• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian lain yang kami buat untuk asrama yang ada di kota Sorong, yakni Asrama Putra St. Agustinus, Asrama Puteri St. Monika dan Asrama Puteri St. Fransiskus Xaverius19. Asrama-asrama ini sering disebut sebagai Panti Asuhan. Asrama ini diadakan untuk menampung anak-anak yang tidak mempunyai keluarga di kota Sorong, namun berkeinginan melanjutkan studinya di Kota Sorong. Juga terdapat anak-anak yang memang tidak mempunyai orang tua lagi. Asrama ini lebih dari sekedar tempat kost sebab di asrama ini ada juga seorang pembina yang mengatur hidup bersama anak-anak yang ada. Orangtua memilih tempat ini karena merasa aman bagi anak-anak mereka dan suasana belajar dapat terciptakan di tempat ini.

Berdasarkan pada hasil wawancara dan observasi serta kajian dokumen pada SM PvD dan dengan membuat pembandingan tentang corak pengelolaan pada ketiga asrama-panti asuhan yang disebut di atas, peneliti keunggulan-keunggulan dari sekolah berpola asrama SM PvD. Sekolah berpola asrama SM PvD menjadi sekolah alternatif yang secara intensif mendidik siswa dari segi rohani dan jasmani. Sekolah ini telah berusaha membentuk lulusannya menjadi manusia yang seutuhnya. Sekolah ini mempunyai kesatuan kurikulum dengan asrama; sehingga dapat dikatakan menjadi sebuah kurikulum hidup.

Kurikulum hidup itulah yang kami sebut sebagai keunggulan dari Sekolah berpola Asrama SMPvD. Kurikulum hidup ini bercorak “komunikatif-Integratif”. Dalam arti yang lebih luas – komunikasi integratif – atau dengan istilah lain komunikasi terpadu dapat juga dimaknai sebagai pengembangan komunikasi hidup harian antar anggota keluarga inti seperti, suami-istri, orang tua dan anak, serta diantara anak-anak. Keberhasilan komunikasi integratif dapat dicapai jika ada sikap empatik, membuka pintu hati dan mendengar aktif.

19 Selain mengunjungi asrama-panti asuhan ini dan membuat observasi serta wawancara dengan para pamongnya, peneliti sudah memintakan para pamong dari masing-masing asrama-panti asuhan ini untuk menuliskan keterangan mengenai asramanya yang turut dilampirkan dalam buku ini.

Petrus Van Diepen Sorong

131

Tak jauh berbeda dengan keluarga sebagai sebuah entitas, pendidikan berpola asrama juga menuntut adanya komunikasi integratif di antara anggotanya, baik antara perfek, pamong, guru sebagai wakil dari orang tua (baca: formator) dengan siswa-siswi sebagai formandi, antara sekolah dengan asrama. Kesemuanya itu sungguh memanusiakan manusia yang dapat berperan aktif dalam pembangunan.

Dari seluruh uraian deskriptif di atas ini dapat ditelusuri beberapa keunggulan atau best practices dalam strategi pengelolaan dan hasil dari sekolah berasrama SM PvD. Selain keunggulan-keunggulan umum sekolah berasrama yang sudah disebut dalam bab II di atas (ada 12 hal yang unggul), SM PvD memiliki keunggulan-keunggulan yang spesifik sebagai berikut:

a. Sekolah khusus tapi terbuka untuk umum.

Pendirian sekolah SMPvD ini sebenarnya bercorak khusus, yaitu terarah pada pembentukan calon-calon pemuka dan pelayan umat Katolik atau calon imam, sebagaimana tersurat dalam nama sekolahnya sendiri yaitu „Seminari Menengah‟. Sebagaimana lazimnya sebuah seminari Katolik, para siswa laki-laki itu mengikuti pendidikan formal dan serentak mendapat pembinaan kehidupan dalam asrama. Tetapi SMPvD ini menerima juga para siswa yang tidak memiliki aspirasi untuk menjadi calon imam, malahan menerima kelompok siswi perempuan yang pasti bukan calon imam. Juga diterima para siswa yang bukan beragama Katolik.

Kebanyakan siswa itu hidup dan dibina dalam asrama, baik di asrama seminari dan di asrama putri. Dibandingkan dengan seminari menengah lainnya di Indonesia, yang jumlahnya 32 buah, kebanyakan hanya menampung peserta didik yang ingin menjadi calon imam saja, jadi mayoritas laki-laki. Ada beberapa seminari menengah yang mengikuti persekolahan SMA Katolik biasa dengan siswa campur: lelaki dan perempuan, tetapi hanya calon-calon „imam‟-lah yang tinggal di asrama seminari, sedangkan siswa-siswi lainnya tinggal di rumah masing-masing. Sementara seminari Petrus van Diepenlah

satu-satunya seminari untuk para calon imam yang tinggal di asrama, bersebelahan dengan asrama putri yang dikelola para Suster, dan semua penghuni asrama ini mengikuti pelajaran di sekolah yang sama20. Keterbukaan sekolah ini untuk menerima para siswa yang bukan Katolik pun memberi keunggulan tersendiri, dan para seminaris ini dapat bersahabat dengan penganut agama lainnya.

b. Pendidikan dan pembinaan manusia seutuhnya.

Sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional untuk mendidik manusia seutuhnya (lihat Bab I dan Bab II di atas), penyelenggaraan SMPvD ini memperhatikan pendidikan dan pembinaan manusia muda seutuhnya. Bilamana persekolahan lebih menekankan aspek intelektual, maka pembinaan di asrama memperhatikan pengembangan pelbagai inteligensi manusiawi (multiple intelligence; lihat Bab I).

Sa senang sekolah di sini, karna ada lapangan bola kaki. Tiap hari sa su capat makang dan pi main bola. Sapa tau boleh iko Persipura nanti”, demikian ujar seorang siswa yang gemar main sepak bola.21

c. Prinsip „non multa sed multum‟.

Prinsip untuk mementingkan mutu hidup seseorang ketimbang jumlah atau kuantitas lulusan ini dipegang teguh dalam proses seleksi yang dijalankan pada setiap akhir semester. Hal ini sangat jelas pada kasus tingkat putus sekolah atau D.O. yang begitu tinggi setiap tahun, terlebih bagi mereka yang tidak mampu beradaptasi dalam kehidupan asrama. Kebijakan ini menghargai setiap pribadi anak didik, karena tidak menjadikan mereka hanya sebagai salah satu nomor dalam jumlah melainkan lebih memperhatikan minat, bakat dan kemampuan masing-masing sesuai inteligensinya. Hal tersebut terungkap dari hasil wawancara berikut:

20 Wawancara dengan Pamong Akademik, RD Yan Vaenbes Pr pada 15 Mei 2014

21 Saya senang bersekolah di sini, karena ada lapangan sepak bola. Tiap hari saya cepat-cepat makan dan pergi main sepak bola. Siapa tahu saya bisa ikut klub Persipura nanti. Wawancara dengan Paskalis Kosay, di Aimas.

Petrus Van Diepen Sorong

133 “Setiap akhir semester dalam rapat staf pengajar dibahas

tentang perkembangan dan kemajuan para siswa seminari ini, baik untuk pencapaian hasil mata pelajaran mereka maupun untuk penyesuaian tingkah laku mereka dengan kebiasaan dan aturan main asrama seminari ini. Biarpun pintar tetapi tidak mau turut pada kebiasaan hidup seminari, ya terpaksa kami pulangkan ke orang tuanya,22

d. Keterarahan kepada anak-anak Papua.

Di Papua secara umum, mutu pendidikan masih sangat rendah. Oleh karena itu, dibutuhkan inisiatif penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada pemberdayaan dan pendidikan anak lokal Papua. SM PvD berdiri guna memberikan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak Papua. Menyadari kebutuhan tersebut, maka SM PvD memberikan perlakuan istimewa bagi anak-anak Papua yang membutuhkan pendidikan.

Menurut Uskup Mgr. Hilarion Datus Lega, Pr, setiap tahun kita harus memberi jatah paling kurang 30% kepada anak-anak Papua, yang mendaftar, agar mereka jangan kalah bersaing dengan sejawatnya yang bukan Papua, yang nampaknya lebih mudah untuk mendapat akses di sekolah manapun23. Kebijakan tersebut pun sengaja diambil, mengingat bahwa akses kepada pendidikan formal bagi masyarakat Papua sampai kini masih sangat langka, dan pemerintah daerah pun sudah melihat bahwa kebanyakan sekolah negeri condong dijejali oleh anak-anak yang „berambut lurus‟. Juga mutu pendidikan dasar di propinsi Papua Barat relatif rendah, yang berarti juga sudah menyiratkan bahwa keterbelakangan ini masih akan dialami oleh warga generasi muda Papua.

Bapak guru, Konradus Jurman S.S., menuliskan komentar demikian mengenai keterarahan khusus pada anak-anak Papua, demikian:

Ada sebuah mitos di Tanah Papua, bahwa anak Papua tidak bisa berprestasi dalam bidang eksata, tetapi di seminari

22 Wawancara dengan Kepala Asrama, Koordinator Pamong SMP, RD. Adrianus Gaut Pr, pada 18 Mei 2014).

Petrus van Diepen ada banyak anak Papua selama ini yang ikutserta dalam lomba-lomba mata pelajaran Matematika, dan IPA. Banyak anak Papua yang mengambil jurusan IPA di SMA.

e. Muatan lokal pengetahuan bahasa.

Secara sengaja muatan lokal ini memilih pengajaran bahasa Latin, yang bisa jadi dipandang sebagai bahasa mati, tetapi pelatihan analisis kalimat bahasa ini serta logika bahasa yang melatarbelakanginya memudahkan anak untuk mempelajari bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa daerah yang sangat bervariasi di Papua.

“Saya kira hanya di seminari menengah saja, seperti di sini, yang masih mengajarkan bahasa Latin dengan latihan-latihannya. Di SMP dan SMA lainnya hanya diajarkan Bahasa Inggris dan satu Bahasa asing lain, tetapi Bahasa Latin tidak dikenal24.

Oleh karena itu, ia mengaku beryukur pernah mempelajari Bahasa Latin dan sebab itu saya lebih mudah untuk mempelajari tatabahasa lainnya. Karena itu penting sekali untuk memberikan pelajaran Bahasa Latin kepada para siswa seminari”, kata pengajar Bahasa Latin.

f. Manajemen pembinaan manusia utuh.

Penataan jadwal harian yang teratur, misalnya makan 3 kali sehari, istirahat tidur siang dan malam, waktu studi dan olah raga, penataan kebersihan diri dan lingkungan, latihan olah raga dan kesenian, latihan hidup rohani, dsb, menjawab kebutuhan pelatihan di bidang multiple intelligence. Perkembangan anak didik ini pun diikuti dengan cermat oleh para pembina atau formator setiap hari, karena mereka tinggal se- atap dengan anak didiknya di asrama. Dengan demikian anak menjadi subyek didik dan subyek bina secara intensif.

24 Wawancara dengan Koordinator. Pamong SMA, RP. A. Roja O.Carm pada 25 November 2014 di Aimas.

Petrus Van Diepen Sorong

135

Pendidikan sejatinya harus menumbuhkan aneka kemampuan yang memungkinkan seseorang menjadi dirinya sendiri dan terus meningkatkan diri sebagai pribadi dan warga masyarakat yang semakin cakap dan bermartabat. Merunut pada pengertian di atas maka tujuan dasar atau substansi dari pendidikan pola asrama sangat kental dengan unsur pendidikan. Kelebihan dari sistem pendidikan asrama dapat diamati dari lingkungan seminaris antara lain:

 Pembinaan Murid

Murid-murid yang tinggal di asrama sangat mandiri. Hal ini tampak dari kenyataan hidup sehari-hari yang hampir seluruhnya diatur oleh para murid sendiri: merawat dan mencuci pakaian, membantu memasak, mengatur pengeluaran uang yang diterima dari orang tua, kerja tangan, membersihkan asrama dan sekolah dan sebagainya. “Baru di sini saya belajar mencuci dan menyeterika bajuku”, komentar seorang siswa. Selain itu, murid-murid dengan latar belakang yang berbeda dapat saling berkenalan dan semuanya mendapatkan perlakuan yang sama. Keunggulan yang didapatkan adalah mereka belajar menumbuhkan suasana dan sikap demokrasi dan saling pengertian.

Para murid punya hubungan akrab satu sama lain, maupun dengan guru atau pamong atau prefek/bapak asrama dan pembina lainnya yang ada dalam lingkungan asrama. Akibatnya, ketika murid-murid meninggalkan asrama baik karena hendak melanjutkan belajar di tempat lain maupun terjun ke tengah masyarakat dihargai karena telah memiliki bekal kemampuan yang memadai untuk hidup secara mandiri dan dewasa .

 Aturan Disiplin

Pendekatan yang dipakai sebagai dasar sistem pendidikan asrama adalah pengkondisian melalui penerapan disiplin. Sesuai maksudnya, disiplin adalah metode untuk mengontrol atau mengarahkan aktivitas manusia. Tujuan adanya disiplin adalah untuk meningkatkan utilitas atau daya guna murid-murid, membentuk

sejenis mekanisme di mana makin murid-murid patuh maka makin bergunalah mereka sebaliknya apabila tidak patuh dan memaknai disiplin sebagai “pengekangan” atau dominasi maka siswa bersangkutan akan mundur sebagaimana dalam prosentase analisa tabel 4.14 dan 4.15 di atas. Disiplin didasarkan pada perhatian yang cermat pada keseharian yang dilalui dengan kegiatan-kegiatan yang ditetapkan disertai kesadaran tentang nilai dari kegiatan-kegiatan keseharian tersebut. Di sini pendidikan pola asrama telah mengimplementasikan seruan pendidikan berkarakter dalam sejarah yang sudah teruji.

Disiplin dilaksanakan lewat sejumlah cara yaitu: Pertama, Melalui pemagaran. Hal ini dapat dilihat bahwa pada kompleks asrama dikelilingi pagar dengan maksud untuk memudahkan pengawasan. Murid-murid perlu sadar bahwa area mereka tinggal dikhususkan untuk maksud pendidikan yang dilengkapi dengan sejumlah fasilitas penunjang untuk maksud pengkondisian pembelajaran. Dalam lingkup itu mereka diawasi untuk aktivitas keseharian yang telah ditetapkan. Kedua, Unit-unit tinggal. Setiap kelompok yang dikategorikan dalam rombongan tahun masuk diberi tempat masing-masing berupa: rumah tinggal/kamar tidur, ruang makan, ruang belajar, lemari, tempat tidur, kamar mandi, Selain itu murid-murid juga diperkenalkan dengan rumah ibadat, ruang rekreasi dan sebagainya. Pelanggaran atas batas-batas yang telah ditentukan oleh individu yang tidak berhak mendapatkan sanksi yang diartikan sebagai kesempatan belajar untuk bertanggungjawab. Artinya murid-murid mau diajarkan bahwa masing-masing tempat harus digunakan sesuai fungsinya. Ketiga, Penggunaan time table atau jadwal kegiatan harian yang makin rinci dan makin ketat termasuk waktu belajar pada sore dan malam hari.

Segi lain dari kehidupan asrama adalah kehadiran dan peran para pembina atau pendamping. Kebersamaan dan hubungan akrab antara para seminaris dengan para pendamping menimbulkan dampak modeling atau peniruan-peneladanan dari murid-murid terhadap pendamping. Oleh karena itu figur pendamping mempengaruhi peralihan nilai-nilai yang ditularkan dalam praktek hidup dan ini akan dicerna lebih cepat dari apa yang diajarkan kepada murid.

Petrus Van Diepen Sorong

137

Asrama Seminari Van Diepen sebagai Ruang Sosial bagi

Siswa

Analisis keruangan asrama (keberasramaan) menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan dalam melihat fenomena sosial dan dampak ruang asrama bagi siswa. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Herbert J. Gans (1991) bahwa ruang tidak dapat diabaikan dalam menganalisis hubungan sebab akibat antara ruang dan masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena: (1) ruang alam mempengaruhi kehidupan sosial dan kolektivitas; dan (2) dari cara-cara yang tak terhitung di mana kolektivitas ini berubah ruang alam menjadi ruang sosial dan bentuk penggunaannya.

Pendidikan berpola asrama di SM PvD, yang menempatkan siswa dalam satu lokasi tempat tinggal dengan tempat belajar, memungkinkan siswa untuk menjalin relasi-relasi antar siswa yang berbeda suku dan kebudayaan secara bebas di dalam asrama. Asrama menjadi katalisator yang cukup efektif dalam melebur ragam perbedaan latar belakang suku dan kebudayaan siswa selama menjalani proses belajar mengajar di dalam asrama. Hal ini menjadi pengalaman baru bagi siswa dimana siswa dipertemukan dan hidup bersama dalam waktu yang lama dengan siswa lain yang berasal dari suku dan kebudayaan yang berbeda-beda.

Kondisi di asrama SM PvD menjadi sarana atau wadah yang kondusif untuk terjadi pembauran dari berbagai latar belakang suku dan budaya. Terdapat diferensiasi multikulturalisme yang menyata dalam hidup keseharian anak-anak. Menarik, membanggakan dan membahagiakan ketika pandangan mata menangkap pemandangan sekelompok anak bermain bersama dengan ras yang berbeda (ada ras Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, NTT, Ambon). Terdapat semacam Taman Mini Indonesia dalam konteks manusia yang berbaur. Pembauran ini tidak hanya kelihatan secara fisik tetapi terlebih dahulu dikondisikan dengan pemahaman akan nilai positif dari kebersamaan dalam keberbedaan. Bahwa hakekat dari kebersamaan adalah martabat manusia. Marten Luther King Junior pernah

mengatakan: “Saya bermimpi, suatu ketika anak-anak saya tinggal di suatu tempat yang tidak dibedakan karena warna kulitnya, rambut, ras dan sukunya tetapi diterima karena mereka adalah manusia ciptaan Tuhan”. Mimpi yang sama sementara diperjuangkan di SM PvD. Perlahan tapi pasti mimpi ini terwujud. Pola pembauran menghilangkan rasa kesukuan ini tidak begitu saja dihadirkan tetapi melalui pembinaan dan pendidikan. Pembinaan dilakukan lewat:

konferensi bulanan di asrama; sebagian besar tema

konferensinya tentang kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan, kasih sayang/cinta kasih, martabat manusia.

Dalam hal penempatan kamar tidur di asrama, polanya

ditempatkan satu kamar empat orang anak dengan asal yang berbeda. Selama kurun waktu satu semester terjadi interaksi yang pada akhirnya terjadi penerimaan satu dengan yang lain dengan pemahaman bahwa keberbedaan perlu ada tetapi untuk saling memperkaya dan saling membesarkan.

 Pembauran seperti ini berlanjut pada pembagian anggota meja di kamar makan, kelompok kerja harian, dan penempatan ruang belajar. Pengkondisian ini dimaksud supaya anak-anak belajar menerima keberbedaan dan menghilangkan rasa kesukuan (bdk. Iswanti, hlm. 7: 1. menghilangkan rasa kesukuan).

Pengalaman hidup dalam satu tempat dalam waktu yang lama bagi siswa tidak hanya menjadi pengalaman baru, melainkan siswa juga secara otomatis mempraktikkan asimilasi serta beradaptasi dalam lingkungan baru. Dalam konteks ini, peraturan-peraturan yang dibentuk di dalam asrama membantu memudahkan terjadinya pola interaksi di antara siswa yang berlainan suku tersebut. Aturan ketat dan disiplin yang diterapkan selama di dalam asrama memungkinkan terjadinya proses-proses sosial yang diinginkan selama siswa menjalani pendidikan.

Petrus Van Diepen Sorong

139

Keunggulan pendidikan dengan sistem asrama dibanding dengan sistem non asrama juga nampak dalam hal pengembangan potensi sosial siswa. Hal ini disebabkan karena asrama tidak hanya menjadi tempat berlangsungnya proses belajar mengajar an sich, namun asrama sebagai institusi pendidikan juga menghadirkan nuansa kehidupan sosial lengkap dengan pranata sosial pada umumnya. Di asrama siswa dituntut untuk beradaptasi dan bertanggungjawab untuk melaksanakan perannya masing-masing sesuai dengan ketentuan yang telah diatur di dalam asrama. Hal ini menjadi modal untuk membangun potensi-potensi sosial yang ada dalam diri siswa. Sehingga jika keluar atau lulus kelak, siswa telah siap hidup di dalam masyarakat yang lebih luas.

Pemaknaan akan potensi sosial terjadi di asrama dengan pembinaan dan pembiasaan hidup sehari-hari. Pada prinsipnya hidup asrama adalah hidup bersama. Supaya bisa hidup bersama maka dibutuhkan kecakapan sosial dalam diri masing-masing individu. Walau demikian kecakapan sosial ini dibiasakan lagi ketika anak-anak tinggal di asrama. Kecakapan sosial itu menyangkut: kenal diri, terima diri, simpati, empati dan relasi sosial.

Potensi sosial dikembangkan dengan pemberian atau pembagian tugas tanggungjawab dalam kehidupan harian berupa; piket di kamar makan, dapur, kebun, peternakan(memelihara sapi dan babi), melayani orang sakit/teman yang sakit, membersihkan kamar tidur, kamar mandi dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini merupakan aplikasi langsung dari potensi sosial anak-anak (bdk.Iswanti, hlm. 7: 2. Mengembangkan potensi sosial).

Sementara itu, jika dilihat dari jadwal harian serta mingguan selama di dalam asrama, terlihat aturan-aturan yang menuntut siswa untuk menjalani rutinitas ritual peribadatan di dalam asrama. Siswa yang semula tidak rajin beribadat dituntut harus menyesuaikan dengan pola kehidupan di dalam asrama, yang antara lain terkait dengan aturan tentang kegiatan-kegiatan spiritual. Ketentuan tentang

peribadatan yang harus dilaksanakan oleh siswa baik harian maupun mingguan sudah mampu mengembangkan potensi spiritual siswa.

Potensi spiritual sungguh dikembangkan dalam kehidupan asrama SM PvD karena seluruh aturan hidup dikemas dalam bingkai rohani. Hidup harian diawali dengan doa dan perayaan ekaristi dan diakhiri dengan doa. Dalam keyakinan iman, anak disiapkan untuk menyadari bahwa hidup ini digerakkan oleh Yang Maha Kuasa. Kesadaran akan hal ini menjadikan anak memiliki perasaan rendah hati dan kesadaran untuk bersyukur dan berterima kasih. Pendidikan spiritual dikemas dalam bentuk: doa bersama, doa pribadi, ekaristi, meditasi, refleksi mingguan, rekoleksi, retret dan olah rohani pribadi (bdk, Iswanti, hlm. 7: 3. Mengembangkan potensi spiritual atau kerohanian).

Demikian juga, sebagai potret kehidupan sosial, asrama memberikan pengalaman baru bagi siswa untuk menempatkan dan memainkan perannya masing-masing sesuai dengan peraturan tertulis yang dijalankan secara rutin. Interaksi rutin ini dijalankan oleh siswa selama 24 jam atau ketika bangun tidur, hingga tidur kembali. Rutinitas ini berjalan dan terjadwal sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam asrama. Kebiasaan yang berlangsung sekian lama yang dialami siswa di dalam asrama ini mengubah dan mengkondisikan siswa dalam kehidupan yang baru di dalam asrama. Hal ini ketika diterapkan dalam jangka panjang, membentuk watak, sikap, akhlak dan kepribadian siswa.

Pengembangan watak, sikap, akhlak dan kepribadian sebenarnya adalah muara dari semua aspek hidup yang ditetapkan dalam aturan harian. Artinya pada setiap aturan yang dihidupi di asrama secara otomatis membentuk watak-kepribadian anak antara lain: watak disiplin, kerja keras, mandiri, rajin, tanggungjawab, solider, persaudaraan, turut mengambil bagian dalam kesulitan yang dihadapi teman atau orang lain, mendengarkan orang lain, suka berbagi, memiliki daya tahan dalam menghadapi kesulitan, memiliki daya juang yang lebih. Itulah sejumlah watak, akhlak, sikap dan kepribadian

Petrus Van Diepen Sorong

141

positif yang bisa dikembangkan dan menjadi daya unggul hidup di asrama. Anak sedari awal ditanamkan kesadaran bahwa hidup berjalan terus dan dijalani dengan ikut mengambil tanggungjawab atas diri sendiri bukan terus bergantung pada orang tua dalam arti yang tegas (bdk. Iswanti, hlm.7 : 4. Mengembangkan watak, sikap, akhlak dan kepribadian).

Ketika siswa hidup di dalam asrama, maka segala urusan kehidupan pribadi seperti mencuci baju, dan lain-lain harus dilakukan

Dokumen terkait