• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

B. Etnis Tionghoa

2. Kebudayaan Etnis Tionghoa

(a) Sikap Mental Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa memiliki sikap mental yang berlandaskan pada ajaran Kong Fu Tse ; yang menekankan pada sikap hubungan keluarga, negara dan bangsa berdasarkan kesadaran akan kedudukan orang Tionghoa yang lebih superior, lebih tinggi dan lebih maju (Hidayat, 1977). Pandangan ini menyebabkan orang Tionghoa tidak mudah melepaskan diri dari adat istiadat dan kebiasaan sosialnya.

Keluarga merupakan tempat sosialisasi anak untuk pertama kalinya, hal ini akan memudahkan anak untuk menerima nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tuanya. Terlebih lagi ajaran Kong Fu Tse menyangkut kedudukan setiap anggota keluarga sehingga memungkinkan social control yang kuat dalam menginternalisasi nilai-nilai kepada anak (Haryono, 1993). Salah satu sifat khas orang Tionghoa adalah tetap mempertahankan pola pemikiran, perbuatan dan pola kehidupan tradisi leluhurnya (Hidayat, 1977). Oleh karena itu, ajaran Kong Fu Tse mengenai keluarga tertanam begitu kuat dimanapun orang itu berada.

Pada tingkat kelompok, kuatnya nilai-nilai kekeluargaan yang tertanam pada orang Tionghoa akan menjadikan ia memiliki identifikasi yang kuat untuk menyebut dirinya sebagai kelompok sosial tertentu (in-group). Terbentuknya perasaan in-group yang kuat secara tidak langsung akan membentuk etnosentrisme pada etnis Tionghoa.

Etnis Tionghoa sebagai bangsa yang pernah mengalami peradaban yang tinggi akan mengukur dan membandingkan bangsa lain berdasarkan nilai-nilai pada kebudayaannya sendiri. Sifat orang Tionghoa yang rajin, ulet, tekun dan pandai berdagang merupakan modal utama bagi kelangsungan hidup mereka. Identitas seperti ini menjadikan etnis Tionghoa memiliki sikap in-group feeling yang kuat, yang merasa memiliki kelebihan dibandingkan yang lain. Hal ini tentu akan menyebabkan terbentuknya etnosentrisme yang kuat (Haryono, 1994).

(b) Sistem Kekeluargaan

Etnis Tionghoa menganut sistem kekeluargaan patrilineal, dimana dalam keluarga inti yang memegang kekuasaan dan peran penting adalah ayah dan anak laki-laki (Hidayat, 1977). Anak laki-laki dalam kelompok etnis Tionghoa akan menerima warisan yang paling banyak, sedangkan anak perempuan tidak mendapat harta warisan. Namun, dengan adanya perubahan orientasi kebudayaan akibat modrenitas, membuat etnis Tionghoa melakukan orientasi kebudayaan barat dan orientasi kebudayaan pada daerah setempat. Hal ini menjadikan etnis Tionghoa menganut sistem kekeluargaan bilateral, yang mana terdapat persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (Tan, 1979).

(c) Religi

Pada umumnya etnis Tionghoa di Indonesia dianggap menganut agama Buddha. Di negara Cina, memang sebagian besar masyarakatnya menganut agama Buddha, namun di Indonesia masyarakat Cina memiliki keyakinan

yang beraneka ragam. Ada yang menganut agama Buddha, Khatolik, Kristen, Islam, Tao ataupun Kong Fu Tse (Suryadinata, 1984).

Sebagia besar etnis Tionghoa masih percaya terhadap pemujaan terhadap para leluhurnya. Anggota keluarga yang memelihara abu leluhur, melakukan upacara pemujaan terhadap leluhur ditempat abu leluhur. Tempat itu berupa meja panjang yang tinggi dan dibawahnya ada pula sebuah meja lain yang pendek. Meja-meja tersebut biasanya diletakkan didepan ruangan rumah dan pada umumnya bewarma merah tua yang dihiasai dengan ukiran yang beraneka ragam. Diatas meja tersebut, ada satu atau lebih tempat untuk menancapkan dupa, yang oleh orang Tionghoa disebut hio lau. Dibagian kanan dan kiri hio lau terdapat sepasang pelita yang dinyalakan tiap-tiap tanggal satu dan lima perhitungan Cina dengan membakar beberapa batang dupa (Hidayat, 1977).

(d) Hari Raya Etnis Tionghoa

Upacara-upacara besar yang diperingati oleh etnis Tionghoa adalah : (1) Sincia, yaitu tahun baru Imlek pada tiap-tiap tanggal satu Imlek.

(2) Ceng Beng, yaitu upacara membersihkan kuburan dan sembahyang terhadap nenek moyang pada tiap tanggal tiga bulan tiga tahun Imlek. (3) Cit Gwee, yaitu sembahyang Cio-Ko suatu sembahyang untuk para

arwah yang tidak disembahyangkan oleh sanak keluarga yang masih hidup di dunia. Sembahyang ini dilakukan pada tiap-tiap tanggal lima belas bulan tujuh tahun Imlek.

(4) Peh Cun, suatu perayaan untuk memperingati tokoh Kut Goan, seorang patriot negara, menteri kerajaan Chou, yang mengakhiri

hidupnya dengan membuang diri kedalam sungai Nilo di provinsi Hunan, karena putus asa melihat negaranya dihancurkan oleh saudara Ciu. Upacara ini dilakukan setiap tanggal lima bulan lima tahun Imlek. (5) Ting Ciu, suatu perayaan pada tanggal lima belas bulan delapan tahun

Imlek, yaitu pada musim gugur di negara Cina.

(6) Tang Ce, perayaan pada tanggal pertengahan bulan sebelas tahun Imlek.

(e) Bahasa

Orang Tionghoa yang berada di Indonesia bukan berasal dari satu kelompok daerah di Cina, melainkan berasal dari beberapa suku yang berasal dari 2 provinsi yang ada di Cina yaitu Fukien dan Kwantung yang sangat terpencar-pencar daerahnya (Koentjaraningrat, 2002).

Setiap imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia masing-masing membawa kebudayaan dari suku bangsanya sendiri-sendiri. Suku bangsa yang ada memiliki bahasanya masing-masing. Ada 4 bahasa Cina yang ada di Indonesia yaitu bahasa Mandarin, Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton. Setiap bahasa memiliki perbedaan sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti bahasa dari pembicara yang lain (Koentjaraningrat, 2002).

Etnis Tionghoa di Indonesia saat ini sebagian besar tidak mampu secara aktif menggunakan bahasa Tionghoa. Kebanyakan dari etnis Tionghoa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat.

(f) Mata pencaharian

Sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia bermata pencaharian sebagai pedagang. Selain berdagang, orang-orang etnis Tionghoa juga membuka perusahaan ataupun toko sebagai lahan usaha. Namun, dalam perkembangannya tidak sedikit juga dari etnis Tionghoa yang bekerja sebagai orang kantoran, guru, dokter, petani, buruh serta pekerjaan professional lainnya (Suryadinata, 1984).

(g) Perkampungan atau tempat tinggal

Sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia tinggal di kota, biasanya perkampungan atau tempat tinggal orang Tionghoa merupakan deretan rumah yang berhadap-hadapan dan terletak di daerah pusat pertokoan (Koentjaraningrat, 2002). Biasanya orang Tionghoa hidup terpisah dari penduduk asli (Indonesia). Walaupun tinggal diantara penduduk asli, etnis Tionghoa tinggal didaerah-daerah tempat budaya “penduduk asli” tidak berkembang. Keinginan etnis Tionghoa sangat besar untuk berada dengan sesama kelompok etnisnya (Suryadinata, 1984). Secara nyata dapat dilihat bahwa etnis Tionghoa di seluruh dunia memiliki perkampungan Cina yang dinamakan”Pecinan”. Perkampungan ini merupakan bentuk pelestarian budaya Tionghoa oleh para etnis Tionghoa.

Dokumen terkait