• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.4 Metode Penelitian

3.4.2 Karakterisasi dan Analisis Kebutuhan Air (Pertanian, Domestik,

3.4.2.4 Kebutuhan Air Pertanian

Kebutuhan air petanian dalam penelitian ini merupakan kebutuhan air untuk irigasi tanaman padi di lahan sawah. Secara global meliputi pemenuhan kebutuhan air keperluan untuk lahan pertanian yang dilayani oleh suatu sistem irigasi teknis,

setengah teknis maupun sederhana. Kebutuhan air untuk irigasi diperkirakan dari perkalian antara luas lahan sawah dengan kebutuhan airnya per satuan luas.

Kebutuhan air irigasi dipengaruhi oleh beberapa faktor: (a). Kebutuhan untuk penyiapan lahan, (b). Kebutuhan air konsumtif untuk tanaman, (c). Kebutuhan air untuk penggantian lapisan air, (d). Perkolasi, (e). Efisiensi air irigasi, (f). Luas areal irigasi dan (g). Curah hujan efektif.

Kebutuhan total air di sawah mencakup faktor A sampai dengan F, sedangkan untuk kebutuhan bersih air irigasi di sawah mencakup faktor A sampai G. Persamaan untuk menghitung kebutuhan bersih air irigasi di sawah:

xA EI ER P RW IR ETc IG     ... (56) Dimana: IG = kebutuhan air (m3),

IR = kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari), ETc = kebutuhan air konsumtif (mm/hari),

RW = kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (mm/hari), P = perkolasi (mm/hari),

ER = hujan efektif (mm/hari), EI = efisiensi irigasi,

A = luas areal irigasi (m2).

A. Kebutuhan Air untuk Penyiapan Lahan (IR)

Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya sangat menentukan kebutuhan maksimum air irigasi. Bertujuan untuk mempermudah pembajakan dan menyiapkan kelembaban tanah guna pertumbuhan tanaman. Metode ini didasarkan pada kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang sudah dijenuhkan selama periode penyiapan lahan.

Faktor-faktor penting yang menentukan besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penyiapan lahan dan jumlah air yang diperlukan untuk penyiapan lahan. Untuk perhitungan kebutuhan air irigasi untuki penyiapan lahan dapat digunakan metode yang dikembangkan van de Goor dan Zijlstra (1968). Persamaannya ditulis sebagai berikut.         1 k k e e M IR ... (57) Dimana:

M = kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan, = Eo + P,

Eo = 1,1 x ETo,

P = perkolasi (mm/hari), K = M x (T/S),

T = jangka waktu penyiapan lahan (hari),

S = kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air 50 mm. Perhitungan kebutuhan air untuk penyiapan lahan digunakan T = 30 hari dan S = 250 mm untuk penyiapan lahan padi pertama dan S = 200 mm untuk penyiapan lahan padi kedua. Ini sudah termasuk banyaknya air untuk penggenangan setelah transplantasi, yaitu sebesar sebesar 50 mm serta kebutuhan untuk persemaian.

B. Kebutuhan Air untuk Konsumtif (ETc)

Kebutuhan air konsumtif diartikan sebagai kebutuhan air untuk tanaman di lahan dengan memasukkan faktor koefisien tanaman (kc). Persamaan umum yang digunakan sebagai berikut:

EToxkc

ETc

... (58) Dimana:

ETc = kebutuhan air konsumtif (mm/hari) ETo = evapotranspirasi (mm/hari)

Kc = koefisien tanaman

Kebutuhan air konsumtif ini dibutuhkan untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan. Air dapat menguap melalui permukaan air atau tanah maupun melalui tanaman. Bila kedua proses tersebut terjadi bersama-sama, terjadilah proses evapotranspirasi, yaitu gabungan antara penguapan air bebas (evaporasi) dan penguapan melalui tanaman (transpirasi). Dengan demikian besarnya kebutuhan air konsumtif ini adalah sebesar air yang hilang akibat proses evapotranspirasi dikalikan dengan koefisien tanaman.

Evapotranspirasi dapat dihitung dengan metoda Penman berdasarkan data klimatologi setempat. Sebagai alternatif nilai evapotranspirasi (ETo) dapat juga diambil dari Tabel Reference Crop Evapotranspiration sesuai dengan rekomendasi Standar Perencanaan Irigasi (1986). Nilai koefisien tanaman (kc) mengikuti cara FAO seperti tercantum dalam Standar Perencanaan Irigasi (1986), yaitu varietas unggul dengan masa pertumbuhan tanaman padi selama 3 bulan dan dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Koefisien tanaman (kc)

C. Kebutuhan Air untuk Penggantian Lapisan Air (RW)

Kebutuhan air untuk penggantian lapisan air ditetapkan berdasarkan Standar Perencanaan Irigasi (1986). Penggantian lapisan air dilakukan sebanyak dua kali dalam sebulan, masing-masing dengan ketebalan 50 mm (50 mm/bulan atau 3,3 mm/hari) dan dua bulan setelah transplantasi.

D. Perkolasi (P)

Perkolasi adalah masuknya air dari daerah tak jenuh ke dalam daerah jenuh air, pada proses ini air tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Laju perkolasi sangat tergantung pada pada sifat tanah daerah kajian yang dipengaruhi oleh karakteristik geomorfologis dan pola pemanfaatan lahannya. Menurut Standar Perencanaan Irigasi (1986), laju perkolasi berkisar antara 1-3 mm/hari. Angka ini sesuai untuk tanah lempung berat dengan karakteristik pengolahan yang baik. Pada jenis-jenis tanah yang lebih ringan, laju perkolasi bisa lebih tinggi.

E. Hujan Efektif (ER)

Hujan efektif/netto (effectif rainfall) merupakan bagian hujan bruto yang sampai di permukaan tanah setelah mengalami proses intersepsi dan infiltrasi. Hujan ini pada akhirnya akan mengalir di atas permukaan tanah sebagai aliran permukaan. Intensitas hujan efektif secara sederhana dapat dihitung melalui persamaan berikut:

Pn(t) Pb(t)FI ………(59)

Dimana: Pn(t) : curah hujan netto/efektif (mm) Pb(t) : curah hujan bruto (mm)

F : laju infiltrasi dan (mm/jam) I : intersepsi (mm/jam)

Bulan kc padi menurut FAO

0,5 1,10 1,0 1,10 1,5 1,05 2,0 1,05 2,5 0,95 3,0 0,00

      25,4 1000 10 CN S

FAO menggunakan beberapa metode empirik untuk menghitung hujan efektif antara lain:

a. Nilai persentase tertentu dari hujan bulanan (fixed percentage), dengan persamaan Peff = a x Ptot, biasanya nilai a = 0,7 – 0,9

b. Hujan andalan (dependable rain) didefinisikan sebagai hujan dengan peluang terlewati tertentu. Peluang terlewati 80% menggambarkan kondisi tahun kering, 50% kondisi tahun normal dan 20% kondisi tahun basah. Secara empirik menurut AGLW/FAO dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

•Pef = 0.6 * Pmean - 10; untuk Pmean < 60 mm/bulan

•Pef = 0.8 * Pmean - 25; untuk Pmean > 60 mm/bulan

c. Rumus empirik yang dikembangkan secara lokal, biasanya dikembangkan dengan rumus umum sebagai berikut:

Peff = a Pmean+ b untuk Pmean < Z mm Peff = c Pmean+ d untuk Pmean > Z mm

Konstanta a, b, c dan d dikembangkan berdasarkan penelitian secara lokal. Hujan bulanan dengan peluang terlewati tertentu (misalnya 75%), untuk beberapa daerah sudah mempunyai persamaan linier antara hujan bulanan rata- rata dengan hujan bulanan dengan peluang terlewati tertentu. Untuk Indonesia, Oldeman (1980) menyatakan bahwa hujan peluang terlewati 75% (Y) dapat dinyatakan dengan persamaan: Y = 0,82 X - 30, dimana X = rata-rata hujan bulanan. Hujan efektif untuk tanaman padi adalah 100% dari Y, sedangkan untuk palawija 75% dari Y.

d.USBR (United State Bureau of Reclamation) menggunakan persamaan untuk menghitung hujan efektif sebagi berikut :

•Pef = Pmean x (125 - 0.2 Pmean )/125; untuk Pmean < 250 mm

•Pef = 125 + 0.1 x Pmean ; untuk Pmean > 250 mm

d. USDA (United State Departement of Agriculture) menggunakan metode SCS CN (Soil Conservation Service Curve Number) sebagai berikut:

... (60) ... (61) Dengan :

PE : curah hujan efektif (mm)

S P S P S I P I P PE a a 8 , 0 ) 2 , 0 ( ) ( ) ( 2 2       

P : curah hujan (mm)

S : retensi potensial maksimum air oleh tanah,yang sebagian besar adalah karena infiltrasi (mm)

CN : Curve Number yang merupakan fungsi dari karakteristik DAS (tidak berdimensi, ditentukan berdasarkan tabel)

F. Efisiensi Irigasi (EI)

Efisiensi irigasi adalah angka perbandingan dari jumlah air irigasi nyata yang terpakai untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman dengan jumlah air yang keluar dari pintu pengambilan (intake). Efisiensi irigasi terdiri atas efisiensi pengaliran yang pada umumnya terjadi di jaringan utama dan efisiensi di jaringan sekunder yaitu dari bangunan pembagi sampai petak sawah. Efisiensi irigasi didasarkan asumsi sebagian dari jumlah air yang diambil akan hilang baik di saluran maupun di petak sawah. Kehilangan air yang diperhitungkan untuk operasi irigasi meliputi kehilangan air di tingkat tersier, sekunder dan primer. Besarnya masing-masing kehilangan air tersebut dipengaruhi oleh panjang saluran, luas permukaan saluran, keliling basah saluran dan kedudukan air tanah (Direktorat Jenderal Pengairan,1986).

Efisiensi irigasi merupakan indikator utama dari unjuk kerja suatu sistem jaringan irigasi. Efisiensi irigasi didasarkan pada asumsi bahwa sebagian dari jumlah air yang diambil akan hilang, baik di saluran maupun di petak sawah, maka efisiensi irigasi dibagi menjadi dua bagian: (1) efisiensi saluran pembawa (conveyance efficiency), yang dihitung sebesar kehilangan air dari saluran primer sampai ke saluran sekunder, dan (2) efisiensi sawah (in farm efficiency), yang dihitung sebesar kehilangan air dari saluran tersier sampai ke petak sawah.

Mengacu pada Direktorat Jenderal Pengairan (1986) maka efisiensi irigasi secara keseluruhan diambil 90% dan di tingkat tersier 80%. Angka efisiensi irigasi keseluruhan tersebut dihitung dengan cara mengkonversi efisiensi di masing- masing saluran yaitu 0,9 x 0,9 x 0,8 = 0,648 dibulatkan 65%.

G. Luas Areal Irigasi (A)

Yang dimaksud dengan luas areal irigasi disini adalah luas semua lahan pertanian yang kebutuhan airnya dilayani oleh suatu sistem irigasi tertentu. Yang

termasuk dalam sistem irigasi mencakup irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana maupun irigasi desa.

Hasil analisis kebutuhan air untuk irigasi menunjukkan bahwa kebutuhan air untuk irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di wilayah ini apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk keperluan rumah tangga dan industri. Pola ini masih akan terus berlangsung sampai di masa yang akan datang selama masih ada pembukaan lahan pertanian beririgrasi yang baru.

Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi.

Secara umum pola tanam yang ada di wilayah studi adalah padi-padi- palawija, namun untuk beberapa daerah tertentu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi apabila memang ketersediaan air mencukupi untuk mendukung pola tersebut. Ada juga daerah lain yang hanya bisa menanam padi satu kali dalam satu tahun karena air yang tersedia hanya cukup untuk sekali tanam padi.