• Tidak ada hasil yang ditemukan

Letak Geografis dan Topografi Kawasan

Kawasan TNGHS secara geografis terletak antara 106° 13' – 106° 46' BT dan 06° 32' - 06° 55' LS, dan berada pada tiga wilayah administratif kabupaten, yaitu : Kabupaten Lebak di Propinsi Banten serta Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi di Propinsi Jawa Barat dengan luasan ± 113.357 ha. Batas-batas wilayah TNGHS adalah sebagai berikut :

a. Sebelah utara dibatasi oleh Kecamatan Nanggung, Kecamatan Jasinga di Kabupaten Bogor dan Kecamatan Cipanas di Kabupaten Lebak.

b. Sebelah barat dibatasi oleh Kecamatan Leuwiliang di Kabupaten Bogor dan Kecamatan Kabandungan di Kabupaten Sukabumi.

c. Sebelah selatan dibatasi oleh Kecamatan Cikidang, Kecamatan Cisolok di Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Bayah di Kabupaten Lebak.

d. Sebelah timur dibatasi oleh Kecamatan Cibeber di Kabupaten Lebak. Kawasan TN Gunung Halimun Salak merupakan luasan terbesar dari sekelompok hutan pegunungan (Sub montane) yang masih utuh di Pulau Jawa dengan kisaran ketinggian antara 500-2.211 meter di atas permukaan laut (Hartono dkk. 2007). Bentang alam kawasan ini secara umum memiliki topografi berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Berdasarkan analisa kemiringan lahannya kawasan TNGHS terdiri dari perbukitan dengan kemiringan terbanyak lebih dari 45 % pada 75,7 % dari luas areal (Irwan, 2008).

Sejarah dan Status Kawasan

Pembentukan TNGHS diawali dengan ditunjuknya TN Gunung Halimun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 ha di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Selanjutnya pada tanggal 23 Maret 1997 kawasan TNGH dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan. Atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitarnya dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi halimun maka dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, yang menunjuk perubahan fungsi kawasan meliputi areal eks hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap pada kelompok hutan Gunung Salak dan sekitarnya yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani menjadi satu kesatuan kawasan konservasi TNGHS. Status pengelolaan kawasan TNGHS secara ringkas disajikan pada Tabel 6.

27

Tabel 6. Ringkasan sejarah pengelolaan kawasan TNGHS

Tahun Status

1924 – 1934 Status sebagai Hutan Lindung di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dengan luas mencakup 39,941 hektar

1935 – 1961

Status Cagar Alam Gunung Halimun di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Djawa Barat

1961 – 1978 Status Cagar Alam Gunung Halimun di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat

1979 – 1990

Status Cagar Alam Gunung Halimun seluas 40.000 hektar di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I 1990 – 1992 Status Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango 1992 – 1997

Status Taman Nasional Gunung Halimun di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

(SK. Menhut No. 282/Kpts-II/1992) 1997- 2003

Status Taman Nasional Gunung Halimun di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun (SK. Menhut No. 185/Kpts-II/1997)

2003 – 2006

Status Taman Nasional Gunung Halimun – Salak di bawah pengelolaan Balai Taman Nasonal Gunung Halimun (SK. Menhut No. 175/Kpts-II/2003)

Sumber : TNGHS (2007)

Iklim dan Curah Hujan

Wilayah TNGHS berada pada iklim Tropis dengan curah hujan yang tinggi, berkisar antara 4.000 sampai 6.000 mm/tahun. Bulan-bulan hujan meliputi bulan Oktober-April, sedangkan musim kemarau berlangsung antara bulan Mei-September dengan curah hujan berkisar 200 mm/bulan. Suhu rata-rata bulanan 31,5 oC dengan suhu terendah antara 19,7 dan suhu tertinggi 31,8. Kelembaban udara rata-rata 88% (Hartono et al. 2007)

Geologi, Tanah dan Hidrologi

Berdasarkan sejarah geologi ini merupakan bagian dari sabuk gunung berapi yang memanjang dari pengunungan Bukit Barisan Selatan Sumatera ke Gunung Honje di Taman Nasional Ujung Kulon dan seterusnya ke Gunung Halimun-Salak (Hartono et al. 2007). Kawasan ini sebagian besar terdiri dari

28

batuan vulkanik seperti breksi, basal dan andesit dari masa Pliocene-Pleistocene dan beberapa strata dasit dari masa para Pliocene (TNGHS 2007).

Kawasan ini memiliki jenis tanah yang cukup beragam, sedikitnya terdapat 14 jenis tanah yang dapat digolongkan ke dalam 5 (lima) golongan besar yaitu : andosol (warna coklat agak gelap), latosol (warna coklat merah kekuning-kuningan), podsolik (warna coklat kemerah-merahan), regosol dan litosol. Tanah pada kawasan ini memiliki porositas dan permeabilitas yang baik akan tetapi teksturnya yang di dominasi oleh partikel yang seukuran debu memudahkannya tercuci dan tererosi. Hal ini menunjukkan tanah pada kawasan TNGHS merupakan tanah vulkanik tua yang sedang mengalami evolusi, hal ini bisa dilihat juga dari terjadinya transisi dari andosol ke latosol.

Kawasan TNGHS memiliki peran penting hidrologis bagi wilayah sekitarnya. Lebih dari 115 sungai dan anak sungai yang berhulu di dalam kawasan ini yang mengalir ke arah selatan dan bermuara di wilayah Kabupaten Sukabumi (Propinsi Jawa Barat) dan Kabupaten Lebak (Propinsi Banten) serta ke mengalir ke arah utara dan bermuara di Kota Serang dan Kabupaten Tangerang (Propinsi Banten) serta Propinsi DKI Jakarta (Hartono et al. 2007). Kondisi aliran sungai masih baik dengan debit yang relatif tetap dan tingkat fluktuasi yang rendah.

Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati pada kawasan TNGHS tentunya dipengaruhi oleh kondisi topografinya yang berupa hamparan pegunungan yang masih aktif. Topografi membentuk tipe ekosistem yang berbeda pada setiap ketinggian (Van Steenis, 1972), yaitu :

- zona Collin pada ketinggian antara 500-1000 m dpl - zona Sub montana pada ketinggian 1000-1.500 m dpl - Zona Montana pada ketinggian di atas 1.500-2.400 m dpl

Berdasarkan zonasi tersebut, kawasan TNGHS memiliki keragaman jenis tumbuhan yang tinggi. Sedikitnya ada 1000 jenis tumbuhan , dimana 845 jenis tercatat sebagai tumbuhan berbunga (Hartono et al. 2007).

Gunung Halimun, disebutkan dalam Wardojo (1997), merupakan kawasan dengan dua tipe ekosistem yaitu : tipe hutan tropis dataran rendah dan hutan tropis pegunungan. Tipe yang pertama banyak mengalami kerusakan akibat dari aktivitas manusia, sehingga saat ini banyak di dominasi oleh tumbuh semak belukar, sedikit pohon-pohon yang berukuran besar dan hidup banyak pohon pionir seperti Kareumbi (Omalanthus populneus), Cangcaratan (Naulea lanceolata), Manggong (Macaranga rhizoides) dan Puspa (Schima wallichii). Selain jenis pohon pionir, ditemukan pula Suren (Toona chinensis), Rasamala (Altingia excelsa), Saninten atau Kiriung Anak (Castanopsis javanica), Pasang (Lithocarpus spp.) dan Keruing (Dipterocarpus sp.).

Kawasan hutan Gunung Salak terdiri dari ekosistem hutan hujan dataran rendah (500-1.000 mdpl) dan hutan hujan dataran tinggi dengan zona sub-montana (1.000 – 1.500 m dpl.) dan zona sub-montana (1.500 – 1.800 m.dpl.). Tipe ekosistem yang pertama merupakan hutan sekunder yang yang banyak mengalami

29 kerusakan sebagai akibat aktivitas manusia, meskipun demikian masih dapat ditemui sisa-sisa hutan primer pada daerah dengan tebing yang curam. Selain dua tipe ekosistem hutan hujan, di kawasan Gunung Salak pada ketinggian 1.800 m dpl mulai dapat ditemukan tipe ekosistem hutan lumut atau elfin dengan jenis tumbuhan yang dominan seperti Vaccinium, Leptospermum, Myrsine, Schefflera dan Rhododendron serta beberapa jenis anggrek diantaranya : Corybas mucronatus, C. vinosus dan C pictus.

Berikut ini beberapa jenis flora yang terdapat di TNGHS :

a. Semak-semak : Harendong (Melastoma malabathrycum), Kirinyuh (Eupatorium inulifolium), Cente (Lantana camara), Jotang (Bidens pilosa), Pegagan (Centela asiatica), dan Kejebing (Strobilantes crispus).

b. Perdu terdiri dari beberapa suku antara lain :

- suku rubiaceae terdiri dari : Lasianthus, Psychotria, Urophyllum - suku Acanthaceae terdiri dari : Strobilanthes cernua, S. bracteata - suku Melastomataceae terdiri dari : Melastoma, Clidema

c. Herba terdiri dari beberapa suku antara lain : - suku Myrsinaceae terdiri dari : Ardisia sp, Labisia sp

- suku Asteraceae terdiri dari : Bidens pilosa, Blumea aromatica, Erigeon linifolius, Eupatorium triplinerve

- suku Begoniaceae terdiri dari : Begonia robusta, B. Isoptera

- suku rubiaceae terdiri dari : Argostema montana, A. Uniflora, A. borragineum

- suku Gentianaceae terdiri dari : Lobelia (Stroblantus cernua), S. bractea

- suku Araceae terdiri dari : Arisaema, Scindapsus, Armorphophalus - suku Liliaceae terdiri dari : Disporum cantoniense, Dianella javanica - suku Zingiberaceae terdiri dari : Ela (Alpina scraba), Tepus (Etlingera

puniceae, E. solaris), Pacing (Costus specious), Pining (Hornstedtia paludosa), Parahulu (Amomum compactum)

d. Beberapa liana lain yang dapat dijumpai di TNGHS adalah jenis arbei hutan (Rubus rosaeiollius; R. Moluccaus).

e. Selain itu d TNGHS terdapat jenis-jenis anggrek (258 jenis), Bambu (12 jenis), Rotan (13 jenis), Kantung Semar (Nepenthes sp.), Palahlar (Dipeterocarpus hasselti), bahkan Rafflesia rochussenii yang merupakan jenis tumbuhan unik dan langka.

Berbagai tipe ekosistem yang ada di dalam kawasan TNGHS membentuk habitat bagi berbagai macam jenis satwa. Tercatat lebih dari 860 jenis satwa yang terdapat pada kawasan ini, yang diantaranya merupakan satwa yang dilindungi dan endemik Pulau Jawa. Salah satu nilai penting kawasan ini layak untuk dilindungi adalah keberadaannya yang masih cukup baik sebagai habitat berbagai satwa penting yang populasi terbatas seperti macan tutul (Panthera pardus melas), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan owa jawa (Hylobates moloch). Sejarahnya kawasan ini juga merupakan habitat satwa seperti badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang saat ini sudah tidak dapat lagi ditemukan di tempat ini dan harimau jawa (Panthera tigris sondaicus) yang bahkan diduga sudah punah. TNGHS memprioritaskan pengelolaan satwanya pada kepada tiga jenis satwa

30

yaitu macan tutul (Panthera pardus melas), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan owa jawa (Hylobates moloch). Ketiga satwa diprioritaskan karena ketergantungannya yang sangat tinggi kepada hutan primer yang sudah banyak hilang dan berakibat pada semakin menurunnya populasi satwa tersebut.

Sosial Ekonomi Masyarakat

Jumlah penduduk yang berdomisili di dalam dan disekitar kawasan TNGHS lebih dari 270.000 jiwa (BPS, 2007), yang berada dalam 13 kecamatan, 46 desa, dan masuk ke dalam 3 Kabupaten (Bogor, Sukabumi, dan Lebak). Masyarakatnya merupakan suku Sunda – Banten termasuk kasepuhan di dalamnya seperti Citorek, Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, dan Cisitu.

Sebanyak 86 % masyarakat di kawasan TNGHS memiliki mata pencaharian sebagai petani. Berdasarkan masa panennya, komoditi yang ditanam oleh petani dapat dikategorikan menjadi (1) tanaman semusim seperti padi, ketela pohon, sayur-mayur; (2) Tanaman jangka menengah seperti kopi, sengon; (3) tanaman jangka panjang seperti pete, durian, mangga dan sebagainya.

Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar TNGHS bisa dibedakan menjadi dua kategori yaitu masyarakat adat dan non adat. Masyarakat adat yang tinggal di kawasan TNGHS merupakan penganut tradisi kasepuhan; suatu tradisi masyarakat yang bertumpu pada ekoreligi padi (Kusnaka, 1992 dalam Yatap 2008). Lokasi penelitian meliputi Seksi Wilayah II yang wilayahnya berada pada Kabupaten Bogor. Pengaruh adat pada penduduk yang berdiam dalam wilayah ini tidak lagi sekuat pengaruh pada penduduk Kasepuhan yang berdiam di wilayah Kabupaten Lebak dan Sukabumi.

31

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Tingkat Degradasi Hutan di TNGHS

Analisis Kelas Kerapatan Tajuk

Proses pengolahan data akhir FCD menghasilkan data nilai kerapatan kanopi hutan dari 1-100% yang direpresentasikan oleh setiap nilai piksel, untuk kemudian dibagi kedalam 4 kelas yaitu non hutan (kerapatan kanopi 0-10%), kerapatan rendah (kerapatan kanopi 11-30%), kerapatan sedang (kerapatan kanopi 31-50%), kerapatan tinggi (kerapatan kanopi 51-100%). Peta kelas kerapatan hutan tahun 2003 sampai dengan tahun 2011 ditunjukkan pada Gambar 6, 7 dan 8. Pemilihan tahun 2003 sebagai awal tahun analisis dalam penelitian ini adalah karena pada tahun tersebut kawasan TNGHS mengalami perluasan. Pada peta – peta tersebut secara visual dapat terlihat adanya perubahan kelas kerapatan hutan antar titik tahun pengamatan. Selanjutnya perubahan kelas – kelas hutan tersebut yang dideteksi sebagai proses terjadinya degradasi hutan. Nampak pada peta terjadi perubahan kerapatan, terutama pada bagian tepi batas wilayah kawasan TNGHS. Sayangnya kenampakan perubahan kelas kerapatan hutan pada tahun 2011 tidak dapat memberikan data dan informasi secara baik diakibatkan tertutupnya sebagian besar wilayah penelitian oleh awan dan bayangannya.Pada proses pengolahan indeks biofisik dalam setiap tahapan pada teknik FCD digunakan penentuan ambang batas (threshold) yang sangat menentukan ketepatan operator (dalam hal ini peneliti) dalam mengidentifikasi suatu obyek, misalnya vegetasi atau tanah terbuka. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tingkat akurasi dalam menggunakan teknik ini bersifat subyektif dan sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pemahaman operator tentang digital image processing. Perbedaan pengetahuan antar peneliti dalam menentukan threshold dapat menimbulkan perbedaan interpretasi suatu obyek yang diidentifikasi. Mengingat bahwa dalam metode FCD ini informasi yang ditampilkan hanya berupa persentase kerapatan kanopi, maka perbedaan kondisi tegakan di lapangan antara hutan primer dan sekunder, atau antara hutan heterogen dengan homogen kurang dapat disajikan dengan baik. Namun kelebihan dari metode FCD ini adalah tidak diperlukannya jumlah data yang banyak dari lapangan, sehingga untuk kawasan TNGHS yang bersifat luas dengan topografi yang beragam, maka teknik ini cukup baik untuk dapat mendeteksi dan memantau (monitoring) terjadinya degradasi dan deforestasi.

Uji validasi untuk mendapatkan deskripsi di lapangan dilakukan terhadap 20 titik, dengan pertimbangan adanya keterbatasan waktu dan sumberdaya. Titik – titik dipilih berdasarkan kemudahan akses dan kenampakan yang mudah diidentifikasi pada peta ataupun citra, misalnya wilayah non hutan berupa kebun atau sawah. Tabel 7 menampilkan hasil uji akurasi terhadap klasifikasi yang dilakukan.

32

33

34

35 Tabel 7. Uji akurasi klasifikasi kelas karapatan hutan

Kelas kerapatan

non hutan

Rendah sedang tinggi jumlah mendatar UA OA Kappa non hutan 4 0 0 0 4 100 70 0,605 rendah 2 3 0 0 5 60 sedang 1 1 3 0 5 60 tinggi 1 0 1 4 6 66,67 jumlah menurun 8 4 4 4 20 PA 50 75 75 100 Keterangan : UA : User Accuracy OA : Overall Accuracy

Dalam penelusuran di lapangan diketahui bahwa pada areal perluasan tepi kawasan TNGHS yang pada awalnya dikelola oleh Perum Perhutani memang mengalami pembukaan hutan yang mudah terlihat. Kondisi pada tepi kawasan yang berbatasan langsung dengan desa – desa relatif terbuka dan sudah berupa semak belukar, bahkan di bagian tertentu telah menjadi ladang dan sawah. Pada wilayah bagian tengah perubahan tutupan relatif sulit untuk dideteksi secara kasat mata. Perubahan kelas kerapatan antara tahun 2003 hingga 2007 menunjukkan bahwa di sebagian besar kawasan TNGHS terjadi penambahan kerapatan kelas hutan. Hal ini mengindikasikan bahwa penunjukan wilayah hutan yang sebelumnya hutan produksi menjadi bagian dari TNGHS, merupakan langkah yang tepat dilakukan untuk memulihkan kondisi ekosistem pada wilayah tersebut. Namun pada beberapa lokasi telah terjadi perubahan kelas kerapatan yang bersifat menurun (degraded). Perubahan paling besar terjadi pada bagian wilayah utara kawasan yaitu kecamatan Jasinga, dimana sebagian besar hutan primer telah berubah menjadi kebun, ladang, semak dan sebagian kecil sawah.

Kondisi kerapatan hutan pada tahun 2011, menunjukan terjadinya perubahan kelas di hampir seluruh bagian kawasan. Namun sayangnya tutupan awan yang besar mengakibatkan tidak tersajinya data secara baik. Untuk itu sebagai pembanding guna melihat kondisi kerapatan pada tahun 2011 dilakukan pendekatan melalui peta penutupan dan penggunaan lahan tahun 2010 yang dihasilkan oleh Bappeda Kabupaten Bogor (Gambar 9). Pada tahun 2011, berdasarkan Gambar tersebut diketahui bahwa luas hutan telah berkurang tidak hanya pada kecamatan Jasinga tetapi juga terjadi pada kecamatan Cigudeg, Nanggung, Leuwiliang, Pamijahan hingga Tenjolaya.

36

37

Analisis Tingkat Degradasi Hutan

Berdasarkan kelas – kelas kerapatan hutan yang dihasilkan pada tahap sebelumnya maka analisis spasial terhadap penurunan kelas hutan kemudian didefinisikan atau ditetapkan sebagai degradasi hutan. Penelitian ini membagi tingkat degradasi ke dalam 3 kelas, yaitu degradasi ringan, degradasi berat dan deforestasi. Pengamatan di lapangan menggunakan indikator kerapatan tegakan yang direpresentasikan dengan keberadaan tegakan yang mati dan atau ditebang. Dengan kata lain penghitungan dilakukan terhadap tegakan mati (tunggak). Hal ini telah diuji dalam penelitian Nugroho (2012) yang menyimpulkan bahwa jumlah tegakan mati berkorelasi terhadap degradasi, dengan tingkat akurasi (overall acuracy) pada 3 kelas degradasi hutan sebesar 68%.

Seperti yang telah disebutkan dalam metode, untuk memberikan gambaran di lapangan pada setiap kelas degradasi dilakukan penghitungan terhadap jumlah tunggak yang dapat ditemui pada setiap plot pengamatan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa semakin banyak jumlah tunggak yang ditemui dalam suatu plot, maka semakin tinggi tingkat degradasi pada plot tersebut. Hasil perhitungan jumlah tunggak yang dapat ditemui pada kelas degradasi tertentu disajikan pada Tabel 8. Keberadaan tunggak dapat diasumsikan sebagai pengurangan jumlah tegakan, namun untuk itu perlu dilakukan inventarisasi kerapatan tegakan secara menyeluruh terlebih dahulu, sehingga jumlah pengurangannya dapat diduga secara benar.

Tabel 8. Penghitungan jumlah tunggak

N No Tingkat degradasi jumlah tunggak d ≥ 5cm (individu/plot) tunggak/Ha 1 1 Ringan 2 - 15 32 – 240 2 2 Berat >15 >240 3

3 Deforestasi Kondisi plot berupa sawah, semak

Berdasarkan hasil analisis, luas total penurunan kelas hutan yang terjadi antara tahun 2003 – 2007 adalah sebesar 5005,71 Ha, yang terbagi ke dalam 3 kelas degradasi. Degradasi hutan dengan luasan paling besar adalah tingkat degradasi ringan seluas 2764,80 Ha, selanjutnya deforestasi sebesar 1493,46 Ha, dan degradasi berat sebesar 747,45 Ha. Gambar 10 menunjukkan persentase luas tiap kelas degradasi hutan antara 2003 – 2007.

38

Gambar 10. Persentase luas degradasi tahun 2003 - 2007

Selanjutnya deteksi degradasi antara tahun 2003 – 2011, seperti yang disajikan pada peta (Gambar 13) mengindikasikan bahwa telah terjadi degradasi, baik ringan maupun berat, yang lebih luas dari yang terjadi pada periode 2003 – 2007 (Gambar 12). Namun luas deforestasi yang terdeteksi justru berkurang dari sebelumnya. Hal ini dapat terjadi antara lain disebabkan oleh tutupan awan (bayangan awan) yang luas pada tahun tersebut, juga adanya kegiatan rehabilitasi dan kegiatan penanaman yang dilakukan pada lahan yang sebelumnya terbuka, sehingga pada saat pengolahan data kenampakan tutupan tajuk tersebut diinterpretasikan sebagai tutupan tajuk hutan. Hasil analisis degradasi hutan pada periode 2003 – 2011 menunjukan telah terjadinya degradasi ringan sebesar 6197,13 Ha, degradasi berat sebesar 1200,15 Ha, dan deforestasi sebesar 189,9 Ha. Persentase setiap luas degradasi tersebut disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Persentase luas degradasi tahun 2003 – 2011

30% 55% 15% deforestasi degradasi ringan degradasi berat 2% 82% 16% deforestasi degradasi ringan degradasi berat

39

40

41 Tabel 8 sebelumnya menunjukkan bahwa pada kelas degradasi ringan dapat diidentifikasi dengan keberadaan tunggak sejumlah 2 – 15 tunggak/plot atau jika dikonversi ke dalam hektar maka didapati sejumlah 32/Ha sampai dengan 240 batang tunggak/Ha. Gambar 14 menunjukkan kenampakan kelas degradasi ringan di lapangan.

(a) tunggak

(b) tutupan tajuk

42

Selanjutnya Gambar 15 menunjukkan kenampakan kelas degradasi berat di lapangan. Pada kelas degradasi berat ini jumlah tunggak yang dapat ditemui pada setiap plot pengamatan lebih dari 15 tunggak, atau lebih dari 240 batang tunggak/Ha. Tampak pada gambar bahwa kondisi plot pengamatan kelas degradasi berat sudah terbuka, bahkan sebagian besar sudah berupa semak belukar.

(a) tunggak

(b) tutupan tajuk

43

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Degradasi

Berdasarkan luasan masing – masing kelas degradasi hutan yang diperoleh dari analisis spasial pada tahap sebelumnya, analisis selanjutnya dilakukan terhadap faktor – faktor yang diduga berpengaruh pada luas degradasi yang terjadi. Unit pengamatan pada analisis tahap ini adalah Desa, yaitu sejumlah 42 Desa yang berada pada wilayah Kabupaten Bogor yang sebagian atau seluruh wilayahnya terdapat di dalam kawasan TNGHS.

Geist dan Lambin (2002) mengelompokkan peubah yang menjadi penyebab deforestasi pada tiga kelompok, yaitu: 1) perluasan lahan pertanian dan peternakan: perladangan berpindah, perladangan menetap, peternakan, kolonisasi dan transmigrasi; 2) pemanenan kayu: kayu komersial, kayu bakar, arang, pancang; dan 3) perluasan infrastruktur: transportasi, prasarana pasar, fasilitas umum, pengembangan pemukiman, dan prasarana perusahaan pribadi. Lebih lanjut, masih menurut Geist dan Lambin (2002) kekuatan yang mendasari terjadinya deforestasi lebih dilihat dari adanya proses sosial. Kekuatan ini dapat dilihat sebagai suatu permasalahan sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan budaya dimana pada awalnya terdapat hubungan yang terstruktur/dinamis antara manusia dan alam. Faktor-faktor yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah: 1) kependudukan: dinamika populasi manusia, tekanan penduduk; 2) ekonomi: pertumbuhan ekonomi, pembangunan, komersialisasi; 3) teknologi: perubahan dan kemajuan teknologi; 4) kebijakan dan kelembagaan: perubahan atau dampak kelembagaan politik-ekonomi, perubahan kelembagaan; dan 5) budaya: kondisi sosial-politik.

Dalam penelitian ini degradasi hutan didekati dari luasan, sehingga peubah tidak bebas (Y) dalam hal ini direpresentasikan dengan luas degradasi yang merupakan jumlah dari luas degradasi ringan dan berat, yang terjadi pada setiap unit Desa. Memperhatikan peta degradasi yang dihasilkan, maka teknik analisis data yang dilakukan pada peta degradasi yang terjadi antara titik tahun 2003 – 2007, mengingat pada 2 titik tahun tersebut peta yang dihasilkan bebas dari bayangan awan sehingga data dan informasi dapat diperoleh secara baik. Selanjutnya data peubah bebas disesuaikan dengan interval waktu tersebut.

Berdasarkan teknik regresi didapati bahwa faktor laju pertumbuhan penduduk, laju perubahan luas lahan non pertanian, jarak desa dengan kecamatan, dan persentase perubahan jumlah keluarga pertanian merupakan faktor yang memberikan pengaruh terhadap luas degradasi hutan (Tabel 9).

Tabel 9. Hasil regresi faktor terhadap luas degradasi

Efek Estimate Standard

Error Wald Stat p Intersep* 1,98857 0,329469 36,42925 0,000000 Laju pertumbuhan penduduk* 0,14884 0,028581 27,11916 0,000000 Laju perubahan luas lahan non

44

Tabel 9 (Lanjutan)

Efek Estimate Standard

Error Wald Stat p Persentase perubahan luas ladang 0,00043 0,001398 0,09672 0,755797 Persentase perubahan jumlah keluarga pertanian* 0,00541 0,002324 5,42416 0,019860

Jarak desa dengan

Kecamatan* 0,14611 0,014846 96,85301 0,000000

Ket : *cetak miring = berpengaruh pada α =0,05

Laju Pertumbuhan Penduduk

Laju pertumbuhan penduduk merupakan salah satu unsur demografi (kependudukan) yang umum digunakan untuk mengetahui dinamika populasi penduduk di suatu tempat. Hasil regresi menunjukan bahwa laju pertumbuhan penduduk merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya degradasi pada kawasan TNGHS. Seperti yang tampak pada Tabel sebelumnya bahwa laju pertumbuhan penduduk pada desa – desa pengamatan telah memberikan pengaruh dengan koefisien regresi sebesar 0,14884. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan peningkatan 1 persen laju pertumbuhan penduduk maka akan meningkatkan pula luas degradasi sebesar 0,14884 satuan.

Hal ini selaras dengan asumsi umum yang menyatakan bahwa penduduk merupakan faktor yang dapat memicu terjadinya degradasi dan deforestasi (FAO, 2006), bahkan Geist dan Lambin (2002) menyatakan bahwa dinamika populasi manusia merupakan salah satu proses sosial mendasar yang mendorong (underlying driving force) terjadinya deforestasi pada hutan tropis. Pertumbuhan penduduk akan mendorong meningkatnya aktifitas manusia yang berdampak langsung terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan, dan hal ini mempengaruhi kemampuan ekosistem dalam menampung populasi dan menyediakan jasa untuk mendukung kehidupan populasi di dalamnya. Penduduk

Dokumen terkait