• Tidak ada hasil yang ditemukan

Letak Geografi dan Topografi

Penelitian lapang dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Nopu Hulu yang secara geografi terletak pada 10 10’-10 13’ Lintang Selatan dan 1200 5’ - 200 6’ Bujur Timur. Lokasi penelitian berada tepat di batas tepi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Desa Bulili, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah (Gambar 11).

Berdasarkan kondisi topografinya sebagian besar wilayah DAS Nopu Hulu merupakan wilayah perbukitan dengan titik terendah (outlet) terletak pada ketinggian 600 m dpl dan titik tertinggi (hulu DAS) pada ketinggian 1450 m dpl. Bagian hilir merupakan wilayah dataran berombak, sedangkan bagian tengah dan hulu merupakan wilayah berbukit sampai bergunung (Gambar 12). Berdasarkan kemiringan lerengnya kondisi topografi lokasi penelitian dibedakan menjadi datar-berombak (0-15%) seluas 34.25 ha (14.6%), berombak-bergelombang/ berbukit (16-26%) seluas 43.5 ha (18.6%), berbukit kecil (26-36%) seluas 49.75 ha (21.3%), dan berbukit-bergunung (36-96%) seluas 106.5 (45.5%).

Iklim

Lokasi penelitian terletak pada daerah equator sehingga curah hujan yang turun di lokasi ini relatif terdistribusi sepanjang tahun. Musim hujan terjadi pada bulan November-Mei dan musim kemarau pada bulan Juli-Oktober. Berdasarkan data tahun 2004-2005, curah hujan tahunan sebesar 2489.1 mm dengan curah hujan bulanan maksimum dan minimum sebesar 362.2 mm dan 52.1 mm yang terjadi pada bulan Agustus dan Mei (Gambar 13). Kondisi topografi yang bervariasi antara wilayah dataran (di bagian hilir) dan wilayah perbukitan- pegunungan di wilayah hulu DAS menyebabkan beragamnya curah hujan yang turun di daerah ini (Tabel 4). Sebagian besar hujan (73.3%) turun dengan rataan intensitas sangat rendah (<5 mm/jam). Curah hujan lainnya turun dengan rataan intensitas tergolong rendah (<5-10 mm/jam), sedang (11-25 mm/jam) dan agak tinggi (26-50 mm/jam) masing- masing sebesar 15.3, 10.9 dan 0.5%. Total curah hujan yang turun denga n rataan intensitas sangat rendah, rendah, sedang, dan agak tinggi masing- masing sebesar 617.4, 690.6, 727.2, dan 19.4 mm (Gambar 14).

Gambar 11. Peta lokasi penelitian (Sumber : STORMA, 2004; Bakosurtanal, 1991)

Gambar 12. Sketsa topografi DAS Nopu Hulu (raster sel 50 m x 50 m)

Gambar 13. Curah hujan bulanan di lokasi penelitian (2004-2005)

Gambar 14. Jumlah hari hujan (a) dan jumlah curah hujan (b) pada berbagai intensitas hujan rataan (Juni 2004-Mei 2005)

W eir 1 : stasiun pengamat aliran 1 (outlet DAS)

W eir 2 : stasiun pengamat aliran 2 (outlet Sub DAS bagian tengah)

W eir 3 : stasiun pengamat aliran 3 (outlet Sub DAS bagian hulu) R-1 : penakar hujan otomatis pada lahan terbuka

R-2 : penakar hujan otomatis pada lahan perladangan R-3 : penakar hujan otomatis pada lahan hutan sekunder R-4 : penakar hujan otomatis pada lahan hutan primer R-5 : penakar hujan otomatis pada lahan kakao (hilir DAS)

Tabel 4. Curah hujan di lokasi penelitian (Januari 2004-Mei 2005)

Bulan Curah Hujan Stasiun (mm) Curah Hujan

Wilayah (mm)

Perladangan Lahan Terbuka Hutan Sekunder Hutan Alam

Januari 2004 304.3 206.2 671.4 105.0 248.8 Februari 2004 36.9 40.1 150.6 79.3 78.0 Maret 2004 145.1 115.0 349.2 153.6 179.7 April 2004 291.3 256.7 702.5 318.0 368.6 Mei 2004 129.4 128.2 163.4 155.6 148.7 Juni 2004 124 171.9 316 187.4 193.0 Juli 2004 228.9 219.3 397.3 178.3 228.4 Agustus 2004 68.3 48.6 57.4 44.5 52.1 September 2004 35.8 93.5 161.6 138.0 115.6 Oktober 2004 100.4 72.4 70.6 77.8 81.0 Nopember 2004 365.7 284.5 98.7 454.6 362.2 Desember 2004 284.9 284.9 256.2 230.8 251.6 Jan - Des (2004) 2115.0 1921.3 3394.9 2122.9 2283.9 Januari 2005 143.8 114.8 214.8 188.7 176.4 Februari 2005 236.5 184.1 181.3 300.4 256.6 Maret 2005 372.2 266.0 325.3 275.3 303.4 April 2005 237.9 171.2 261.3 107.4 166.3 Mei 2005 619.9 359.4 590.9 417.9 484.0 Jan - Mei (2005) 1610.3 1095.5 1573.6 1289.7 1323.4

Koefisien variasi antar stasiun 0.38

Berbeda dengan rataan intensitas hujan, intensitas hujan maksimum dengan interval waktu yang lebih singkat (10, 30 dan 60 menit) lebih bervariasi (Gambar 15). Pada interval waktu 10 menit, intensitas hujan maksimum ter- golong sangat rendah (< 5 mm/jam), rendah (5-10 mm/jam), sedang (11-25 mm/jam), agak tinggi (26-50 mm/jam), tinggi (51-75 mm/jam) dan sangat tinggi (>75 mm/jam) masing- masing sebesar 40.6, 10.4, 16.8, 19.3, 5.0 dan 7.9%. Pada interval waktu 30 dan 60 menit, intensitas hujan maksimum dapat dikatagorikan kedalam intensitas sangat rendah (51.5 dan 62.7%), rendah (13.4 dan 11.9%), sedang (18.8 dan 17.4%), agak tinggi (11.4 dan 8.0%), tinggi (5.0 dan 0%), dan sangat tinggi (0%).

Berdasarkan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30), jumlah curah hujan dengan I30 yang tergolong sangat rendah dan rendah masing- masing sebesar 140.6 dan 226.1 mm atau hanya menempati sekitar 6.8 dan 11.0% dari total curah hujan. Jumlah curah hujan dengan I30 sedang sebesar 524.5 mm (25.5%), agak tinggi 752.3 mm (36.6%), dan tinggi sebesar 411.2 mm (20.0%).

Tanah dan Penggunaan Lahan

Typic Eutropept (Kambisol Eutrik) merupakan jenis tanah dominan yang

tersebar mulai dari wilayah hilir hingga hulu DAS Nopu dan meliputi areal seluas 176.5 hektar. Jenis tanah lain yang dijumpai adalah Aquic Tropopsamment

(Arenosol Gleik) seluas 8.4 hektar di sekitar outlet DAS, Fluventic Eutropept

(Kambisol Fulvik) seluas 15.2 hektar dan Lithic Troporthent (Litosol) seluas 33.9 hektar di daerah perbukitan terjal.

Hutan merupakan penggunaan lahan dominan di wilayah hulu DAS. Pada bagian tengah DAS penggunaan lahan terdiri dari hutan, semak belukar, perladangan (tanaman semusim) dan tanaman kakao muda. Perkebunan kakao dewasa merupakan penggunaan lahan dominan di wilayah hilir. Penggunaan lahan hutan meliputi areal seluas 109.5 hektar (49.5%). Perkebunan kakao rakyat, tanaman pertanian semusim, semak belukar dan tanaman vanili masing- masing meliputi areal seluas 86.35, 17.2, 18.4, dan 2.4 hektar.

Gambar 15. Jumlah hari hujan dan jumlah curah hujan pada berbagai intensitas hujan maksimum 10 menit (a1, a2), 30 menit (b1, b2) dan 60 menit (c1, c2) (Juni 2004-Mei 2005)

(a1) (b1)

(c1)

Perambahan Hutan

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan kawasan konservasi sumber daya alam di Propinsi Sulawesi Tengah (Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 593/kpts-II/1993), berperan penting sebagai buffer zone khususnya bagi wilayah kota Palu, Donggala dan Poso. Perambahan hutan yang sangat ekstensif oleh masyarakat sekitar hutan sejak tahun 1999 hingga sekarang khususnya di wilayah Dongi-Dongi dikhawatirkan telah menyebabkan penurunan fungsi hidrologi dan peningkatan laju erosi yang sangat drastis.

Perambahan hutan di areal DAS Nopu Hulu telah lama dilakukan. Pada awalnya kegiatan penebangan hutan tersebut dilakukan dalam skala kecil karena masih mendapat pemantauan ketat dari petugas polisi hutan TNLL. Kegiatan penebangan hutan secara ekstensif dilakukan sejalan dengan berkembangnya era reformasi di Indonesia.

Penebangan hutan dimulai dari bagian hilir DAS pada areal tepi batas luar TNLL yang kemudian terus dilakukan hingga ke bagian tengah dan hulu DAS. Setelah hutan dibuka, lahan tersebut biasanya ditanami dengan tanaman pertanian semus im seperti jagung, padi ladang dan ubi kayu sampai beberapa musim tanam. Apabila produksi tanaman pertanian telah mulai berkurang akibat terjadinya penurunan kualitas tanah, lahan tersebut selanjutnya ditanami dengan tanaman kakao yang ditumpang sarikan dengan tanaman semusim (Sinukaban et al., 2006).

Kegiatan penebangan hutan di DAS Nopu mulai berkurang setelah terjadinya banjir bandang pada tahun 2003, dan sejak saat itu beberapa areal yang telah dibuka khususnya pada wilayah berlereng curam dibiarkan menjadi semak belukar. Namun demikian, membaiknya hasil usahatni kakao dan semakin tingginya nilai ekonomi lahan, sebagian besar lahan- lahan semak belukar mulai dibuka kembali saat ini. Disamping itu juga kegiatan penebangan hutan masih terus dilakukan pada lahan-lahan berlereng curam walaupun dalam skala yang lebih kecil (±10 hektar).

Dalam rangka menanggulangi dampak perambahan hutan, Balai TNLL bekerja sama dengan The Nature Conservancy telah menggulirkan program Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) yang dilakukan pada beberapa desa di sekitar TNLL (TNC, 2002). Pola KKM mengatur kembali pengelolaan

bersama atas sumberdaya alam dalam kawasan TNLL melalui peningkatan partisipasi stake holder dengan tujuan utama melestarikan sumberdaya lahan dan lingkungan dalam kawasan TNLL dan sekitarnya.

Instalasi Peralatan

DAS Nopu Hulu merupakan salah satu wilayah penelitian STORMA (stability of rainforest margins) di Indonesia dengan fokus kajian mengidentifikasi proses dan faktor yang mempengaruhi kestabilan dan ketidakstabilan hutan tropis. Kerjasama penelitian STORMA dibiayai oleh Germany Research Council (DFG) yang melibatkan Georg-August-Universitat Gottingen dan Universitat Gesamthochschule Kaseel (di German) serta Institut Pertanian Bogor dan Universitas Tadulako di Indonesia.

Instalasi peralatan di DAS Nopu Hulu telah dilakukan sejak tahun 2000 dalam rangka pelaksanaan penelitian sub program B2 (The influence of pedo-

hydrological changes on the water and nutrient cycle in catchment areas). Sarana

penelitian yang telah dibangun terdiri dari 3 buah Weir (dilengkapi dengan

automatic water level recorder, pH meter, turbidity, dan pengukur konsentrasi kation basa), automatic weather station (suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin, serta radiasi matahari), penakar hujan otomatis (tipe tipping bucket yang diletakan di areal perladangan, lahan terbuka, hutan sekunder dan hutan primer), dan pencatat kelembaban tanah pada berbagai kedalaman (trimemethod) (Gambar 16, Tabel 5).

Gambar 16. Peralatan penelitian dibangun STORMA terdiri dari Weir (a), AWLR (b), penakar hujan otomatis di lahan terbuka (c), dan di hutan primer/sekunder (d)

Tabel 5. Jenis peralatan yang digunakan dalam penelitian lapang dan analisis laboratorium

No. Jenis Alat Jumlah Spesifikasi Fungsi dalam Penelitian

1. Weir 3 -

Stasiun pengukuran karak-teristik aliran dan sedimen

2. AWLR 3 SebaTerm logger Mencatat tinggi muka aliran

3. Current Meter 1 - Mengukur kecepatan

arus

4. Guelph permeameter 1 - Mengukur permeabilitas tanah 5. Plot erosi 23 2 Manual Tipping bucket, Hobo logger

Mengukur jumlah aliran permukaan dan erosi tanah pada berbagai penggunaan lahan 6. Penakar hujan

otomatis 5

Tiping bucket, Seba- Term dan Hobo

logger

Mengukur curah hujan/ intensitas hujan

7. Perkin Elmer –ICP - AES 2000 DV

Mengukur kalium, kalsi- um, magnesium, natri- um, dan fosfor dalam aliran permukaan, sedimen dan tanah 8. CFA-Continuous Flow

Analysis -

Bran&Lubbe- AutoAnalyzer 3

Mengukur kadar NO3, NH4 dan P dalam aliran permukaan

9. Dimatec-TOC100 - -

Mengukur DOC, DIC, DC dan TNb dalam aliran permukaan

Faktor Pengelolaan Tanaman (Faktor C) Faktor C-USLE

Faktor C-USLE didefinisikan sebagai perbandingan jumlah tanah tererosi dari suatu lahan dengan tanaman dan pengelolaan tertentu terhadap jumlah tanah tererosi dari lahan yang diolah bersih dan tidak ditanami secara terus menerus (Wischmeier dan Smith, 1965; 1978) yang nilainya ditentukan berdasarkan pengamatan jangka panjang. Faktor tersebut mengukur kombinasi pengaruh faktor- faktor yang mempengaruhi tutupan tajuk vegetasi dan pengelo laan tanaman yang dilakukan terhadap aliran permukaan dan erosi yang dihasilkan.

Tutupan tajuk tanaman semusim (jagung, kacang tanah) beragam sejalan dengan umur dan fase pertumbuhan tanaman (Gambar 17). Pada tanaman tahunan (kakao, hutan, dan semak belukar) keragaman tersebut belum terlihat jelas karena periode pengamatan yang relatif singkat (1 tahun). Keragaman tutupan tajuk tanaman kakao yang teridentifikasi lebih disebabkan karena perbedaan umur tanaman (kakao muda, sedang dan dewasa) dan kegiatan pemangkasan tunas air, cabang tidak produktif, dan tanaman pelindung untuk mempertahankan penyinaran matahari dan meningkatkan produksi tanaman. Oleh karena itu, pada tanaman semusim nilai faktor C-USLE ditentukan dengan mempertimbangkan nisbah erosi, tutupan tajuk tanaman dan energi kinetik hujan pada setiap fase pertumbuhan tanaman. Pada tanaman tahunan, nilai faktor C-USLE tersebut ditentukan dengan mempertimbangkan nisbah erosi dan energi kinetik hujan bulanan (Tabel 6) dan Tabel Lampir an 2.

Gambar 17. Tutupan tajuk tanaman jagung selama 2 musim tanam (a), dan tutupan tajuk tanaman kakao muda, sedang dan dewasa (b), (September 2004-Mei 2005)

Tabel 6. Nilai faktor C-USLE tanaman jagung dan kakao dewasa

Fase Perkembangan Tanaman Nisbah

Erosi* EI30 (ton m/ha) Fraksi EI30 Fraksi Faktor C-USLE Tanaman Jagung

Seed Bed (September 04) 0.877 15.82 0.002 0.002

Fase 1(September – Oktober 04) 0.618 265.76 0.038 0.024

Fase 2 (Oktober 04) 0.469 141.31 0.020 0.010

Fase 3 (Oktober – Desember 04) 0.332 478.21 0.069 0.023

Fase 4 (Desember 04) 0.375 76.49 0.011 0.004

Seed Bed (Januari 05) 0.323 554.50 0.080 0.026

Fase 1 (Januari – Februari 05) 0.194 317.58 0.046 0.009

Fase 2 (Februari – Maret 05) 0.024 1578.73 0.229 0.005

Fase 3 (April - Mei 05) 0.269 499.54 0.072 0.019

Fase 4 (Mei 05) 0.250 1129.68 0.164 0.041

Jumlah 5057.62 0.733 0.163

Nilai Faktor C-USLE tanaman jagung 0.223

Kakao dewasa September 04 0.379 213.39 0.031 0.012 Oktober 04 0.355 137.51 0.020 0.007 November 04 0.286 177.74 0.026 0.007 Desember 04 0.237 448.95 0.065 0.015 Januari 05 0.314 562.10 0.081 0.026 Februari 05 0.290 560.51 0.081 0.024 Maret 05 0.244 1227.67 0.178 0.043 April 05 0.308 452.89 0.066 0.020 Mei 05 0.266 1811.22 0.262 0.070 Jumlah 5591.99 0.810 0.224

Nilai Faktor C – USLE tanaman kakao dewasa 0.277

*Nisbah erosi : nisbah erosi dari plot erosi dengan penggunaan lahan dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap erosi dari plot erosi terbuka diolah bersih dan tidak ditanami terus menerus.

Tabel 6 menunjukkan bahwa nisbah erosi tanaman jagung pada musim tanam pertama lebih tinggi dibanding musim tanam ke-2 baik pada fase seed bed

maupun fase berikutnya (fase 1, 2, 3 dan 4). Pada fase seed bed (pengolahan tanah sampai pertumbuhan awal) nisbah erosi pada musim tanam pertama sebesar 0.877 lebih tinggi dibandingkan dengan nisbah erosi pada musim tanam ke-2 yaitu sebesar 0.323, walaupun jumlah energi kinetik hujan yang jatuh pada musim tanam ke-2 pada fase tersebut sebesar 554.50 ton m/ha jauh lebih tinggi dibandingkan dengan energi kinetik hujan yang jatuh pada musim pertama (15.82 ton m/ha ).

Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan cara pengolahan tanah dan pengelolaan serasah yang dilakukan pada kedua musim tanam. Pada musim tanam pertama, pengolahan tanah dilakukan secara manual dengan menggemburkan tanah lapisan atas (10 cm) dan membakar seluruh serasah

tanaman sehingga permukaan tanah menjadi relatif terbuka terhadap pukulan butir hujan. Pada musim tana m ke-2 tidak dilakukan pengolahan tanah dan serasah tanaman(9.45 ton/ha) diletakan dipermukaan tanah dan disusun diantara barisan tanaman sebagai mulsa/barier (Gambar 18). Relatif terbukanya permukaan tanah dan relatif gemburnya kondisi tanah pada musim tanam pertama menyebabkan curah hujan yang lebih rendah (energi kinetik hujan yang lebih rendah) mampu menimbulkan nisbah erosi yang lebih besar.

Gambar 18. Kondisi permukaan lahan setelah pembersihan lahan (a), dan tanaman jagung berumur 10 hari pada musim tanam pertama(b) serta pengelolaan sisa tanaman jagung pada musim tanam ke-2 (c)

Untuk mempercepat pengeringan tongkol/biji jagung, setelah tanaman jagung mencapai fase 3 (maturing crop) maka pada 105 HST dilakukan pemang- kasan daun dan pucuk tanaman jagung (Gambar 19). Oleh karena itu, walaupun tutupan tajuk tanaman jagung telah menurun drastis pada fase tersebut, tetapi tutupan basal di permukaan tanah yang cukup tinggi menyebabkan nisbah erosi yang dihasilkan pada fase 3 dan 4 cukup rendah yaitu sebesar 0.332 dan 0.375 pada musim tanam pertama serta 0.269 dan 0.250 pada musim tanam ke-2.

Gambar 19. Pemangkasan daun dan pucuk tanaman jagung mem- pengaruhi tutupan tajuk dan tutupan basal pada fase pema- tangan (fase 3) dan panen (fase 4)

Nilai faktor C-USLE merupakan nilai tunggal untuk setiap penggunaan lahan yang nilainya ditentukan ditentukan berdasarkan hasil penelitian jangka panjang. Nilai faktor C yang diperoleh dari hasil penelitian selama 2 musim tanam dan beberapa nilai faktor C yang biasa digunakan di Indonesia disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai faktor C-USLE berbagai penggunaan lahan

Penggunaan dan Pengelolaan Lahan Nilai Faktor C-USLE

Aktual Pustaka Kakao muda (umur 2-3 tahun); tumbuh berasama gulma/rumput dan tumbuhan

semak rendah; tanaman pelindung Gliricidia maculata; tutupan tajuk* ±43%; dan tutupan basal ±90.4%.

0.307

Kakao sedang (umur 4-5 tahun); gulma dibersihkan; serasah dibiarkan dipermukaan tanah; tunas air dipangkas; tanaman pelindung Gliricidia maculata; tutupan tajuk *±78%; dan tutupan basal ±84%.

0.284

Kakao dewasa (umur 8 -10 tahun); gulma dibersihkan; serasah dibiarkan dipermukaan tanah; tunas air dipangkas; tanaman pelindung Gliricidia maculata; tutupan tajuk ±79%; dan tutupan basal ±88%.

0.277 0.801)

Kakao muda (umur 2-3 tahun) + Jagung; gulma dibersihkan; tanaman pelindung Gliricidia maculata; tutupan tajuk* ±44.0%; dengan penanaman jagung ditugal, jarak tanam 40 cm x 100 cm (3 biji per lubang), dan dipupuk urea 100 kg/ha

0.319

Kakao muda (umur 2-3 tahun) + Jagung+Ketela pohon; gulma dibersihkan; tanaman pelindung Gliricidia maculata;tutupan tajuk*±51.2%; dengan

penanaman jagung ditugal, jarak tanam 40 cm x 100 cm (3 biji per lubang), dan dipupuk urea 100kg/ha; penanaman ketela pohon sistem lubang tanam, tidak teratur diantara tanaman pelindung.

0.318

Vanili, tumbuh bersama gulma/rumput dan tumbuhan semak rendah; tanaman stek dengan jarak tanam 1m x1m; 3 tanaman per rambatan; tanaman pelindung Gliricidia maculata dewasa (> 10 tahun); t utupan tajuk* ±68.9% dan tutupan basal ±87.4%

0.153

Jagung monokultur varietas C1; jarak tanam 40 cm x 80 cm (2 biji/lubang); dipupuk urea (200 kg/ha), TSP (150 kg/ha) dan KCl (150kg/ha); selama dua musim tanam dengan pengolahan tanah konvensional dan tanpa olah tanah.

0.223

Jagung monokultur varietas C1; jarak tanam 40 cm x 80 cm (2 biji/lubang); dipupuk urea (200kg/ha), TSP (150kg/ha) dan KCl

(150kg/ha); musim tanam pertama dengan pengolahan tanah konvesional; dan produksi jagung 3.29 ton/ha

0.442

Jagung monokultur varietas C1; jarak tanam 40 cm x 80 cm (2 biji/lubang); dipupuk Urea (200kg/ha), TSP (150kg/ha) dan KCl (150kg/ha); musim tanam ke-2, tanpa olah tanah, serasah dijadikan mulsa dan disusun sebagai barier, dan produksi jagung 3.47 ton/ha

0.126

Jagung-kacang tanah (rotasi); pengolahan tanah konvensional; gulma

dibersihkan dan dibakar, jarak tanam 40 x 80 cm (jagung varietas C1) dan 20 x 40 cm (kacang tanah varietas gajah); dipupuk Urea (200kg/ha), TSP (150kg/ha) dan KCl (150kg/ha); dan produksi jagung 3.68 ton/ha

0.264 0.351), 0.0143)

Semak belukar, umur 4-5 tahun, rapat bercampur dengan alang-alang, tutupan tajuk ±71.0%

0.197 0.302), 0.103) Hutan alam, tegakan jarang, serasah sedang, tutupan tajuk *±85.2% dan

tutupan basal ±93.6%

0.034 0.0052) Keterangan : *) = Tutupan tajuk tanaman dan tanaman pelindung 1) = Wood and Dent (1983) 2) = Hamer (1981) 3) = Abdurachman et al. (1981)

Tutupan tajuk tanaman kakao bervariasi dengan perbedaan umur tanaman, akan tetapi nilai faktor C-USLE yang diperoleh tidak jauh berbeda yaitu sebesar 0.307 untuk kakao muda, 0.284 untuk kakao sedang, dan 0.277 untuk kakao dewasa. Walaupun masih lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kakao sedang dan dewasa, relatif rendahnya nilai faktor C-USLE tanaman kakao muda dikarenakan tanaman kakao tersebut dibiarkan tumbuh bersama tumbuhan gulma (rumput) dan tumbuhan semak rendah lainnya sehingga menyebabkan tutupan permukaan tanah (basal cover) yang sangat tinggi (90.4%).

Efek peredaman energi kinetik hujan baik karena intersepsi basal cover

maupun karena penurunan kecepatan jatuhnya butir hujan menyebabkan penurunan erosi percik (splash erosion). Selain itu basal cover yang terdapat di permukaan tanah menyebabkan hambatan aliran yang pada gilirannya dapat menyebabkan terjadinya penurunan daya angkut aliran permukaan dalam meng- erosikan tanah. Kombinasi penurunan erosi percik dan penurunan daya angkut aliran permukaan menyebabkan erosi yang terjadi relatif rendah sehingga nilai faktor C-USLE yang diperoleh pada tanaman kakao muda juga rendah.

Pada tanaman kakao sedang dan dewasa sebagian besar gulma yang dibersihkan dan dibiarkan terhampar diatas permukaan tanah bersama serasah daun dan ranting tanaman hasil pangkasan menjadi basal cover. Tutupan basal cover

yang relatif tinggi (Gambar 20) menyebabkan erosi yang terjadi pada pertanaman kakao sedang dan dewasa juga rendah.

Gambar 20. Rataan tutupan tajuk (canopy cover) dan tutupan basal (basal cover)pada pertanaman kakao

Nilai faktor C-USLE untuk hutan sebesar 0.034 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai faktor C-USLE yang diperoleh dari hasil- hasil penelitian sebelumnya yaitu sebesar 0.001 (hutan alam dengan serasah tinggi) dan

0.005 untuk hutan alam berserasah rendah (Hamer, 1981; Abdurachman et al.,

1981). Tingginya nilai faktor C-USLE yang diperoleh berkaitan dengan kondisi vegetasi hutan alam yang sudah terganggu dan produksi serasah pada lantai hutan yang relatif rendah. Produksi serasah yang jatuh di lantai hutan adalah 6.62 ton/ha /tahun lebih rendah dibandingkan dengan produksi serasah pada lantai hutan dengan kondisi hutan yang masih baik yaitu sebesar 12.0- 24.7 ton/ha/tahun (Martius et al., 2004). Selain itu kemiringan lahan yang relatif curam (> 40%) juga mempengaruhi besarnya erosi tanah pada lahan hutan.

Nilai faktor C-USLE tanaman jagung untuk 2 musim tanam sebesar 0.223. Perbedaan cara pengolahan tanah dan pengelolaan lahan antara musim tanam pertama dan musim tanam ke-2 menyebabkan perbedaan nilai faktor C-USLE. Persiapan lahan, pembersihan dan pembakaran gulma dan serasah, perataan dan penggemburan tanah menyebabkan nilai faktor C-USLE tanaman jagung pada musim pertama sebesar 0.442 jauh lebih tinggi dibanding nilai faktor C-USLE pada musim tanam ke-2 (0.126) dengan serasah tanaman dibiarkan dipermukaan tanah dan disusun dalam barisan tanaman sebagai barier. Pengolahan tanah, penyiangan gulma dan penggemburan/pembumbunan tanah disekitar tanaman kacang tanah menyebabkan nilai faktor C-USLE rotasi tanaman jagung dan kacang tanah (0.264) lebih tinggi dibandingkan nilai faktor C tanaman jagung monokultur (0.223).

Kondisi pohon naungan (Gliricidia maculata) yang sudah relatif besar (berumur ± 10 tahun) dan sistem budidaya vanili yang kurang terawat dengan membiarkan tanaman vainili tumbuh bersama gulma seperti rumput dan tana man semak rendah menyebabkan nilai faktor C-USLE kebun vainili lebih rendah dibanding penggunaan lahan lainnya kecuali hutan. Kondisi tersebut menyebab- kan tutupan tajuk (canopy cover) akibat vegetasi naungan dan tutupan permukaan tanah oleh rumput (basal cover) relatif tinggi sepanjang tahun (Gambar 21) sehingga erosi tanah menjadi rendah.

Gambar 21. Keragaan tutupan basal (a), persen tutupan tajuk dan tutupan basal (b) pertanaman vanili

Faktor C-A NSW ERS

Faktor C merupakan salah satu parameter masukan model ANSWERS yang nilainya diadopsi dari model USLE (Beasley dan Huggins, 1981) yang kemudian dikenal dengan nilai faktor C-USLE. Nilai faktor C-USLE yang digunakan dalam model ANSWERS sekarang ini (khususnya di Indonesia) merupakan nilai tunggal untuk setiap penggunaan lahan (Beasley dan Huggins, 1981; Bo uraoui dan Dillaha, 1996; Irianto, 1993; Aswandi, 1996; Tikno 1996, Ginting dan Ilyas, 1997; Ramadhan, 1998; Hidayat, 2001; dan Hidayat et al., 2005). Untuk meningkatkan keakuratan model dalam memprediksi erosi tanah (terutama di daerah tropika basah) maka diperlukan pendefinisian faktor C yang sesuai dengan karakteristik model ANSWERS.

Faktor C model ANSWERS (C-ANSWERS) adalah faktor C pada setiap fase pertumbuhan tanaman yang nilainya bervariasi dengan tutupan tajuk tanaman, tutupan basal dan curah hujan. Nilai faktor C-ANSWERS diperoleh dari nisbah erosi dari plot erosi dengan penggunaan lahan dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap erosi dari plot erosi terbuka yang diolah bersih dan tidak ditanami secara terus menerus.

Ketika tutupan tajuk tanaman masih rendah (2.6%) dan permukaan tanah masih sangat bersih (dengan tutupan basal 0.9%), nilai faktor C-ANSWERS tanaman jagung sangat tinggi (0.87). Nilai faktor C-ANSWERS kemudian menurun sejalan dengan peningkatan tutupan tajuk tanaman dan tutupan basal, dan meningkat kembali sebagai akibat terjadinya penurunan tutupan tajuk tanaman dan panen. Sebaliknya pada tanaman tahunan seperti tanaman kakao dan

hutan, tutupan tajuk tanaman dan tutupan permukaan tanah oleh serasah dan tanaman rendah lainnya relatif stabil sehingga variasi nilai faktor C-ANSWERS lebih disebabkan karena variasi curah hujan (Gambar 22).

Gambar 22. Tutupan tajuk dan nilai faktor C-ANSWERS untuk tanaman jagung (a) dan tanaman kakao (b)

Keragaman nilai faktor C-ANSWERS yang sangat tinggi (Cv = 31.8 - 90.7%) menunjukkan bahwa nilai rataan faktor C-ANSWERS tidak dapat mencerminkan nilai populasi secara keseluruhan (Tabel 8, Tabel Lampiran 3). Keragaman tertinggi diperoleh pada lahan hutan (90.7%), diikuti oleh jagung monokultur (49.1%) dan rotasi jagung-kacang tanah (48.5%). Nilai keragaman yang sangat tinggi pada penggunaan lahan hutan disebabkan karena pada beberapa kejadian hujan yang relatif rendah, hampir seluruh air hujan yang jatuh dipermukaan tanah dapat diresapkan kedalam tanah sehingga tidak terjadi aliran permukaan dan erosi tanah. Tanaman kakao dewasa mempunyai keragaman nilai faktor C-ANSWERS lebih rendah dibandingkan dengan tanaman kakao sedang dan kakao muda dengan koefisien variasi masing- masing 31.8, 36.1, dan 31.9%.

Keragaman nilai faktor C-ANSWERS tanaman jagung (49.1%) lebih tinggi dibandingkan dengan keragaman nilai faktor C-ANSWERS tanaman kakao (33.3%). Keragaman tutupan tajuk dan tutupan basal tanaman jagung yang relatif tinggi merupakan faktor utama bervariasinya nilai faktor C-ANSWERS. Kegiatan persiapan lahan, penyiangan gulma, dan kegiatan pengelolaan yang dilakukan juga mempengaruhi fluktuasi nilai faktor C-ANSWERS yang diperoleh pada pertanaman jagung.

(a)

Tabel 8. Keragaan nilai faktor C-ANSWERS pada berbagai penggunaan lahan

Penggunaan dan Pengelolaan Lahan Faktor C-ANSWERS Faktor C- USLE

Maks Min STDEV Cv (%)

Kakao muda (umur 2-3 tahun); tumbuh berasama gulma/rumput dan tumbuhan semak rendah; tanaman pelindung Gliricidia maculata; tutupan tajuk* ±43%; dan tutupan basal ±90.4%.

0.491 0.124 0.096 31.9 0.307

Kakao sedang (umur 4-5 tahun); gulma dibersihkan; serasah dibiarkan dipermukaan tanah; tunas air dipangkas; tanaman pelindung Gliricidia maculata; tutupan tajuk *±78%; dan tutupan basal ±84%.

0.514 0.105 0.097 36.1 0.284

Kakao dewasa (umur 8-10 tahun); gulma

dibersihkan; serasah dibiarkan dipermukaan tanah; tunas air dipangkas; tanaman pelindung Gliricidia maculata; tutupan tajuk ±79%; dan tutupan basal ±88%.

0.516 0.107 0.091 31.8 0.277

Kakao muda (umur 2-3 tahun) + Jagung; gulma dibersihkan; tanaman pelindung Gliricidia

Dokumen terkait