menurunnya kredibilitas sistem perbankan pada pertengahan krisis ekonomi di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, harga kedelai impor di pasar domestik lebih murah Rp 600/kg dari kedelai lokal. Insentif kepada importir ini mengakibatkan kedelai lokal menjadi tidak kompetitif dan gairah petani untuk memproduksi kedelai mulai menurun. Sebagai konsekuensi dilepasnya produk kedelai pada pasar bebas, maka fluktuasi harga kedelai internasional sangat berpengaruh pada harga kedelai lokal.

Masuknya kedelai impor yang semakin besar ketika pemerintah melalui Kep Men Perindag No. 406/MPP/Kep/II/1997 menghapus tata niaga kedelai yang semula ditangani oleh Bulog dialihkan ke Importir Umum. Hal ini sesuai dengan keinginan World Trade Organization (WTO) dan International Monetary Fund

(IMF) dengan alasan untuk membantu Pengusaha Kecil dan Menengah dalam memperoleh bahan baku kedelai (Hadi dan Wiryono, 2005).

Ratifikasi pembentukan WTO dilakukan Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1994. Dengan ratifikasi ini Indonesia berkewajiban memenuhi perjanjian, termasuk perjanjian pertanian Agreement on Agriculture (AoA) yang didalamnya mengatur (a) akses pasar, (b) subsidi domestik dan (c) subsidi ekspor. Sejak awal negara berkembang telah menyadari bahwa AoA-WTO bersifat disinsentif bagi kebijakan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang. Hal ini terlihat dari : (a) akses pasar ke negara maju relatif sulit bagi negara berkembang karena memiliki tarif rate yang jauh lebih tinggi, (b) dengan kekuatan kapital yang dimiliki, negara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi lokal yang tinggi untuk mendorong ekspor dari surplus produk pertaniannya, (c) dalam AoA tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif sejalan dengan perkembangan masalah dan perdagangan komoditas pertanian di negaranya (Malian, 2004).

Dengan bebasnya impor kedelai mengakibatkan harga kedelai di pasar domestik mengalami tekanan. Meningkatnya impor kedelai ini berpengaruh terhadap penurunan produksi kedelai dalam negeri. Penurunan produksi dalam negeri terjadi sejak tahun 1993 dan menurun tajam sejak tahun 2000.

Dalam menstabilkan harga kedelai dalam negeri, pada awal tahun delapan puluhan Bulog melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan kedelai dalam negeri hanya berlangsung pada tahun 1979/80 – 1982/83 dalam jumlah kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap tahun dalam jumlah besar dan harga lebih murah. Sebelum krisis ekonomi, harga yang ditetapkan Bulog umumnya sedikit lebih tinggi dari harga impor, sehingga mampu menyangga harga kedelai lokal (Amang, 1996).

Semenjak peran Bulog sebagai agensi perdagangan pemerintah untuk kedelai dicabut pada 1998, semua pelaku agribisnis dapat memperdagangkan kedelai dengan bea masuk 0 persen, Ppn 10 persen dan Pph 2,5 persen. Meskipun sejak Mei 2002 pemerintah menetapkan mekanisme NPIK (Nomor Pengenal Importir Khusus) untuk meredam impor kedelai, namun efektivitas mekanisme NPIK ini masih lemah untuk mengendalikan impor kedelai (Ditjen P2HP, Deptan, 2005).

Kebijakan perdagangan internasional yang lain adalah pengenaan tarif ad-valorem

untuk kedelai impor. Tarif tersebut dimulai sejak tahun 1974 sampai 1982 sebesar 30 persen. Sejak tahun 1983 sampai 1993 tarif impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen sejak tahun 1994 sampai 1996. Pada tahun 1997 tarif diturunkan lagi menjadi 2,5 persen dan dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 sampai 2003. Pada tahun 2004 menjadi 5 persen dan sejak 1 Januari 2005 sampai 2010 menjadi 10 persen. Kebijakan pengenaan tarif impor biasanya akan menaikkan harga kedelai dalam negeri termasuk harga produsen (Ditjen P2HP, Deptan, 2005).