• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisi tentang kesimpulan, saran, dan keterbatasan dari seluruh topik.

BAB II

LANDAUAN TEORI

A. Kajian Teoritis 1. Organisasi

Kata “organisasi” mempunyai dua pengertian umum. Pengertian pertama menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional, seperti organisasi perusahaan. Pengertian kedua berkenaan dengan proses pengorganisasian, sebagai suatu cara dalam mana kegiatan organisasi dialokasikan dan ditugaskan diantara para anggotanya agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efesien (T. Hani Handoko, 1999: 167).

Organisasi bukanlah sekedar kumpulan orang dan bukan pula hanya sekedar pembagian kerja, karena pembagian kerja hanyalah salah satu asas organisasi. Salah satu asas tidaklah dapat menjadi pengertian umum, atau dengan perkataan lain arti sebagian tidak dapat menjadi arti keseluruhan. Untuk memudahkan penangkapan pengertian dapatlah kiranya disusun suatu definisi organisasi secara sederhana dan dapat diterapkan dalam praktek sebagai berikut: Organisasi adalah sistem saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerja sama untuk mencapai tujuan teoritis (Sutarto, 1987: 36).

Organisasi didefinisikan juga sebagai suatu usaha bersama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu. Manusia modern

adalah manusia organisasional dalam arti bahwa 1) tidak ada manusia modern yang bisa berdiri di luar organisasi; 2) semua kebutuhan manusia modern diurus dan dicukupi oleh organisasi (Suryasudarma, 2003: 1).

2. Perilaku organisasi

Perilaku organisasi adalah suatu bidang studi yang mengamati tentang pengaruh perilaku individu, kelompok dan perilaku dalam struktur organisasi dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan guna memperbaiki keefektifan organisasi, (Suwarto, 1999: 17). Perilaku keorganisasian konsern dengan situasi hubungan manusia, sebab hal ini erat kaitannya dengan: pekerjaan, absensi, pergantian karyawan, produktivitas, prestasi seseorang dan manajemen. Perilaku keorganisasian juga meliputi: motivasi, perilaku dan kekuatan/tenaga kepemimpinan, komunikasi antar personal, struktur kelompok dan proses konflik, desain pekerjaan, dan stres.

Perilaku organisasi merupakan studi sistematis tentang tindakan dan sikap yang ditunjukan oleh orang - orang dalam organisasi. Bidang perilaku organisasi mencoba menggantikan penjelasan intuitif dengan studi sistematis yakni, dengan menggunakan bukti – bukti ilmiah yang dikumpulkan dalam kondisi yang terkontrol, diukur, dan diinterpretasikan dengan hati – hati untuk menjelaskan hubungan sebab dan akibat. Tujuannya, tentu saja untuk membuat kesimpulan yang akurat. Jadi, bidang perilaku organisasi teori dan kesimpulannya didasarkan pada sejumlah besar studi – studi penelitian yang dirancang secara sistematis, maksudnya adalah perilaku dan sikap.

Tiga jenis perilaku yang terbukti sebagai penentu utama kinerja karyawan adalah produktivitas, ketidakhadiran, dan turnover. Pentingnya produktivitas sudah jelas, setiap manajer sangat peduli dengan kuantitas dan kualitas output

yang dihasilkan oleh setiap karyawan. Namun, ketidakhadiran dan turnover

yang tingkatannya terlalu tinggi sangat mempengaruhi output ini. Dalam hal ketidakhadiran, sulit bagi seorang karyawan untuk produktif jika ia tidak berada di tempat kerja. Selain itu tingkat pergantian karyawan yang tinggi meningkatkan biaya dan cenderung menempatkan individu yang kurang berpengalaman ke dalam pekerjaan.

Perilaku organisasi juga terkait dengan kepuasan kerja karyawan, yang merupakan sebuah sikap. Para manajer seharusnya memperhatikan kepuasan kerja karyawan mereka untuk tiga alasan. Pertama, terdapat kaitan antara kepuasan dan produktivitas. Kedua, kepuasan berhubungan secara negatif dengan ketidakhadiran dan turnover. Terakhir, tidak dapat disangkal bahwa para manajer memiliki tanggung jawab kemanusiaan; untuk memberi pekerjaan yang menantang, penghargaan, dan kepuasan terhadap karyawan mereka.

3. Komitmen organisasi

Komitmen karyawan pada organisasi dapat dijadikan salah satu jaminan untuk menjaga kelangsungan organisasi tersebut. Komitmen karyawan terhadap organisasi adalah bentuk keterkaitan, keterlibatan, dan keikatan karyawan pada apa yang terjadi dan dialami organisasi. Jadi komitmen

karyawan adalah tingkat identifikasi karyawan dalam organisasi atau perusahaan yang meliputi tingkat keterkaitan karyawan, tingkat keterlibatan karyawan, dan tingkat keikatan karyawan pada sasaran organisasi (Indri Hapsarie, 1999:17). Sebaliknya, komitmen perusahaan pada karyawannya juga dapat dituntut. Oleh karena itu, tidak ada gunanya organisasi menuntut kerjasama dan keterikatan moral dari karyawan, bila organisasi masih beranggapan hanya memiliki sedikit kewajiban moral terhadap karyawan. Apabila organisasi menghendaki komitmen dari karyawan, organisasi harus lebih memberi kepercayaan dan keamanan kerja bagi karyawan. Untuk membentuk karyawan tidaklah mudah, karena masalah ini tidak dipandang dari lingkup mikro saja, misalnya dari hasil kerja yang tampak. Namun, komitmen lebih merupakan masalah makro seperti nilai – nilai yang berlaku dalam organisasi. Hal ini diprediksi akan mampu dan bahkan sangat menentukan terbentuknya komitmen seseorang.

Komitmen terhadap organisasi sebagai sifat hubungan seorang individu dengan organisasi yang memungkinkan seseorang mempunyai keterikatan yang tinggi. Jadi, komitmen meliputi hubungan antara karyawan dengan organisasi dimana karyawan tersebut bersedia memberikan sesuatu atas kemauan sendiri agar dapat menyokong tercapainya tujuan.

Komitmen organisasional merupakan identifikasi rasa, keterlibatan loyalitas yang ditampakkan oleh pekerja terhadap organisasinya atau unit organisasi (Indri Hapsarie, 1999:18). Sedangkan Mowday et al (dikutip dalam

Indri Hapsarie, 1999:18), menyatakan bahwa komitmen organisasional sebagai seberapa jauh tingkat seorang pekerja mengidentifikasikan dirinya pada organisasi serta keterlibatannya di dalam suatu organisasi. Komitmen organisasional dilihat dalam sikap penerimaan, keyakinan yang kuat terhadap nilai – nilai dan tujuan sebuah organisasi, begitu juga adanya dorongan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi demi tercapainya tujuan organisasi.

Steers (dikutip dalam Gary Dessler, 1992: 319-321), mendefinisikan komitmen organisasional sebagai kekuatan relatif dari suatu sifat seseorang dengan dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu, dimana hal tersebut mempunyai tiga faktor, seperti:

1. Kepercayaan dan penerimaan terhadap nilai serta tujuan organisasi 2. Kesadaran dalam mengarahkan usahanya terhadap organisasi 3. Keinginan kuat untuk menjadi anggota organisasi

Sama halnya dengan Steers, Buchanan (dikutip dalam Gary Dessler, 1992: 319), menyatakan bahwa komitmen mengandung tiga tindakan terpisah namun berkaitan, seperti:

1. Pengenalan terhadap misi organisasi

2. Rasa keterlibatan atau keikutsertaan psikologis dalam tugas organisasi 3. Rasa setia dan cinta terhadap organisasi sebagai tempat untuk hidup dan

bekerja serta sangat terpisah dengan misi atau nilai instrumental terhadap diri sendiri

Menurut Hrebeniak dan Alutto (dikutip dalam Indri Hapsarie, 1999:19) Faktor – faktor yang mempengaruhi komitmen terdiri dari bidang – bidang, yaitu: 1. Ciri pribadi pekerja, termasuk juga masa jabatanya dalam organisasi dan

variasi kekuatan kebutuhannya seperti kebutuhan untuk berprestasi, imba­ lan, dan lingkungan kerja.

2. Ciri pekerja, seperti identitas tugas, kesempatan berinteraksi, bekerja sesuai dengan kemampuan.

3. Kemampuan kerja, seperti keterandalan organisasi, peran pentingnya arti diri seseorang bagi organisasi, cara pekerja – pekerja lainnya memperbin­ cangkan dan mengutarakan perasaan mereka mengenai organisasi.

Dengan demikian pimpinan dapat meningkatkan komitmen karyawan, misalnya dengan cara harus dibujuk agar tetap tinggal bersama organisasi. Hal ini mungkin dilakukan dengan menawarkan serangkaian imbalan yang berlaku di seluruh organisasi bagi para anggotanya, seperti tingkat gaji yang lebih tinggi, fasilitas tambahan yang lebih baik, kesempatan bagi pertumbuhan, kemajuan pribadi melalui program pelatihan, dan sebagainya. Tindakan – tindakan seperti itu membuat organisasi lebih menarik bagi pekerja dibanding organisasi lain.

Oleh karena itu para pimpinan dapat berusaha membina keterikatan dan keikatan dengan menempatkan para pekerja dalam situasi yang membuka kesempatan bagi mereka untuk mencapai tujuan – tujuan yang berarti bagi pribadi mereka. Dengan asumsi bahwa tujuan – tujuan tersebut relevan bagi

organisasi sehingga diharapkan karya keseluruhan akan meningkat. Lagipula kepada para pekerja harus diperlihatkan manajemen dan para karyawan lainnya benar – benar memperhatikan kesejahteraan mereka, ataupun ada kemungkinan mengubah beberapa segi tertentu dalam pekerjaan para karyawan, sehingga mereka memiliki otonomi dan tanggungjawab yang lebih besar dan dapat lebih mengidentifikasikan diri dengan tugas mereka yang sebenarnya.

Selain itu penting juga bahwa para karyawan mengerti dan mengidentifikasi diri dengan sasaran dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, perlu diciptakan suasana saling percaya dan saling mendukung diantara para karyawan dan pimpinan, sehingga masing – masing menyumbang sesuatu bagi terciptanya tujuan pihak lain dan keinginan karyawan. Menurut Minner (dikutip dalam Indri Hapsarie, 1999:20) mengemukakan adanya dua jenis komitmen, yaitu:

1. Komitmen sikap (attitudional coffitfent)

Komitmen sikap merupakan keterikatan relatif diri individu pada organisasi dan derajat keterlibatannya dalam organisasi tersebut. Secara konsep dapat dicirikan dengan tiga prediktor, yaitu: (1) kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai – nilai dan tujuan organisasi, (2) kesediaan untuk berbuat sebaik mungkin demi keberhasilan organisasi, dan (3) keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

2. Komitmen perilaku (Behavior coffitfent)

Dalam hal ini komitmen dipandang sebagai suatu investasi aktivitas – aktivitas atau pekerjaan pada masa yang lalu, sehingga tetap tinggal menjadi anggota organisasi sebagai pertimbangan yang utama.

Grusky (dikutip dalam Mutiara Sibarani Panggabean, 2004: 94), mengemukakan bahwa komitmen organisasi adalah sifat hubungan antara anggota organisasi dengan sistem secara keseluruhan. Sedangkan Porter et al (dikutip dalam Mutiara Sibarani Panggabean, 2004: 94), mendefinisikan komitmen organisasi adalah sebuah tanggapan afektif yang berasal dari hasil evaluasi terhadap situasi pekerjaan yang menghubungkan seseorang dengan organisasi. Secara khusus, Porter et al, menyatakan bahwa komitmen organisasi sebagai identifikasi dan keterlibatan yang relatif kuat dari seseorang terhadap organisasi.

Selanjutnya Mowday, Steers, dan Porter (dikutip dalam Mutiara Sibarani, 2004: 94), berpendapat bahwa pada umumnya komitmen organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu keterikatan afektif dan keinginan untuk berbakti kepada sebuah organisasi. Kemudian Mowday et al (dikutip dalam Mutiara Sibarani Panggabean, 2004: 94) mengemukakan bahwa komitmen organisasi memiliki tiga buah ciri yaitu:

1. Suatu keyakinan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai dan tujuan or­ ganisasi

3. Keinginan yang kuat untuk tetap tinggal menjadi anggota dari sebuah organisasi dan bukan organisasi lainnya.

Ini berarti bahwa komitmen organisasi memiliki beberapa dimensi, ia tidak hanya berupa sikap yang menunjukkan suatu tanggapan afektif atau kewajiban seseorang terhadap organisasi, namun juga merupakan perilaku yang dinyatakan ke dalam usaha yang keras dan keinginan yang kuat untuk tetap tinggal dalam organisasi. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Allen dan Meyer (dikutip dalam Mutiara Sibarani Panggabean, 2004: 94), komitmen organisasi memiliki tiga komponen, yaitu:

1. Komitmen afektif (affective coffitfent)

Komitmen afektif (affective coffitfent) didefinisikan sebagai kuatnya hasrat seseorang untuk tetap bekerja pada sebuah organisasi karena ia merasa cocok dan mau melakukannya.

2. Komitmen normatif (Norfative coffitfent)

Komitmen normatif (Norfative coffitfent) merupakan kuatnya hasrat seseorang untuk tetap bekerja pada suatu organisasi karena ia merasa berkewajiban untuk tetap tinggal di sana.

3. Komitmen berkelanjutan (Continuance coffitfent)

Komitmen berkelanjutan (Continuance coffitfent) adalah kuatnya hasrat seseorang untuk tetap bekerja pada sebuah organisasi karena ia membutuhkannya dan tidak mampu berbuat lain.

Mowday et al (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 61), berpendapat bahwa komitmen menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai oleh organisasi. Komitmen organisasi yang kuat menyebabkan individu berusaha mencapai tujuan organisasi dan mengutamakan organisasi. Menurut Porter et al (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptininggsih, 2004: 61) individu berkomitmen tinggi akan berpandangan positif dan berusaha berbuat yang terbaik bagi organisasi.

4. Kepuasan kerja

Kepuasan kerja adalah cara seseorang pekerja merasakan pekerjaannya (Kennethh N. Wexley & Gary A Yuckle, 1988: 129). Kepuasan kerja merupakan generalisasi sikap – sikap terhadap pekerjaannya yang didasarkan atas aspek – aspek pekerjaannya yang dipertimbangkan seorang pekerja, namun sekelompok karakteristik pekerjaan cenderung secara bersama – sama dievaluasi dengan cara yang sama. Sekelompok karakteristik tersebut, yang pada umumnya ditemukan dalam analisis statistik dari beberapa daftar pertanyaan sikap, meliputi: gaji/upah, kondisi kerja, pengawasan, teman kerja, isi pekerjaan, jamianan kerja, serta kesempatan promosi. Sesungguhnya, seseorang pekerja beranggapan memiliki sebagian sikap terhadap setiap aspek pekerjaan tersebut disamping gabungan sikap terhadapnya sebagai keseluruhan.

Kepuasan kerja mengacu kepada sikap individu secara umum terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya; seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaan tersebut. Ketika orang berbicara tentang sikap karyawan, seringkali mereka bermaksud mengatakan kepuasan kerja. Sebenarnya kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian. Yang menentukan kepuasan kerja dan variabel yang berkaitan dengan pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja adalah pekerjaan yang secara mentalitas memberi tantangan, penghargaan yang layak, kondisi kerja yang menunjang, dan rekan kerja yang mendukung.

Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan – pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan tugas – tugas yang bervariasi, kebebasan, dan umpan balik tentang seberapa baik mereka bekerja. Karakteristik – karakteristik ini membuat pekerjaan secara mentalitas menantang. Pekerjaan – pekerjaan yang terlalu kecil tantangannya menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak tantangan menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Dibawah kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.

Karyawan menginginkan sistem penggajian dan kebijakan promosi yang mereka rasa wajar, tidak membingungkan, dan sejalan dengan harapan mereka. Bila penggajian dianggap adil, berdasarkan tuntutan pekerjaan,

tingkat keterampilan individu, dan standar gaji masyarakat, kepuasan akan tercapai. Sama halnya individu – individu yang merasa bahwa kebijakan promosi dibuat dengan cara yang adil dan wajar akan mengalami kepuasan dalam pekerjaan mereka. Para karyawan menaruh perhatian yang besar terhadap lingkungan kerja mereka, baik dari segi kenyamanan pribadi maupun kemudahan untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Mereka lebih menyukai lingkungan fisik yang aman, nyaman, bersih, dan memiliki tingkat gangguan minimum.

Akhirnya orang menginginkan sesuatu dari pekerjaan mereka yang lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang tampak di mata. Bagi sebagian besar karyawan, bekerja juga dapat memenuhi kebutuhan untuk berinteraksi sosial. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa memiliki rekan – rekan kerja yang ramah dan mendukung dapat meningkatkan kepuasan kerja.

Menurut Gilmer (dikutip dalam Vince Ratnawati & Indra Wijaya Kusuma, 2002: 280) menyatakan bahwa berbagai faktor yang menentukan kepuasan kerja seseorang antara lain adalah keamanan kerja, faktor intrinsik dari pekerjaan, dan aspek sosial dari pekerjaan. Seseorang yang merasakan keamanan kerja sesuai dengan yang dipersepsikannya akan menimbulkan tingkat kepuasan kerja yang tinggi.

Selanjutnya Robert Kreitner & Angelo Kinicki (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 60) mengidentifikasikan kepuasan kerja adalah suatu respon emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini

berarti bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal. Sebaliknya, seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau lebih aspek yang lainnya. Kemudian Robbins (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 60) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya.

Menurut Mobley (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 60) karyawan dengan kepuasan kerja akan merasa senang dan bahagia dalam melakukan pekerjaannya dan tidak berusaha mengevaluasi alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, karyawan yang merasa tidak puas dalam pekerjaannya cenderung mempunyai pikiran untuk keluar karena menemukan pekerjaan yang lebih memuaskan. Kemudian menurut Williams & Hazer (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 60) kepuasan mengarah pada respon emosional atas aspek khusus dari pekerjaan

Judge dan Locke (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 60) menggambarkan bahwa kepuasan kerja mencerminkan kegembiraan atau sikap emosi positif yang berasal dari pengalaman kerja seseorang. Kegembiraan yang dirasakan oleh karyawan akan memberikan dampak sikap yang positif bagi karyawan tersebut. Apabila seseorang karyawan merasa puas akan pekerjaannya, maka karyawan tersebut akan merasa senang, dan terbebas dari rasa tertekan sehingga akan menimbulakan rasa aman dan tidak menimbulkan keinginan untuk mencari alternatif pekerjaan lain.

5. Keinginan berpindah kerja

Menurut Fransiska Eka Shinta Praptaningsih (2004:62), pergantian karyawan adalah berhentinya individu sebagai anggota suatu organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan. Menurut Fransiska Eka Shinta Praptaningsih (2004:62), tipe pemberhentian atau pelepasan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pelepasan secara sukarela (yang didasari atas keinginan karyawan itu sendiri) dan pelepasan terpaksa (yang didasari atas keinginan organisasi, ditambah dengan kematian dan pengunduran diri atas desakan).

Menurut Dalton, Krachhardt dan Porter ( dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 62) perilaku berpindah kerja suka rela dibedakan dalam dua kelompok: yang dapat dihindari dan yang tidak dapat dihindari. Perpindahan kerja secara suka rela yang dapat dihindari disebabkan karena alasan – alasan upah yang lebih baik di tempat lain, kondisi kerja yang lebih baik di organisasi lain, masalah dengan kepemimpinan/administrasi yang ada, serta adanya organisasi lain yang lebih baik. Sedangkan perpindahan kerja sukarela yang yang tidak dapat dihindari disebabkan oleh alasan – alasan pindah ke daerah lain karena mengikuti pasangan, perubahan arah karir individu, harus tinggal di rumah untuk menjaga anak/pasangan, dan kehamilan

Keinginan berpindah kerja mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain. Menurut

Abelson (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 62) tindakan penarikan diri terdiri atas beberapa komponen yang secara simultan muncul dalam individu berupa adanya pikiran untuk keluar, keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain, dan adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi.

Keinginan berpindah kerja didefinisikan juga sebagai keinginan untuk meninggalkan organisasi dengan sengaja dan sadar. Keinginan berpindah kerja mengacu pada hubungannya dengan organisasi dan belum diwujudkan dalam tindakan pasti meninggalkan organisasi. Keinginan berpindah kerja dapat mempengaruhi perilaku karyawan. Dalam hal ini, Russ dan McNeilly (dikutip dalam Mutiara Sibarani Panggabean, 2004: 92) mengemukakan bahwa apabila karyawan merasa tidak puas, maka mereka tidak akan berkomitmen dan apabila mereka tidak berkomitmen, mereka akan berkeinginan untuk pindah kerja. Selanjutnya apabila mereka mulai berpikir untuk pindah kerja, maka mereka akan sibuk untuk mencari kesempatan kerja di luar, dan jika mereka memperoleh pekerjaan yang lebih baik di luar, mereka akan pindah kerja. Apabila kesempatan kerja di luar tidak tersedia atau kurang menarik, maka mereka secara emosional dan mental mereka akan keluar dari perusahaan, yaitu dengan sering datang terlambat, tidak masuk kerja, kurang antusias atau kurang berusaha.

B. Kajian Pustaka

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menganalisis pengaruh sikap kerja (work attitudes) terhadap perilaku karyawan (efployee behavior). Sikap kerja yang paling sering diamati adalah kepuasan kerja (job satisfaction), komitmen organisasi (organizational coffitfent), dan keinginan berpindah kerja (turnover intension).

DeConick et al ( dikutip dalam Mutiara Sibarani Panggabean, 2004: 91) mengemukakan bahwa kepuasan kerja, mempengaruhi komitmen organisasi, dan kepuasan kerja tidak berhubungan secara langsung dengan keinginan berpindah kerja, melainkan melalui komitmen organisasi. Dengan kata lain mereka berpendapat bahwa komitmen organisasi berperan sebagai variabel mediator terhadap hubungan kepuasan kerja dengan keinginan berpindah kerja.

Menurut Camp ( dikutip dalam Mutiara Sibarani Panggabean, 2004: 91) keinginan untuk pindah kerja hanya dipengaruhi oleh komitmen organisasi, kepuasan kerja tidak berpengaruh terhadap keinginan berpindah kerja. Di lain pihak, Blau dan Boal ( dikutip dalam Mutiara Sibarani Panggabean, 2004: 91) berpendapat bahwa kepuasan kerja dapat secara langsung mempengaruhi keinginan berpindah kerja (tidak melalui komitmen organisasi).

Penelitian yang dilakukan oleh Vince dan Indra (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 60) memprediksi bahwa kepuasan kerja mempunyai hubungan negatif dengan keinginan berpindah. Sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan kepuasan kerja karena peningkatan kepuasan kerja bisa

meningkatkan komitmen organisasi dan akan mengurangi keinginan berpindah. Pada umumnya para peneliti sependapat bahwa kepuasan kerja merupakan suatu pernyataan tentang sikap terhadap perlakuan yang diterima karyawan di tempat kerja.

Pada umumnya karakteristik yang berpengaruh terhadap keinginan berpindah kerja adalah komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa konflik peran merupakan variabel antesenden dari komitmen organisasi yang berkorelasi dengan kepuasan kerja, dan menimbulkan konsekuensi keinginan berpindah kerja, Bline et al (dikutip dalam Vince Ratnawati dan Indra Wijaya Kusuma, 2002: 278). Hasil penelitian Agus Arianto Toly (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 59) juga menunjukkan korelasi yang kuat antara komitmen organisasional dengan kepuasan kerja.

Para peneliti juga mengemukakan bahwa setiap dimensi yang komitmen organisasi, yaitu komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen normatif, masing – masing mempengaruhi keinginan berpindah kerja (Mutiara Sibarani Panggabean, 2004: 97).

Penelitian yang dilakukan oleh Vince dan Indra (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 60) memprediksi bahwa kepuasan kerja mempunyai hubungan negatif dengan keinginan berpindah. Dengan demikian diperlukan upaya untuk meningkatkan kepuasan kerja karena peningkatan kepuasan kerja bisa meningkatkan komitmen organisasi dan akan mengurangi keinginan

berpindah. Pada umumnya para peneliti sependapat bahwa kepuasan kerja merupakan suatu pernyataan tentang sikap terhadap perlakuan yang diterima karyawan di tempat kerja.

C. Pengaruh komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap keinginan ka­ ryawan berpindah kerja

Pada umumnya perusahaan selalu berusaha untuk mengurangi tingkat perputaran yang terjadi pada karyawannya. Tingginya tingkat perputaran karyawan pada perusahaan akan mengakibatkan timbulnya kerugian yang cukup material terhadap perusahaan. Tingkat perputaran karyawan perusahaan pada umumnya disebabkan dua hal yaitu atas keinginan perusahaan atau atas keinginan karyawan itu sendiri.

Pada umumnya karakteristik yang berpengaruh terhadap keinginan berpindah kerja adalah komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa konflik peran merupakan variabel antesenden dari komitmen organisasi yang berkorelasi dengan kepuasan kerja, dan menimbulkan konsekuensi keinginan berpindah kerja, Bline et al (dikutip dalam Vince Ratnawati dan Indra Wijaya Kusuma, 2002: 278) Hasil penelitian Agus Arianto Toly (dikutip dalam Fransiska Eka Shinta Praptiningsih, 2004: 59) juga menunjukkan korelasi yang kuat antara komitmen organisasional dengan kepuasan kerja.

Para peneliti juga mengemukakan bahwa setiap dimensi yang termasuk komitmen organisasi, yaitu komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan

komitmen normatif, masing – masing mempengaruhi keinginan berpindah kerja (Mutiara Sibarani Panggabean, 2004: 97).

Penelitian yang dilakukan oleh Vince dan Indra (dikutip dalam Fransiska Eka

Dokumen terkait