• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan uraian-uraian di dalam pembahasan maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

C. Kesimpulan

1. Ketentuan menyangkut pemalsuan mata uang diatur pada Pasal 36 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa

“Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar Rupiah)”.

Adapun ketentuan yang terdapat dalam Pasal 26 ayat (1) bahwa “setiap orang dilarang memalsu Rupiah”. Objek pemalsuan uang meliputi pemalsuan uang logam, uang kertas Negara dan kertas bank. Kualifikasi terhadap tindak pidana pemalsuan mata uang selain diatur dalam Pasal 244, 245, 250 KUH Pidana juga diatur di dalam Undang-Undang mata uang dengan karakteristik tindak pidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran dan kejahatan.

Kualifikasi tindak pidana mata uang di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang terhadap pelanggaran diatur pada Pasal 33 dan 34. Sedangkan Kualifikasi tindak pidana mata uang di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang terhadap kejahatan diatur pada Pasal 35, 36 dan 37.

2. Peran Polri dalam penanggulangan pemalsuan mata uang didasarkan pada langkah-langkah yang dilakukan oleh Polri baik melalui pendekatan penal policy maupun non penal policy. Pendekatan penal policy yang dilakukan oleh Polri diartikan sebagai tindakan refresif melalui penegakan hukum pidana sebagai usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi.Polri melakukan tindakan pemberantasanserta pengungkapan, dengan langkah-langkah berupa penyelidikan, penindakan, pemeriksaan dan pemberkasan serta penyelesaian perkara. Pendekatan non penal policy yakni melaksanakan tindakan preemtif melalui kegiatan penyuluhan dan sosialisasi. Dalam kegiatan ini diupayakan masyarakat tahu dan kenal ciri-ciri uang asli, uang logam dan uang kertas Republik Indonesia untuk dapat berpartisipasi dan menimbulkan antisipasi awal di masyarakat agar jangan sampai mudah dilibatkan dalam tindak kejahatan uang palsu, sehingga dapat terwujud sikap deteksi dini bila tahu adanya tindak kejahatan tersebut dan segera berpartisipasi dengan melaporkan hal tersebut segera kepada aparat penegak hukum salah satunya Polri. Tindakan preventif yang dilakukan melalui pengamanan di tempat pembuatan uang yang resmi dan sah, pengawasan terhadap perusahaan percetakan, penjualan dan perdagangan alat dan prasarana cetak, datadan lain-lain, pengawasan dan deteksi di tempat pusat perdagangan dan perekonomian, pemeriksaan ketat di pintu masuk dari luar negeri menuju ke Indonesia dan lintas batas untuk menjaga kemungkinan penyelundupan uang palsu, pelayanan yang baik terhadap masyarakat yang

melapor tentang ditemukannya uang palsu atau informasi mengenai kejahatan memalsukan Rupiah, pengawasan terhadap peredaran mesin cetak multifungsi secara berkala, untuk pelaksanaan kegiatan preventif dilakukan koordinasi dengan berbagai instansi terkait untuk ketepatan, kecepatan dan kerahasiaan tindakan untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan.

3. Hambatan yang ditemukan dalam penanggulangan pemalsuan mata uang dibagi atas hambatan internal dan hambatan eksternal. Hambatan internal antara lain: Pertama, kurangnya koordinasi antaraparat penegak hukum (law enforcement officer) di lapangan menyangkut pembuktian tindak pidana pemalsuan mata uang terutama terhadap pelaku yang dikategorikan sebagai organized crime. Kedua, lemahnya penyidikan terhadap pelaku yang dikategorikan sebagai pelaku yang menyuruh melakukan dan pengungkapan jaringan peredaran pemalsuan mata uang pada sistem pembuktian. Ketiga, penyidikan yang dilakukan oleh penyidik saat ini hanya sebatas pelaku yang mengedarkan mata uang palsu sehingga kesulitan dalam pemenuhan unsur subjektif yakni mens rea. Hambatan secara eksternal yakni: Pertama, belum optimalnya koordinasi dan langkah proaktif dengan Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (Botasupal). Kedua, belum efektifnya sistem pemidanaan dalam kerangka pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh sistem peradilan pidana terhadap pelaku pemalsuan mata uang agar efektifnya penjeraan.

D. Saran

Adapun sarana yang direkomendasikan dalam penelitian ini yakni:

1. Perlu dilakukan amandement atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang khususnya mengubah pasal 45 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang bahwa “pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan Bab X Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemalsuan Mata Uang dan uang kertas dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”

menjadi dipertegas sehingga untuk ketentuan terkait dengan pemalsuan Rupiah hanya diatur didalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang ini. Hal ini perlu dilakukan sehingga aparat penegak hukum dalam hal ini Polri mempunyai kepastian didalam menerapkan hukum yang berlaku untuk menangani kejahatan uang palsu.

2. Peran Polri didalam penanggulangan uang palsu dapat dilakukan melalui tindakan represif, preventif dan preemtif dengan lebih mendayagunakan Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu sebagaimana diatur didalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dengan bekerjasama dengan unsur lain yang ada didalamnya yaitu Badan Intelijen Negara, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.

Didalam tindakan represif, unsur di dalam Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu harus dapat saling bahu membahu di dalam memberantas kejahatan uang palsu. Salah satu contoh adalanya dengan adanya informasi

yang diberikan oleh Badan Intelijen Negara kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang kemudian melakukan proses penyidikan dengan meminta keterangan ahli dari Bank Indonesia, selanjutnya mengirimkan Berkas Perkara kepada Jaksa Penuntut Umum dan menyidangkannya di Pengadilan. Proses koordinasi yang dilakukan diharapkan dapat memberikan hasil maksimal, baik dari segi banyaknya barang bukti yang dapat disita, terbongkarnya jaringan atau sindikat pelaku pemalsuan mata uang, maksimalnya putusan pengadilan baik dari sudut hukuman penjara dan dendanya. Sedangkan untuk tindakan preemtif maka Bank Indonesia bersama dengan Polri dapat menjadi suatu wadah guna memberikan penyuluhan ataupun sosialisasi ke masyarakat terkait dengan kejahatan uang palsu. Tindakan preventif dapat dilakukan dengan bantuan dari Badan Intelijen Negara, Menteri Keuangan dan Bank Indonesia khususnya di dalam mendapatkan informasi awal ataupun mengawasi di dalam proses pencetakan uang baru, peredaran dan pendistribusiannya ke seluruh kantor Bank Indonesia, maupun pemusnahan uang Rupiah yang sudah dianggap tidak layak edar atau yang sudah mengalami kerusakan, sehingga tidak ada peluang untuk melakukan kejahatan terhadap mata uang Rupiah.

3. Didalam mengatasi hambatan internal maka Polri harus melakukan sosialisasi termasuk pelatihan dengan tujuan memperbaiki kemampuan dari anggota Polri terkait dengan pemahaman kejahatan uang palsu, termasuk juga memperoleh pemahaman yang sama di dalam menerapakan hukum dalam

menangani kejahatan uang palsu. Sedangkan dari segi hambatan eksternal Polri harus dapat berperan aktif dan bekerjasama dengan unsur lain didalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu yang diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 123 Tahun 2012 tentang Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu.