• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEOR

C. Kekerasan Dalam Pacaran 1 Pacaran

2. Kekerasan Dalam Pacaran

a. Pengertian kekerasan

Untuk mendefinisikan konsep kekerasan, Poerwandari (2004) menggunakan dua penekanan, yaitu pada sisi intensi dan sisi akibat. Dari sisi intensi, kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang secara sengaja dilakukan untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, dan menghancurkan melalui cara-cara fisik, psikologis, deprivasi, ataupun gabungan-gabungannya dalam bermacam- macam bentuk. Dari sisi akibat, kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang tidak disengaja, bukan intensional, tetapi didasarkan oleh ketidaktahuan, kekurang pedulian, atau alasan-alasan lain yang menyebabkan subjek secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dominasi, dan perendahan manusia lain.

Menurut WHO, kekerasan (violence) merupakan penggunaan kekuatan atau kekuasaan, ancaman atau berupa tindakan langsung, secara sengaja pada seseorang atau sekelompok orang yang dapat menyebabkan atau memungkinkan timbulnya luka, kematian, luka emosional, dan pertumbuhan yang terhambat (Krug et.al, 2002). Dari definisi tersebut, terlihat bahwa kekerasan lebih ditekankan pada sisi intensi.

Dari kedua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku atau ancaman, baik disengaja atau tidak, yang merugikan pihak lain, baik dari segi fisik maupun emosional.

b. Pengertian Kekerasan Dalam Pacaran 1) Pengertian Umum KDP

WHO dalam Krug et.al (2002) membagi kekerasan menjadi 3 kategori, yaitu kekerasan terhadap diri sendiri (self-directed violence), kekerasan kolektif (collective violence), dan kekerasan interpersonal (interpersonal violence). Dari ketiga kategori tersebut, kekerasan dalam pacaran (KDP) termasuk dalam kategori kekerasan interpersonal.

Secara umum, kekerasan dalam pacaran dilihat sebagai sebuah pola dalam penggunaan kekuasaan dan kontrol yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya (Bernstein, et.al., 2004). Menurut Wolfe, et.al (dalam Fredland, et.al, 2005) kekerasan dalam pacaran merupakan usaha untuk mengontrol atau mendominasi pasangan secara fisik, seksual, ataupun psikologis yang dapat mengakibatkan luka. Sedangkan menurut Riffka Annisa WCC (2006), kekerasan dalam pacaran diartikan sebagai segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan di luar hubungan pernikahan yang sah (berdasar UU Perkawinan 1/1974, pasal 2 ayat 2), termasuk kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami dan mantan pacar/ pasangan.

Kekerasan dalam pacaran dapat terjadi pada siapa saja. Usia, jenis kelamin, suku, agama, tingkat pendidikan, atau latar belakang ekonomi tidak membatasi seseorang untuk menjadi korban atau pelaku kekerasan. Selain itu, kekerasan dalam pacaran juga tidak terbatas pada pasangan heteroseksual, namun juga dapat terjadi pada pasangan dengan jenis kelamin yang sama (Alfonso & Madera, 2004; Bernstein, et.al., 2000).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu jenis kekerasan interpersonal yang berupa penggunaan kekuasaan dan kekuatan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya di luar hubungan pernikahan yang sah tanpa memandang jenis kelamin dan latar belakang pelaku dan/atau korban.

2) Perbandingan KDP dengan Konsep Lain yang Sejenis

Terdapat konsep lain yang sejenis dengan konsep kekerasan dalam pacaran. Konsep tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga serta bullying.

Konsep kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut Undang- Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga didefinisikan sebagai:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1, ayat 1)”.

Dari definisi tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara konsep KDRT dengan KDP. Persamaan yang nampak terutama dari sisi bentuk-bentuk kekerasan, yaitu mencakup kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran. Di sisi lain, perbedaannya nampak dalam sisi ruang lingkup. Suatu kekerasan disebut dengan KDRT ketika kekerasan tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga, sedangkan disebut KDP ketika terjadi di luar hubungan pernikahan yang sah.

Selain KDRT, konsep lain yang sejenis dengan kekerasan dalam pacaran adalah bullying. Bullying dapat didefinisikan sebagai perilaku agresif tipe proaktif yang didalamnya terdapat aspek kesengajaan untuk mendominasi, menyakiti, atau menyingkirkan, adanya ketidakseimbangan kekuatan, serta dilakukan secara berulang oleh satu atau beberapa anak terhadap anak yang lain (Olweus, 1993; Sheras & Tippins, 2002; Gini, 2004, Pereira dkk., 2004; Veenstra dkk., 2005; Bauman & Del Rio, 2006). Menurut Olweus (1993), bullying memiliki tiga bentuk, yaitu:

Bullying yang dilakukan secara langsung (bisa berbentuk bullying fisik maupun verbal)

Bullying yang dilakukan secara tidak langsung (bullying psikologis)

Fenomena bullying dapat terjadi di mana saja, namun paling sering terjadi di lingkungan sekolah sehingga istilah bullying identik dengan kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan.

Jika dibandingkan dengan konsep kekerasan dalam pacaran, terlihat bahwa konsep bullying dan kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan suatu himpunan bagian. Konsep bullying merupakan konsep yang luas, dimana di dalamnya dapat mencakup kekerasan dalam pacaran (serta KDRT). Hanya saja, kekerasan dalam pacaran membahas secara lebih spesifik fenomena kekerasan yang terjadi dalam konteks hubungan romantik di luar pernikahan sedangkan istilah bullying sendiri lebih sering digunakan untuk menyebut kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan.

c. Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran

Menurut WHO, kekerasan interpersonal dapat meliputi bentuk- bentuk kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan deprivatif atau penelantaran. Namun secara khusus, bentuk-bentuk kekerasan yang biasa muncul dalam hubungan pacaran adalah kekerasan fisik, emosional, dan seksual (Black et.al, 2006).

1) Kekerasan Fisik

Ketika memikirkan konsep kekerasan, kebanyakan orang langsung mengacu pada kekerasan fisik. Padahal dalam kenyataannya, kekerasan fisik merupakan tingkat terakhir dari

kekerasan dalam pacaran. Ketika terjadi kekerasan fisik, dalam kebanyakan kasus, telah terdapat sejarah panjang kekerasan emosional dan seringkali kekerasan seksual (Murray, 2006).

Sejauh ini tidak ada penjelasan yang menerangkan secara implisit definisi kekerasan fisik. Biasanya untuk menjelaskan tentang kekerasan fisik, para ahli menggunakan contoh-contoh perilaku yang termasuk dalam kekerasan fisik. Contoh-contoh perilaku tersebut adalah menampar, memukul, mendorong, menjambak, menyakiti dengan senjata, dan lain-lain (James, West, Deters, & Armijo, 2000; Poerwandari, 2004). Dari contoh perilaku tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan fisik merupakan segala bentuk kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik dan menyebabkan sakit secara fisik.

2) Kekerasan Psikologis

Kekerasan psikologis atau kekerasan emosional merupakan kekerasan tingkat pertama dan merupakan jalan menuju kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual (Murray, 2006). Contoh perilaku yang termasuk dalam kekerasan psikologis adalah penyerangan harga diri, membuat korban merasa cemburu, posesif yang berlebihan, melukai perasaan korban, membuat malu korban di depan umum, menyalahkan korban atas tindakan agresif yang dilakukan pelaku, dan lain-lain (James, West, Deters, & Armijo,

2000). Menurut Poerwandari (2004), kekerasan jenis ini tidak hanya diekspresikan melalui ungkapan verbal (kekerasan verbal), tapi dapat pula dalam bentuk pengekangan, diskriminasi, dan penjauhan pemenuhan kebutuhan dasar (deprivasi).

3) Kekerasan Seksual

Merupakan bentuk kekerasan yang terjadi ketika seseorang memaksa pasangannya untuk melakukan aktifitas seksual di luar keinginannya (Jejeebhoy & Bott, 2003). Aktifitas seksual di luar keinginan yang dimaksud misalnya memaksa mencium, memaksa memeluk, memaksa pasangan melakukan hubungan badan, ataupun bentuk pemaksaan lain yang berkaitan dengan perilaku seksual.

d. Penyebab Kekerasan Dalam pacaran 1) Perspektif Feminis

Menurut perspektif teori feminis, kekerasan terjadi karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara laki-laki dan perempuan serta adanya pertarungan kepentingan (Poerwandari, 2004). Dalam lingkungan yang bersifat patriarki, dominasi kaum laki-laki merupakan sesuatu yang wajar dan kekerasan adalah hal yang diterima dan digunakan sebagai alat untuk mengontrol perempuan. Laki-laki belajar sejak kecil bahwa kekerasan terhadap

perempuan merupakan hal yang normal (O’Kefee & Treister, 1998.).

2) Perspektif Belajar Sosial

Psikologi menekankan pada internalisasi nilai dan pemahaman internal dalam menjelaskan kekerasan, yang menyebabkan pelaku terus melakukan kekerasan dan korban tetap tinggal dalam posisinya sebagai korban (Poerwandari, 2004). Internalisasi nilai dan pemahaman internal tersebut dapat dijelaskan melalui teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura.

Dalam teori belajar sosial, individu belajar mengenai suatu hal dengan cara mengamati tingkah laku orang lain (Cloninger, 2004; Pervin, Cervone, & John, 2005). Anak-anak belajar tentang nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan dasar dengan cara mengobservasi nilai-nilai dan perilaku significant others-nya (Gazzaniga & Heatherton, 2003). Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya juga merupakan hasil dari perilaku yang dipelajari.

e. Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Menanggapi KDP

Masa remaja merupakan periode gender intensification, yaitu peride ketika terjadi peningkatan kepercayaan terhadap gender role

stereotype (Berk, 2007). Gender role stereotype atau stereotip peran gender sendiri oleh Lefton (2000) didefinisikan sebagai kepercayaan- kepercayaan tentang perilaku mana yang tepat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Stereotip peran gender ini sangat dipengaruhi oleh kondisi budaya setempat. Selain itu, stereotip peran gender ini nantinya akan menetukan sikap dan perilaku individu (Lips, 1988).

Peningkatan kepercayaan terhadap stereotip peran gender pada awal masa remaja sangat berkaitan dengan perubahan-perubahan biologis, sosial, dan kognitif yang terjadi remaja. Pertama, penampilan fisik yang berubah pada awal masa remaja karena efek pubertas membuat remaja lebih terpusat pada penampilan fisik mereka dan berusaha membuat penampilan mereka sesuai dengan beban gender yang disandangnya. Selain itu, dorongan dari orangtua juga semakin besar dalam mengarahkan remaja untuk berperilaku sesuai peran gender yang dimilikinya. Ketika remaja mulai berpacaran, kecenderungan untuk berperilaku sesuai dengan peran gendernya lebih meningkat. Hal tersebut dilakukan remaja dalam usaha untuk meningkatkan daya tarik mereka. Terakhir, perubahan kognitif yang terjadi pada awal masa remaja, yaitu remaja mulai lebih peka terhadap pikiran dan pendapat orang lain, membuat remaja lebih responsif terhadap pengharapan- pengharapan akan peran gender yang harus disandangnya (Berk, 2007).

Peningkatan kepercayaan terhadap stereotip peran gender ini membuat remaja memiliki tujuan yang berbeda dalam menjalin

hubungan sosial. Pada remaja putri, keintiman dan pengasuhan atau pemeliharaan menjadi tujuan yang utama, sedangkan pada remaja putra, dominasi dan kepemimpinanlah yang terutama (Jarvinen & Nicholls dalam Baron, 1998). Perbedaan tujuan ini tentunya akan berdampak pada respon pikiran dan perilaku yang ditampilkan remaja.

Perbedaan respon tersebut salah satunya tampak dari hasil penelitian O’Keefe (1997) yang menyebutkan bahwa selain sebagai ekspresi kemarahan, alasan remaja putra dalam melakukan kekerasan dalam pacaran adalahkeinginan untuk mengontrol pasangan, sedangkan pada remaja putri sebagai upaya pertahanan diri. Selain itu, Cowan & Quinton (dalam Mahlstedt & Welsh, 2005) mengungkap tentang perbedaan laki-laki dan perempuan dalam menganalisis fenomena perkosaan. Bagi laki-laki, mereka cenderung menyalahkan perempuan atas kasus perkosaan yang dialaminya (victim blaming), sedang bagi perempuan, perkosaan terjadi lebih disebabkan karena rasa permusuhan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan demikian, jelaslah bahwa stereotip peran gender yang berkembang di masyarakat membuat individu dengan jenis kelamin yang berbeda menampilkan pikiran dan perilaku yang berbeda dalam menghadapi suatu masalah. Berdasar pada hal-hal tersebut, maka ada kemungkinan remaja laki-laki dan perempuan juga akan menampilkan respon yang berbeda dalam menanggapi fenomena kekerasan dalam pacaran.

Dokumen terkait