• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan

4.2.2. Kelompok Umur

Umur ikan bisa diduga melalui distribusi frekuensi panjang dalam analisis kelompok umur karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu distribusi normal. Berdasarkan metode Bhattacarya dengan menggunakan program NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool), menggambarkan jumlah kohort dari sebaran frekuensi panjang yang ada (Gambar 12).

Terdapat dua modus sebaran frekuensi panjang pada pengambilan contoh pendahuluan sampai dengan pengambilan contoh kelima, namun pada pengambilan contoh keenam hanya ditemukan satu modus saja. Pada modus pertama, pergeseran pertama dimulai dari sebaran panjang pada tanggal 27 Januari dan 6 Februari sebesar 5.54 mm. Laju pertumbuhan terbesar terjadi pada 6 Februari 2010 dan 16 Februri 2010 dimana terjadi pertumbuhan sebesar 7.57 mm selama 10 harinya, sedangkan laju pertumbuhan terkecil terjadi pada 16 Februari 2010 sampai 26 Februari 2010 sebesar 0.52 mm per sepuluh hari. Pada modus kedua laju pertumbuhan terbesar terjadi pada 26 Februari 2010 dan 8 Maret 2010 dimana terjadi pertumbuhan panjang yang terjadi sebesar 4.64 mm selama 10 harinya, sedangkan laju pertumbuhan terkecil terjadi pada 16 Februari 2010 sampai 26 Februari 2010 sebesar 1.83 mm per sepuluh hari. Pergeseran modus kelas panjang setiap pengambilan contohnya kearah kanan menunjukkan adanya pertumbuhan ikan tembang di Teluk Jakarta. Dalam memisahkan kelompok ukuran ikan dengan menggunakan metode Bhattacharya sangat penting untuk memperhatikan nilai indeks separasi yang diperoleh (Tabel 3).

Gambar 12. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tembang

Berdasarkan Tabel 3 di atas, nilai indeks separasi dari hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan tembang berkisar antara 2.96 sampai 5.59. Hal

(n = 56) (n = 87) (n = 56) 27 Januari 2010 6 Februari 2010 16 Februari 2010 (n = 68) (n = 64) (n = 79) (n = 50) 26 Februari 2010 8 Maret 2010 18 Maret 2010 28 Maret 2010

ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok ukuran ikan tembang dapat di terima dan digunakan untuk analisis selanjutnya. Menurut Hasselblad (1966), McNew & Summerfelt (1987) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) indeks separasi merupakan kualitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan, bila indeks separasi kurang dari dua (I<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahaan diantara dua kelompok ukuran, karena terjadi tumpang tindih yang besar antar dua kelompok ukuran tersebut.

4.2.3. Parameter pertumbuhan

Panjang total maksimum ikan tembang yang tertangkap di perairan Teluk Jakarta dan di daratkan di TPI Muara Angke adalah 238 mm. Panjang ini lebih kecil dari panjang asimtotik (infinitif) ikan tembang. Analisis mengenai parameter pertumbuhan ikan tembang (Sardinella maderensis, Sardinella fimbriata, Sardinella gibbosa) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan nilai parameter pertumbuhan ikan tembang

Spesies Daerah Penangkapan K

(per tahun) L(mm)

Sardinella maderensis Teluk Jakarta (Chaira 2010) 0.92 247.28

Sardinella fimbriata Teluk Palabuhanratu (Syakila 2009) 1.48 170.23

Sardinella gibbosa Teluk Palabuhanratu (Hari 2010) 1.10 203.18

Dari penelitain yang pernah dilakukan pada S. fimbriata dan S. gibbosa di Teluk Palabuhanratu, diperoleh nilai L yang lebih besar pada S. gibbosa. Perbedaan nilai yang diperoleh disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dapat berpengaruh adalah keturunan (faktor genetik), parasit dan penyakit sedangkan faktor eksternal dapat berpengaruh adalah suhu dan ketersediaan makanan (Effendi 2002). Nilai K yang berbeda mengindikasikan perbedaan kondisi lingkungan, semakin besar nilai K menunjukkan tekanan penangkapan yang lebih kecil (Amir 2006). Oleh karena itu, perbedaan nilai K dan L ikan tembang (S. maderensis, S. fimbriata dan S. gibbosa)

Panjang maksimum ikan tembang yang tertangkap yaitu 238 mm. Kurva pertumbuhan ikan tembang diperairan Teluk Jakarta (Gambar 13) menunjukkan bahwa ikan yang berumur muda memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat daripada ikan dewasa. Panjang observasi maksimum ikan tembang mencapai 238 mm yaitu pada usia 18 bulan. Pertambahan laju pertumbuhan ikan tembang mulai berhenti pada saat iklan tembang berumur 36 bulan. Umumnya ikan tembang memiliki dua kelompok umur, dimana panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu distribusi normal, sehingga dapat disimpulkan bahwa umur ikan tembang yang tertangkap di perairan Teluk Jakarta tidak melebihi dua tahun.

Gambar 13. Kurva pertumbuhan ikan tembang

Parameter pertumbuhan ini memegang peran penting dalam pengkajian stok. Salah satu aplikasi yang paling sederhana adalah mengetahui panjang ikan dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dapat diketahui umur ikan tertentu. Dengan demikian penyusunan rencana perikanan lebih mudah dilakukan

4.2.4. Hubungan panjang dan bobot

Hubungan panjang dan bobot ikan adalah parameter yang dapat digunakan untuk menganalisis pola pertumbuhan ikan, dengan kata lain hubungan panjang-bobot digunakan untuk menduga panjang-bobot melalui panjang dan sebaliknya. Analisis

L∞ 247.28 0 50 100 150 200 250 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Panjang   (mm) Umur (bulan) Lt= 247.28 (1-e-0.92(t+0.4966))

hubungan panjang dan bobot menggunakan data panjang total dan bobot basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan individu ikan tembang di perairan Teluk Jakarta. Hubungan panjang bobot ikan tembang disajikan pada Gambar 14.

(a) (b)

Gambar 14. Hubungan panjang-bobot ikan tembang (Sardinella maderensis) di Teluk Jakarta

Dari hasil analisis regresi hubungan panjang bobot dalam bentuk logaritma, diperoleh persamaan hubungan panjang bobot ikan tembang adalah Log W = -5.7070 + 3.3470 Log L dengan kisaran nilai b sebesar 3.3120-3.3821 (allometrik positif). Dari persamaan tersebut dapat diketahui setiap penambahan satu satuan panjang akan menurunkan bobot ikan sebesar 5.7070 gram. Perbandingan pola pertumbuhan ikan tembang dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Perbandingan pola pertumbuhan ikan tembang (genus: Sardinella)

Spesies Daerah Penangkapan Periode

Pengambilan Contoh Pola Pertumbuhan

Sardinella maderensis

Teluk Jakarta

(Chaira 2010) Januari - Maret Allometrik Positif

Sardinella fimbriata Teluk Palabuhanratu

(Syakila 2009) Desember - Maret Isometrik

Sardinella gibbosa Labuan

(Hari 2010) Mei - Juli Isometrik Teluk Palabuhanratu

(Hari 2010) Mei - Juli Isometrik Blanakan

(Hari 2010) Mei - Juli Isometrik Log W = -5.71 + 3.3470Log L R² = 0.952 0 0.5 1 1.5 2 2.5 2.1 2.2 2.3 2.4 Log W Log L W = 0.000002L3.3470 R² = 0.952 0 50 100 150 200 0 100 200 300 Bobot (gram ) Panjang (mm)

Hubungan panjang bobot ikan tembang Sardinella fimbriata di Teluk Palabuhanratu (Syakila 2009) menunjukkan pola pertumbuhan isometik. Pola pertumbuhan isometrik juga terjadi pada Sardinella gibbosa di Labuan, Teluk Palabuhanratu, dan Blanakan (Hari 2010), sedangkan dari nilai b yang diperoleh dan setelah dilakukan uji t ( =0.05) ikan tembang (Sardinella maderensis) yang tertangkap di Teluk Jakarta menunjukkan tipe pertumbuhan allometrik positif, artinya laju pertumbuhan bobot lebih cepat dari pada laju pertumbuhan panjangnya (Effendie 2002). Nilai b yang berbeda pada suatu spesies dipengaruhi oleh tingkat perkembangan ontogenik seperti perbedaan spesies, umur, tingkat kematangan gonad, dan jenis kelamin, serta dipengaruhi juga oleh letak geografis, kondisi lingkungan seperti musim dan tingkat kepenuhan lambung.

4.2.5. Faktor kondisi

Kisaran faktor kondisi ikan tembang selama pengambilan contoh di Teluk Jakarta tidak terlalu besar (Tabel 5), namun faktor kondisi yang tejadi cukup fluktuatif. Nilai faktor kondisi tertinggi diperoleh pada pertengahan bulan Februari. Fluktuasi kondisi ikan tembang diduga lebih dipengaruhi oleh aktivitas pemijahan karena sebagian besar ikan yang tetangkap telah matang gonad. Saat ikan memiliki nilai faktor kondisi maksimal diduga sebagai periode pemijahan ikan tersebut (Hari 2010). Fluktuasi yang terjadi juga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya Effendie (1979) menyatakan faktor yang mempengaruhi fluktuasi adalah perbedaan umur, TKG, kondisi lingkungan,dan ketersediaan makanan.

4.2.6. Mortalitas dan laju eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) ikan tembang (S. maderensis) di Teluk Jakarta adalah 2.9896 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0.0376 per tahun. Menurut Pauly (1980) in Spare & Venema (1999), faktor yang mempengaruhi nilai mortalitas alami (M) adalah panjang maksimum (L) dan laju pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan. Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi besarnya nilai mortalitas alami. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga penurunan laju mortalitas alami saat ini disebabkan oleh menurunnya jumlah pemangsa ikan tembang

(seperti: ikan layur) pada saat penelitian yang dapat dilihat dari sedikitnya jumlah predator ikan tembang yang tertangkap dan didaratkan. Selain itu, kisaran suhu perairan juga mendukung untuk pertumbuhan tembang. Menurut Praseno & Kastoro (1980) secara umum suhu permukaan air di Teluk Jakarta berkisar antara 25.6 - 32.3°C merupakan suhu optimal bagi pertumbuhan ikan tropis. Analisis mortalitas dan laju eksploitasi pada genus yang sama (S. fimbriata dan S. gibbosa) di perairan Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Perbandingan hasil analisis mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang

Laju

Spesies

Sardinella maderensis Sardinella fimbriata Sardinella gibbosa

Teluk Jakarta (Chaira 2010) Teluk Palabuhanratu (Syakila 2009) Teluk Palabuhanratu (Hari 2010) Mortalitas Total (Z) 2.99 8.52 4.98 Mortalitas Alami (M) 0.04 1.14 2.15 Mortalitas Penagkapan (F) 2.95 7.37 2.83 Eksploitasi (E) 0.98 0.83 0.56

Laju mortalitas penangkapan S. maderensis 2.95 per tahun. Laju mortalitas penangkapan ini jauh lebih besar dibandingkan laju mortalitas alami yaitu 0.0376. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kematian ikan tembang lebih besar disebabkan oleh kegiatan penangkapan. Mortalitas alami di pengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, stress pemijahan, kelaparan, dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Oleh karena itu dapat diduga pula penurunan laju mortalitas alami disebabkan oleh menurunnya jumlah ikan yang tumbuh hingga berusia tua dan mengalami kematian secara alami akibat telah tertangkap lebih dulu karena tingginya aktifitas penangkapan. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga dapat menunjukkan dugaan terjadinya kondisi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Sparre & Venema 1999) karena ikan muda tidak sempat tumbuh akibat tertangkap sehingga tekanan penangkapan terhadap stok tersebut seharusnya dikurangi hingga mencapai kondisi optimum yaitu laju mortalitas tangkapan seimbang dengan laju mortalitas alami.

Laju eksploitasi S. maderensis di Teluk Jakarta sebesar 0.9874 atau sebesar 98.74%, sedangkan laju eksploitasi S. fimbriata dan S. gibbosa di Teluk Palabuhanratu masing-masing sebesar 0.83 dan 0.56, bila dibandingkan dengan laju

eksploitasi optimum yang dikemukakan oleh Gulland (1971) in Pauly (1984) yaitu sebesar 0.5 maka laju eksploitasi ikan tembang di Teluk Jakarta dan Teluk Palabuhanratu telah melebihi nilai optimum tersebut. Nilai ini juga menguatkan indikasi adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan tembang di perairan tersebut. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh tingkat eksploitasi. Semakin tinggi tingkat eksploitasi di suatu daerah, makin tinggi juga mortalitas penangkapannya.

4.2.7. Implikasi bagi pengelolaan sumberdaya ikan tembang di Teluk Jakarta

Dokumen terkait