• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik konservasi tanah berfungsi menjaga agar tanah dapat terlindungi dari kejadian erosi yang mengangkut partikel-partikel tanah di atas permukaan tanah melalui aliran permukaan. Terdapat berbagai jenis teknik konservasi tanah yaitu teknik konservasi mekanik, teknik konservasi vegetatif, teknik konservasi kimia dan teknik konservasi agronomi.

Teknik konservasi tanah mekanik merupakan perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi. Seringkali teknik konservasi tanah ini disebut dengan teknik konservasi sipil teknis. Teknik konservasi mekanik meliputi pembuatan teras gulud, teras bangku, teras kredit, teras individu, rorak, barisan batu, saluran drainase dan sebagainya. Pada Gambar 2 disajikan teknik konservasi mekanik teras bangku yang terdapat di lokasi penelitian.

Teknik konservasi tanah vegetatif meliputi tindakan konservasi yang menggunakan tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legum yang menjalar, semak atau perdu, maupun pohon dan rumput-rumputan serta tumbuh-tumbuhan lain. Teknik konservasi vegetatif meliputi agroforestri, tumpang sari, tumpang

gilir, alley cropping (budidaya lorong) dan penanaman cover crop seperti

mukuna, Centrocema Pubecens serta penanaman rumput. Teknik konservasi

vegetatif akan berpengaruh maksimum apabila dikombinasikan dengan teknik konservasi mekanik. Haryati et al. (1991) mengemukakan bahwa sistem budidaya lorong dapat efektif menahan laju erosi.

Gambar 2 Teknik konservasi mekanik teras bangku

Keefektifan praktek konservasi tanah pada skala DAS diteliti oleh Walker dan Graczyk (1993). Penelitian Pengelolaan Lahan Terbaik (PLT) dilakukan pada dua DAS mikro di Wisconsin berdasarkan perlakuan penanaman strip (menurut kontur), pengolahan minimum dan rotasi tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PLT dapat mengurangi sedimen dan NH3-N di satu DAS, sedangkan pengaruh PLT di DAS lainnya tidak menunjukkan pengurangan sedimen dan

NH3-N yang signifikan karena tidak lengkapnya data. Park et al. (1994)

menyebutkan keefektifan PLT dapat diketahui dari faktor aliran permukaan, erosi dan hara yang terkait parameter curve number, total konsentrasi padatan terlarut (suspended solids) dan keluaran jumlah N dan P sebelum dan sesudah aplikasi PLT.

Penelitian PLT skala DAS membutuhkan biaya besar dan waktu penelitian yang cukup lama. Selain itu terdapat ketidakpastian/error yang menyangkut cara pengukuran di lapang. Penggunaan model untuk mengevaluasi PLT dapat mengurangi biaya dan waktu serta dapat digunakan sebagai acuan penggunaan skenario penggunaan lahan yang dapat mengurangi nonpoint source pollution. 

2.3 Aliran Permukaan

Air hujan yang jatuh dapat mengalami berbagai proses yaitu intersepsi (ditangkap oleh tajuk tanaman), jatuh di permukaan tanah kemudian menjadi aliran permukaan dan meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Pada proses infiltrasi, ada sebagian air yang menjadi aliran bawah permukaan dan yang lainnya akan masuk ke lapisan tanah yang lebih dalam melalui proses perkolasi.

Aliran permukaan berasal dari kelebihan infiltrasi (infiltration excess

overland flow) terjadi bila intensitas hujan yang besar melebihi laju infiltrasi. Laju infiltrasi merupakan banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah, dinyatakan dalam mm jam-1 atau cm jam-1 (Arsyad 2010).

Konversi lahan dapat menimbulkan perubahan karakteristik hidrologi yang berkaitan dengan kapasitas infiltrasi. Pengurangan kapasitas infiltrasi akan menyebabkan kenaikan bagian hujan yang beralih menjadi aliran permukaan. Kondisi ini berpotensi mengakibatkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat aliran permukaan antara lain: (a) curah hujan: jumlah, intensitas dan distribusi, (b) temperatur, (c) tanah: tipe, jenis substratum dan topografi (tanah berpasir akan mempunyai laju aliran permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah berliat), (d) luas daerah aliran (laju aliran permukaan akan lebih rendah pada lahan yang luas penutupan tanahnya besar dibandingkan pada lahan yang luas penutupannya lebih kecil), (e) tanaman/tumbuhan penutup tanah dan (f) sistem pengelolaan tanah (Arsyad 2010).

Aliran permukaan merupakan faktor hidrologi terbesar yang dapat menyumbang debit pada saat terjadi banjir. Volume aliran permukaan dalam jumlah besar dan terus-menerus dapat mengakibatkan erosi yang mengangkut partikel-partikel tanah dan mendeposisikan pada badan-badan air seperti sungai, danau, waduk dan sebagainya. Makin besar jumlah sedimen yang terbawa oleh aliran menunjukkan kondisi DAS yang tidak sehat.

2.4 Erosi

Erosi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan sebagai akibat pengelolaan lahan yang kurang memperhatikan aspek konservasi tanah dan air. Erosi tanah merupakan pengangkutan bahan-bahan material tanah yang disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki curah hujan tinggi, maka penyebab erosi utama adalah air. Erosi dapat mengakibatkan merosotnya produktivitas dan daya dukung tanah untuk produksi pertanian dan lingkungan hidup karena pada prosesnya terjadi pengangkutan tanah lapisan atas yang kaya hara. Erosi yang berjalan intensif pada permukaan tanah dapat menyebabkan terangkutnya komplek liat dan humus serta partikel tanah lainnya yang kaya akan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Erosi ini merupakan masalah yang serius sebab tidak hanya menurunkan kualitas fisik dan kimia tanah, tetapi juga menurunkan kualitas air.

Erosi itu bisa terjadi sangat lambat, atau dapat juga sangat cepat, tergantung pada bentang alam, kemiringan lereng, sifat kepekaan tanah dan keadaan hujannya. Proses erosi dapat terjadi secara alamiah (berpengaruh terhadap pembentukan tanah) atau dipercepat (accelerated) akibat aktivitas manusia yang dapat memindahkan sebagian atau seluruh tanah yang ada di bentang alam. Terdapat empat jenis erosi air yang dipercepat sebagai akibat pemindahan bahan tanah oleh air yang mengalir, antara lain (Balittanah 2004):

- erosi permukaan (sheet erosion): lebih seragam dalam pemindahan bahan

tanah di suatu lahan tanpa pembentukan parit air yang jelas. Kalaupun terjadi parit-parit, akan berbentuk halus, terdapat menyeluruh di permukaan dan tidak stabil/berpindah-pindah. Gejala erosi permukaan ini biasanya tidak tampak pada awal kejadiannya, tetapi semakin curam lereng suatu lahan, erosi makin serius.

- erosi alur (rill erosion): berupa parit-parit erosi yang jelas, dari hasil pemotongan/pertemuan alur, akibat aliran permukaan yang terkonsentrasi. Alur-alur erosi ini cukup dangkal dan dapat "terhapus" oleh pengolahan tanah, sehingga setelah itu sukar dibedakan apakah disebabkan oleh erosi permukaan atau oleh erosi alur.

- erosi parit (gully erosion): berbeda dengan erosi alur, erosi parit tidak dapat terhapus oleh pengolahan tanah. Pada umumnya parit-parit erosi tidak dapat dilintasi oleh alat-alat mekanis. Kedalaman dan bentuk parit erosi bervariasi dan ditentukan oleh lapisan-lapisan bahan resisten di dasar parit. Sedangkan bentuk parit erosi V dan U masing-masing diakibatkan oleh adanya peningkatan dan penurunan resistensi bahan dengan kedalaman tanah.

- erosi terowongan (tunnel erosion): terutama dijumpai pada lahan dengan

kadar Na dapat tukar yang tinggi dengan pembentukan drainase internal, yang berakibat terhadap penerobosan air melalui rekahan atau pori kasar/besar atau lubang fauna tanah. Selanjutnya secara berangsur di bagian dalam tanah terjadi pemindahan mencolok bahan tanah melalui

outlet, sehingga terbentuk terowongan-terowongan.

Kejadian erosi dapat mengakibatkan tanah kehilangan hara yang dibutuhkan

tanaman untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Sudirman et al. (1986)

menyatakan bahwa hilangnya lapisan atas dapat menyebabkan penurunan kadar bahan organik, peningkatan pemadatan tanah, penurunan stabilitas agregat tanah, peningkatan kejenuhan alumunium serta penurunan KTK tanah.

2.5 Nitrogen

Kandungan hara N pada suatu penggunaan lahan dapat terangkut oleh aliran permukaan dan erosi. Semakin tinggi aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada suatu penggunaan lahan maka diperkirakan hara N yang terangkut juga akan semakin tinggi. Sehingga dengan demikian diperlukan penerapan manajemen lahan yang tepat agar dapat menghambat kehilangan hara N.

Hara N sangat diperlukan tanaman untuk pertumbuhannya. Fungsi N diantaranya adalah untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian vegetatif tanaman, seperti daun, batang dan akar, berperan penting dalam pembentukan hijau daun, protein, lemak dan berbagai persenyawaan organik. Nitrogen dapat dibedakan atas empat kelompok utama yaitu: nitrogen nitrat (N-NO3-), nitrogen amonium (NH4+), nitrogen molekuler (N-N2), dan nitrogen organik (N-org). Pada

umumnya tanaman memanfaatkan nitrat lebih banyak dibandingkan amonium karena konsentrasinya yang lebih besar (Tisdale et al. 1990).

Sumber utama N adalah berasal dari bahan organik, atmosfir, fiksasi oleh mikroorganisme, pupuk kandang dan pupuk kimia (urea dan ZA). Nitrogen mudah hilang atau tidak tersedia bagi tanaman melalui proses pencucian NO3-, denitrifikasi NO3- menjadi N2, volatilisasi NH3, fiksasi oleh mineral liat dan digunakan oleh mikroorganisme tanah. Permodelan N dalam SWAT disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Model N dalam SWAT (Neitsch et al. 2005)

Sebagian besar N tanah adalah N-organik. Nitrogen organik tersebut ditransformasikan secara lambat menjadi amonium dan akhirnya menjadi nitrat yang merupakan bentuk N yang dapat diserap oleh tanaman. Nitrat merupakan bentuk terlarut dalam air, karena itu cenderung bergerak bersama air ke dalam profil, akibat proses pencucian.  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryati (1999) pada DAS Ciliwung Gadog-Ciawi, hasil analisis kandungan N- NO3 adalah 0,23 mg l-1. Kandungan nitrat pada perairan kelas I dan II menurut PP 82/2001 yang diperbolehkan ≤ 10 mg l-1.

Zubaidah (2004) mengemukakan bahwa dalam aliran air sesudah hujan di DAS Ciliwung Hulu, kadar hara tertinggi adalah N yaitu 20,73 ppm yang berasal dari penggunaan lahan hutan dan terendah adalah P yaitu 0,68 ppm yang berasal dari penggunaan lahan perkebunan. Dalam endapan, kadar hara tertinggi adalah

C-organik yaitu 96566,67 ppm (9,66%) dan terendah adalah P yaitu 1,00 ppm yang berasal dari penggunaan lahan perkebunan (Tabel 1).

Tabel 1 Kadar unsur hara dalam aliran air dan sedimen sesudah hujan menurut penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu

Parameter

Kadar unsur hara sesudah hujan (ppm)

Aliran air Sedimen

Hutan Perkebunan Tegalan Hutan Perkebunan Tegalan

N 20,73 14,74 16,39 3200,00 3500,00 2900,00 P 0,68 0,65 2,14 14,10 1,00 1,90 K 0,93 0,80 1,00 39,00 58,50 158,60 Ca 10,43 4,50 7,30 190,00 478,00 1706,00 Mg 2,70 1,95 2,30 33,60 93,60 90,00 C-organik - - - 96566,67 42700,00 21500,00

Kegiatan pertanian merupakan salah satu penyebab dari non point source

pollution. Suatu kegiatan pertanian secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas perairan, yang diakibatkan oleh penggunaan bermacam- macam pupuk buatan dan pestisida. Pupuk yang mengandung N dan P dapat larut oleh aliran permukaan dan terakumulasi di badan air (sungai).

2.6 Model SWAT

  Model merupakan replika sistem dengan perbandingan tertentu, suatu

konsep, sesuatu yang mengandung hubungan empiris, atau suatu seri persamaan matematis atau statistik yang menggambarkan sistem (Indarto 2012). Model merupakan alat yang digunakan untuk mempelajari hubungan antar parameter di dalam suatu sistem.

Soil and Water Assessment Tool (SWAT) adalah model prediksi untuk skala daerah aliran sungai (DAS) yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk

USDA ARS (Neitsch et al. 2005). SWAT dikembangkan untuk memprediksi

dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya yang bermacam-macam sepanjang waktu yang lama.

Model SWAT mempunyai beberapa keunggulan yaitu dibangun berdasarkan proses yang terjadi dengan menghimpun informasi mengenai iklim, sifat tanah, topografi, tanaman dan pengelolaan lahan yang terdapat dalam DAS, mempunyai data input yang sudah tersedia, dapat dikerjakan secara efisien menggunakan komputer sehingga hemat waktu dan biaya dan memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dalam suatu DAS (Neitsch

et al. 2005). Selain itu Model SWAT menggunakan hubungan deskripsi matematika dan empiris dalam menghitung respon hidrologi. Dalam penggunaannya, model SWAT membutuhkan data input yang cukup banyak dan kompleks.

SWAT merupakan perkembangan dari model CREAMS (Chemical, Runoff

and Erosion from Agriculture Management System) (Knisel 1980), GLEAMS (Groundwater Loading Effects on Agriculture Managements System) (Leonard et al. 1987) dan EPIC (Erosion-Productivity Impact Calculator) (Gassman et al. 2005). Dalam perkembangannya, SWAT telah dikembangkan dalam Windows dan Microsoft Visual Basic. SWAT juga telah dikembangkan sebagai interface dalam software GIS (ArcGIS).

Komponen model SWAT mencakup iklim, hidrologi, temperatur tanah, sifat-sifat tanah, pertumbuhan tanaman, hara, pestisida, bakteri dan manajemen lahan. Untuk pemodelan, suatu DAS dibagi menjadi beberapa sub-basin atau sub- DAS. Sub-basin adalah pembagian atau pengelompokan berdasarkan kesamaan penggunaan lahan dan tanah atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Informasi input untuk setiap sub-basin dikelompokkan atau disusun ke dalam katagori berikut: iklim, unit respon hidrologi (HRUs), daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang mendrainase sub-basin.

SWAT Editor merupakan suatu interface yang digunakan dalam melakukan pengeditan parameter, database SWAT, point source model, inlet, data reservoir, menjalankan proses running model SWAT dan analisis kalibrasi serta sensitivitas (Winchell dan Srinivasan 2007). SWAT Editor memerlukan parameter

2.7 SWATCUP

Model SWAT-CUP dapat membantu pemodel untuk melakukan kalibrasi, validasi dan analisis ketidakpastiaan pada model hidrologi SWAT. SWAT-CUP

dapat membantu pemakai model untuk mengurangi masalah dan error dalam

proses kalibrasi. Dalam suatu model skala DAS terdapat banyak ketidakpastian yang mencakup konsep yang digunakan, data input yang digunakan, dan penghitungan parameter. Abbaspour (2011) menyatakan bahwa ketidakpastian konsep mencakup a) penyederhanaan konsep yang digunakan, b) proses yang terjadi dalam suatu DAS tidak terdapat dalam model (erosi angin dan longsor), c) proses yang dihitung dalam suatu model akan tetapi pengguna tidak mengetahui proses yang terjadi dalam DAS misalnya irigasi, transfer air dan peternakan ayam yang mempengaruhi kualitas air dan d) adanya suatu proses yang tidak diketahui pembuat/pengguna model dan tidak terdapat dalam model misalnya pembangunan jalan, dam dan terowongan. Ketidakpastian input data mencakup kesalahan dalam memasukkan data input seperti data curah hujan. Ketidakpastian parameter mencakup adanya beberapa parameter yang berpengaruh terhadap output sehingga tidak diketahui parameter yang paling dominan dan bersifat unik. Kondisi suatu wilayah yang berbeda dengan wilayah lainnya menyebabkan parameter yang mempunyai pengaruh dalam suatu DAS juga berbeda. Parameter yang menentukan dalam suatu DAS dapat berbeda dengan DAS lainnya.

SWAT CUP merupakan program yang dapat digunakan dan disebarluaskan secara bebas. Pada model SWAT-CUP terdapat empat program yaitu SUFI2, GLUE, ParaSol dan MCMC yang berhubungan dengan database SWAT. Model SUFI2 merupakan model yang tingkat kesulitannya agak rendah dibandingkan dengan model GLUE, ParaSol dan MCMC.

Pada Gambar 4 disajikan langkah pengoperasian SWATCUP. Terdapat tiga bagian yang saling terkait yaitu model SWAT (merah muda), input SWAT (hijau) dan model SWATCUP-SUFI2 (kuning).

Gambar 4 Langkah operasi penggunaan SWATCUP SUFI2 (Abbaspour 2011)              

III.

METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait