• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3 Water Sharing (Berbagi Air)

2.3.2 Konsep Water Sharing (Berbagi Air)

Di negara-negara bagian (state) yang saling berbatasan konsep water sharing adalah bagaimana menggunakan sumber daya air yang ada terutama dari sungai yang melintasi negara-negara tersebut secara proposional baik dalam hal kuantitas, kualitas dan aspek pengelolaanya. Gagasan water sharing antar negara/negara bagian menjadi sangat penting dan krusial manakala setiap negara/negara bagian mulai menghadapi pertambahan jumlah penduduk dan industri yang menuntut penyediaan air yang cukup baik dalam kuantitas dan kualitas. Hal tersebut seringkali memicu konflik politik antar negara yang berkepentingan seperti yang terjadi antara Meksiko dengan Amerika sempat mengganggu hubungan sosial dan

ekonomi kedua belah pihak dalam mengelola ”transboundary water sharing

resources” sebelum konsep water sharing antar negara diperbaharui dan disepakati yang mencakup aspek pengelolaan dan pembiayaan sumber daya air konvensional (snowmelt, ground water and surface water) dan sumber daya air non konvensional (desilinated water and recycled water) (Bradley and Fluente, 2002). Permasalahan tersebut dapat dipahami karena dampak ekonomi dari water sharing yang tidak optimal (economic impact of water sharing) yang ditimbulkan sangat signifikan baik pada tingkat regional maupun nasional.

Di dalam hukum Islam konsep water sharing yang melibatkan banyak pemangku kepentingan pada dasarnya menggunakan asas urutan prioritas yaitu : (1) hak untuk memuaskan kedahagaan (Haq al shafa), (2) domestik termasuk di dalamnya adalah untuk binatang (3) irigasi pertanian, dan (4) komersial dan industri (Hussein and Al-Jayyousi dalam Faruqui et al., 2001)).

Undang Undang (UU) nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air yang sudah disyahkan DPR merupakan salah satu bentuk manifestasi dari konsep water sharing. Namun sayangnya mekanisme yang digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut di dalam UU nomor 7 tahun 2004 dilakukan melalui hak guna yang terdiri dari hak guna pakai dan hak guna usaha. Hak guna usaha akan menempatkan posisi negara dan pemegang hak dalam posisi yang sejajar sehingga jika terjadi konflik diantaranya maka mekanismenya harus melalui pengadilan. Selain itu jika pada prakteknya terjadi perubahan alokasi air akibat meningkatnya kebutuhan maupun musim kemarau maka tidak serta merta negara dapat mengurangi alokasi air bagi pemegang hak guna usaha. Hal ini akan menyebabkan penguasaan absolut atas sumber-sumber air oleh sektor atau kelompok tertentu. Sehingga ke depan UU nomor 7 tahun 2004 perlu ditinjau ulang agar konsep water sharing dapat diatur lebih jelas dan transparan.

Dalam menghadapi masalah sumber daya air yang semakin terbatas, alokasi sumber daya air menjadi perhatian penting dalam pengelolaan sumber daya air. Alokasi air yang adil dan optimal ke semua sektor pengguna air menjadi sangat penting guna mencapai kesejahteraan semua pihak. Kriteria kesejahteraan yang dapat dipakai dalam mengalokasikan sumber daya yang efisien, antara lain adalah: (1) kriteria kesejahteraan sosial, (2) kriteria pemerataan, (3) kriteria manfaat, dan (4) kriteria maksimin.

Kriteria kesejahteraan mengasumsikan bahwa selera maupun kesejahteraan individu dapat dihitung. Individu memiliki preferensi yang bersaing satu sama lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh salah satu pihak hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lainnya. Kondisi kesejahteraan sosial yang optimum di mana alokasi optimum merupakan kondisi “Pareto Optimum” dan disebut alokasi Pareto optimum. Kriteria pemerataan, merupakan suatu kriteria berdasarkan pada tingkat kepuasaan individu yang terlibat dan bukan jumlah barang yang diberikan sama jumlahnya. Jumlah barang bukan merupakan ukuran tetapi tingkat kepuasan yang optimum masing-masing individu menjadi tolok ukur utama. Dan kriteria manfaat hampir sama dengan kriteria pemerataan dimana alokasi optimum yang dipilih pada saat tingkat utilitas bersamanya mencapai maksimum. Ketiga kriteria ini sulit untuk dikuantifikasikan dan sangat normatif. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kriteria maksimin yang dikemukakan oleh

John Rawls (1971) dalam Dinar et al. (1997), memandang masyarakat pada posisi awal, dimana tidak ada yang tahu dimana posisi dan kepuasan akhirnya. Kriteria Rawls pada dasarnya memaksimalkan posisi paling lemah, atau dikatakan memaksimalkan mereka yang utilitasnya minimum.

Khusus yang menyangkut penggunaan air konsumtif (rumah tangga, industri, pertanian, kehutanan), alokasi sumber daya air ditujukan dengan tujuan suplai air yang terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan biaya rendah. Dengan kata lain, alokasi sumber daya air harus memenuhi tiga kriteria yaitu: (1). Eficiency (efisiensi), (2) Equity (keadilan), dan (3) Sustainability (keberlanjutan). Kriteria efisiensi memiliki tujuan biaya penyediaan air yang rendah, penerimaan per unit sumber daya yang tinggi, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kriteria keadilan memiliki tujuan akses terhadap air bersih untuk semua masyarakat, dan kriteria keberlanjutan bertujuan untuk menghindari terjadinya deplesi air bawah tanah (groundwater depletion), menyediakan cadangan air cukup untuk memelihara ekosistem, dan meminimalkan pencemaran air.

Selain kriteria di atas, arti yang sesuai dari alokasi sumber daya diperlukan untuk mencapai alokasi secara optimal atas sumber daya. Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk membandingkan bentuk-bentuk alokasi air (Howe et al., 1986 dalam Dinar et al., 1997): (1) Flexibility (fleksibilitas) dalam penyediaan air, sehingga sumber daya dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan, sehingga memungkinkan untuk menyamakan nilai marjinal melebihi banyak penggunaan dengan biaya rendah, (2) Security (keterjaminan) bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga mereka dapat memanfaatkan sumber daya air seefisien mungkin; keterjaminan tidak bertentangan dengan fleksibilitas selama ada cadangan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi permintaan tak terduga, (3) Real opportunity cost (biaya kesempatan yang riil) penyediaan sumber daya yang dibayarkan oleh pengguna, sehingga permintaan lain atau efek eksternalitas diinternalisasikan, (4) Predictability (kemungkinan meramalkan) hasil proses alokasi, sehingga alokasi terbaik dapat terwujud, dan ketidakpastian (khususnya untuk biaya transaksi) diminimalkan, (5) Equity proses alokasi harus dirasakan oleh

calon pengguna, memberikan kesempatan bagi setiap pengguna potensial untuk mendapatkan keuntungan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya, (6) Political and public acceptability (akseptabilitas politik dan publik) sehingga tujuan alokasi bisa diterima oleh masyarakat.

Beberapa kriteria tambahan berikut sering digunakan dalam debat kebijakan air dalam mewujudkan ekuitas atau keadilan dalam alokasi air. Paket tambahan kriteria meliputi: (1) Efficacy (keampuhan), sehingga bentuk alokasi bisa berubah mengikuti situasi yang tidak diinginkan seperti berkurangnya air tanah, dan pencemaran air untuk mencapai tujuan kebijakan yang diinginkan, dan (2) Administrative feasibility and sustainibility (kelayakan dan keberlanjutan administrasi), untuk bisa menerapkan mekanisme alokasi, dan untuk terus melanjutkan dan mengembangkan dampak kebijakan tersebut (Winpenny, 1994 dalam Dinar et al., 1997).

Lebih lanjut menurut Wallace et al. (2003), untuk meminimalkan kekurangan air di masa mendatang dan dampak lingkungan yang tidak diinginkan, diperlukan pembagian sumber daya air yang lebih adil antara masyarakat dan alam. Hal ini akan membutuhkan jumlah fisik dan nilai-nilai sosial antara manusia dan ekosistem. Sistem valuasi air saat ini didominasi oleh nilai-nilai ekonomi sehingga perlu kuantifikasi baru dan metode penilaian yang lebih mempertimbangkan kesejahteraan manusia dan lingkungan.

Gambar 3 menunjukkan masalah secara konseptual antara sistem alam dan sistem dengan pengelolaan yang tinggi. Apabila sistem alam telah diubah, maka manfaat dari sistem alam menurun; misalnya fungsi hidrologi, produk dan keanekaragaman hayati akan hilang. Pada saat yang sama, keuntungan dari sistem dengan pengelolaan yang tinggi akan meningkat, misalnya produksi makanan meningkat. Disarankan bahwa manfaat dari sistem dengan pengelolaan yang tinggi mencapai titik tertinggi, sedangkan manfaat dari sistem alam akan turun ke nol di beberapa titik. Total manfaat jangka panjang dapat dihitung dengan menambahkan manfaat dari sistem alam dan sistem dengan pengelolaan yang tinggi. Sehingga totalnya akan naik ke maksimum sebelum menurun. Pada titik tersebut keseimbangan level pengelolaan menjadi optimal. Hal ini jelas, bahwa masyarakat ditempatkan sebagai barang dan jasa dan pertimbangan etika akan menentukan ketepatan bentuk kurva. Memang, manfaat yang dirasakan akan berbeda antara

kelompok dan individu yang berbeda. Hal ini penting karena biaya dan manfaat alokasi air untuk masyarakat dalam menjaga ekosistem air dan mendukung penggunaan langsung dalam pertanian, industri dan domestik telah terukur.

Keadilan (equity) telah menjadi konsep penting dalam alokasi air pada dekade terakhir. Sebagai tekanan terhadap peningkatan penggunaan sumber daya air, keadilan dan keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan akan menjadi tantangan utama. Selama 100 tahun terakhir, pembangunan ekonomi telah didominasi oleh infrastruktur, dengan alokasi air terfokus pada pertanian intensif, pembangkit tenaga listrik, industri, dan domestik. Ada kecenderungan yang selalu berulang untuk mengabaikan kebutuhan masyarakat miskin di pedesaan, melebihi kebutuhan yang lain, tergantung pada sumber daya alam dan fungsi ekosistem. Alokasi air untuk kebutuhan masyarakat miskin yang lebih adil harus dipenuhi oleh redistribusi dari sektor lain, meskipun jumlah yang terlibat relatif kecil. Pada saat yang sama, konservasi ekosistem dan spesies langka sering menjadi prioritas terendah. Kini menjadi jelas bahwa kelangsungan hidup jangka panjang dari keragaman manusia dan biologis di Bumi akan bergantung pada paradigma baru alokasi yang adil antara kebutuhan ekonomi, sosial dan ekologi. Pembagian sumber daya air yang adil antara masyarakat dan alam akan membutuhkan nilai untuk ditempatkan pada kebutuhan keduanya. Nilai-nilai ini perlu dimasukkan ke dalam kebijakan makro-ekonomi yang lebih rasional sehingga pengambilan keputusan tentang alokasi air dapat dibuat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk kita saat ini tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang (Wallace et al., 2003).

Gambar 3 Peningkatan manfaat ekosistem air tawar

Kunci untuk pelaksanaan metode alokasi air yang lebih adil adalah penerapan pengelolaan sumber daya air terpadu berbasis DAS. Kerangka holistik ini

memungkinkan kebutuhan air untuk manusia dan ekosistem dan interaksi di antara mereka dapat dipahami dengan lebih baik. Pengetahuan ini memberikan dasar untuk menggabungkan faktor-faktor sosial yang relevan sehingga kebijakan dan undang-undang air dapat dikembangkan untuk penggunaan terbaik dalam sumber daya air yang terbatas. DAS berbasis co-management dapat membantu untuk memastikan pembagian air antara manusia dan alam menjadi lebih efektif (Wallace et al, 2003).

Jadi kriteria terpenting dalam konsep water sharing kedepan adalah keadilan dan keberlanjutan. Keadilan mengandung makna bakwa semua stakeholder pengguna air memiliki akses terhadap sumber daya air atau mendapatkan alokasi yang optimal sesuai kebutuhannya. Sedangkan keberlanjutan mengandung makna bahwa penggunaan sumber daya air tidak hanya memenuhi kebutuhan saat ini tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang sehingga penggunaan sumber daya air harus diupayakan untuk penyediaan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem dan meminimalkan pencemaran lingkungan.