• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN DALAM PERSAUDARAAN

A. Kaul Kemiskinan

2) Kemiskinan Sebagai Sikap Batin

Hidup dan karya Yesus untuk manusia ialah bahwa Ia menjadi miskin sekalipun Ia kaya, supaya kita menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya (2 Kor 8:9). Maksudnya bahwa bukan pertama-tama kemiskinan ekonomis, tetapi mengenai penghampaan Diri-Nya dengan menjadi manusia. Ia melepaskan kemuliaan ilahi yang merupakan milik-Nya dan dengan itu Ia melengkapi manusia yang miskin dengan kekayan ilahi, yaitu diterima sebagai anak Allah (Daminta, 1983:48-49).

Kemiskinan sebagai sikap batin lebih menekankan pada sikap percaya sepenuh-penuhnya kepada penyelanggaraan ilahi. Sikap seperti ini harus dimiliki oleh para pengikut Kristus yang pola hidupnya ditentukan oleh hadirnya Allah dan Kerajaan-Nya. Pada dasarnya bahwa manusia adalah seorang miskin yang tidak dapat hidup sendiri dan mencukupi kebutuhannya sendiri. Dengan demikian kemiskinan religius mengungkapkan satu kenyataan dasar pada manusia yang

sepenuh-penuhnya bergantung pada Allah. Allah pencipta adalah sumber dan asal segalanya, sedangkan manusia adalah makhluk yang menerima segalanya.

Kaum religius perlu hidup dalam kebebasan batin artinya keadaan batin yang tidak terikat kepada sesuatu yang bukan dari Tuhan. Batinnya tidak lekat pada banyak hal seperti: kekayaan, harta, kekuasaan, keserakahan, gengsi, ketakutan dan manusia. Berkaitan dengan sikap batin ini Suparno (2011:199-120) menegaskan kembali bahwa:

“Orang yang sungguh lepas bebas hanya demi Tuhan, akan lebih merasa

gembira melepaskan segala sesuatu yang tidak diperlukan dalam mengabdi Tuhan. Akibatnya, ia menjadi orang yang gembira di manapun karena tidak terikat pada hal dan barang lain, kecuali Tuhan. Ia dapat gembira pada waktu sakit, mengalami kegagalan, bahkan juga dijatuhkan orang lain”.

Dalam urain ini mau dikatakan bahwa orang yang hidup dalam kebebasan batin terdalam lebih dikuasai oleh Tuhan. Tuhan menjadi satu-satunya andalan dan pegangannya. Bahkan yang diutamakan adalah mencari kehendak Tuhan dalam seluruh hidupnya seperti: dalam pekerjaan, perutusan, dan pergaulan. Kebebasan batin mengantar seseorang untuk dapat menghadapi siapapun tanpa takut, tanpa kekhawatiran, karena Tuhan menjadi pegangannya.

b. Kaul Kemiskinan Kenabian

Seorang nabi dipahami sebagai pribadi yang kuat dan berani berkorban untuk membantu orang lain. Dia memiliki relasi yang istimewa dan baik dengan Tuhan, sebagai utusan Allah yang membawa pembebasan dan keselamatan dari Allah sendiri bagi banyak orang. Darminta (1994:32), mengatakan seorang nabi

adalah pertama seorang utusan Allah dan kedua berperan untuk menyatakan bahwa Allah sungguh memperhatikan kemalangan manusia dan bertekad membebaskan. Peranan dari nabi sendiri adalah mengingatkan Israel agar kembali kepada hidup menurut hukum Tuhan, kasih, keadilan dan kebenaran dan persaudaraan ( bdk .Ams 2:6-16).

c. Kemiskinan Salib

Salib biasa dihubungkan dengan suatu kesulitan atau kesukaran hidup yang dialami oleh manusia. Kesukaran menantang kita untuk mengubah situasi atau memperbaiki diri. itu bukan salib. Selain itu juga kalau ada hal yang perlu dilepaskan atau dikorbankan, tetapi demi sesuatu yang dianggap lebih bernilai meskipun berat, namun ada motif jelas tidak bisa dikatakan salib. Salib itu tidak dapat kita hindari, tetapi kita pikul (Verbeek, 1981:60).

Belajar dari pengalaman Yesus dalam menerima salib, meskipun sulit dan berat namun demi kesetiaan dan ketaatan-Nya kepada Bapa dan cinta-Nya kepada manusia sehingga Dia berani untuk mengorbankan seluruh hidup-Nya dikayu salib. Bapa menghendaki, agar Yesus tetap setia dan taat kepada panggilan-Nya: mewartakan kebaikan dan kerahiman Bapa. Ketaatan ini dihendaki Bapa, ketaatan yang tidak tahu batas. “Taat sampai mati, sampai mati disalib” (Flp 2:8).

Dipaparkan oleh Verbeek (1981:63) kalau dalam bahasa pengalaman kita sendiri, Yesus berani melepaskan SEGALA pegangan untuk masa depan karena Bapa menantikan-Nya. Namun dalam pengalaman-Nya sendiri salib itu begitu berat dan sukar diterima, sehingga saat Ia bergantung pada salib, Ia berseru

kepada Bapa,“Ya Allah-Ku, Ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan

Daku?” (Mrk 15:34). Ia berani mempercayakan Diri selalu kepada Bapa.

Berkaitan dengan salib, Verbeek (1981:64) membuat kesimpulan yang perlu diperhatikan sebagai berikut:

1) Bukan Bapa yang menghendaki salib itu, Bapa menghendaki kataatan Putera- Nya meskipun berkonsekuen salib.

2) Salib itu merupakan kemenangan dari kejahatan yang tidak dapat dibenarkan dan tidak mungkin diberi arti dengan sendirinya. Demi keadilan orang tidak dapat menerima salib ini, sejauh itu didirikan oleh manusia bagi salah seorang saudara yang tidak bersalah.

3) Baru sekarang di tengah-tengah kegelapan ketidakadilan dan kedurhakaan salib itu nampaklah arti “kehendak Bapa” dengan segala konsekuensinya dalam hidup Yesus. Di situ jugalah kita harus mencari arti salib dalam hidup kita, yang sebagai murid Yesus disuruh: “memanggul salib setiap hari” (Luk 9:23).

4) Ketaatan Yesus sampai mati-Nya di salib diganjar Bapa dengan kemuliaan yang mengatasi segala kemuliaan; karena ketaatan-Nya Ia meniadakan kedurhakaan dosa manusia.

2. Makna Kaul Kemiskinan

Masing-masing kaul yang telah diikrarkan oleh kaum religius memiliki suatu makna, yang mengajak setiap anggota kongregasi untuk dengan tekun dan setia menghidupinya dalam seluruh kehidupannya.

Kaul kemiskinan adalah sarana dalam menjalin kesatuan dengan orang- orang miskin. Sarana bagi kaum religius untuk lebih mampu menghayati kaul kemiskinan, sehingga dalam seluruh kehidupannya lebih melihat segala pengalaman yang dialami sebagai suatu berkat, dan terlebih bisa bersyukur atas apa yang dialami dan diperoleh. Hidup dijalaninya dengan penuh kebebasan dan syukur. Sabda Yesus sendiri meneguhkan dan memberikan keberanian kepada kita, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Luk 6:34).

Soenarjo (1984:93-96) menguraikan makna kaul kemiskinan dalam hidup kaum religius sebagai berikut:

1) Kaul Sebagai Ikatan Ke Dalam

“Kaul merupakan penyucian diri kepada Tuhan dalam hidup bakti, dan dimaksud untuk membebaskan manusia dari ikatan dan kelekatan pada milik harta dunia, hingga ia bebas menyerahkan diri dalam pengabdian kepada Tuhan. Yang menjadi dasar bagaimana kaul merupakan ikatan ke dalam ditegaskan bahwa lembaga (Tarekat) harus mencukupi para anggotanya dengan segala sesuatu, yang menurut konstitusi diperlukan untuk melaksanakan tujuan mereka dipanggil (KHK. 670)”

Bukan anggota yang menuntut, melainkan Tarekat yang memenuhi wajibnya atas dasar hukum Gereja, yang mengatur hubungan antara Tarekat dengan anggota yang menyerahkan diri dengan ikatan kaul kepadanya.

Isi kaul kemiskinan untuk setiap Kongregasi diatur oleh kebijaksanaan Konstitusi, yang paling kurang akan minta pertanggungjawaban atas penggunaan harta-dunia; dan demi kepentingan lembaga, anggota dan kerasulannya dapat menterapkan peraturan atau pembatasan seperlunya.

2) Kaul Sebagai Pembangkit Semangat

“Semangat kemiskinan sungguh nampak, kalau orang berusaha mencari kebersihan dan kemurniannya, meningkatkan perjuangan dan pengurbanan dengan menggunakan perlengkapan sesederhana mungkin, diambil secukupnya, dengan rasa syukur, sambil menghasilkan buah yang sama atau yang lebih, karena perjuangan, keterlibatan dan keprihatinan akhirnya demi cinta akan panggilan, akan kongregasi dan demi kemuliaan Tuhan”.

Kaul kemiskinan mengarahkan orang untuk bersikap efisien terhadap segala sesuatu yang dihadapinya. Selalu berusaha untuk mampu mensyukuri dan menerima apapun yang terjadi dalam hidupnya. Pendapat ini mendukung sikap ini yaitu:

“Semangat kemiskinan menolak mentah-mentah setiap sikap aji

mumpung, panggilan dijadikan jalan untuk mencapai kemajuan material pada tetangga masyarakat. Semangat kemiskinan tidak menggerutu, tidak menuntut, tetapi merasa senang dan puas, sekali-kali (meskipun biasanya dalam perkara kecil saja) mengalami akibat kemiskinan, menderita

kekurangan, dan mungkin menanggung ejekan juga” (Soenarja, 1984: 95).

Sikap yang menjunjung tinggi nilai material tidak cocok dengan kaul kemiskinan. Orang seperti ini akan selalu mencari dan mencari bahkan tidak pernah puas dengan apa yang ada. Untuk menjaga pengalaman seperti ini maka diharapkan untuk secara sungguh-sungguh menghayati kaul kemiskinan.

Ditegaskan lagi bahwa mereka yang sudah menjalani dan menghidupi kaul kemiskinan akan berusaha untuk bisa:

“Menolak mengikuti arus konsumatip dalam masyarakat, yang ingin membeli dan memiliki yang serba mewah, serba lux, model yang paling baru. Ia lebih senang memilih yang kuat, sederhana dan sudah mencukupi keperluannya. Ia tidak serakah mencari yang lebih, tetapi sedia dan iklas

melepaskan yang tidak diperlukan, puas dengan yang paling sederhana. (Soenarja, 1984: 95)

3) Kaul Kemiskinan Sebagai Kesaksian

“Kaul kemiskinan juga diwarnai oleh kondisi waktu, tempat dan keadaan masyarakat. Maka sebelum menerjunkan religius muda dalam karya kerasulan, perasaan dan keadaan masyarakat, dan penyesuain diri sebagai “saksi kemiskinan” harus sudah dilatih. Religius dalam masa pembentukan harus disiapkan untuk menghadap kemiskinan dalam masyarakatnya sebagai saksi Kristus yang bersabda: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga (Mat 5: 3)”.

Dengan kaul kemiskinan, kita sungguh-sungguh berkeinginan untuk mengungkapkan hadirat Allah dengan mengambil sikap yang wajar kepada barang-barang itu. Dengan demikian barang kita letakkan dalam tempatnya di dalam kerangka hidup manusia, yang harus bergaul dengan Allah. Maka kita ingin mengungkapkan makna dan nilai benda itu dalam rangka keseluruhan dan dasar hidup manusia. Dan pengungkapan itu kita nyatakan dengan suatu kaul, yang disebut kemiskinan, yang berarti kita mencoba melihat barang itu dalam arti dan nilai yang dalam, sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah (Darminta, 1975:55).

Semangat kemiskinan sangat ditekankan oleh Santo Lukas sampai kepada pelaksanaan konkret yakni:

(a) Amanat kemiskinan

Semangat kemiskinan mengandaikan semangat iman, yang mampu mengadakan penegasan tentang harta kekayaan sejati. Orang harus memilih antara Tuhan dan uang (Luk 16:1-3). Yang dimaksud dari kalimat ini adalah bahwa

sesudah kematian orang tidak membawa kekayaannya, maka orang harus menggunakan kekayaan itu dalam terang kehendak Tuhan. Pilihan yang harus dilakukan dalam ini ialah antara kerajaan Allah dan kekayaan (Luk 18:18-28). Dia juga menekankan pengikraran akan harta kekayaan (Luk 12: 13-21).

(b) Menghayati hidup miskin

Kesaksian kemiskinan tidak hanya bahwa itu dapat dilihat oleh mereka yang berada disekitarnya, tetapi harus pula merupakan suatu kemauan untuk masuk ke dalam situasi kesaksian kemiskinan tanpa mau menghindarkan diri dari corak kemiskinan apostolos. Seorang religius diharapkan untuk menghayati hidup yang keras, atau dapat dikatakan meletakkan kemiskinan pada kesaksian apotolos. Secara singkat orang menghayati kemiskinan berarti orang yang mencintai hidup sederhana dan hidup kerja, menerima kemiskinan riil, dan mengarahkan penggunaan segala miliknya, pendidikannya, sarana kerjanya untuk berhasilnya kerasulan (Darminta, 1981:47).

3. Penghayatan Secara Kongregational

Penghayatan dalam hidup membiara membantu kaum religius untuk semakin mencintai dan setia dalam menjalani panggilannya sebagai imam, bruder dan suster. Dewasa ini tidak jarang suatu keputusan yang telah dipilih secara matang namun pada akhirnya kandas atau berhenti ditengah jalan, dalam arti bahwa kaum religius memilih untuk keluar dari biara.

Dalam situasi seperti ini hal-hal yang diperlukan adalah keberanian, kemauan dan kesediaan untuk sungguh-sungguh mengembangkan dan memiliki sikap penghayatan. Penghayatan untuk melihat setiap motivasi dan tujuan dari pilihan hidup yang telah dipilih yakni sebagai seorang Imam, Bruder dan Suster.

Menurut Madya Utama (2001:7) penghayatan kaul kemiskinan secara otentik juga menuntut adanya pengalaman pertobatan pribadi yang terus menerus. Tanpa adanya pertobatan, untuk memahami arti dari kemiskinan religius di tengah-tengah dunia yang begitu didera oleh kemiskinan, realitas kemiskinan akan tinggal semata-mata sebagai suatu mitos keagamaan yang tanpa wajah dan tanpa nama.

Secara singkat, bila kaul kemiskinan tidak membawa kaum religius berpihak pada orang-orang miskin dan tertindas, kaul kemiskinan hanya akan berhenti pada penghayatan terhadap istilah-istilah pra-Vatikan II yang menjadi corak khas dari kaul kemiskinan; seperti ”ketidaklekatan”, sudah mendapatkan izin, tidak memiliki harta kekayaan secara pribadi. Akibatnya, kaul kemiskinan hanya akan berurusan dengan hal-hal yang remeh-remeh dan membuat kaum religius menjadi pribadi-pribadi yang bergantung pada izin pembesar dan terus menerus hanya memikirkan kepentingannya sendiri ( Madya Utama, 2001:7).

Kaul kemiskinan yang dihayati dan dihidupi oleh kaum religius bertujuan untuk meneladani hidup Yesus Kristus, yang “meskipun kaya, Ia rela menjadi miskin karena kita manusia” (2 Kor 8:9). Kemiskinan Yesus merupakan gaya hidup yang didasarkan atas cinta-Nya yang tanpa batas terhadap manusia. Cinta- Nya luar biasa bagi manusia, apapun dilakukan untuk kita. Kesediaan dan

kerelaan menjadi bukti nyata pengorbanan-Nya, yakni “sama seperti anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”(Mat 20:28).

a. Kemiskinan Pribadi

Ketika seorang suster MASF berani untuk mengambil keputusan dan memilih untuk bergabung dalam Kongregasi MASF serta menyadari bahwa Allah adalah segalanya, maka dengan kerelaan hati dan berani untuk meninggalkan kekayaan dan kesenangan duniawi. Kesadaran bahwa sebagai seorang suster yang hanya mengandalkan Allah dalam hidupnya akan membantu untuk semakin setia dalam pelayanan serta panggilan. Kemiskinan pribadi seorang suster mengajak untuk berani lepas bebas serta yakin dengan pilihan hidup yang telah diambil. Penghayatan kaul kemiskinan seorang religius harus muncul dari kedalaman hati bukan hanya karena taat pada peraturan atau takut pada dewan pimpinan.

Seorang suster dalam seluruh hidupnya berusaha untuk semakin dewasa dalam penghayatan kaul sebagai konsekuensi dari pilihan hidup. Dalam Konstitusi no. 26 dikatakan:

“pilihan untuk hidup miskin dan sederhana dalam kebersamaan, kita wujudkan dalam ketergantungan pada komunitas, di mana kita berada. Kita adalah manusia bebas, yang berusaha mempertaruhkan diri lewat kesetiaan dan tanggung jawab pribadi dalam hidup bersama. Oleh karena itu, dalam hidup bersama kita diberi ruang gerak untuk prakarsa dan tanggung jawab pribadi”.

Pilihan hidup miskin dan sederhana para suster MASF, menuntut sebuah kesetiaan dan tanggung jawab pribadi, dengan demikian kemiskinan pribadi menjadi daya dorong dalam hidup para suster MASF untuk semakin mencintai

dan terlebih mensyukuri berkat dan anugerah Tuhan yang dialami dalam panggilan.

Kaul kemiskinan yang dihayati oleh seorang suster menyatakan kesanggupan dirinya untuk menjalankan tugas dan hidup secara bertanggung jawab, terlebih terpanggil untuk terlibat dalam hidup orang lain dengan menaruh perhatian kepada kebutuhan banyak orang tanpa melihat status seseorang. Dan yang lebih penting bahwa penggunaan harta benda bukan karena menjadi kesenangan melainkan karena memang diperlukan untuk menunjang hidup.

Sebagai kaum religius yang menyatakan diri untuk hidup secara miskin dengan menghayati kaul kemiskinan maka seorang suster harus mengerti sungguh dan sanggup hidup apa adanya, tidak mencari-cari apa yang tidak ada. Hidup harus disyukuri dan dijalani dengan sebaik mungkin. Dengan penggunaan harta benda yang tepat serta kesediaan untuk tidak lekat dengan harta benda, menunjukkan adanya penghayatan kemiskinan yang nyata dari seorang religius. Pribadi yang dewasalah yang sanggup untuk menghayati kemiskinan secara lebih baik, karena diharapkan untuk bisa melihat apa yang terpenting dalam hidup.

Menjadi hak kodrat sebagai manusia sehingga pertumbuhan dan perkembangan mereka tergantung atas harta benda. Tetapi lain halnya dengan kehidupan para religius, kemiskinan pribadi sangat penting bagi seorang religius untuk semakin memantapkan panggilannya dalam mengikuti Kristus dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan hidup mereka bisa tercapai yakni pengabdian diri dan hidup kepada Tuhan dan sesama.

Kemiskinan pribadi akan nampak sejauh mana kita mampu melepaskan hubungan dan tidak memperpanjang kepribadian kepada harta benda. Darminta (1981:52) menegaskan bahwa kemiskinan merupakan hak istimewa dari seorang yang sangat dewasa, yang tidak memerlukan untuk memperpanjang kepribadiannya kepada harta benda. Mereka sudah sampai kepada taraf, dimana mereka merasa sudah penuh dan lengkap dalam hidupnya sendiri”.

Kemiskinan pribadi dibedakan dengan adanya tanda-tanda nampak secara lahiriah, sehingga kemiskinan diartikan tidak memiliki hubungan moral pada harta benda. Tetapi tetap bisa menggunakan barang untuk menyempurnakan kepribadian. Disini kemiskinan dilihat sebagai sarana untuk hidup dan pelayanan. Jadi inti dari kemiskinan hidup religius yaitu harus bekerja untuk hidup. Tidak juga berlebihan, punya cukup untuk tugasnya, bukan untuk dimiliki.

Sebagai seorang religius yang berkaul tentunya memiliki konsekuensi untuk rela memberi dan berbagi hasil yang diperolehnya untuk keperluan sesama dalam komunitas maupun sesama yang dilayaninya. Dengan pemberian dana dari personal kepada kumunitas atau kepada yang membutuhkan akan lebih terasa bahwa kita sanggup melepaskan apa yang ada pada diri kita demi kepentingan orang lain yang lebih membutuhkannya.

Keputusan dan keinginan untuk lebih memperhatikan sesama mengandaikan keputusan pribadi bukan hanya keputusan bersama sehingga terbangunlah persaudaraan di dalam komunitas dan lingkungan, karena kenyamanan dan damai yang dibangun dalam hidup bukan terletak pada milik dan

harta kekayaan melainkan pada persaudaraan yang dibangun melalui harta benda tersebut.

b. Kemiskinan Karya

Kongregasi MASF memiliki sasaran utama dalam pelayanan yakni pelayanan terhadap kaum miskin. Kaul kemiskinan yang dihayati oleh para suster MASF mendorong untuk terlibat dengan kaum miskin. Dalam menjalankan tugas setiap harinya para suster selalu menyerahkan segalanya dihadapan Tuhan, percaya bahwa Tuhan selalu terlibat dalam setiap tugas dan hidup para suster.

Menghayati kaul kemiskinan bagi para suster MASF bukan hanya diwujudkan dengan hidup ditengah kaum miskin. Kemiskinan itu lebih utama dihayati ditengah Komunitas para suster MASF. Setiap para suster mengambil bagian untuk bisa menghidupi kelangsungan hidup dengan terlibat dalam karya Kongregasi sehingga keterlibatan tersebut bisa menopang kebutuhan hidup masing-masing Komunitas. Sejak dalam perjanjian lama, Allah menyatakan diri sebagai Allah kaum miskin. Yesus juga mengutamakan kaum miskin. Kita mewujudkan sikap hidup ini dengan memperhatikan kaum miskin dan bersikap sederhana. Kekayaan jasmani dan rohani, kita gunakan bersama bagi orang lain. Kita terbuka menerima tamu dan berani melepaskan apa saja yang menghambat kehidupan sejati. Dengan demikan, Allah melimpahkan berkat-Nya kepada kita (Konst. No.24).

c. Kemiskinan Komunitas

Penghayatan kemiskinan pribadi juga menjadi sikap kemiskinan Komunitas. Kemiskinan Komunitas bukan hanya dilihat pada harta benda yang dimiliki oleh Komunitas, pada zaman ini kemiskinan diletakkan pada perspektif hubungan antara pribadi yang menuntut sikap rendah hati, pelayanan, hamba dan pengosongan diri. Sikap seperti ini diharapkan suatu saat akan memberi dampak dalam kehidupan Komunitas untuk lebih menemukan bentuk yang sesuai dengan kesadaran akan nilai kaul kemiskinan. Perlu diperhatikan dan direfleksikan lebih dalam lagi pendapat dari Darminta ( 1981:54) yang mengatakan:

“ada hal yang tidak dapat ditawarkan lagi, ialah bahwa Komunitas sendiri harus merupakan komunitas yang ramah, rendah hati, mengundang orang yang lewat dan melihatnya; ramah tidak hanya pada orang-orangnya, tetapi juga gaya hidup didalamnya, bahkan sampai pada bentuk rumahnya pula”.

Berdasarkan pendapat di atas, sejauh ini banyak Komunitas yang sudah nampak punya perubahan, sehingga Komunitas religius maupun biara bukan lagi menjadi sesuatu yang asing bagi yang lain khususnya bagi kaum awam, melainkan semakin terbuka akan kehadiran orang lain.

Di dalam Komunitas, para suster harus saling melengkapi dan saling berbagi serta dengan rendah hati mengakui keterbatasan. Darminta (1975:60) menegaskan:

“pengakuan keterbatasan diri sendiri dan orang lain akan membawa sikap tidak tegang dalam hidup dan gembira dan tidak muram, sebab hilanglah kekhawatiran, yang membuat kita takut untuk berbuat sesuatu, karena ada prasangka jangan-jangan orang lain akan terlukai atau tersinggung”.

Dengan demikian kita sadar bahwa masing-masing suster mempunyai arti dan nilai sehingga satu dengan yang lainnya saling menghormati. Kita terbuka terhadap orang lain dengan memberi perhatian dan pengertian terhadap mereka.

Kemiskinan Komunitas mengajak para suster untuk semakin mampu menumbuhkan rasa solider dan terlibat dalam kehidupan orang lain sebagaimana dikatakan dalam Konstitusi sebagai Kongregasi Misi, kita mempunyai tugas lebih dari yang lain, yakni menjadi lebih solider dengan semua orang di dunia, dengan mereka yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Oleh karena itu, kita harus hidup sederhana serta membatasi keinginan-keinginan kita (Konst.no.112)

Dari pernyataan di atas jelas bahwa para suster MASF memiliki tugas yang lebih penting yang berguna bagi kehidupan orang lain demi terwujudnya kerajaan Allah. Solider lebih diungkapkan dengan hidup sederhana dan membatasi apa yang menjadi keinginan-keinginan, misalnya dengan menggunakan barang seperlunya, tidak lagi terikat dengan barang dan harta benda yang ada.

Dokumen terkait