• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Kelembagaan Agroindustri

Kelembagaan dipandang penting mengingat kelembagaan inilah yang mendasari keputusan untuk produksi, investasi dan kegiatan ekonomi lainnya, yang dibuat oleh individu atau sebuah organisasi dalam konteks sosial atau interaksi dengan pihak lain. Perubahan dalam kelembagaan akan mengubah gugus oportunitas yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi sehingga keragaan ekonomi, seperti produksi, kesempatan kerja, kemiskinan, kerusakan lingkungan, distribusi pendapatan dan lain-lain menuntut adanya perubahan dalam kelembagaan (Pakpahan, 1991).

Menurut Mubyarto (1989), yang dimaksud dengan lembaga adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Lembaga- lembaga dalam masyarakat desa ada yang bersifat asli berasal dari adat kebiasaan yang turun temurun, tetapi juga ada yang baru diciptakan, baik dari dalam maupun dari luar masyarakat desa tersebut. Adapun pengertian lain dari kelembagaan yaitu merupakan seperangkat aturan tingkah laku yang mengatur pola hubungan dan pola tindakan. Kelembagaan sangat penting dalam pembangunan nasional karena mempunyai konstribusi yang besar dalam memecahkan masalah aktual yang dihadapi oleh masyarakat. Konstribusinya dalam proses pembangunan adalah

mengkoordinasikan para pemilik input dalam rangka menghasilkan output serta mendistribusikan output tersebut.

Hayami dan Kikuchi (1987) mendefinisikan lembaga (pranata) sebagai aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sanksi oleh para anggota komunitas. Aturan-aturan tersebut memudahkan koordinasi dan kerjasama di antara penduduk dalam pemakaian sumber-sumber daya, dengan membantu mereka membentuk harapan-harapan yang dimiliki setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain. Menciptakan, memelihara dan mengubah pranata ini memerlukan kolektif yang berarti memerlukan biaya untuk perundingan dan pelaksanaan. Tindakan untuk perubahan kelembagaan tidak akan tersusun kecuali jika keuntungan dari perubahan itu melebihi biayanya.

Sementara itu, penyediaan sumberdaya, teknologi, dan permintaan pasar pun menghendaki perubahan. Pranata-pranata yang efisien sifatnya ketika diciptakan, mungkin menjadi kurang efisien dalam memudahkan alokasi sumberdaya. Ketidakseimbangan yang tumbuh akan menimbulkan kesempatan- kesempatan memperoleh keuntungan yang cukup besar guna menyusun tindakan kolektif bagi perubahan kelembagaan.

Sedangkan Ruttan (1984) mendefinisikan lembaga sebagai aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan, seperti keluarga, perusahaan dan kantor, yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumberdaya.

Yustika (2006) menyatakan bahwa kelembagaan tidak statis, namun dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan. Sifat dinamis dari kelembagaan juga disebabkan oleh berubahnya nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa. Dengan begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan dan kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan konfigurasi antarpelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change). Dalam pendekatan ini, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan (kepentingan/konfigurasi) pelaku ekonomi. Kedua,perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat di dalamnya). Dari dua

spektrum tersebut, dapat diyakini bahwa perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri.

Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan berbagai prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada, waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang kompleks. Perbedaan itu dapat berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi (Yustika, 2006).

Manig (1992), seperti diacu dalam Yustika (2006), menyatakan adanya perubahan kelembagaan mendorong kepada perubahan kondisi-kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor-faktor eksternal (proses umpan balik permanen). Dengan demikian, perubahan kelembagaan merupakan proses transformasi permanen yang merupakan bagian pembangunan. Oleh karena itu, tujuan utama dari setiap perubahan kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar daripada perbaikan pemanfaatan sumber daya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru (misalnya keadilan sosial).

Ragam kelembagaan yang berkembang cukup banyak namun dalam bidang agroindustri yang berkembang di masyarakat petani adalah koperasi, kemitraan, contract farming, dan partisipasi. Koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat sudah lama dikenal di Indonesia. Koperasi adalah salah satu badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak, kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan para anggotanya (Kartasapoetra, 1993). Menurut UU N0.25 tahun 1992 tentang koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang, atau badan-badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Kelembagaan kedua yang diterapkan di kalangan petani adalah kemitraan. Kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang menganut asas kesetaraan sebagai konsekuensi logis dari kondisi alamiah bahwa manusia mengakui adanya keterbatasan dan saling ketergantungan. Petani bermitra dengan petani-petani lainnya dalam Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian KUD ini bermitra dengan perusahaan besar. Para petani bermitra antar sesama petani untuk mendapatkan skala ekonomi dari komoditi yang dihasilkannya sehingga dapat layak untuk diproses lebih lanjut (agroindustri) atau dijual kepada konsumen. Petani yang bergabung dengan KUD mempunyai potensi lahan, tenaga kerja dan fasilitas kredit dari pemerintah tetapi lemah dalam manajemen, teknologi dan akses pasar. Karena itu perlu bermitra dengan perusahaan besar yang memiliki kemampuan manajemen, modal, teknologi dan akses pasar tetapoii tidak memiliki tenaga kerja dan lahan (terbatas). Kemitraan tersebut akan meningkatkan efisiensi secara bersama secara keseluruhan, sehingga akan memberikan keuntungan yang lebih tinggi pada petani dan perusahaan inti. Pembentukan kemitraan memiliki kelebihan karena lebih mudah dibentuk, lebih luwes diimplementasikan, tidak memerlukan dana yang besar, beriko kecil, serta menimbulkan beberapa efek ganda yang cukup berarti bagi perusahaan (Wahyudi, 1997).

Salah satu persoalan besar dari koperasi tradisional (KUD-KUD) yang dibentuk oleh pemerintah ini adalah bahwa para anggotanya tidak pernah mempunyai suatu saham finansial yang cukup besar dalam koperasi. Karena koperasi seperti KUD merupakan bentukan organisasi yang umumnya dibiayai oleh pemerintah. Kebanyakan koperasi-koperasi menderita berbagai persoalan organisasi dan kekurangan (lack of governance), atau tidak mempunyai hak-hak yang ditegaskan secara jelas (property rights assignments), sehingga menghasilkan perilaku-perilaku para anggotany yang mengarah opportunistik, seperti kecenderungan mau untung sendiri (free riding), kerusakan moral (moral hazard), persoalan agensi (agency problems), ketidakefisienan birokrasi (bureaucratic inefficiencies) dan kekurangan investasi dalam kegiatan ekonomi koperasi yang bersangkutan. Sebagai akibatnya, citra koperasi tradisional (KUD) yang dibentuk pemerintah tersebut menjadi buruk dan jumlahnya menyusut dalam waktu akhir-akhir ini (Rustiadi dan Pranoto, 2007).

Kelembagaan ketiga yang diterapkan di kalangan petani adalah contract farming, yaitu bentuk organisasi produksi yang menggabungkan secara vertikal kegiatan petani kecil dengan perusahaan besar agroindustri. Penggabungan petani kecil dengan perusahaan besar tersebut dikenal dengan berbagai istilah seperti Inti Satelit, Usaha Tani Kontrak (contract farming) atau Outgrower System (Glover, 1984). Contract Farming didefinisikan sebagai suatu cara mengorganisasikan produksi pertanian, dimana petani-petani kecil atau outgrower dikontrak oleh suatu badan pusat untuk memasok hasil pertanian sesuai persyaratan yang tercantum dalam kontrak perjanjian. Badan pusat yang merupakan pembeli hasil produksi petani dapat memberikan bimbingan teknis, kredit dan masukan-masukan lainnya.

Model kontrak produksi seperti contract farming tersebut juga dikenal sebagai model inti satelit dimana badan pusat sebagai inti membeli hasil pertanian dari petani satelit yang dikontrak tersebut. Dalam uraian khusus yang dipromosikan oleh The Commonwealth Development Corporation (CDC), inti merupakan sebuah nucleous estate, yaitu suatu wilayah kecil beserta unit pengolahan dan kepadanya sejumlah petani dikontrak untuk memasok hasil pertanian (Kirk, 1987).

Kelembagaan lainnya di kalangan petani adalah partisipasi, yaitu sebagai suatu keikutsertaan masyarakat secara aktif di dalam mencapai suatu tujuan. Pengalaman praktek dalam pemberdayaan sumberdaya menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat partisipatif merupakan pilihan yang cermat untuk memberdayakan masyarakat. Di dalam partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan terjadi secara sukarela dan atas kemauan sendiri, dan sifat kesukarelaan tersebut menjadi ciri dari partisipasi. Partisipasi tidak dapat dipaksakan tetapi harus tumbuh dari kesadaran dan kemauan sendiri.

Kurnia (1997), menyatakan bahwa secara umum kelembagaan yang ada di tingkat petani masih berfungsi sebagai lembaga kerjasama dalam melaksanakan kegiatan produksi. Sedangkan tahapan pasca produksi, yaitu pemasaran, pada umumnya belum tersentuh. Pentingnya kesatuan dalam membentuk kelompok pemasaran ini berkaitan pula dengan upaya meningkatkan bargaining position petani terhadap kekuatan lain. Ada kecenderungan bahwa sulitnya petani diikat dalam kegiatan kelompok yang bergerak di dalam bidang pemasaran ini, karena

acapkali mereka dihadapkan kepada kebutuhan yang mendesak. Untuk itu, salah satu prasyarat agar petani bias juga bergabung di dalam kelompok pemasaran (bukan hanya dalam kegiatan produksi), adalah harus adanya dukungan lembaga keuangan. Perlu dipikirkan adanya federasi kelompok tani dalam suatu wilayah administrasi tertentu, yang berfungsi memperjuangkan kepentingan-kepentingan petani dengan pihak luar dan mengatur kesepakatan-kesepakatan di antara para petani dalam menentukan jenis usaha yang akan dipilihnya.

Pemberdayaan masyarakat dalam wadah koperasi, khususnya untuk sentra pengembangan agribisnis dan agroindustri dapat dicapai dengan dua tahap. Tahap pertama adalah kerjasama sesama petani melalui koperasi, dan tahap kedua setelah koperasi terbentuk dengan mantap adalah kerjasama kemitraan antara koperasi dengan perusahaan pembimbing. Dalam kelembagaan tersebut intervensi dari pemerintah daerah diperlukan sebagai konsultan dalam membentuk dan menjalankan kemitraan sejajar, yang dapat berperan dalam rekayasa iklim usaha yang kondusif, rekayasa dana dan rekayasa ekonomisasi teknologi tepat sasaran (Maarif, 2000).

Menurut Didu (2000), pengembangan kelembagaan agroindustri harus mengindahkan aturan dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Karena itu diperlukan kajian tentang faktor sosial budaya dan ekosistem dalam pembentukan kelembagaan, agar kelembagaan tersebut mampu menciptakan sumber kehidupan alternatif bagi masyarakat, harapan hidup yang lebih banyak dan lebih baik, rasa keadilan dalam masyarakat dan memberikan jaminan tentang kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pengertian organisasi sering bercampur aduk dengan pengertian kelembagaan. Organisasi berarti adanya hirarki untuk membuat pengambilan keputusan dan didalamnya terdapat unsur kelembagaan. Sedangkan kelembagaan adalah aturan main untuk mengatur prilaku manusia atau organisasi secara individual sehingga kelembagaan membatasi prilaku individu. Oleh karena itu kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan main atau rule of the game, the player of the game dan equilibrium rule of the game (Anwar, 2003).

Bottomore (1975) dalam Saptana et al, (2001) mendefinisikan kelembagaan sebagai a complex or cluster of roles yang menyebutkan bahwa

konsep peranan (role) merupakan komponen utama kelembagaan. Sedikitnya terdapat lima sistem kelembagaan yaitu : sistem komunikasi, sistem ekonomi, sistem kesepakatan, sistem otoritas dan pembagian kekuasaan serta sistem ritual untuk mempertahankan ikatan-ikatan sosial (social cohession) yang ada. Definisi tersebut jelas menekankan pada pentingnya fungsi dan peranan kelembagaan dalam mewarnai tata kehidupan masyarakat.

Menurut North (1991) kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut masyarakat atau anggota yang dijadikan pedoman oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam melakukan interaksi. Peran utama kelembagaan dalam masyarakat adalah mengurangi ketidakpastian (uncertainty) dengan menciptakan struktur yang seimbang dalam interaksi manusia (namun tidak otomatis efisien). Rachman (1999) menambahkan bahwa kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atau sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial, yaitu penguasaan, pemanfaatan, dan transfer teknologi. Keragaan yang merupakan dampak dari bekerjanya suatu institusi sangat tergantung pada bagaimana institusi mengatur hal-hal tersebut.

Dokumen terkait