BAB II LANDASAN TEORI
4. Kemampuan Mengelola Emosi
Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan individu
dalam menangani perasaan, agar terungkap dengan tepat atau selaras,
sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menurut
Aristoteles ia berpendapat bahwa:
“ Mengelola emosi adalah menyelaraskan antara perasaan
dan lingkungan. Apabila emosi terlampau ditekan, maka akan tercipta kebosanan dan jarak; bila emosi tak dikendalikan, terlampau ekstrem dan terus-menerus, emosi akan menjadi sumber penyakit, seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang meluap-luap.” (Goleman, 2006:77)
Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan seseorang
untuk mengendalikan emosi yang berlebih sehingga menjadi
seimbang. Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan untuk
menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau
ketersinggungan, mampu bangkit dengan cepat dari perasaan itu dan
akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan dasar. Tujuan
dari mengelola emosi adalah keseimbangan emosi bukan menekan
emosi, karena setiap emosi memiliki nilai dan makna.
Selain itu, indikator kemampuan mengelola emosi menurut
Yusuf & Juantika (2009:240) adalah kemampuan untuk bersikap
toleran terhadap frustasi, mampu mengendalikan marah secara lebih
baik, dapat mengendalikan prilaku agresif yang merusak diri sendiri
dan orang lain, memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri dan
orang lain, memiliki kemampuan untuk mengatasi stres, dan dapat
Menurut Goleman (1999:130-151), mengelola emosi meliputi
kemampuan untuk mengendalikan emosi diri, memiliki sifat dapat
dipercaya dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
1. Mengendalikan emosi diri, yaitu menjaga agar emosi dan penyebab
yang merusak tetap terkendali. Orang yang mampu mengendalikan
emosi diri dimampukan untuk:
a. Mengelola dengan baik emosi-emosi yang menekan.
b. Tetap teguh, bersikap positif meskipun dalam situasi yang
berat
c. Mampu berpikir jernih dan tetap fokus kendati dalam keadaan
tertekan.
2. Sifat dapat dipercaya, yaitu menunjukkan integritas dan sikap
bertanggung jawab dalam mengelola diri sendiri. Orang yang dapat
dipercaya mampu untuk:
a. Bertindak menurut etika dalam masyarakat.
b. Tidak pernah mempermalukan orang lain.
c. Berani mengakui kesalahan sendiri dan menegur perbuatan
yang tidak dapat diterima.
d. Berpegang pada prinsip secara teguh walaupun akibatnya
adalah menjadi tidak disukai.
e. Membangun kepercayaan dengan sikap apa adanya dan jujur.
3. Menyesuaikan diri dengan lingkungan
a. Mampu menangani perubahan dan tantangan. Orang yang
memiliki adabtabilitas yang tinggi berarti mampu luwes
memandang sesuatu.
b. Memiliki prioritas dan mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Menurut Goleman (2006:404) ciri-ciri orang yang dapat
mengelola emosi antara lain:
1. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan
amarah.
2. Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang
kelas.
3. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa
berkelahi.
4. Berkurangnya larangan masuk sementara dan skorsing.
5. Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri.
6. Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah dan
keluarga.
7. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.
Berikutnya, peneliti akan menjabarkan secara lebih rinci
aspek-aspek dalam mengelola emosi untuk peserta didik pada masa
5. Aspek-aspek kemampuan mengelola emosi pada peserta didik
Papalia (2008:486-487) dan Hurlock (2005:227) menyebutkan
aspek kemampuan mengelola emosi khususnya untuk peserta didik
kelas (IV dan V) yang sedang berada pada tahap perkembangan
kanak-kanak akhir yaitu:
a. Peka terhadap perasaan sendiri dan orang lain.
Peserta didik belajar untuk peka terhadap emosi yang sedang
dialami dan emosi yang sedang dialami oleh orang lain di
kehidupan sehari-hari. Hal ini akan membantu peserta didik untuk
belajar dan mengetahui reaksi-reaksi emosi yang dapat diterima
ataupun tidak dapat diterima dari kelompok sosial.
b. Menyadari bahwa tidak semua ungkapan emosi dapat diterima oleh
kelompok sosial/orang lain.
Meningkatnya usia peserta didik, membuat mereka belajar dan
menyadari bahwa ungkapan emosi kegembiraan atau kesedihan
hendaknya diungkapkan dalam bentuk yang dapat diterima secara
sosial di mana mereka tinggal. Misalnya, peserta didik tahu bahwa
mengejek teman saat merasa marah adalah perbuatan yang tidak
baik.
c. Mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial.
Meningkatnya usia peserta didik, maka semua emosi diekspresikan
lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain
berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya.
Misalkan, emosi takut atau cemburu akan jarang tampak
dibandingkan apabila reaksi sosial yang mereka terima
menyenangkan. Contoh lainnya saat peserta didik merasa gembira,
maka peserta didik belajar mengekspresikan kegembiraan dalam
pola yang dapat diterima secara sosial, Hurlock (2005:212 & 227).
d. Merespon/ menanggapi reaksi emosional orang lain
Peserta didik mampu menanggapi reaksi emosional dari orang lain
secara tepat sesuai dengan perilaku yang diterima oleh kelompok
sosial. Misalnya, peserta didik yang sedang diliputi oleh emosi
kegembiraan; akibat mendapatkan teguran dari orang lain, maka
peserta didik menanggapi rekasi tersebut dengan mengendalikan
ekspresi kegembiraan, yang akibatnya mereka tidak menjadi gaduh
dan lebih terkendali.
e. Memverbalisasi emosi yang saling bertentangan.
Pada usia 8-11 tahun, peserta didik dapat mengintegrasikan
rangkaian emosi positif dan negatif. Peserta didik memahami
bahwa mereka memiliki dua perasaan yang saling bertolak
belakang dalam satu waktu. Misalnya, seorang anak mengatakan
bahwa “Sebagian besar anak laki-laki di sekolah nakal, tetapi saya tidak merasakan hal tersebut pada adik laki-laki saya walaupun dia
kemarahan saya dan saya akan malu kepada diri saya jika tidak
dapat melakukan hal tersebut”.
f. Berperilaku prososial.
Perilaku prososial adalah tanda-tanda penyesuaian yang positif.
Peserta didik yang prososial cenderung bertindak sesuai dengan
situasi sosial, relatif bebas dari emosi negatif dan menghadapi
masalah secara benar.
Salah satu aspek kemampuan mengelola emosi pada tahap
kanak-kanak akhir, yang lainnya yang juga diperlukan adalah
kemampuan bersikap toleran terhadap frustasi. Kemampuan tersebut
yaitu kemampuan untuk menghambat pengaruh emosi yang tidak
menyenangkan dengan belajar menerima kegembiraan, kasih sayang,
keingintahuan dan keadaan emosi yang tidak menyenangkan lainnya
seperti marah, sehingga peserta didik tidak selalu bergantung pada
suasana yang menyenangkan. Hal ini dikarenakan, apabila peserta
didik terlalu bergantung pada emosi yang menyenangkan, maka
dikhawatirkan bahwa mereka tidak akan dapat mengatasi emosi yang
tidak menyenangkan jika emosi tersebut datang Hurlock (2005:231).
Aspek-aspek mengelola emosi tersebut yang akan digunakan
sebagaik aspek pembuatan kuesioner tentang tingkat kemampuan
mengelola emosi pada peserta didik kelas atas. Setiap aspek akan