• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klaster Industri yang seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa industri terkait, institusi pendukung yang saling berinteraksi secara horisontal dan vertikal untuk menciptakan suatu nilai tambah baik untuk individu anggota kelompok maupun untuk bersama-sama. Konsep klaster banyak diperkenalkan oleh Porter (1998) yang melihat klaster industri sebagai sekumpulan perusahaan dan institusi yang terkait pada bidang tertentu yang secara geografis berdekatan, bekerjasama karena kesamaan dan saling memerlukan. Konsep tersebut didukung oleh beberapa pernyataan dari peneliti terdahulu di antaranya Roelandt dan den Hertog (1999) menekankan klaster industri pada jaringan produsen yang terdiri dari perusahaan-perusahaan yang independen dan kokoh bebas (termasuk pemasok khusus) yang terhubung satu sama lain dalam rantai nilai tambah produksi. OECD (2000) mendefinisikan klaster industri sebagai kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai produk umum, ketergantungan atas ketrampilan tenaga kerja yang serupa atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer.

Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan oleh konsorsium Trends Business Research dari Inggris (United Kingdom) terhadap klaster industri bisnis di Inggris diungkapkan adanya 6 (enam) jenis tipologi dari klaster industri yaitu: (1) Rantai produksi vertikal, yaitu suatu suatu rantai produksi vertikal dimana tahap-tahapan yang beriringan dalam rantai produksi membentuk inti klaster industri, (2) Agregasi sektor-sektor yang berhubungan yakni suatu agregasi dari sektor-sektor yang berhubungan, (3) Klaster industri regional, yaitu klaster mengacu pada suatu agregasi dari sektor-sektor yang berhubungan yang berpusat dalam daerah tertentu dan kompetitif dalam pasar dunia, (4) Daerah (distrik) industri, sebagai pengkonsentrasian lokal dari industri kecil dan menengah yang ahli dalam tahap proses produksi, (5) Jaringan, didefinisikan sebagai bentuk spesifik dari hubungan antara para pelaku ekonomi baik pasar maupun hirarki akan tetapi berbasis pada ketergantungan yang timbal balik, kepercayaan, dan kooperatif. Klaster

industri ini tidak harus terpusat secara geografis, akan tetapi akan lebih baik jika terlokalisasi dan (6) Lingkungan yang inovatif (the innovative milieu), yaitu klaster yang mengacu pada pengkonsentrasian lokal dari industri berteknologi tinggi.

Konsep klaster industri dari Michael E. Porter didasari dari hasil penelitiannya di dalam membandingkan daya saing internasional di beberapa negara. Negara yang memiliki daerah dengan kandungan mineral yang melimpah, tanah yang subur, tenaga kerja yang murah dan iklim yang baik sebenarnya memiliki keunggulan bersaing dibanding negara dengan daerah yang “berat”. Akan tetapi ditemui bahwa keunggulan karena keadaan daerah tidak mampu bertahan lama. Keunggulan daya saing suatu negara/daerah dapat bertahan lama di dalam ekonomi yang semakin mengglobal bukanlah karena kandungan mineral dan tanahnya tetapi karena negara tersebut mengkonsentrasikan dirinya terhadap peningkatan keahlian dan keilmuan, pembentukan institusi, menjalin kerja sama, melakukan relasi bisnis dan memenuhi keinginan konsumen yang semakin banyak dan sulit untuk dipenuhi (Porter, 1998).

Porter (1998) berargumentasi bahwa industri di suatu daerah/negara unggul bukanlah dari kesuksesan sendiri tetapi merupakan kesuksesan kelompok dengan adanya keterkaitan antar perusahaan dan institusi yang mendukung. Sekelompok perusahaan dan institusi pada suatu industri di suatu daerah tersebutlah yang disebut dengan istilah klaster industri. Pada klaster industri, perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak hanya perusahaan besar dan menengah, tetapi juga perusahaan kecil. Adanya klaster industri akan menstimulasi terjadinya bisnis baru, lapangan kerja baru, para pengusaha baru yang mampu memutar pinjaman baru. Porter (1990) memperkenalkan teori kemampuan kompetisi suatu negara yang digambarkan dalam model berlian seperti dapat dilihat pada Gambar 10.

Strategi Perusahaan, struktur dan persaingan Perubah- an Kondisi Faktor Kondisi Permintaan

Industri Terkait dan Pendukung

Pemerintah Gambar 10 Model berlian Porter (Porter,1990)

Terdapat 4 (empat) faktor kunci yang menentukan daya saing suatu negara yaitu : kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi perusahaan, struktur dan persaingan serta keterkaitan dan industri pendukung. Konsep ini dikenal dengan model Diamond Porter (Berlian Porter) seperti terlihat pada Gambar 10. Negara tertentu memiliki bentuk berlian (keterkaitan antar empat faktor) berbeda dengan negara lain, yang membuat suatu negara mampu mengungguli negara lainnya. Yang dimaksud dengan kondisi faktor meliputi lima kategori kunci, yaitu: ketersediaan dan kemampuan sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya pengetahuan, sumber daya modal dan infrastruktur. Kondisi permintaan meliputi permintaan domestik dan internasional. Model ini menggabungkan analisis di tingkat industri maupun tingkat perusahaan. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan mengaju pada kondisi tingkat perusahaan. Sedang keterkaitan dan industri pendukung menunjukkan bagaimana suatu industri saling bergantung dan mengisi industri lainnya. Dengan melihat keempat faktor ini, model berlian menunjukkan mengapa suatu industri bisa saja daya saingnya tidak dapat bertahan lama (Porter, 1990).

Pada awalnya konsep ini mengedepankan kedekatan geografis (Porter, 1990). Dengan adanya kedekatan geografis, suatu industri dapat melakukan pemesanan produk secara bersamaan, pengembangan produk bersamaan dan terjadi alih pengetahuan yang dapat membuat industri sebagai suatu sistem mampu meningkatkan produktivitasnya. Pendekatan klaster mengetengahkan pentingnya produktivitas dalam suatu sistem sebagai kunci kemampuan kompetisi suatu negara (Porter, 1990). Produktivitas yang terbangun dengan adanya kedekatan geografis, menunjukkan bagaimana sumber daya manusia dan modal suatu negara digunakan. Produktivitas tergantung pada kemampuan secara efisien suatu produk dihasilkan. Lebih jauh lagi, produktivitas seringkali terkonsetrasi di segmen industri tertentu. Artinya, suatu industri mampu menghasilkan luaran lebih baik daripada industri lainnya. Adanya keterhubungan yang teratur antara keempat faktor tersebut akan menimbulkan terbentuknya klaster industri tanpa rekayasa. Kedekatan lokasi secara geografis menjadi daya tarik dan semakin iteratif terjadinya interaksi antara keempat faktor tersebut.

Terdapat tiga cara meningkatkan pertumbuhan produktivitas, pertama, peningkatan produktivitas pada klaster industri disebabkan karena adanya spesialiasi bahan baku dan tenaga kerja, adanya peningkatan akses informasi dari institusi dan lembaga/asosiasi publik dengan menggunakan fasilitas dan program bersama. Kedua, peningkatan kemampuan perusahaan untuk melakukan inovasi dengan mendifusikan kemampuan ilmu teknologi sehingga inovasi akan terjadi lebih cepat. Ketiga, tekanan persaingan pada klaster industri perlu dibarengi dengan kebijakan

memberikan insentif kepada karyawan yang melakukan inovasi. Kondisi ini memperlihatkan terjadinya pembelajaran di daerah klaster industri, adanya peningkatan terapan teknologi dan kemampuan melakukan inovasi. Kondisi di atas akan menyebabkan klaster industri mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan bisnis.

Tujuan dan Manfaat Klaster Industri

Pengembangan klaster industri yang mulai marak diperbincangkan saat ini pada dasarnya muncul bukan karena alasan kecenderungan atau sedang populer tetapi sudah mengarah pada kebutuhan akan adanya pengembangan klaster industri di tanah air. Secara umum sudah diyakini bahwa pendekatan klaster industri sangat bermanfaat bagi pembangunan ekonomi, khususnya bagi peningkatan daya saing industri yang berkelanjutan. Bappenas (2003) menyatakan bahwa peningkatan daya saing ini dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara berikut :

1) Meningkatkan produktivitas perusahaan

2) Mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai fondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan

3) Menstimulasikan tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat memperkuat dan memperluas klaster

Beberapa manfaat dari adanya pengembangan klaster industri pada suatu daerah antara lain (1) memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi, (2) membantu pengembangan agenda bersama, (3) memperoleh manfaat skala ekonomi, (4) memfasilitasi pengembangan tingkat kompetensi yang lebih tinggi, (5) kerjasama bisnis untuk memperkuat industrinya, (6) membantu mengurangi kekhawatiran persaingan antar-industri dengan membangun rasa saling percaya dan kerjasama antar pelaku bisnis dalam klaster industri, (7) meningkatkan produktivitas, (8) meningkatkan pertambahan nilai, (9) menghimpun sumber daya kolektif, (10) pemasaran bersama, (11) mempengaruhi hubungan pemasok dan pembeli, (12) berbagi informasi, (13) analisis strategis nasional maupun internasional, (14) memperbaiki infrastruktur keras dan lunak daerah, dan (15) rekognisi/pengakuan nasional dan internasional.

Klaster industri merupakan mekanisme yang ampuh untuk mengatasi keterbatasan Industri Kecil dan Menengah (IKM) utamanya dalam hal ukuran usaha dan untuk mencapai sukses dalam lingkungan pasar dengan persaingan yang senantiasa meningkat. Langkah kolaboratif yang melibatkan IKM dan perusahaan

besar, lembaga pendukung publik dan swasta serta pemerintah lokal dan regional, semuanya akan memberikan peluang untuk mengembangkan keunggulan lokal yang spesifik dan daya saing perusahaan yang tergabung dalam klaster industri.

Banyak negara mengimplementasikan klaster industri untuk mengembangkan ekonomi dan meningkatkan daya saing daerah/negaranya, seperti negara Amerika (Arizona, Texas, dan lain-lain), Brazil, Italia, Australia, Spanyol, dan lain-lain. Negara tersebut meyakini adanya keuntungan di dalam mengimplementasikan klaster industri. Berikut ini keuntungan dari klaster industri yaitu (1) mereduksi biaya transaksi, (2) memudahkan terjadinya spesialisasi pemasok, jasa dan sumber tenaga kerja, (3) meningkatkan rata-rata inovasi, (4) menyelesaikan masalah bersama dengan bekerjasama menghasilkan solusi, (5) membuat lembaga pelatihan, teknologi dan infrastuktur bersama, dan (6) melakukan pembelajaran bersama untuk merumuskan strategi peningkatan daya saing.

Faktor-Faktor Keberhasilan dan Kegagalan Klaster Industri

Beberapa faktor dapat diidentifikasikan sebagai kunci keberhasilan suatu pengembangan klaster industri. Eurada (2003) mendefinisikan beberapa faktor kunci keberhasilan dalam pengembangan klaster industri adalah (1) jumlah pelaku bisnis (perusahaan) yang mencapai critical mass dalam suatu lokasi geografis, (2) bidang aktivitas bisnis terdefinisikan dengan baik, (3) hubungan kemitraan yang kuat antar stakeholder industri, (4) ketersediaan sistem pendukung bagi perusahaan, dan (5) budaya kewirausahaan.

Dalam banyak hal, pengembangan klaster industri terkadang tidak berhasil dengan baik. Pada dasarnya, kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan oleh tidak adanya faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan klaster industri atau tidak ditangani sebagaimana mestinya. Terdapat beberapa hal yang disarankan untuk dihindari di mana faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pengembangan klaster industri dapat diidentifikasi yaitu (1) Pengembangan klaster industri sebaiknya bukan semata karena “keinginan pemerintah” melainkan karena kebutuhan pasar dan dilakukan oleh pelaku bisnis yang bersangkutan, (2) kebijakan pemerintah tidak berorientasi kuat pada pensubsidian langsung terhadap industri dan perusahaan atau pembatasan persaingan dalam pasar, (3) kebijakan pemerintah sebaiknya berubah dari intervensi langsung ke bentuk tak langsung, (4) pemerintah sebaiknya tidak mengendalikan atau memiliki prakarsa klaster industri melainkan berperan sebagai katalis dan pihak yang membawa bersama seluruh para pelaku dalam klaster industri (termasuk pemasok) serta insentif untuk memfasilitasi proses

inovasi dan klasterisasi, (5) kebijakan klaster industri sebaiknya tidak mengabaikan klaster industri kecil dan yang sedang muncul ataupun memfokuskan hanya pada klaster industri yang sudah ada dan “klasik”, (6) kebijakan klaster industri tak hanya cukup dengan analisis atau studi, tetapi juga tindakan nyata. Kebijakan klaster industri yang efektif memiliki arti interaksi antara peneliti, para pimpinan dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar, serta meciptakan suatu forum untuk dialog yang konstruktif, dan (7) klaster industri sebaiknya tidak dimulai dari “nol” ataupun pasar dan industri yang menurun (Hertog, 1998).

Asian Development Bank (ADB) dalam penelitiannya mengenai pengembangan klaster industri industri di Indonesia juga telah berhasil mengidentifikasikan beberapa hal yang menghambat kesuksesan sebuah klaster industri adalah

1) Mengabaikan hubungan klaster industri ke pasar

Pra-syarat pengembangan klaster industri yang baik adalah potensi klaster industri untuk akses ke pasar yang berkembang. Apabila hal ini tidak terlaksana, setiap aktivitas peningkatan teknologi tidak akan berhasil karena para anggota klaster industri tidak memperoleh hasil finansial atas investasinya.

2) Mengabaikan atau bahkan memperlemah potensi UKM untuk berorganisasi sendiri

3) Ketidakmandirian organisasi klaster yang terbentuk, karena organisasi mandiri dari para anggota klaster industri yang kuat dan aktif akan mempermudah proses belajar secara kolektif dan berpikir secara aktif mengenai masa depan. Organisasi mandiri, penting juga untuk mengembangkan pasar dan jaringan distribusi baru. Organisasi mandiri juga penting jika klaster industri ingin meningkatkan keseragaman produk, standarisasi dan mempermudah distribusi. Organisasi mandiri juga penting apabila para produsen ingin menghadapi seorang pembeli yang kuat bersama-sama.

4) Keterbatasan kemungkinan Pemerintah Daerah untuk mendorong perkembangan klaster industri

Kebanyakan pemerintah daerah sadar akan masalah yang dihadapi oleh klaster-klasternya. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa staf pemerintah daerah mampu dan bersedia menyediakan bantuan, jika diberi kesempatan dan fleksibilitas. Akan tetapi, peranan pemerintah daerah terbatas karena memiliki otonomi anggaran terbatas.

Proses berkembangnya sebuah klaster mulai pembentukan hingga pengelolaannya menuju sebuah klaster ideal akan bervariasi menurut model

pengembangan yang digunakan. Hansen (2003) mengemukakan bahwa ada tiga tipe atau model pengembangan klaster yaitu :

(1) Spontaneous Clusters, merupakan model pengembangan klaster di mana pelaku usaha mengetahui persis akan kebutuhan dan bagaimana membangun klaster. Pada model ini bisa dikatakan klaster berdiri tanpa dukungan yang signifikan dari pemerintah.

(2) Private Sector Driven, pada penerapan model ini pelaku usaha menyadari kebutuhannya akan perlunya klaster, namun mereka tidak atau belum tahu bagaimana melakukannya, sehingga di sini pelaku usaha bertindak sebagai inisiator yang dalam proses pengembangannya didukung oleh pemerintah. (3) Donor or Government-Driven, merupakan sebuah model pengembangan

klaster di mana pelaku usaha tidak mengetahui apa itu klaster dan bagaimana cara mengembangkannya. Di sini pemerintah merupakan tokoh kunci berkembangnya sebuah klaster, baik pada pemilihan basis industri yang akan dikembangkan menjadi sebuah klaster maupun dalam menentukan strategi pengembangannya.

Berdasarkan karakteristik sistem pemerintahan di Indonesia dan perilaku industri yang ada, maka masih diperlukan inisiator yang kuat untuk terbentuknya sebuah klaster industri baik itu dari industri besar maupun dari pemerintah. Kemauan yang kuat dari beberapa industri mapan menjadi inisiator belum cukup jika tidak dilengkapi dengan pemahaman konsep klaster yang baik. Pemahaman konsep sudah dimiliki oleh beberapa industri, namun masih belum semuanya memahami dengan baik. Model yang direkomendasikan untuk diimplementasikan adalah Spontaneous Clusters dan Private Donor Driven, hal ini diperkuat dengan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan (Partiwi dan Marimin, 2005).

Peranan Pemerintah pada Klaster Industri

Kebijakan pemerintah adalah kebijakan intervensi yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi suatu daerah seperti pemberian subsidi, peraturan (regulasi atau deregulasi), pembangunan infrastuktur, dan kebijakan bea impor dan ekspor. Keberhasilan suatu klaster industri pada suatu daerah, sangat didukung oleh kebijakan dari pemerintah yang efektif terhadap pengembangan klaster industri di daerahnya. Pengembangan klaster industri yang ada perlu didasari oleh strategi pengembangan ekonomi dari pemerintah. Adanya peranan pemerintah menyebabkan klaster industri yang ada mampu lebih efisien, mengefektifkan aliran informasi, terpenuhinya skala ekonomi dan terjadinya inovasi yang kontinyu.

Kebijakan yang tidak berarti memanjakan klaster industri yang ada. Tidak semua keinginan klaster industri dipenuhi langsung dan dilakukan secara serentak. Pemerintah akan membatasi intervensinya hanya pada bidang kebijakan moneter, subsidi dan pemberian keringan bea masuk dan pajak. Klaster industri yang didorong agar lebih proaktif sedangkan pemerintah akan menjadi mediatornya. Adanya stimulus kebijakan diharapkan akan mendorong terjadi penguatan jaringan antar perusahaan dan institusi yang terlibat. Adanya penguatan jaringan dari klaster industri mampu mengefisienkan produksi sehingga meningkatnya kemampuan bersaing dan terbentuknya peningkatan pasar yang signifikan.

Berikut ini, beberapa hal yang kebijakan pemerintah di dalam mendukung pembentukan dan pengembangan klaster industri yaitu: (1) mengidentifikasi dari klaster industri yang ada atau berpotensi pada suatu daerah, (2) menyediakan informasi yang dibutuhkan klaster industri dengan strategi informasi, (3) melakukan investasi teknologi dan kemampuan yang bermanfaat bagi klaster industri, (4) menghubungkan klaster industri dengan universitas setempat atau lembaga pelatihan, (5) membantu pengembangan jaringan, (6) memfungsikan diri sebagai pusat layanan, (7) membentuk dan memediasi adanya asosiasi, (8) melakukan kebijakan subsidi, dan (9) membuat peraturan perundang-undangan, serta (10) membangun infrastruktur.

Adanya klaster industri tidak hanya menguntungkan perusahaan dan institusi yang terlibat di suatu klaster industri, akan tetapi juga menguntungkan pemerintah untuk lebih memahami ekonomi daerahnya dengan baik. Berikut ini keuntungan yang diperoleh pemerintah yaitu (1) lebih mengerti kebutuhan dari industri dan secara langsung mendialogkan dengan perusahaan dan institusi yang terlibat di suatu klaster industri, (2) dapat memberikan penghargaan dari program penunjang yang ada kepada perusahaan, institusi dan asosiasi, dan (3) dapat mendesain produk pendukung buatan sendiri untuk industri, membantu sektor swasta dalam hal finansial dan manajemennya.

Contoh Sukses Klaster Agroindustri Anggur Di Australia

Industri anggur Australia mengalami suatu kebangkitan dalam kurun waktu duapuluh tahun terakhir, para petani anggur dan industri anggur di Australia dapat dijadikan sebagai salah satu contoh sukses dalam agroindustri. Banyak petani anggur di negara lain yang telah mengadopsi teknologi penanaman dan pengolahan anggur di Australia seperti sistem irigasi tetes dan yang otomatisasi proses

memanen anggur sehingga banyak pesaing Internasional yang mampu menyaingi kualitas anggur Australia.

Kesuksesan pertumbuhan industri anggur di Australia salah satunya adalah keberhasilan petani dalam menerapkan prinsip nilai tambah pada proses dan produk yang dihasilkan. Pada tahun 1985 petani Australia melakukan ekspor anggur masih dalam bentuk anggur curah dan sekarang anggur Australia di ekspor sudah dalam bentuk botol-botol anggur yang siap di konsumsi. Nilai tambah yang didapat dari peningkatan nilai produk ini mampu memberikan penambahan keuntungan penjualan lebih dari 90 % dari kondisi sebelumnya. Dengan menerapkan peningkatan nilai tambah dan peningkatan keterampilan kerja dari tiap industri anggur menghasilkan perubahan yang sangat berarti bagi industri ini. Industri anggur Australia mampu menciptakan anggur dengan mutu produk dengan kualitas ekspor yang setara dengan kemampuan untuk meningkatkan 5 kali harga buah anggur menjadi anggur ekspor.

Klaster industri Anggur Victoria dalam lima tahun terakhir ini mampu menyumbangkan kontribusi besar pada perekonomian nasional yaitu sebesar 1,6 milliar dollar Australia di akhir bulan Juni 2000. Pertumbuhan kilang pengolah anggur di Australia juga bertambah sangat pesat.

Pada tahun 1995, pemerintah Australia melakukan suatu analisis menyeluruh terhadap industri anggur yang dilakukan oleh the Australian Wine Foundation (suatu yayasan perkumpulan petani anggur), dalam usaha agar mendorong arah pengembangan yang lebih maju untuk 30 tahun kedepan dalam bentuk rencana strategi industri anggur sampai tahun 2025. Strategi industri tersebut disajikan dalam suatu rencana nasional dengan target penjualan tahunan $ 4.5 milyar Australia sampai tahun 2025. Dan rencana tersebut dicapai dengan misi untuk menjadi penyalur anggur terbaik di dunia dan menciptakan anggur dengan merk pilihan utama penggemar anggur dunia. Selain itu keunggulan utama yang dimiliki klaster industri anggur Victoria adalah adanya dukungan pemerintah dalam merumuskan perencanaan strategis industri anggur, adanya peraturan pemerintah yang sangat menyokong pertumbuhan industri anggur, adanya pemakaian bersama suatu teknologi antar industri serta dukungan pemerintah dari segi promosi internasional secara bersama-sama.

Sejak tahun 1998, produksi anggur curah meningkat sekitar 12 kali lipat dan pada periode yang sama telah tumbuh lebih dari 350 industri pengolahan anggur (kebanyakan tumbuh sebagai industri kecil menengah). Terdapat 5 industri besar pengolah pengolah anggur yaitu Southcorp Wines, BRL Hardy, Orlando Wyndham dan Beringer Blass, yang menguasai hampir 70% dari total produksi anggur. Dan

kelima industri besar ini mampu menghasilkan anggur yang termasuk dalam 20 merk anggur terbaik.

Klaster industri anggur Australia mampu menghasilkan kurang lebih 1000 ton anggur curah per tahun. Dibandingkan terhadap beberapa negara bagian penghasil anggur di Australia, klaster industri Victoria merupakan kumpulan industri anggur terbesar di Australia dengan jumlah industri 336 buah, yang kebanyakan diklasifikasikan sebagai Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan jumlah pemasok mencapai 708 buah, organisasi anggur sebanyak 167 organisasi dan distributor yang terlibat dalam klaster industri sebanyak 154 buah.