• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini merupakan penutup dari laporan penelitian ini. Pada bab ini berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan yang telah dilakukan serta saran penulis terkait pengembangan dan penelitian lanjutan dari penelitian ini.

9 1.7 Kerangka Berpikir

Hasi

l

Identifikasi karakteristik penataan bangunan dan

lingkungan

Analisis persepsi stakeholderr dalam mengurangi

resiko kebakaran

Penentuan prinsip penataan bangnan dan

lingkungan dalam mengurangi resiko kebakaran

Kawasan yang memiliki prinsip penataan bangunan dan

lingkungan dalam mengurangi resiko kebakaran

S

asar

an

Lata

r Be

lak

ang

Kelurahan Nyamplungan merupakan wilayah yang memiliki resiko kebakaran yang tinggi.

Dalam menghadapi kebakaran dibutuhkan suatu alat yang efektif dan efisien. Salah satu alat tersebut adalah sistem proteksi kebakaran berdasarkan keputusan menteri PU Indonesia nomor 10/KPTS/2000 dan manajemen penanggulangan kebakaran berdasarkan keputusan menteri PU Indonesia nomor 11/KPTS/2000. Namun, dalam perundangan tersebut fokus terhadap tata cara operasional organisasi pemadam kebakaran sehingga masih sangat kurang dalam menjelaskan bagaimana suatu kawasan di perkotaan dapat menghadapi kebakaran baik dari segi bangunan gedung dan lingkungan

Perlu suatu kawasan yang memiliki prinsip - prinsip baik bangunan gedung dan lingkungan dalam menghadapi bencana kebakaran sehingga membantu memperbaiki kenyamanan

11 BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Potensi Kebakaran Pada Bangunan

Bangunan merupakan salah satu sumber kebakaran pada kawasan perkotaan. Kebutuhan rasa aman pengguna bangunan sangat diperhatikan sehingga ketentuan perundang – undangan banyak yang mengatur tentang keselamatan bangunan. Dalam Undang – Undang nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung menyatakan bahwa faktor keselamatan telah menjadi persyaratan yang harus dipenuhi oleh bangunan gedung. Salah satu persyaratan keselamatan bangunan yaitu ketahanan bangunan. Ketahanan bangunan terhadap kebakaran menggunakan klasifikasi resiko bahaya kebakaran. klasifikasi resiko bahaya kebakaran antara lain(Kepmen PU 10/KPTS/2000):

1. Angka klasifikasi 3 harus mempertimbangkan resiko bahaya kebakaran yang paling rawan, dimana jumlah dari isi bahan mudah terbakarnya sangat tinggi. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Bangunan yang berdekatan dengan bangunan yang mempunyai klasifikasi resiko bahaya kebakaran 3, harus dianggap sebagai bagian dari klasifikasi tersebut jika jaraknya 15 m atau kurang.

2. Angka klasifikasi 4 harus dipertimbangkan resiko bahaya kebakaran tinggi, dimana jumlah dari isi bahan mudah terbakarnya tinggi. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Bangunan yang berdekatan dengan bangunan yang mempunyai klasifikasi resiko bahaya kebakaran

4, harus dianggap sebagai bagian dari klasifikasi tersebut jika jaraknya 15 m atau kurang.

3. Angka klasifikasi 5 harus dipertimbangkan resiko bahaya kebakaran sedang, dimana jumlah dari isi bahan mudah terbakarnya sedang. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang agak cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang sedang.

4. Angka klasifikasi 6 harus dipertimbangkan resiko bahaya kebakaran rendah, dimana jumlah dari isi bahan mudah terbakarnya rendah. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang agak cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang sedang.

5. Angka klasifikasi 7 harus dipertimbangkan resiko bahaya kebakaran rendah, dimana jumlah dari isi bahan mudah terbakarnya rendah. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang lambat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang rendah.

Selain itu, kontruksi bangunan juga menentukan keselamatan bangunan ketika terjadi kebakaran. klasifikasi resiko kebakaran kontruksi bangunan antara lain (Kepmen PU 10/KPTS/2000):

1. Resiko kebakaran kontruksi tipe I yaitu bangunan yang dibuat dengan bahan tahan api (beton, bata dan lain-lain dengan bahan logam yang dilindungi) dengan struktur yang dibuat sedemikian, sehingga tahan terhadap peruntukan dan perambatan api mempunyai angka klasifikasi 0,5

2. Resiko kebakaran kontruksi tipe II yaitu bangunan yang seluruh bagian konstruksinya (termasuk dinding, lantai dan atap) terdiri dari bahan yang tidak mudah terbakar yang tidak termasuk sebagai bahan

13 tahan api, termasuk bangunan konstruksi kayu dengan dinding bata, tiang kayu 20,3 cm, lantai kayu 76 mm, atap kayu 51 mm, balok kayu 15,2 x 25,4 cm, ditetapkan mempunyai angka klasifikasi konstruksi 0,8

3. Resiko kebakaran kontruksi tipe III yaitu bangunan dengan dinding luar bata atau bahan tidak mudah terbakar lainnya sedangkan bagian bangunan lainnya terdiri dari kayu atau bahan yang mudah terbakar ditentukan mempunyai angka klasifikasi konstruksi 1,0

4. Resiko kebakaran kontruksi tipe IV yaitu bangunan (kecuali bangunan rumah tinggal) yang strukturnya sebagian atau seluruhnya terdiri dari kayu atau bahan mudah terbakar yang tidak tergolong dalam konstruksi biasa (tipe III) ditentukan mempunyai angka klasifikasi konstruksi 1,0

Menurut Tangoro (2000), peraturan yang menentukan peraturan blok dengan kemudahan pencapaiaannya, ketinggian bangunan, jarak antar bangunan serta kelengkapan lingkungan akan memudahkan usaha pemadaman kebakaran pada suatu bangunan.

Tabel 2-1 Jarak anatar bangunan untuk keamanan bahaya kebakaran

No Tinggi Bangunan (M)

Jarak Antar Bangunan (M)

1 0 sampai 8 3

2 >8 sampai 14 >3 sampai 6 3 >14 sampai 40 >6 sampai 8

4 >40 >8

Sumber: Dinas PMK Kota Surabaya, 2016

Menurut keputusan menteri PU nomor 10 /KPTS/2000 tentang ketentuan teknis pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan membagi bangunan menjadi beberapa kelas bangunan. Kelas bangunan

dibagi sesuai peruntukan atau pengunaan bangunan. Kelas bangunan terbagi menjadi Sembilan (9) kelas antara lain:

a. Kelas 1 merupakan bangunan hunian biasa yang dibagi lagi menjadi

a. Kelas 1a yaitu bangunan hunian tunggal berupa satu atau lebih bangunan hunian yang masing masing dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk rumah deret, rumah taman, unit town house, villa

b. Kelas 1b yaitu rumah asrama/kost, rumah tamu, hotel, atau sejenis-nya dengan luas total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih dari 12 orang secara tetap, dan tidak terletak di atas atau di bawah bangunan hunian lain atau bangunan kelas lain selain tempat garasi pribadi b. Kelas 2 merupakan Bangunan hunian yang terdiri

atas 2 atau lebih unit hunian yang masing masing merupakan tempat tinggal terpisah

c. Kelas 3 merupakan Bangunan hunian di luar bangunan kelas 1 atau 2, yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang yang tidak berhubungan, termasuk: a. rumah asrama, rumah tamu, losmen; atau b. bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau

motel; atau

c. bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau

d. panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau

e. bagian untuk tempat tinggal darisuatu bangunan perawatan kesehatan yang menampung karyawan-karyawannya.

d. Kelas 4 merupakan bangunan hunian campuran yang tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan kelas 5, 6, 7, 8, atau 9 dan merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut. e. Kelas 5 merupakan bangunan kantor yang

15 profesional, pengurusan administrasi, atau usaha komersial, di luar bangunan kelas 6, 7, 8, atau 9. f. Kelas 6 merupakan bangunan perdagangan yang

dipergunakan untuk tempat penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk:

1) ruang makan, kafe, restoran; atau

2) ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel atau motel; atau 3) tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum; atau 4) pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.

g. Kelas 7 merupakan bangunan penyimpanan/gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk: 1) tempat parkir umum; atau

2) gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang

h. kelas 8 merupakan bangunan

laboratorium/industry/pabrik yang dipergunakan untuk tempat pemrosesan suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan, finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau penjualan.

i. Kelas 9 merupakan bangunan umum yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu:

1) Kelas 9a yaitu bangunan perawatan kesehatan, temasuk bagian – bagian dari bangunan tersebut yang berupa laboratorium

2) kelas 9b yaitu bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja, laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall, bangunan peribadatan, bangunan budaya atau sejenisnya, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan yang merupakan kelas lain. Secara garis besar dalam mengamankan bangunan gedung karena memiliki potensi sebagai sumber kebakaran

maka pemerintah mengklasifikasikan bangunan berdasarkan klasifikasi resiko bahaya kebakaran, kontruksi serta fungsi bangunan.

2.2 Potensi Kebakaran Lingkungan Bangunan

Lingkungan bangunan memiliki potensi mengalami kebakaran atau sumber kebakaran. Tiang listrik sebagai salah satu elemen jaringan listrik yang menjadi salah satu penyebab kebakaran memiliki standar jarak aman pada bangunan antara lain (Standar kontruksi PLN, 2010):

Tabel 2-2 Jarak Aman Tiang Listrik

Objek Jarak Aman (meter)

Permukaan jalan raya

utama 6

Permukaan jalan

lingkungan 5

Halaman penduduk/tanah

kosong 4

Balkon rumah 1,5 (tidak terjangkau tangan) Menara/tower/papan

reklame 2,5

Atap rumah 1

Saluran telkom non optik 2,5

SUTM (under built) 1,2

Permukaan sungai saat pasang

2 (di atas tiang layar tertinggi perahu) Jalan kereta api Sebaiknya dihindari/tidak

dianjurkan Sumber: Standar Kontruksi PLN, 2010

Menurut Amy Imanda (2012) dalam melihat tipologi suatu permukiman menggunakan beberapa indikasi antara lain:

1. Konsistensi hierarki jalan 2. Kondisi drainase

17 4. Kemantapan sempadan bangunan

Menurut Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 untuk jalan yang bisa dilewati oleh mobil pemadam kebakaran minimal memiliki lebar jalan 6 meter denga perkerasan metal, paving blok, atau lapisan yang diperkuat agar dapat menyangga beban peralatan pemadam kebakaran. Mobil pemadam kebakaran berhenti pada suatu titik dimana jarak dengan bangunan tidak boleh kurang dari 2 meter atau lebih dari 10 meter dari pusat akses pemadam kebakaran.

Selain itu, penyediaan alat pemadam kebakaran juga harus ada pada lingkungan dalam menghadapi kebakaran. Bentuk alat pemadam kebakaran menurut SNI 03-3987-1995 tentang tata cara perencanaan, pemasangan pemadam api ringan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung berdasarkan fase media pemadamannya antara lain:

a. Media pemadaman jenis padat sepeti pasir, tanah atau lumpur, karung atau kain basah, selimut api, tepung kimia

b. Media pemadaman jenis cair seperti air, busa, soda, cairan mudah menguap (hallon)

c. Media pemadaman jenis gas seperti karbondioksida, nitrogen, argon

Dari tinjauan tersebut bisa disimpulkan bahwa dalam membentuk suatu tipologi permukiman dipengaruhi oleh beberapa sarana berupa hirariki jalan, sumber air, serta jaringan listrik.

Tabel 2-3 Sintesa Variabel dari Indikator Lingkungan Bangunan

Sumber Variable menurut teori Variable yang digunakan Amy Imanda, 2012 1. Konsistensi hierarki jalan 2. Kondisi drainase 3. Keteraturan kavling 4. Kemantapan sempadan bangunan 1. hirarki jalan 2. sumber air 3. jaringan listrik

Sumber: hasil analisis, 2016 2.3 Kebakaran dalam bangunan hunian

Pengembangan permukiman di perkotaan lebih difokuskan kepada bentuk fisik dan jumlah bangunannya. Namun pada permukiman lama atau yang telah ada dibiarkan tanpa ada pengawasan bangunan dan berkembang pesat tanpa terkendali. Hal tersebut membuat semakin menurunnya kualitas permukiman di suatu perkotaan dalam artian (Budiharjo, 1983):

1. Kepadatan bangunan yang terlalu tinggi 2. Lenyapnya taman – taman dan ruang terbuka 3. Tidak mencukupinya jaringan air bersih, listrik dan

air kotor

4. Berkurangnya tingkat pelayanan dan fasilitas umum 5. Hilangnya ciri – ciri atau karakter spesifik

permukiman tertentu

Akibat penurunan kualitas permukiman yang disebabkan oleh beberapa persoalan di atas bisa disimpulkan bahwa kondisi fisik pada permukiman perkotaan berada dalam kondisi tidak layak dan tidak memenuhi orientasi kesehatan dan keamanan lingkungan. Sanitasi lingkungan yang tidak terpenuhi akibat jumlah bangunan yang banyak dan lahan kososng yang terbatas untuk pembuangan yang

19 menimbulkan kesan kumuh dan semrawut. Kontruksi bangunan yang tidak memenuhi standar mutu keamanan untuk permukiman dimana dalam menahan bebean dan goyangan gemapa bumi, aman dari bencana banjir, kebakaran dan lain – lain.

Bencana kebakaran menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh suatu permukiman di perkotaan. Penyebab kebakaran di permukiman bisa akbat beberapa hal. Menurut Suprapto (2008) penyebab kebakaran di permukiman anatara lain sebagai berikut

1. Kondisi padat hunian dan padat penduduk , rumah saling berdempetan

2. Bahan bangunan mudah terbakar

3. jalan – jalan lingkungan sempit, akses bagi petugas pemadam menjadi sulit

4. kurangnya ruang atau lahan terbuka 5. fasilitas hidran / sumber air minim

6. kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya kebakaran

7. tuntutan setelah kejadian adalah kembali seperti semula

8. maraknya pencurian listrik

Pada penanggulangan kebakaran di permukiman dibutuhkan suatu sistem proteksi kebakaran pasif yang terdapat beberapa penekanan utama antara lain: (Wirawibawa, 2005)

1. Site plan dan lingkungan bangunan 2. Struktur yang tahan api

3. Sarana penyelamatan jiwa 4. Tata massa bangunan 5. Penggunaan lahan

Dari tinjauan tersebut bisa disimpulkan bahwa kebakaran dalam permukiman disebabkan oleh beberapa hal antara lain kepadatan hunian penduduk, infrastruktur kebakaran yang belum memadai seperti hidran, jalan yang belum bisa dilewati oleh mobil pemadam kebakaran, dll serta

sistem perkotaan dimana sistem tersebut mempengaruhi penyediaaan prasarana dan sarana pada suatu permukiman.

Tabel 2-4 Sintesa Variabel dari Indikator Fisik Bangunan

Sumber Variable menurut teori Variable yang digunakan

Wirawiba wa, 2005

1. Site plan dan

lingkungan bangunan 2. Struktur yang tahan

api

3. Sarana penyelamatan jiwa

4. Tata massa bangunan 5. Penggunaan lahan 1. Jarak aman bangunan 2. Ketinggian bangunan 3. Fungsi bangunan 4. Jenis material bangunan 5. Ketersediaan ruang terbuka

Sumber: hasil analisis, 2016

2.3.1 Sistem Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan Kebutuhan dalam mendeteksi dan melindungi bangunan terhadap kebakaran maka diperlukan sistem proteksi terhadap bahaya kebakaran. Berdasarkan Keputusan menteri PU Indonesia nomor 10/KPTS/2000 menyatakan bahwa sistem proteksi kebakaran adalah satu atau kombinasi dari metode yang digunakan pada bangunan untuk:

1. Memperingatkan orang terhadap keadaan darurat 2. Penyediaan tempat penyelamatan

3. Membatasi penyebaran kebakaran

4. Pemadaman kebakaran, termasuk sistem proteksi aktif dan pasif

Sistem proteksi kebakaran sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu

1. Sistem proteksi kebakaran aktif, sarana proteksi kebakaran yang harus digerakkan untuk berfungsi memadamkan kebakaran, diantaranya:

1) Sistem deteksi dan alarm kebakaran 2) Sistem air pemadaman

21 3) Sistem pemadaman kebakaran tetap dan

bergerak

4) Sistem pemadaman kebakaran ringan atau APAR

2. Sistem proteksi kebakaran pasif, sarana , sistem atau rancangan yang menjadi bagian dari sistem sehingga tidak perlu digerakkan secara aktif, diantaranya:

1) Penghalang, sebagai penghalang/penghambat jalannya api dari satu bagian bangunan ke bagian lainnya

2) Jarak aman, pengaturan jarak antar bangunan untuk mengurangi penjalaran api

3) Pelindung tahan api, hal yang menentukan ketahanan bangunan dan dapat menghambat penjalaran api

4) means of escape, sarana jalan keluar termsauk dalam sarana struktural yang disediakan untuk manusia agar dapat menyelamatkan diri jika terjdai kebakaran.

Sistem proteksi tersebut membantu suatu bangunan dalam menghadapi bahaya kebakaran. Pada suatu permukiman, penyediaan sistem poteksi yang sangat diperhatikan adalah penyediaan hidran dengan standar debit air yang dimiliki sebesar 1000 liter/menit serta mudah dijangkau oleh pemadam kebakaran. (Simanjutak, 2007) Pada sistem proteksi kebakaran pasif terdapat beberapa penekanan utama antara lain: (Wirawibawa, 2005)

a. Site plan dan lingkungan bangunannya

Menurut Rahman (2003) bahwa hal – hal yang menjadi mendasar dalam penanggulangan kebakaran antara lain:

a. Penataan blok – blok massa hunian dan jarak antar bangunan

b. Pencapaian ke kawasan permukiman yang mudah

c. Ketersediaan ruang terbuka dan parkir di kawasan permukiman

d. Ketersediaan hidran eksterior di kawasan permukiman

e. Ketersediaan sumber air untuk pemadaman b. Struktur yang tahan api

Menurut Rahman (2003) bahwa hal – hal yang menjadi mendasar dalam penanggulangan kebakaran antara lain:

a. Pemilihan material bangunan

b. Kemampuan stuktur material bangunan dalam menghadapi api

c. Sarana penyelamatan jiwa

Menurut Rahman (2003) bahwa hal – hal yang menjadi mendasar dalam penanggulangan kebakaran antara lain:

a. Penghitungan jumlah penduduk di kawasan permukiman

b. Penentuan daerah perlindungan sementara c. Penentuan jalur keluar bangunan rumah serta alat

evakuasi

d. Tata massa bangunan

Menurut Tangoro (2000) bahwa hal – hal yang diatur dalam peraturan yang menghubungkan blok bangunan dengan penangulangan kebakaran antara lain kemudahan pencapaian, ketinggian bangunan, jarak antar bangunan, dan kelengkapan lingkungan bangunan. Hal tersebut pada suatu kawasan permukiman membantu penanggulangan kebakaran dengan cara memudahkan akses petugas kebakaran serta penyediaan sarana dan prasarana kebkaran di kawasan tersebut.

e. Penggunaan lahan

Penggunaan lahan dalam penanggulanagan kebakaran dilihat dari fungsi bangunan yang ada pada suatu kawasan. Penentuan fungsi bangunan serta klasifikasi angka resiko bahaya kebakaran sudah diatur dalam perundang –undangan kebakaran.

23 Menurut Kepmen PU nomor 10/KPTS/2000 bahwa suatu bangunan gedung harus mempunyai bagian atau elemen bangunan yang pada tingkat tertentu bisa mempertahankan stabilitas struktur selama terjadi kebakaran, yang sesuai dengan:

a. Fungsi bangunan b. Beban Api

c. Intensitas kebakaran

Pos kebakaran sebagai salah satu bagian dari sistem penanggulangan kebakaran juga harus diperhatikan. Pos kebakaran melayani maksimum 3 kelurahan pada suatu kawasan perkotaan. Pos kebakaran harus memiliki mobil pemadam kebakaran dengan tangki 4.000 liter maksimal 2 buah serta tandon air 12.000 liter. Pada pos kebakaran ditempatkan maksimal 2 regu pemadam dengan tiap regunya terdiri dari 6 orang yang terdiri antara lain:

1. 1 orang kepala regu

2. 1 orang operator mobil kebakaran 3. 4 orang anggota

Dari hasil tinjauan pustaka bahwa penyediaan hidran dalam suatu kawasan menjadi hal paling utama dalam penanggulangan kebakaran yang didukung oleh fisik hunian dan lingkungan hunian. Namun, pada wilayah penelitian yang merupakan kawasan permukiman dengan sifat perkampungan yang memiliki pola hunian tidak teratur dan penyediaan jaringan pergerakan yang kurang memadai sehingga penyediaan hidran pada kawasan tersebut kurang tepat. Oleh karena itu, penyediaan sarana kebakaran selain adanya hidran juga dipengaruhi oleh variabel ketersediaan jalur keluar rumah, vaiabel ketersediaan APAR, dan variabel ketersediaan jalur evakuasi.

Tabel 2-5 Sintesa Variabel dari Indikator Sarana Kebakaran

Sumber Variable menurut teori Variable yang digunakan

Rahmann , 2003

1. Pencapaian ke kawasan permukiman yang mudah 2. Ketersediaan hidran eksterior di kawasan permukiman

3. Penentuan daerah perlindungan sementara 4. Penentuan jalur keluar

bangunan rumah serta alat evakuasi 5. kelengkapan lingkungan bangunan 1. Ketersediaan jalur keluar rumah 2. Ketersediaan sistem

pemadam api ringan (APAR)

3. Ketersediaan jalur evakuasi

Sumber: hasil analisis, 2016

2.4 Konsep Urban Design dalam Mengurangi Resiko Kebakaran

Terdapat beberapa pandangan terhadap suatu kota. Pandangan tersebut menjadi pendekatan yang digunakan oleh ahli perancangan kota dalam membentuk teori – teori. Pandangan terhadap kota bisa dibagi menjadi 3 yaitu pandangan kota tradisioanl (pre-industrial cities), pandangan kota industri (modern industrial cities) dan pandangan kota global (post-industrial cities). Pandangan tersebut membentuk pendekatan oleh ahli perancangan kota dalam melihat suatu kota sebagai produk.

Beberapa literatur terhadap perencanaan dan perancangan kota membentuk anggapan bahwa perencanaan kota fokus terhadap proses yaitu rencana sedangkan perancanagan kota fokus terhadap produk, yaitu desain. Namun, pandangan tersebut terlalu naif bila dipisahkan. Suatu proses tidak berkonsentrasi pada hasil produknya maka proses tersebut tidak berjalan dengan baik karena tidak memliki

25 tujuan yang konkret. Hal sebaliknya juga, konsentrasi terhadap produktanpa melihat proses yang baik maka produk yang dihasilkan tidak akan maksimal. Hal tersbut membuat perencanaan kota yang dianggap sebuah proses saling membutuhkan terhadap perancangan kota yang dianggap sebuah produk.

Pendekatan ahli perancangan kota dalam melihat suatu kota sebagai produk membentuk tiga konsep teori utama yang saling berkaitan yaitu konsep figure/ground, linkage, dan place. Konsep teori tersebut mengarahkan elemen – elemen kawasan kota dalam menghadapi permasalahan struktur massa dan ruang perkotaan. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam menghadapi permasalahan tersebut antara lain elemen kawasan kota yang sudah ada di dalam suatu kawasan perlu diperkuat supaya kawasan itu lebih jelas dalam realitasnya, eleemen kawasan kota yang masih berbenturan di dalam suatu kawasan perlu ditrasnformasikan supaya kawasan itu lebih mendukung realitasnya, dan elemen kawasan kota yang belum ada di dalam suatu kawasan perlu diperkenalakan supaya kawasan itu lebih berarti dalam realitasnya.

Dari hasil tinjauan tersebut maka disimpulkan bahwa permasalahan struktur massa dan ruang perkotaan dalam konteks kebakaran di perkotaan sangat dibutuhkan penyelesaian sesuai dengan konsep teori perancangan kota dimana kota sebagai produk. Konsep teori yang utama dalam teori perancanagan kota tersebut antara lain teori figure/ground. Teori linkage, dan teori place.

2.4.1 Teori figure/ground dalam mengurangi resiko kebakaran

Teori figure/ground memahami tentang bentuk yang dibangun (building mass) dan bentuk yang tak terbangun (open space). Hal tersebut membantu dalam melihat suatu tekstur dan pola dari sebuah tata ruang perkotaan (urban fabric). Kemampua penentuan pola sebuah tempat membantu dalam menangani masalah ketepatan dan perubahan suatu kawasan perkotaan.

Dalam penentuan pola sebuah tempat, terdapat beberapa yang harus diketahui antara lain (Zahnd, 1999)

1. Fungsi pengaturan pola

Fungsi pengaturan pola menjadi salah satu hal yang diperhatikan dalam penentuan suatu pola sebuah tempat. Pemahaman dalam suatu lingkungan harus memahami pola pikir manusia yang ada. Permukiman, bangunan, taman menjadi hasil dari aktivitas semacam itu.

2. Sistem pengaturan pola

Pola tekstur sebuah kota menentukan pola kehidupan dan kegiatan masyarakat kota yang ada di dalam kawasan perkotaan. Menurut Zahnd (1999) sistem pola kawasan perkotaan bisa dibagi menjadi tiga antara lain:

a. Susunan kawasan bersifat homogen yang jelas, dimana ada hanya satu pola penataan

b. Susunan kawasan bersifat heterogen, dimana dua atau lebih pola berbenturan

c. Susunan kawasan yang bersifat menyebar dengan kecenderungan kacau.

Sistem hubungan di dalam teori figure/ground mengenal dua elemen yaitu solid dan void. Elemen solid terbagi lagi menjadi tiga elemen antara lain (Trancik, 1986):

Dokumen terkait