• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedelai Nasional Versus Internasional

3. KEDELAI NASIONAL DAN INTERNASIONAL

3.3. Kedelai Nasional Versus Internasional

Perbandingan luas tanam dan produksi di Indonesia pada tahun 2004 seperlima puluh bagian dari luas tanam dan produksi di Amerika Serikat. Demikian juga produktivitas kedelai Indonesia seperdua dari Amerika Serikat. Namun masa panen kedelai di negara subtropis selama 6 bulan. Sedangkan di Indonesia masa panen kedelai hanya 3 bulan, sehingga Indonesia memungkinkan untuk tanam kedelai 2 kali setahun.

Pengelolaan usahatani, panen dan pasca panen di Amerika sudah dilakukan secara modern dengan menggunakan alat dan mesin pertanian dikarenakan kepemilikan lahan milik petani cukup luas. Berbeda dengan usahatani di Indonesia yang masih secara tradisional dan kepemilikan lahannya sempit. Ukuran benih kedelai Amerika berbiji besar. Secara nasional, kita memiliki benih berbiji besar seperti

Tahun Luas Tanam Produksi Ekspor

(Juta Ha) (Juta Ton) (Juta Ton)

2004 30,50 210,12 73,76

2005 29,20 205,96 63,68

varietas Argomulyo dan Burangrang (untuk kebutuhan benih 50 kg/ha) tidak jauh berbeda dengan benih kedelai Amerika (59,7 kg/ha), namun varietas ini masih belum lama dilepas dan perlu banyak dikembangkan, sehingga sebagian besar petani masih menggunakan benih berbiji kecil (40 kg/ha).

Konsumsi kedelai di Indonesia lebih banyak diolah menjadi pangan tradisional dan industri sederhana (tahu, tempe, tauco, makanan ringan) dan sebagian kecil diolah lebih ke arah pabrikasi (misalnya kecap). Sedangkan di Amerika, kedelai diolah menjadi olahan pangan yang lebih modern dan secara industri (minyak, tepung, isolat, dan lain-lain). Kandungan protein kedelai lokal lebih tinggi dibandingkan impor, sehingga jika diolah untuk tahu, maka rendemen lebih banyak dihasilkan dari kedelai lokal dan memiliki cita rasa yang khas. Kedelai impor memiliki ukuran biji besar, seragam dan kadar airnya rendah, sehingga lebih disukai industri tempe karena volume biji impor mengembang lebih banyak dan bobot tempe yang diperoleh lebih banyak. Untuk industri kecap, biji kedelai hitam lokal lebih disukai dari impor, karena memiliki cita rasa khas dan kecap yang dihasilkan lebih gurih.

4.

KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL

4.1. Konsep Kebijakan

Kebijakan dapat diartikan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyakarat umum. Dengan kata lain, kebijakan adalah suatu campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi suatu pertumbuhan secara sektoral dari suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Karakteristik dari suatu kebijakan adalah : (a) kebijakan tidak eksis secara tunggal, tetapi ganda, (b) keberhasilan suatu kebijakan harus didukung oleh sistem, misalnya baik/buruknya sistem politik, (c) kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat (Sanim, 2000).

Kebijakan pembangunan pertanian merupakan keputusan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan pertanian guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Kebijakan pembangunan pertanian termasuk dalam katagori kebijakan publik, karena berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak. Intervensi pemerintah dalam upaya mencapai tujuan- tujuan pembangunan sektor pertanian dilakukan dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan. Kebijakan perdagangan (trade policy) tidak terlepas dari kebijakan produksi dan pemasaran dalam negeri. Di samping itu, kebijakan perdagangan juga berkaitan erat dengan kebijakan harga (Simatupang, 2003).

Secara umum kebijakan ekonomi dapat dibedakan dua katagori, yaitu kebijakan pada tingkat makro dan mikro. Kebijakan pada tingkat makro diarahkan untuk menciptakan kondisi kondusif dalam menumbuhkembangkan produksi pangan, kelancaran distribusi dan meningkatkan akses/kemampuan masyarakat memperoleh pangan yang cukup. Kebijakan ini meliputi kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan tingkat mikro untuk mewujudkan peningkatan produktivitas usaha, efisiensi, pemerataan pendapatan dan peningkatan daya saing (Sudaryanto, et al., 2000).

Rosegrant et.al. (1987) berpendapat bahwa kebijakan pemerintah dalam kegiatan perekonomian dapat berupa kebijakan harga, subsidi, perdagangan (impor dan ekspor), nilai tukar dan tingkat bunga. Sumber utama kebijakan pemerintah tersebut berasal dari proteksi output dan subsidi harga input. Bentuk-bentuk proteksi yang sering dijumpai adalah tarif atau bea masuk, larangan atau kuota impor dan subsidi. Proteksi dengan tarif impor ditujukan untuk melindungi produsen dalam negeri, sedangkan subsidi untuk melindungi konsumen.

Subsidi harga input ditujukan agar produsen dapat membeli input dengan harga lebih murah dan output yang dihasilkan menjadi lebih murah, sehingga konsumen akan membeli produk tersebut dengan harga lebih murah pula. Pada gilirannya upaya tersebut dapat mendorong dayasaing dari output tersebut. Sebaliknya pengenaan tarif terhadap input impor menyebabkan harga input tersebut di dalam negeri menjadi lebih mahal dari harga impor dan menyebabkan harga output menjadi lebih tinggi. Hal ini akan menurunkan dayasaing produk yang dihasilkannya (Rosegrant et.al., 1987).

Simatupang (1989) mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah yang terpenting adalah kebijakan yang dapat mendorong pengembangan komoditi yang bersangkutan atau memberikan insentif secara ekonomi. Insentif ekonomi tersebut dapat dilakukan melalui kebijakan harga ouput dan input.

Tujuan kebijakan perdagangan komoditas pertanian dapat berbeda-beda tergantung pada komoditasnya. Misalnya, kebijakan tarif impor atau hambatan-hambatan non tarif bertujuan untuk melindungi komoditas substitusi impor. Sebaliknya, kebijakan pajak atau pembatasan terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri. Kebijakan perdagangan dalam negeri biasanya bertujuan untuk memperlancar atau menghambat pemasaran komoditas antar daerah (Simatupang, 1989).

Akhir-akhir ini telah menjadi konsensus nasional bahwa palawija dimasukkan ke dalam kebijakan pangan nasional (CGPRT, 1988). Sedangkan menurut Karama,

et.al., (1992) komoditi kedelai menempati peringkat pertama diantara komoditas palawija dalam pengembangan program intensifikasi dan diversifikasi pertanian dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut : (a) biaya produksi rendah, walaupun resiko pengusahaannya tinggi, (b) menguntungkan petani, (c) tingginya tingkat kebutuhan dan ketergantungan terhadap kedelai impor yang semakin besar, (d) kedelai mempunyai ragam kegunaan yang cukup luas.

4.2. Kebijakan Harga

Menurut Saliem, et al. (2000), terdapat dua tipe dasar kebijakan pemerintah di bidang pertanian, yaitu bersifat development policy dan compensating policy.

Development policy biasanya dilakukan pemerintah untuk mendorong produksi pertanian dengan meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Dalam

compensating policy berkecenderungan menekan produksi dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani. Development policy banyak dilakukan oleh negara yang mengalami defisit suatu produk pertanian, sedangkan compensating policy banyak dilakukan oleh negara yang mengalami surplus dan sulit memasarkan produknya. Kebijakan pemerintah Indonesia masuk dalam katagori

development policy, misalnya kebijakan harga dasar dan subsidi pupuk.

Kebijakan harga terhadap komoditas pertanian umumnya bertujuan untuk (i) meningkatkan harga domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan; (ii) menstabilkan harga dan mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri; (iii) meningkatkan swasembada sehingga mengurangi ketergantungan pada impor; (iv) menghemat devisa dan memperbaiki neraca pembayaran; (v) menjaga kestabilan politik; dan (vi) memperbaiki alokasi sumberdaya domestik sehingga dicapai pertumbuhan ekonomi yang efisien (Saliem, et al., 2000).

Harga merupakan salah satu instrumen penting yang dapat memicu produksi kedelai nasional dan dapat merupakan jaminan bahwa petani kedelai akan

memperoleh pendapatan yang layak. Kebijakan harga dasar dapat menjembatani harga di tingkat petani (harga produsen) dan harga konsumen. Terjadinya kesenjangan harga pada tahun-tahun sebelum krisis menunjukkan inefisiensi distribusi/pemasaran dan lemahnya posisi tawar petani kedelai. Oleh karenanya, agar terciptanya sistem jaminan harga bagi petani kedelai, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk memberdayakan kelembagaan petani kedelai serta mengupayakan kemitraan dengan industri pengolahan dan importir, seperti pemberdayaan peran Inkopti.

Kebijakan harga dasar ditetapkan melalui Inpres sejak tahun 1979/80 sampai akhir tahun 1991. Kebijakan harga dasar telah dihentikan pemerintah sejak tahun 1991 sampai sekarang. Penelitian ini mencoba melakukan simulasi dengan menggunakan harga dasar dengan tujuan untuk meramal dampak kebijakan tersebut terhadap penawaran dan permintaan kedelai.

Untuk menjamin petani produsen mendapatkan keuntungan yang wajar, maka perlu dijaga kestabilan harga jual kedelai di tingkat petani, khususnya saat panen raya. Hal ini dapat dilakukan dengan kebijakan pemerintah melalui penetapan harga. Perkembangan produksi kedelai tidak terlepas dari pengaruh harga kedelai di pasar dan harga kedelai impor. Perkembangan harga kedelai di tingkat produsen dan nasional tahun 1975-2004 dapat dilihat pada Lampiran 4.