• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan karang menghabiskan seluruh fase kehidupannya di wilayah terumbu karang. Terumbu karang menjadi tempat mencari makan, berlindung dan bereproduksi. Pada umumnya organisme tersebut mempunyai kecenderungan hidup di wilayah tertentu di dalam ekosistem terumbu karang. Setiap jenis memperlihatkan kesukaan terhadap habitat yang tepat, yang terkait dengan sejumlah kombinasi faktor lingkungan. Faktor lingkungan tersebut meliputi ketersediaan pakan, ruang tempat perlindungan, dan variasi parameter fisika perairan dan karakteristik substrat.

Carpenter (1981) dalam Bozec et al, (2005) menyatakan bahwa

kompleksitas substrat berkaitan dengan ruang tempat perlindungan ikan. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, bahwa faktor yang mempengaruhi kelimpahan ikan adalah fisiografi dasar perairan (Amesbury 1978

dalam Hutomo 1986). Hasil penelitian Bozec et al, (2005), Gratwicke dan Speight

(2005), dan Grober et al, (2008) membuktikan bahwa kelimpahan ikan karang

dipengaruhi oleh keberadaan karang hidup. Dengan demikian penurunan jumlah karang hidup berpengaruh terhadap keberadaan ikan karang.

Hutomo (1986) menemukan bahwa ikan karang memiliki habitat yang berbeda dalam ekosistem terumbu karang, tetapi beberapa jenis dapat menempati habitat yang sama. Hal ini karena tiap jenis atau kelompok ikan memiliki kesukaan

yang berbeda terhadap habitat tertentu. Pada karang yang besar dan padat, seperti Porites, sering dijumpai ikan-ikan pemakan polip. Jenis ikan tersebut berasal dari famili Balistidae dan Chaetodontidae. Pada kelompok karang bercabang, seperti

karang Acropora, sering menjadi tempat perlindungan bagi Damselfish (betok laut)

dan ikan lain yang umumnya berukuran lebih kecil (Nybakken, 1993).

Bersama- sama dengan ikan karang, faktor lingkungan yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang secara umum adalah:

1. Cahaya dan Kedalaman: cahaya matahari dibutuhkan untuk fotosisntesis

yang akhirnya berguna dalam pembentukan terumbu (Nybakken, 1993). Titik kompensasi cahaya untuk biota karang adalah pada kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang 15 – 20% dari intensitas di permukaan. Pada lokasi perairan jernih, terumbu karang masih mampu hidup di kedalaman lebih dari 25 meter.

2. Suhu dan kedalaman: Veron (1993) menyatakan bahwa suhu dan kedalaman

berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan karang. Kedua parameter tersebut berkaitan dengan ketersediaan cahaya, arus, dan sebagainya. Wells

(1957) dalam Nybakken (1993), menyatakan karang hermatifik masih dapat

bertahan pada suhu 180C selama beberapa waktu, tetapi suhu yang paling

optimal untuk perkembangan terumbu karang adalah 23 – 250C.

3. Salinitas: faktor salinitas umumnya berpengaruh terhadap karang di daerah

lagoon atau reef flat terutama pada musim hujan, dimana mungkin terjadi penurunan salinitas yang ekstrim. Karang mampu mentoleransi salinitas pada kisaran 27 – 40 0/00 (Nontji, 1987).

4. Arus dan Gelombang: hempasan ombak kadang-kadang merusak struktur

karang, terutama karang bercabang. Arus berkaitan dengan proses suplai makanan, kebersihan karang terutama dari endapan sedimen, dan juga dengan kandungan oksigen yang dibutuhkan untuk proses resfirasi (pernafasan). Umumnya perkembangan terumbu karang lebih baik di kawasan perairan yang mengalami pengaruh arus dan gelombang (Nybakken, 1993).

3.1 Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Bahodopi, Teluk Tolo Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan September 2007 dan Juni 2008. Stasiun pengamatan terumbu karang terdiri dari 10 stasiun, masing-masing lima stasiun di reef flat (kedalaman 3-5 meter) dan di reef slope (kedalaman 5-10 meter), yakni: Tanjung Lasoni, Bahomatefe, Siumbatu, Nambo, dan Kaurea. Pada Tabel 2 dan Gambar 4 disajikan posisi geografis lokasi penelitian.

Tabel 2. Koordinat stasiun penelitian.

No Lokasi Penelitian Koordinat LS BT 1 TanjungLasoni (LAS) 2⁰ 40’ 02,900” 122⁰ 2’ 24,099” 2 Bahomatefe (BAH) 2⁰ 43’ 28,114” 122⁰ 1’ 53,268” 3 Siumbatu (SIM) 2⁰ 45’ 47,225” 122⁰ 3’ 55,980” 4 Nambo (NAM) 2⁰ 47’ 20,615” 122⁰ 5’ 11,934” 5 Kaurea (KAR) 2⁰ 47’ 15,002” 122⁰ 8’ 34,999”

3.2 Bahan dan alat penelitian

Parameter kualitas lingkungan yang diamati dan bahan dan alat penelitian disajikan pada Tabel 3. Pengukuran in situ dilakukan terhadap parameter fisika dan kimia tertentu, sedangkan sejumlah parameter lainnya diukur/dianalisis di laboratorium.

Tabel 3. Parameter fisika-kimia, metode pengukuran serta alat penelitian.

Parameter Satuan Metode /alat Pengukuran

1. Suhu Air 2. Arus 3. Turbiditas 4. Komposisi/Tekstur Sedimen substrat 5. Salinitas 6. pH 7. DO ⁰C cm/detik mg/l mg/l % - mg/l Termometer Floating drought Turbidity meter Analisis Granulometik Refraktometer pH meter DO meter In situ In situ Ex situ Ex situ In situ In situ In situ

Keterangan: DO: oksigen terlarut (dissolved oxygen)

Peralatan untuk pelaksanaan pengamatan ikan karang dan koloni karang adalah sebagai berikut:

1. Peralatan Selam dasar, dan SCUBA untuk snorkling dan penyelaman,

2. Kamera dan water resistant chasing untuk pemotretan kegiatan pengamatan ikan dan ikan karang,

3. Kertas water-resistant, writing-pad plastik, dan pensil 2B untuk mencatat jenis ikan karang, panjang tutupan jenis dan lifeform karang,

4. Roll meter untuk transek garis,

5. Pelampung tanda untuk keselamatan kerja, 6. Botol Kemmerer untuk pengambilan contoh air,

7. Plastik dan sendok plastik untuk pengambilan substrat karang, dan

8. Perahu Nelayan untuk pengangkutan dan transportasi ke lokasi penelitian

Pemilihan lokasi stasiun penelitian dilakukan berdasarkan hasil observasi pendahuluan, menggunakan citra satelit Landsat ETM +7. Wawancara dengan penduduk setempat dan pengamatan cepat dengan menggunakan kapal nelayan setempat juga dilakukan untuk melihat sebaran terumbu karang.

Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode sensus visual yang dikembangkan oleh Dartnal dan Jones (1986) dan English et al, (1996), menggunakan transek garis sepanjang 50 meter. Transek ditempatkan relatif sejajar dengan garis pantai, dan pengamatan ikan karang dilakukan sepanjang transek dengan lebar ruang dasar perairan ke kiri dan kanan selebar 2,5 meter (luas transek: 250 m²). Pengukuran panjang penutupan jenis dan bentuk pertumbuhan (lifeform) karang juga dilakukan menggunakan transek yang sama. Berdasarkan pengamatan pendahuluan, pengukuran karang dan ikan karang di setiap stasiun penelitian dibagi menjadi dua kelompok, yakni daerah rataan terumbu (reef flat) dengan kisaran kedalaman 3–5 meter, dan daerah kemiringan (reef slope) dengan kedalaman 5 - 10 meter.

Pengamatan ikan karang dilakukan terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan pengukuran koloni lifeform/jenis karang. Masing-masing pengamatan dilakukan oleh tiga orang penyelam, dimana satu orang mengamati dan memotret ikan karang dan karang, satu orang mengamati ikan karang dan satu orang lagi mengukur panjang tutupan jenis dan lifeform karang.

Untuk memperoleh gambaran karakteristik habitat, selain pengukuran lifeform, dilakukan juga pengukuran parameter lingkungan, meliputi paramater kualitas air dan komposisi substrat sebagaimana telah disajikan pada Tabel 3.

Pelaksanaan kegiatan pengamatan dan pengukuran komponen penelitian di masing-masing stasiun penelitian dilakukan pada pagi dan siang hari. Dengan demikian waktu pengamatan antar satsiun tidak seragam, artinya tidak memperhatikan perbedaan waktu.

3.4 Analisis data

Analisis data meliputi: penghitungan indeks Keanekaragaman Shannon – Weaver (1949) dalam (Krebs, 1989), indeks Keseragaman (Krebs, 1989), dan indeks Dominansi Simpson.

dengan Analisis Komponen Utama (AKU), sedangkan evaluasi keterkaitan distribusi spasial ikan dan lifeform karang serta karakteristik lingkungan di lokasi penelitian dilakukan dengan Analisis Koresponden (correspondence analysis, CA).

3.4.1 Indeks Keanekaragaman (H’)

Nilai indeks Keanekaragaman menggambarkan kelimpahan distribusi individu antar jenis ikan karang dan biota karang di lokasi penelitian. Indeks tersebut dapat menggambarkan keseimbangan jenis dalam lingkungannya. Indeks tersebut diukur dengan rumus:

H’ = -∑pilog2 pi

keterangan:

H’= nilai indeks Keanekaragaman pi = ni/N

pi = proporsi penutupan kelompok biota/koloni ke-i N = total penutupan biota

Ni = nilai penutupan biota

Nilai indeks Keanekaragaman berkisar antara 0 - ∞ (nol s/d tidak terhingga). Kategori Keanekaragamannya adalah:

H’ <1 = keanekaragaman rendah 1< H’ <3 = keanekaragaman sedang H’ >3 = keanekaragaman tinggi 3.4.2 Indeks keseragaman (E)

Nilai indeks keseragaman (E) dikenal juga sebagai indeks keseimbangan atau kemerataan jenis penyususn suatu komunitas. Nilai indeks tersebut adalah perbandingan antara nilai indeks Keanekaragaman dengan nilai keanekaragaman maksimum (Hmax) yang teramati. Rumus yang digunakan adalah:

max ' H H E ; Hmax

log

2S keterangan:

E = nilai indeks keseragaman H’ = nilai indeks Keanekaragaman

Kisaran nilai indeks tersebut adalah 0 – 1, dimana nilai tersebut dapat menunjukkan keadaan komunitas sebagai berikut:

0.00 < E ≤ 0.50 = komunitas tertekan 0.50 < E ≤ 0.75 = komunitas labil 0.75 < E ≤ 1.00 = komunitas stabil

Kisaran tersebut diatas menggambarkan penyebaran jumlah biota yang teramati, dimana nilai yang kecil menunjukkan bahwa penyebaran biota tidak sama, sehingga menunjukkan adanya dominasi oleh suatu jenis tertentu.

3.4.3 Indeks dominasi (C)

Nilai indeks dominasi digunakan untuk melihat tingkat dominasi suatu kelompok jenis /koloni terhadap yang lain. Perhitungan indeks tersebut adalah:

C = ∑ [ni /N]² keterangan:

C = indeks dominasi

ni = nilai penutupan biota ke-i N = penutupan total biota

Kisaran nilai indeks dominansi berkisar antara 0 sampai 1.Semakin kecil nilai indeks tersebut, menunjukkan bahwa tidak ada dominansi oleh jenis tertentu dalam suatu komunitas.

3.4.4 Karakteristik habitat ikan berdasarkan variabel lingkungan perairan.

Untuk mengevaluasi variasi variabel fisika-kimia perairan antar habitat ikan (stasiun penelitian) digunakan pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (AKU) (Principal Componen Analysis, PCA) (Legendre dan Legendre, 1983; Ludwig dan Reynolds, 1988; Digby dan Kempton, 1987; Bengen et al, 1992 dalam Natan, 2007). AKU merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari stasiun penelitian sebagai individu

kuantitatif (kolom).

Variabel fisika-kimia perairan yang diukur tidak memiliki unit pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan AKU, data tersebut harus dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian. Jadi, apabila Xij adalah nilai data awal dan X.j adalah rata-rata, serta S.j adalah simpangan baku X.j, maka pemusatan dari Xij ke Yij dapat ditransformasikan ke Yij

dengan rumus: Yij = (Xij – X.j), dan pereduksian dari Xij ke Yij ditransformasikan dengan rumus Yij – (Xij – X.j)/S.j. Dengan demikian setiap variabel memiliki unit keragaman.

Hasil nilai pemusatan dan pereduksian adalah matriks baru ASxN yang merupakan pembentukan dari komponen-komponen aij. Untuk menentukan hubungan antara dua variabel digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds, 1988), yaitu:

Dokumen terkait