• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedaulatan, Kewenangan dan Prakarsa Lokal

Ciri khas desa sebagai masyarakat berpemerintahan ( self governing community )

4. Kedaulatan, Kewenangan dan Prakarsa Lokal

Desa, sebagai kesatuan masyarakat hukum atau badan hukum publik juga memiliki kewenangan meskipun tidak seluas kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Kewenangan desa adalah hak desa untuk mengatur, mengurus dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Apa yang dimaksud dengan ”mengatur” dan ”mengurus” serta apa yang dimaksud dengan ”urusan pemerintahan” dan ”kepentingan masyarakat setempat”. Mengatur dan mengurus mempunyai beberapa makna: (1) Mengeluarkan dan menjalankan aturan main (peraturan), tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya desa menetapkan besaran jasa pelayanan air minum yang dikelola BUMDes Air Bersih; atau desa menetapkan larangan truck besar masuk ke jalan kampung. (2) Bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan

pembangunan atau pelayanan, serta menyelesaikan masalah yang muncul. Sebagai contoh, karena Posyandu merupakan kewenangan lokal, maka desa bertanggungjawab melembagakan Posyandu ke dalam perencanaan desa, sekaligus menganggarkan untuk kebutuhan Posyandu, termasuk menyelesaikan masalah yang muncul.

(3) Memutuskan dan menjalankan alokasi sumberdaya (baik dana, peralatan maupun personil) dalam kegiatan pembangunan atau pelayanan, termasuk membagi sumberdaya kepada penerima manfaat. Sebagai contoh, desa memutuskan alokasi dana sekian rupiah dan menetapkan personil pengelola Posyandu. Contoh lain: desa memberikan beasiswa sekolah bagi anak-anak desa yang pintar (berprestasi) tetapi tidak mampu (miskin).

(4) Mengurus berarti menjalankan, melaksanakan, maupun merawat public goods yang telah diatur tersebut. Implementasi pembangunan maupun pelayanan publik merupakan bentuk konkret mengurus.

Jika desa berwenang mengatur, dengan sendirinya desa juga mengurus terhadap hal- hal yang diatur. Hal ini berkaitan dengan kekuasaan mengatur dan mengurus terhadap aset atau ”hak milik” desa. Namun demikian, konsep mengurus tidak mesti merupakan

konsekuensi dari kuasa mengatur atas ”hak milik” tersebut. Mengurus, dalam hal ini, berarti mengelola atau menjalankan urusan yang diberikan oleh pemerintah kepada desa, atau bisa juga disebut sebagai ”hak kelola” desa. Hutan desa dapat diambil sebagai contoh. Hutan desa merupakan ”hak milik” negara. Kementerian Kehutanan merupakan institusi negara yang mempunyai kuasa/kewenangan mengatur hutan desa. Desa dapat mengelola atau mengurus hutan desa tersebut dengan cara harus memperoleh izin dari Kementerian Kehutanan. Dengan kalimat lain, Kementerian Kehutanan ”mengatur” hutan desa sebagai ”hak milik” negara, sedangkan desa berhak ”mengurus” hutan desa sebagai ”hak kelola” desa. Sebagai pemegang ”hak kelola” hutan desa itu, desa berhak mengambil hasil hutan dan mengatur pada skala desa, yakni pembagian kepada masyarakat maupun perawatan hutan, sekaligus juga mematuhi ketentuan aturan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan. Kewenangan mengatur dan mengurus tersebut ditujukan kepada urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Urusan pemerintahan pada dasarnya mencakup tiga fungsi yang dijalankan oleh pemerintah, yaitu: pengaturan (public regulation), pelayanan publik (public goods) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Pengaturan merupakan kegiatan mengatur (membuat peraturan tentang perintah yang harus dijalankan dan larangan yang harus dihindari) tentang pemanfaatan barang-barang publik seperti pendidikan, kesehatan, jalan, laut, sungai, hutan, kebun, air, udara, uang dan lain-lain. Sedangkan pemberdayaan adalah fungsi pemerintah memperkuat kemampuan masyarakat dalam mengakses atau memanfaatkan barang-barang publik tersebut serta mengembangkan potensi dan aset yang dimiliki masyarakat.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, apa yang disebut urusan pemerintahan tersebut sudah diatur dan diurus oleh pemerintah, bahkan sudah dibagi habis kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan UU No. 22/2014 dan undang-undang sektoral lainnya. Apa yang disebut kepentingan masyarakat setempat sebenarnya juga tercakup sebagai urusan pemerintahan. Tetapi ada perbedaan khusus antara urusan pemerintahan dengan kepentingan masyarakat setempat. Urusan pemerintahan berkaitan dengan pelayanan publik kepada warga yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara kepentingan masyarakat setempat adalah kebutuhan bersama masyarakat yang terkait dengan penghidupan dan kehidupan sehari-hari masyarakat, muncul dari prakarsa masyarakat, berskala dan bersifat lokal (setempat), dan terkadang belum tercakup dalam peraturan dan kebijakan pemerintah.

Ada banyak contoh kepentingan masyarakat setempat. Sungai yang melintasi antardesa merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Tetapi masyarakat beberapa desa di tepian sungai itu mempunyai kebutuhan menangkap air sungai untuk pengairan sawah dan pengembangan perikanan darat. Kemudian beberapa desa mengambil prakarsa untuk menangkap (mengalirkan) air sungai itu dengan persetujuan bupati. Jadilah saluran air yang digunakan masyarakat untuk mengairi sawah dan kolam ikan darat. Karena itu menangkap air sungai beserta pengaturannya merupakan kepentingan masyarakat setempat yang menjadi kewenangan desa.

Contoh lain lagi adalah penyediaan air bersih. Menurut peraturan, penyediaan air bersih merupakan kewenangan dan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota. Setiap kabupaten/kota di Indonesia pada umumnya memiliki Perusahaan Air Minum (PAM) sebagai bentuk bisnis sosial untuk melayani kebutuhan air bersih. Namun PAM Daerah pada

umumnya hanya mampu menjangkau di kawasan perkotaan, yang tidak mampu menjangkau ke pelosok desa. Warga desa yang mampu umumnya menyediakan air bersih dengan membuat sumur sendiri. Sementara desa-desa yang kesulitan air, atau warga yang kurang mampu, mengalami keterbatasan dalam memanfaatkan air bersih. Meskipun demikian tetap ada banyak desa yang memiliki sumber mata air sebagai sumberdaya milik bersama, yang bisa dimanfaatkan untuk menyediakan air bersih bagi masyarakat. Kondisi ini yang mendorong prakarsa masyarakat untuk menyediakan air bersih secara mandiri dengan memanfaatkan sumber air yang tersedia dan menggunakan teknologi tepat guna. Inilah yang disebut sebagai kepentingan masyarakat setempat. Sebagai contoh, Desa Batulayar dan Senggigi di Lombok Barat, Desa Labbo di Bantaeng dan Desa Oemasi di Kabupaten Kupang, telah mampu menyediakan air bersih bagi masyarakat, sebagai bentuk respons terhadap kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat terhadap air bersih.

Karena kedudukan, bentuk dan sifat desa berbeda dengan pemerintah daerah, maka kewenangan ”mengatur dan mengurus” yang dimiliki desa sangat berbeda dengan kewenangan pemerintah daerah. UU No. 6/2014 memang tidak memuat norma yang tersurat tentang prinsip dan ketentuan tentang kewenangan desa. Namun di balik jenis-jenis kewenangan yang tersurat, ada makna dan nalar yang dapat dipahami. Berbeda dengan kewenangan pemerintah, ada beberapa prinsip penting yang terkandung dalam kewenangan desa:

(1) Baik kewenangan asal usul maupun kewenangan lokal bukanlah kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah, bukan juga merupakan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005. Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, kedua jenis kewenangan itu diakui dan ditetapkan langsung oleh undang-undang dan dijabarkan oleh peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah dalam ini bukanlah perintah yang absolut melainkan sebagai pandu arah yang di dalamnya akan membuat daftar positif (positive list), dan kemudian menentukan pilihan atas positive list itu dan ditetapkan dengan peraturan desa sebagai kewenangan desa.

(2) Sebagai konsekuensi desa sebagai masyarakat yang berpemerintahan (self governing community), kewenangan desa yang berbentuk mengatur hanya terbatas pada pengaturan kepentingan lokal dan masyarakat setempat dalam batas-batas wilayah administrasi desa. Mengatur dalam hal ini bukan dalam bentuk mengeluarkan izin baik kepada warga maupun kepada pihak luar seperti investor, melainkan dalam bentuk keputusan alokatif kepada masyarakat, seperti alokasi anggaran dalam APB Desa, alokasi air kepada warga, dan lain-lain. Desa tidak bisa memberikan izin mendirikan bangunan, izin pertambangan, izin eksploitasi air untuk kepentingan bisnis dan sebagainya.

(3) Kewenangan desa lebih banyak mengurus, terutama yang berorientasi kepada pelayanan warga dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai contoh desa melayani dan juga membiayai kegiatan kelompok tani, melatih kader perempuan, membiayai Posyandu, mengembangkan hutan rakyat bersama masyarakat, membikin bagan ikan untuk kepentingan nelayan, dan sebagainya.

(4) Selain mengatur dan mengurus, desa dapat mengakses urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota untuk dimanfaatkan memenuhi kepentingan masyarakat. Selain contoh di atas tentang beberapa desa menangkap air sungai Desa

dapat mengakses dan memanfaatkan lahan negara berskala kecil (yang tidak termanfaatkan atau tidak bertuan) untuk memenuhi kepentingan masyarakat setempat. Lahan sisa proyek pembangunan, tanggul dan bantaran sungai, maupun tepian jalan kabupaten/kota merupakan contoh konkret. Desa dapat memanfaatkan dan menanam pohon di atas lahan itu dengan cara mengusulkan dan memperoleh izin dari bupati/walikota.

Prinsip-prinsip itu dapat digunakan untuk memahami jenis-jenis kewenangan desa yang tertulis secara eksplisit dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ada perubahan pengaturan tentang kewenangan desa antara UU No. 32/2004 dengan UU No. 6/2014. Pertama, UU No. 32/2004 menegaskan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan asal-usul desa, sedangkan UU No. 6/2014 menyatakan kewenangan beradasarkan hak asal-usul. Pada dasarnya kedua pengaturan ini mengandung isi yang sama, hanya saja UU No. 32/2004 secara tersurat membatasi pada urusan pemerintahan. Kedua, UU No. 32/2004 menyatakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, sedangkan UU No. 6/2014 menegaskan kewenangan lokal berskala desa. Jenis kewenangan kedua inilah yang membedakan secara jelas dan tegas antara kedua UU tersebut.

Tabel Kewenangan desa menurut UU No. 32/2004 dan UU No. 6/2014

UU No. 32/2004 UU No. 6/2014

Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa

Kewenangan berdasarkan hak asal usul

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa

Kewenangan lokal berskala Desa

Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota

Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Urusan pemerintahan lainnya yang oleh

peraturan perundangperundangan diserahkan kepada desa

Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Kewenangan desa sebenarnya tidak hanya mencakup empat butir besar tersebut. Ada satu jenis kewenangan lagi yang dimiliki oleh desa, yaitu kewenangan melekat atau sering disebut sebagai kewenangan atributif yang tidak tersurat dalam UU No. 6/2014. Sebagai organisasi pemerintahan, desa memiliki sejumlah kewenangan melekat (atributif) tanpa harus disebutkan secara tersurat (eksplisit) dalam daftar kewenangan desa. Ada sejumlah kewenangan melekat milik desa yang sudah dimandatkan oleh UU No. 6/2014, yakni:

(2) Membentuk dan menetapkan susunan dan personil perangkat desa. (3) Menyelenggarakan musyawarah desa.

(4) Menyusun dan menetapkan perencanaan desa.Menyusun, menetapkan dan melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

(5) Menyusun, menetapkan dan melaksanakan peraturan desa.

(6) Membentuk dan membina lembaga-lembaga kemasyarakatan maupun lembaga adat. (7) Membentuk dan menjalankan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).