• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membran adalah teknologi yang dikembangkan oleh ilmuan saat ini untuk menggantikan teknologi konvensional yang sudah berkembang lama. Penerapan membran pada penelitian ini adalah untuk menggantikan proses penjernihan air secara konvensional yakni proses dengan menggunakan teknologi pengolahan air secara fisik dan fisikokimia. Pengolahan air secara fisik hanya dipergunakan untuk menyaring air baku yang sifat-sifat fisiknya tidak memenuhi syarat. Sedangkan pengolahan air secara fisiko-kimiawi penggunaannya lebih luas yaitu untuk menjernihkan air yang sifat-sifat fisik, kimia dan mikrobiologisnya dalam batas-batas tertentu tidak memenuhi syarat karena telah terkontaminasi atau tercemar. Bahan-bahan yang umumnya dipakai dalam cara pengolahan ini adalah kerikil, pasir, ijuk, arang aktif, zat-zat koagulan dan zat-zat desinfektan.

Filter water yang dipakai sebagai air baku penelitian diperkirakan masih mengandung sejumlah padatan tersuspensi, padatan terlarut dan senyawa mikrobiologis karena filter water ini hanya melewati perlakuan untuk pemisahan koloid dan belum mengalami proses desinfeksi (penambahan kaporit atau Calsium hypochorite). Hasil pengujian awal menunjukkan bahwa feed (air baku atau filterwater) masih mengandung padatan terlarut dan tersuspensi dan senyawa mikrobiologis (Tabel 6).

Tabel 6. Hasil uji feed air

Parameter Feed Baku mutu

TSS (mg/L) 757.0 0 TDS (mg/L) 33.9 ≤1000 Warna (TCU) 8 ≤ 15 Kekeruhan (NTU) 1 ≤ 5 E.coli (/100ml) 10 negatif coliform (/100ml) 20 negatif

Hasil uji diatas memang masih berada dalam standar kelayakan air minum Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2002, namun dengan pengolahan membran diharapkan didapat air yang berkualitas lebih tinggi. Penelitian ini menggunakan

38 membran polisulfon dengan ketebalan berbeda, yakni (i) membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.05 mm; (ii) membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.10 mm; (iii) membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.15 mm dan pembanding membran mikrofiltrasi hollow fiber komersil skala laboratorium. Referensi kinerja membran ultrafiltrasi digunakan untuk membandingkan kinerja membran polisulfon sebagai membran ultrafiltrasi. Membran polisulfon 12% digunakan berdasarkan hasil penelitian terdahulu tentang karakteristik membran (Sembiring, 2005), sedangkan pemilihan tiga tipe ketebalan yang dipakai yaitu 0.05; 0.10; dan 0.15 mm adalah sebagai perlakuan kinerja membran untuk ketebalan yang berbeda.

1. Fluks

Penggunaan membran untuk pengolahan air ini dilakukan dengan menggunakan sistem crossflow, air hasil filtrasi (filter water sebelum dilakukan penambahan kaporit dan masuk ke dalam reservoir) disirkulasikan ke dalam modul selama enam jam dengan tiga tingkat tekanan yang berbeda yaitu (i) dua jam pertama bertekanan 0.7 bar (10 psi); (ii) dua jam kedua bertekanan 1.4 bar (20 psi) dan (iii) dua jam ketiga 2.1 bar (30 psi). Rentang tekanan yang dipilih adalah berdasarkan hasil rujukan pada penelitian terdahulu mengenai karakteristik membran polisulfon dengan berbagai konsentrasi dan penerapan pada tekanan yang bervariasi yang menunjukkan bahwa tekanan yang paling baik bagi kinerja membran polisulfon 12% adalah pada tekanan 0.7 bar; 1.4 bar dan 2.1 bar (Sembiring, 2005).

Sistem crossflow yang digunakan bertujuan untuk mengurangi fouling yang mungkin terjadi selama proses penyaringan air, sehingga diharapkan penurunan fluks air dapat diminimalisir. Penerapan sistem perubahan tekanan dilakukan pada membran yang sama bertujuan untuk mengetahui pengaruh tekanan terhadap fluks air pada sistem crossflow tanpa adanya perbedaan karakteristik membran yang digunakan, karena pada pembuatan membran datar akan sulit didapatkan karakteristik membran yang serupa, namun secara umum memberikan karakteristik yang tidak jauh berbeda.

39 Pengukuran fluks air dilakukan untuk mengetahui kemampuan membran melewatkan air sebagai refining pada air olahan. Pada Gambar 13 terlihat bahwa fluks air pada membran polisulfon dengan ketebalan 0.05 memiliki kisaran fluks tertinggi yaitu sekitar 95 - 323 L/m2.jam, sedangkan membran polisulfon dengan ketebalan 0.10 mm dan 0.15 mm memiliki nilai fluks yang lebih rendah yaitu 76 - 156 L/m2.jam dan 79 - 221 L/m2.jam.

Ketiga nilai hasil pengukuran fluks air pada membran menunjukkan penurunan, hal ini diperkirakan disebabkan oleh karena air sampel hasil olahan yang masih mengandung pengotor baik itu padatan organik maupun nonorganik. Perubahan tekanan yang dilakukan yaitu dari 0.7 bar kemudian 1.4 bar sampai 2.1 bar menunjukkan penurunan nilai fluks, hal ini diperkirakan karena adanya faktor waktu yang mempengaruhi kinerja pada membran, dimana membran tersumbat oleh kotoran berupa padatan yang masih terdapat pada air sampel sehingga menimbulkan fouling pada membran. 0 50 100 150 200 250 300 350 0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Waktu (menit) F lu k s (L /m 2.jam) membran 0.05 membran 0.10 membran 0.15

Gambar 13. Fluks membran polisufon selama filtrasi air p = 1.4 bar p = 2.1 bar p = 0.7 bar

40 Fluks air membran polisulfon 0.05 mm pada tekanan 0.7 bar dimulai pada 323 L/m2.jam kemudian dengan menaikkan tekanan 1.4 bar fluks air mencapai 210 L/m2.jam dan saat tekanan dinaikkan menjadi 2.1 bar fluks air menjadi 141 L/m2.jam. Penurunan nilai ini disebabkan oleh adanya peristiwa fouling yang menyebabkan penurunan seiring dengan waktu penyaringan. Peristiwa fouling ini disebabkan oleh kotoran-kotoran yang masih terkandung dalam feed dan terdorong oleh tekanan yang ada sehingga dapat menyebabkan tertutupnya pori pada membran dan menyebabkan penurunan fluks. Peristiwa fouling yang terjadi pada membran polisulfon 0.05 mm juga terjadi pada penyaringan membran polisulfon 0.10 mm dan polisulfon 0.15 mm. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ketebalan membran tidak memberikan pengaruh nyata pada fluks air (Lampiran 5).

Menurut Sembiring (2005), nilai fluks air membran polisulfon 12% pada tiga tingkat tekanan adalah 374 L/m2.jam (tekanan 0.7 bar), 397 L/m2.jam (tekanan 1.4 bar), dan 391 L/m2.jam (tekanan 2.1 bar). Nilai fluks nira pada polisulfon 12% (28 – 33 L/m2.jam) lebih kecil bila dibandingkan dengan fluks air. Air yang diasumsikan tidak mengandung pengotor lebih mudah melewati membran (fluks tinggi), nira yang masih banyak mengandung pengotor dapat menyumbat pori-pori membran sehingga menghambat proses filtrasi membran (fluks kecil).

Nilai fluks air yang dihasilkan pada membran polisulfon 12% ini lebih rendah (tertinggi 323 L/m2.jam) dari nilai fluks air murni pada penelitian Sembiring (2005) (tertinggi 374 L/m2.jam). Seiring peningkatan tekanan yang dilakukan terjadi penurunan fluks, dimana pada awal tekanan 1.4 bar nilai fluks air sampel menurun (tertinggi 219 L/m2.jam), sedangkan fluks air murni (penelitian Sembiring, 2005) mengalami peningkatan (397 L/m2.jam). Pada tekanan 2.1 bar pun terjadi penurunan yang sama pada sampel air (141 L/m2.jam), sedangkan fluks air murni (penelitian Sembiring, 2005) juga mengalami penurunan (391 L/m2.jam) namun tidak terlalu signifikan.

Penurunan fluks air tidak terjadi pada membran mikrofiltrasi, hal ini diperkirakan terjadi karena besar pori yang dimiliki oleh membran mikrofiltrasi lebih besar dari pori membran polisulfon sehingga padatan yang menjadi penyebab fouling pada

41 membran polisulfon tidak menyebabkan fouling pada membran mikrofiltrasi. Padatan ini tidak menimbulkan fouling dikarenakan ukuran partikel padatan yang sangat kecil dan lebih kecil dari besar pori yang dimiliki oleh membran mikrofiltrasi (100,000 daltons/ makromolekul > 500,000 g/mol atau partikel dengan ukuran 0.1-10 μm).

Berdasarkan Gambar 3 dan definisi membran ultrafiltrasi, membran yang termasuk pada membran ultrafiltrasi memiliki besar pori yang dapat menyaring makromolekul > 5,000 g/mol atau partikel dengan ukuran 0.001-0.1 μm dari larutan. Maka dapat disimpulkan bahwa padatan yang tergolong pada TSS pasti akan tersaring (karena masih memiliki molekul yang cukup besar), sedangkan nilai TDS akan menunjukkan nilai yang kecil karena padatan yang lebih besar dari 0.001 μm pasti akan tersaring oleh membran.

Feed yang dipakai adalah air yang telah diproses terlebih dahulu dengan menggunakan penyaringan secara bertahap menggunakan proses fisiko-kimiawi, sehingga pengotor berupa padatan yang terlarut pada air adalah padatan sangat kecil, termasuk pada padatan terlarut dan tersuspensi. Data pada Lampiran 6 menunjukkan nilai TSS permeat mikrofiltrasi lebih tinggi dibandingkan nilai TSS membran polisulfon, sehingga dapat disimpulkan bahwa padatan dan pengotor yang terdapat pada air feed berukuran lebih besar dari ukuran pori membran polisulfon (ultrafiltrasi) namun lebih kecil dari ukuran pori membran mikrofiltrasi.

2. Rejeksi polutan

Rejeksi padatan pada proses pemurnian air ini dapat dilihat dari kadar total padatan tersuspensi yang terkandung dalam permeat membran polisulfon. Nilai ini menunjukkan kemampuan membran dalam merejeksi polutan yang terkandung dalam air, semakin besar nilai rejeksi yang dihasilkan maka kinerja membran dapat digolongkan semakin baik dalam merejeksi polutan dalam air.

Data hasil analisis padatan tersuspensi yang terkandung dalam permeat membran pada Tabel 6 memberikan hasil kandungan TSS mencapai nol, sehingga nilai rejeksi membran terhadap padatan tersuspensi dalam air mencapai 100%. Hasil ini menunjukkan bahwa membran polisulfon dapat memberikan efektifitas yang sangat

42 baik dalam pemurnian air. Pembanding mikrofiltrasi menujukkan kinerja yang tidak sebaik membran polisulfon, yaitu rejeksi membran hanya mencapai 38%, karena kadar TSS permeat yang masih cukup tinggi mencapai 470,0 mg/L.

Hal ini juga terlihat pada hasil uji permeat yang menunjukkan nilai yang menurun tajam baik pada nilai TSS, warna, dan pH yang semakin netral (Tabel 6). Menurut Herlambang (2005), teknologi ultrafiltrasi bermanfaat untuk mengurangi bahan polutan di dalam air. Ukuran alat ini 2/100 mikron atau 0.02 mikron, sementara ukuran bakteri patogen adalah 0.5 mikron. Penggunaan teknologi ultrafiltrasi dan membran untuk pengolahan air minum merupakan upaya terkini menghilangkan bahan berbahaya yang berukuran cukup kecil termasuk bakteri patogen.

Dokumen terkait