• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan dalam Perspektif Kebijakan: Sebuah Mekanisme Kontrol

siswa pindahan. Ada sejumlah sekolah yang berpotensi siswanya rawan tidak naik kelas, kemudian dipindah ke sekolah lain. Ada sejumlah sekolah yang sering menjadi tempat tujuan memindahkan siswa yang tidak naik kelas. Biasanya siswa pindahan inilah yang berpotensi menjadi pelaku tawuran pelajar. Sesungguhnya dulu pernah ada kebijakan, bahwa siswa yang tidak naik kelas tidak boleh pendah ke sekolah lain di dalam kota yang sama. Namun, sejak tahun 2005, siswa dari sekolah dalam kota bisa pindah ke sekolah lain

123 dalam kota yang sama. Barangkali hal tersebut terkait dengan adanya kebijakan yang lebih makro, yaitu Wajib Belajar 12 tahun, maka dinas pendidikan tidak boleh membatasi akses pendidikan masyarakat usia sekolah. Lebih-lebih, jika sampai menghimbau memindahkan siswa ke sekolah lain di luar daerah, sama halnya dengan memindahkan kasus kekerasan pelajar ke daerah lain, sehingga malah memperluas area kekerasan itu sendiri. Jadi, sekarang sekolah boleh menerima siswa pindahan dari dalam kota, sepanjang telah memenuhi persyaratan:

- Ada formasi di sekolah yang dituju

- Sekolah yang dituju bersedia menerima

- Ada rekomendasi dari Dinas

Alasan kepindahan sekolah juga dikaji, apakah karena orang tua berpindah kerja, pindah tempat tinggal, atau karena siswanya berkasus di sekolah lama.

Sistem RTO dimaksudkan untuk menciptakan akuntabilitas dalam seleksi PPDB (KR, 3 Desember 2013). Sistem ini diberlakukan antara lain untuk mempermudah siswa dan wali dalam memilih sekolah secara praktis dan cepat, karena tidak harus datang ke lokasi. RTO juga dimaksudkan untuk pemerataan siswa di sekolah negeri. Berdasarkan pengalam setiap tahunnya, beberapa sekolah negeri masih ada yang kekurangan siswa. Dalam sistem RTO, jika calon siswa dengan nilai tertentu dan masuk ke sekolah tertentu, dan nilainya tidak mencukupi, maka ia akan tergeser secara otomatis ke sekolah dengan passing grade di bawahnya (KR, 3 Desember 2013). Beberapa keuntungan dari PPDB RTO bagi dinas dan sekolah antara lain:mengurangi resiko KKN, efisien, memberikan akses luas bagi masyarakat, sinergitas data dinas dengan sekolah, tersedia basis data, meningkatkan reputasi sekolah, dan meningkatkan SDM dalam penguasaan IT.

Sementara itu berdasarkan studi dokumen, Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Bp. EHS (KR, 23 Mei 2013) menambahkan bahwa instansinya sudah cukup ketat dalam menindak perkelahian pelajar. Melalui Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 41/2011 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Sekolah, pelajar yang terbukti berkelahi (terlibat tawuran) mendapat poin 100. Padahal jika poin siswa sudah mencapai 100 atau lebih, maka sanksinya dikeluarkan dari sekolah (dikembalikan kepada orang tua). Meskipun banyak siswa yang telah dikeluarkan, ternyata perkelahian pelajar masih juga terjadi. Selain itu, pihak sekolah hanya memiliki wewenang melakukan pembinaan saat jam

124 pelajaran. Sementara perkelahian justru seringkali terjadi di luar jam pelajaran. Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta mendukung upaya kepolisian untuk memasukkan pada tindakan kriminal dan memproses secara hukum.

Di lain pihak, Dinas Ketertiban juga mulai rutin menggelar operasi senjata tajam para pelajar. Meski sudah menjaring beberapa orang dan melakukan pembinaan, angka kekerasan belum bisa dibendung. Sementara itu Ketua Komisi A DPRD Kota Yogyakarta Chang Wendryanto mendukung penuh program bersama antara Pemkot dan Polresta Yogyakarta. Instansi-instansi tersebut akan menindaklanjuti dengan merumuskan berbagai opsi program yang bisa dilakukan untuk penanggulan bersama (KR, 23 Mei 2013).

Berdasarkan studi dokumen, dapat dideskripsikan bahwa Pemerintah Kota dan Polresta Yogyakarta membuat kesepakatan untuk melaksanakan program bersama dalam menanggulangi tindakan perkelahian pelajar. Meskipun masing-masing instansi telah memiliki program rutin, namun ternyata masih belum mampu meredam aksi anarkis pelajar tersebut.

Jika kejadian di luar jam sekolah, mestinya menjadi tanggung jawab orang tua. Sekolah dan Dinas Pendidikan hanya menjangkau aktivitas pelajar pada jam sekolah. Sedangkan jika tindak kenakalan pelajar telah melampuai, bahkan dapat dikategorikan sebagai tindak kriminalitas, mestinya langsung ditangani oleh kepolisian.

Terkait dengan Kebijakan Penyelenggaraan Event Olah Raga, Dinas Pendidikan membuat surat edaran ke sekolah. Surat edaran tersebut berisi: jika sekolah akan menyelenggarakan event olah raga, maka harus memberi tahu Dinas Pendidikan. Dengan demikian, dinas pendidikan dapat mengawal mulai proses persiapan hingga pelaksanaannya. Pada setiap technical meeting, Dinas Pendidikan terlibat dan menyarankan kepada panitia supaya mempertimbangkan sejumlah aspek, seperti peta peserta dari sekolah mana saja, berapa perkiraan jumlah supporternya, bagaimana penempatan supporter dalam stadion, dan bagaimana konsep pengamanannya. Jika Dinas Pendidikan diberitahu, maka akan berkoordinasi dengan pihak Kepolisian dan Dinas Ketertiban untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Keterlibatan Dan Peran Lembaga Kepolisian terkait dengan tugas utama POLRI yaitu memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Keamanan dalam negeri,

125 khususnya dalam suatu daerah merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan sejahterah. Olehnya itu, Daerah Istimewa Yogyakarta juga sangat membutuhkan peran aktif kepolisian dalam menangani kasus kekerasan pemuda.

Kekerasan pemuda, dalam hal ini tawuran antar pelajar merupakan suatu kejadian yang sudah tidak asing lagi di mata kepolisian. Kejadian seperti ini menjadi musuh bersama di kalangan aparat kepolisian dan masyarakat sekitar. Biasanya Kepolisian bekerjasama dengan pihak sekolah, dinas pendidikan, orangtua/wali murid, serta masyarakat untuk bersama-sama mengontrol, membuat kebijakan agar kekerasan pelajar dapat dikurangi atau kalau bisa dihentikan. Namun ternyata, hal ini masih sulit dihentikan, bukan sekedar hanya membalikkan telapak tangan saja. Karena biasanya tawuran antar pelajar ini masih bisa dikatakan menjadi trend anak-anak muda, khususnya para pelajar dan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi mereka yang terlibat.

Sara kerja polisi DIY menyikapi hal ini dalam mengurangi kekerasan antar pelajar yaitu dengan aktif melakukan patroli di setiap unit kapolsek, biasanya lebih intens di hari Jumat dan Sabtu, karena hari tersebut disinyalir sebagai hari yang rawan konflik antar sekolah. Kemudian, dengan mengadakan sosialisasi bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan pihak sekolah untuk mengundang siswa-siswa yang melakukan tindak kekerasan. Pada kesempatan itu, pihak kepolisian mensosialisasikan tentang bahaya melakukan kekerasan bahkan membawa senjata tajam (Satjam) karena dapat dikenai hukuman dan Pasal-pasal terkait tindak pidana hukum, bahkan bisa di penjara jika siswa yang bersangkutan terbukti bersalah.Alhasil, dari kegiatan sosialisasi tersebut dapat mengurangi siswa-siswa yang terlibat dalam tindak kekerasan antar pelajar. Dengan adanya sosialisasi tersebut siswa- siswa jadi mengerti dan paham dengan akibat yang dilakukan jika mereka terlibat dalam tawuran, membawa satjam, dan tindakan kriminal lainnya.

Seorang pelajar idealnya adalah aset suatu negara dan daerah untuk mendapatkan cikal bakal yang berkualitas, baik dari segi intelektual maupun moral. Namun ironisnya, yang menjadi kegalauan pihak kepolisian yaitu terkadang jika mereka berhasil menangkap pelajar yang terlibat dalam tawuran maupun melakukan tindak kriminal seperti merusak fasilitas sekolah, melukai pelajar lainnya (baik luka ringan, luka berat, bahkan meninggal dunia) adalah hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada anak di usia dini yang

126 sebenarnya masih menjadi tanggungan orangtua. Buktinya, memang sudah ada kasus yang sudah di bawa perkaranya ke pengadilan, jika memang siswa tersebut terlibat dalam perkelahian antar pelajar, membawa senjata tajam, maka Polisi tidak segan-segan akan memasukkan ke dalam penjara.

127 BAB IV

REPRODUKSI KEKERASAN PELAJAR

Sebagaimana dalam kenyataannya, kekerasan tidak dilakukan oleh semua pelajar, melainkan hanya dilakukan dan diakrabi oleh sebagian pelajar. Pelajar yang dapat ditengarai berpotensi melakukan kekerasan pelajar ini biasanya adalah pelajar yang memiliki riwayat pernah tidak naik kelas, kemudian dipindahkan ke sekolah lain yang justru beresiko. Sekolah beresiko yang dimaksud, biasanya memiliki jumlah siswa yang sangat besar, dan bersedia menerima siswa pindahan dari sekolah lain.

Kekerasan pelajar terjadi antara lain karena adanya persaingan antar sekolah (school competitiveness), khususnya persaingan supporter olahraga (basket, sepakbola, futsal) dari masing-masing sekolah, maupun persaingan antar geng sekolah. Dalam kasus yang merupakan kejadian besar, pernah juga melibatkan pelajar Yogyakarta yang berasal dari luar daerah, karena kedapatan menggunakan senjata tradisional berupa paser (panah). Kejadian yang pernah terjadi adalah tawuran pelajar terjadi di sebelah utara Galeria Mall. Pelakunya siswa dari SMA Bopri 2 Yogyakarta, yang merupakan pindahan dari SMA 11 Yogyakarta. Korbannya berasal dari SMA Gama. Sedangkan kejadian yang belum lama terjadi adalah pelemparan bom molotov ke salah satu SMKN di Kota Yogyakarta. Pelakunya adalah siswa SMP yang sebelumnya nongkrong di sekitar Pakualaman.

Dokumen terkait