• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Motivasi Masyarakat

4.4 Kebijakan Pengelolaan Usaha Budidaya Perikanan Tambak

Berdasarkan kajian kepustakaan dan kondisi riil objek penelitian, disusun perencanaan kebijakan pengelolaan usaha budidaya tambak yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhinya. Untuk mendeskripsikan kebijakan yang disusun maka berbagai faktor-faktor ini dijadikan komponen SWOT.

Analisis SWOT menyediakan kerangka dasar yang akan menghasilkan keputusan situasional. Menurut Rangkuti (2001), analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang dan dapat menimimalkan kelemahan dan ancaman. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan dan kebijakan (Gambar 5).

Gambar 5. Hirarki Matriks Kebijakan Pengelolaan Budidaya Tambak di Kota Palopo

Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa komponen kekuatan (S) menempati urutan teratas dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak, kemudian diikuti oleh komponen peluang (O), kelemahan (W) dan ancaman (T). Bobot dan prioritas masing-masing komponen dapat dilihat pada Gambar 6.

0.12 0.058 0.255 0.586 Weaknesses Threats Opportunities Strength

Bobot Komponen SWOT

Gambar 6. Bobot komponen SWOT penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo

Gambar 6 menunjukkan bahwa faktor internal dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak yang dominan adalah komponen kekuatan, sedangkan faktor eksternal yang dominan adalah komponen peluang. Besarnya faktor kekuatan dan peluang dibandingkan dengan kelemahan dan ancaman dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak merupakan indikator keberhasilan kebijakan pengelolaan yang berkelanjutan di masa mendatang.

Selanjutnya dari komponen kekuatan, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak tersebut adalah

kualitas perairan yang layak (feasible) untuk usaha budidaya rumput laut dan udang, luasnya wilayah pertambakan yang tersedia untuk usaha ini, kemampuan teknis petambak yang memadai dan jarak lokasi pertambakan yang tidak terlalu jauh dari pemukiman sehingga memudahkan dalam kegiatan pemeliharaan. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 20 berikut.

Tabel 20. Matriks prioritas faktor kekuatan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak

Faktor Kekuatan Bobot Prioritas

Kualitas perairan yang layak (feasible) untuk budidaya 0,565 P1 Luasnya wilayah pertambakan yang tersedia 0,262 P2

Lokasi usaha dekat pemukiman 0,118 P3

Ketersediaan sarana dan prasarana 0,055 P4

Berdasarkan peringkat faktor-faktor kekuatan tersebut, ternyata faktor kualitas perairan yang layak (feasible) untuk budidaya merupakan faktor kekuatan yang utama dalam upaya pengelolaan usaha budidaya perikanan yang berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran kualitas air yang telah dilakukan dan memang menunjukkan bahwa kualitas perairan di daerah ini mendukung untuk usaha budidaya rumput laut yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian, faktor ini diharapkan mendapatkan perhatian yang serius dalam perencanaan pengelolaan kedepan dengan berbagai strategi yang dilakukan untuk mempertahankan kualitas perairan seperti saat sekarang ini.

Faktor kekuatan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah luasnya wilayah pertambakan yang tersedia sehingga dapat langsung digunakan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka terdapat luas lahan yang sesuai untuk usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp. yaitu 1.382,85 hektar. Faktor ini perlu dipertimbangkan sehingga dapat ditunjang daya dukung baik secara ekologi, ekonomi dan sosial. Selain luasan lahan yang memadai, lokasi pertambakan yang dekat dengan pemukiman memberi keuntungan dari segi keamanan serta kemudahan akses usaha. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai merupakan salah satu faktor kekuatan yang dimiliki. Transportasi darat dan laut yang lancar sehingga memudahkan pengadaan barang dan pemasaran, selain itu jaringan listrik yang telah ada. Sebagai kota dengan tingkat madya, maka persyaratan yang harus dipenuhi adalah pemenuhan berbagai sarana dan prasarana pendukung kegiatan masyarakat kota.

Faktor-faktor dari komponen kelemahan yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak adalah produktivitas lahan yang

rendah, teknologi pasca panen yang rendah, keterampilan dan penguasaan teknologi yang kurang serta konstruksi tambak yang kurang baik. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Matriks prioritas faktor kelemahan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak

Faktor Kelemahan Bobot Prioritas

Produktivitas lahan yang rendah 0,565 P1

Teknologi pasca panen yang rendah 0,262 P2

Ketrampilan dan penguasaan teknologi yang kurang 0,118 P3

Konstruksi tambak yang kurang baik 0,055 P4

Berdasarkan peringkat faktor-faktor kelemahan diatas, ternyata bahwa rendahnya produktivitas lahan merupakan faktor kelemahan yang cukup mempengaruhi nilai jual komoditas yang dipasarkan. Rendahnya produksi lahan ini terlihat dari rata-rata hasil panen yang diperoleh petambak. Berdasarkan hasil wawancara, setiap panen rumput laut yang dihasilkan sebanyak 750 kg-1000 kg setiap hektarnya. Padahal idealnya setiap hektarnya bisa dipanen sebanyak 1500-2000 kg. Para petambak merasa telah cukup dengan hasil panen selama ini, namun perlu dipertimbangkan peningkatan nilai produksi sehingga keuntungan yang diperoleh juga meningkat.

Demikian juga dengan teknologi pasca panen yang rendah. Kegiatan pasca panen yang utama adalah menurunkan kadar air dari rumput laut. Selama ini standar produksi dari pihak pengumpul adalah nilai rendemen atau kekotoran adalah 5%, sedangkan kadar air maksimal adalah 18%–20%. Hasil wawancara menunjukkan bahwa para petambak belum mengetahui adanya teknologi yang lebih mudah dan murah daripada melakukan penjemuran dan pembersihan secara manual, sehingga dihasilkan produk sesuai standar yang diinginkan pihak pembeli. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan berbagai strategi yang akan dilaksanakan nantinya karena kelemahan ini mempengaruhi upaya peningkatan pendapatan masyarakat petambak.

Sebanyak 23% responden menyatakan tertarik membudidayakan rumput laut karena tidak memerlukan tingkat ketrampilan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat petambak memiliki tingkat ketrampilan yang rendah. Rendahnya tingkat ketrampilan ini juga menunjukkan ketidakmampuan masyarakat petambak dalam hal penguasaan teknologi budidaya yang mutakhir. Faktor kelemahan ini mesti dianalisis untuk diperoleh solusi.

Faktor kelemahan lain yang perlu dipertimbangkan adalah desain dan konstruksi tambak yang kurang baik. Desain tambak di Kota Palopo umumnya hanya memiliki satu pintu sehingga tambak rentan terhadap masuknya bibit penyakit karena pintu pengeluaran juga dimanfaatkan sebagai pintu pemasukan air. Selain itu konstruksi pematang yang hanya memanfaatkan lumpur sebagai dinding menyebabkan tingkat porositas tambak cukup tinggi.

Faktor-faktor dari komponen peluang yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak adalah tingginya permintaan hasil budidaya, pengembangan usaha budidaya merupakan salah satu prioritas pembangunan dan minat masyarakat untuk pengembangan usaha budidaya perikanan yang tinggi. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat dari Tabel 22.

Tabel 22. Matriks prioritas faktor peluang kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak

Faktor Peluang Bobot Prioritas

Tingginya permintaan hasil budidaya 0,637 P1

Pengembangan usaha sebagai prioritas pembangunan 0,258 P2

Teknologi pengolahan produk tersedia 0,108 P3

Berdasarkan peringkat faktor-faktor peluang diatas, ternyata bahwa tingginya permintaan hasil budidaya merupakan faktor peluang yang penting. Menurut data yang diperoleh, kebutuhan dunia industri akan agar-agar semakin meningkat dan keadaan ini belum dapat diseimbangkan dari segi faktor produksi. Kondisi ini terlihat dari banyaknya permintaan ekspor yang belum dapat dipenuhi oleh pihak produsen.

Faktor peluang yang juga perlu dipertimbangkan adalah upaya untuk menjadikan usaha budidaya perikanan di tambak ini sebagai prioritas pembangunan dimana pihak pemerintah daerah membuat strategi pembangunan yang dapat mendukung berkembangnya usaha ini. Rencana tata ruang yang komprehensif merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah yang diperlukan, selain meningkatkan infrastruktur pendukung lainnya seperti jaringan irigasi hingga tenaga penyuluh lapangan. Saat ini teknologi pengolahan produk diperlukan untuk meningkatkan nilai produk di pasaran. Ini merupakan sebuah peluang karena ketersediaan teknologi ini akan mendukung peningkatan nilai jual produk. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah kemampuan masyarakat dalam penguasaan teknologi pengolahan tersebut. Dengan demikian, ketiga faktor tersebut diharapkan dapat diakomodasi kedalam berbagai strategi kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak.

Komponen SWOT yang paling rendah bobotnya adalah komponen ancaman. Pada komponen ini, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak adalah menurunnya kualitas produk, meningkatnya intensitas pencemaran dari laut akibat kegiatan pembangunan perkotaan dan harga produk ditentukan oleh pihak pengumpul. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Matriks prioritas faktor ancaman kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak

Faktor Ancaman Bobot Prioritas

Rendahnya kualitas produk 0,565 P1

Peningkatan intensitas pencemaran dari perairan laut 0,262 P2 Harga pasar ditentukan oleh pihak pengumpul 0,213 P3 Pendatang dari daerah lain sebagai buruh tambak 0,055 P4

Berdasarkan peringkat faktor-faktor ancaman tersebut, rendahnya kualitas produk rumput laut merupakan faktor ancaman yang serius dalam upaya keberlanjutan usaha budidaya perikanan tambak ini. Rendahnya kualitas produk ini umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu waktu panen yang dipercepat serta penanganan pasca panen. Umumnya para petambak mempercepat waktu pemanenan jika dianggap harga pasar cukup tinggi meskipun secara teknis usia rumput laut yang dipelihara belum layak untuk dipanen. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas produk adalah pengolahan pasca panen yang masih tradisional dan tergantung pada kondisi cuaca. Akibatnya terkadang proses pengeringan hasil panen terkendala dengan tingginya intensitas hujan di Kota Palopo.

Faktor ancaman lain yang perlu diperhatikan adalah meningkatnya intensitas pencemaran dari perairan laut. Kota Palopo sebagai kota perdagangan dengan adanya pelabuhan besar yang banyak disinggahi kapal penumpang dan kapal barang. Kondisi ini cukup mempengaruhi perairan laut karena adanya limbah buangan dari kapal seperti air blast dan tumpahan minyak. Selain itu letak Kota Palopo di wilayah teluk yang menyebabkan kemampuan pengenceran air limbah tidak secepat kemampuan pengenceran di perairan laut terbuka. Jika peningkatan pencemaran air laut ini tidak diantisipasi maka dapat mempengaruhi kegiatan perikanan utamanya budidaya perikanan yang dilakukan di pertambakan maupun yang berada di wilayah perairan pantai.

Faktor ancaman lain yang perlu diperhatikan adalah harga pasar dari produk rumput laut yang masih ditentukan oleh pihak pengumpul. Para petambak tidak memiliki nilai tawar dalam bernegosiasi sehingga tidak terjadi kondisi pasar yang sempurna.

Kondisi dapat menyebabkan kendali pemasaran dikuasai sepenuhnya oleh pihak pedagang dan bukan oleh para petambak sebagai produsennya. Faktor ancaman lainnya adalah masuknya pendatang ke daerah ini. Kaum pendatang ini umumnya memiliki tingkat ketrampilan dan etos kerja yang lebih baik sehingga lebih banyak dimanfaatkan oleh pemilik tambak. Jika tidak di kelola dengan baik dapat mengakibatkan kecemburuan sosial di masyarakat karena tidak dimanfaatkaannya penduduk lokal karena keterbatasan kemampuan.

Hasil analisis kesesuaian lahan dan diskusi dengan stakeholder terkait, dirumuskan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan di tambak yaitu budidaya rumput laut dan udang windu. Selanjutnya dilakukan pembobotan untuk menentukan prioritas kebijakan usaha perikanan budidaya di Kota Palopo dengan melibatkan stakeholder. Hasil analisis disajikan pada Gambar 7.

0.346

0.654

Udang w indu Rumput laut

Kebijakan Usaha

Gambar 7 Bobot bentuk kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo

Hasil tersebut menunjukkan bahwa budidaya rumput laut merupakan usaha yang diinginkan oleh para stakeholder. Hasil ini sejalan dengan kondisi di lapangan dimana para petambak memang melaksanakan usaha budidaya rumput laut. Berdasarkan hasil analisis AWOT diatas maka dapat rekomendasi strategi yang mencakup usaha pengelolaan budidaya rumput laut Gracilaria sp. di tambak adalah :

1. Perbaikan konstruksi tambak dan pengolahan lahan yang baik

Luasnya lahan pertambakan yang ada di Kota Palopo merupakan faktor pendukung untuk meningkatkan produksi rumput laut. Namun diperlukan perbaikan pada desain tambak yang ada serta pengolahan tanah yang baik. Desain tambak yang ada di Kota Palopo umumnya masih sederhana, dimana pintu air hanya satu yang dimanfaatkan sebagai pintu pemasukan dan pengeluaran air. Kondisi ini menyebabkan tambak rentan terhadap masuknya hama dan penyakit. Selain itu dinding pematang dibuat dari bahan

tanah lumpur berpasir sehingga tingkat porositasnya cukup tinggi. Perbaikan konstruksi tambak yang dilakukan mencakup perbaikan desain serta penguatan dinding pematang.

Kota Palopo sebagai kota jasa memiliki pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal besar. Keadaan ini dapat menyebabkan pencemaran perairan yang disebabkan oleh aktivitas pelabuhan tersebut yang didukung oleh posisi geografis Kota Palopo yang berada di wilayah Teluk Bone sehingga kondisi perairan lebih tertutup. Pencemaran perairan laut ini dapat mempengaruhi usaha pemeliharaan rumput laut karena merupakan sumber air untuk tambak. Oleh karena itu, dalam mengantisipasi kondisi ini maka diperlukan pembuatan tandon pemasukan. Tandon pemasukan yang dibuat mampu memenuhi kebutuhan air untuk beberapa tambak sekaligus, sehingga lebih ekonomis dan tidak memanfaatkan lahan yang banyak.

Pengolahan lahan dilakukan untuk mempertahankan kesuburan tanah dasar tambak. Kegiatan pembalikan tanah tetap diperlukan karena dengan metode budidaya Gracilaria sp. tebar dasar akan menyebabkan substrat dasar menjadi masam akibat proses amonifikasi di dasar tambak. Pengolahan tanah tambak ini dilakukan satu kali dalam setahun.

2. Peningkatan kualitas dan kuantitas hasil panen

Peningkatan kualitas mencakup perbaikan seleksi bibit yang digunakan. Seleksi bibit dilakukan untuk memperoleh bibit yang lebih baik sehingga diharapkan rumput laut yang dipelihara memiliki tingkat pertumbuhan yang baik dan mengandung kadar agarofit yang tinggi. Usaha pembibitan dilakukan oleh petambak sendiri ataupun secara berkelompok. Pada awalnya bibit yang digunakan merupakan bibit dari alam kemudian dilakukan pemurnian di laboratorium. Hasil pemurnian ini awalnya hanya dikembangkan di daerah tambak Kabupaten Takalar, kemudian bibit ini dibawa ke Kota Palopo dan bibit inilah yang dikembangbiakkan oleh para petambak. Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah peningkatan kualitas bibit melalui proses seleksi bibit. Seleksi bibit yang baik merupakan pengetahuan teknis yang perlu dimiliki petambak, oleh karena itu diperlukan kegiatan penyuluhan untuk membantu petambak memperoleh pengetahuan mengenai hal ini.

Implementasi strategi yang perlu dilakukan adalah menjaga kualitas produk dengan mempertahankan masa pemeliharaan. Kondisi yang terjadi saat ini di Kota Palopo adalah para petambak cenderung menjual rumput lautnya jika harga sedang tinggi meskipun belum memenuhi syarat panen. Hal ini menyebabkan kualitas produknya rendah karena memiliki kandungan agarofit yang rendah. Keadaan ini dapat

menyebabkan ketidakpercayaan pihak pembeli, sehingga ada kemungkinan mereka akan beralih kepada produsen di tempat lain.

Peningkatan produksi rumput laut juga dapat dilakukan dengan menambah kepadatan bibit yang ditanam. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa setiap hektar lahan umumnya ditanam 1 ton bibit rumput laut. Menurut Trono (1988), petambak di Taiwan umumnya menanam Gracilaria sp. dengan kepadatan 5.000 – 6.000 kg setiap hektarnya dan 4.000 – 5.000 kg untuk usaha polikultur. Kualitas perairan telah layak untuk usaha budidaya, namun peningkatan kepadatan rumput laut yang dipelihara mesti ditunjang dengan peningkatan kualitas media pemeliharaan, sehingga tetap mampu mendukung pertumbuhan rumput laut. Hal ini telah ditunjang oleh kualitas perairan yang telah layak untuk usaha budidaya.

3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) melalui pelatihan dan penyuluhan Pada usaha budidaya rumput laut di Kota Palopo, penguasaan teknologi pasca panen masih sederhana dan bersifat alami. Selain itu, keterampilan petambak masih rendah sehingga pemanfaatan lahan belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan usaha peningkatan kualitas sumberdaya manusia sehingga terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki petambak. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui kegiatan penyuluhan. Peran penyuluh dioptimalkan sehingga mampu membantu petambak dalam memecahkan berbagai persoalan yang terkait dengan kegiatan pemeliharaan rumput laut.

Proses alih teknologi dilakukan dengan melalui kegiatan pelatihan. Kegiatan pelatihan dilakukan secara berkelompok dan berkelanjutan sehingga petambak memiliki pengetahuan terbaru mengenai usaha budidaya rumput laut. Selain memberi pelatihan yang terkait dengan teknologi budidaya, juga dilakukan pengenalan mengenai teknologi pengolahan produk, sehingga hasil produk memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.

Peningkatan kualitas SDM lokal dilakukan untuk memecahkan satu masalah sosial yaitu pemanfaatan tenaga kerja lokal sebagai buruh tambak. Selama ini masyarakat pendatang yang berasal dari Kabupaten Barru dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan banyak dimanfaatkan sebagai buruh tambak karena memiliki keterampilan dan etos kerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan tenaga kerja lokal. Dengan kegiatan pelatihan maka diharapkan keterampilan masyarakat lokal dan masyarakat pendatang menjadi setara, sehingga kekhawatian mengenai tidak dimanfaatkannya tenaga kerja lokal dapat diantisipasi.

Penguatan kelembagaan dilakukan untuk memberi nilai tawar yang lebih kuat kepada petambak. Hal ini diperlukan agar petambak dapat melakukan tawar menawar harga dengan pihak pembeli. Selama ini pihak pengumpul yang menentukan harga, sedangkan hasil panen tidak mungkin dapat disimpan lama. Penguatan kelembagaan dilakukan dengan cara pembentukan kelompok tani dan memberdayakan kelompok tani yang telah ada.

Di Kota Palopo, telah berdiri sebuah lembaga ekonomi untuk masyarakat pesisir yang diinisiasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Lembaga ekonomi ini dapat dimanfaatkan sebagai lembaga keuangan yang menjamin pembelian hasil panen petambak serta menyalurkannya ke pasar regional ataupun internasional. Pemberdayaan lembaga keuangan ini dibantu oleh instansi terkait untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan pengolahan rumput laut sehingga distribusi produk tetap berlangsung.