• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. Kultur Lingkungan Kerja

Produktivitas kerja sangat dipengaruhi oleh lingkungan kerja di kantor. Lingkungan kerja yang nyaman akan mempengaruhi kelancaran dalam bekerja. Menurut Ahyari (1994: 124-125),”Lingkungan kerja sebagai suatu lingkungan dimana karyawan tersebut bekerja dan melaksanakan tugas sehari-hari yang meliputi pelayanan perusahaan terhadap karyawan, kondisi lingkungan kerja, dan hubungan antar karyawan di dalam perusahaan yang bersangkutan. Lingkungan kerja sebagai segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya kebersihan, kebisingan dan lain sebagainya. Lingkungan kerja dalam setiap perusahaan mempunyai peranan penting karena lingkungan kerja mempengaruhi karyawan dalam melaksanakan tugas, kondisi, dan hasil kerjanya. Lingkungan kerja yang baik akan menyebabkan karyawan bekerja dengan baik dan bersemangat.

Menurut kamus manajemen (N.N,1994:103),”Lingkungan kerja adalah semua faktor fisik, psikologis, sosial, dan jaringan hubungan yang berlaku di dalam organisasi dan berpengaruh terhadap karyawan”.

Hofstede melihat ada empat dimensi yang mempengaruhi nilai-nilai dalam bekerja yang dikaitkan dengan kerja dalam sebuah organisasi. yaitu Power Distance (jarak kekuasaan), Individualism dan Collectivism,

Masculinity dan Feminity, dan Uncertainty Avoidance (menghindari ketidakpastian).

Dimensi pertama adalah jarak kekuasaan atau Power Distance (PD). Dimensi ini mau menunjukkan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Masyarakat yang memiliki budaya PD yang tinggi akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal tersebut ditandai adanya hirarki yang ketat dan kekuasaan yang terpusat.

Sedangkan masyarakat yang memiliki orientsai budaya PD rendah berusaha meminimalkan perbedaan-perbedaan status dan kekuasaan hal itu bisa dilihat dari kurang ketatnya struktur organisasi. Menurut Hofstede, perbedaaan dalam dimensi ini akan berpengaruh dalam perilaku kerja. Misalnya dalam perusahaan, seorang manajer yang mempertahankan jarak kekuasaan akan menjadi pusat dalam pengambilan keputusan. Sehingga didapat bahwa manajer yang memiliki pengetahuan yang lebih unggul dari pada bawahannya. Sedangkan manajer yang tidak mempertahankan jarak kekuasaan, diharapkan lebih banyak berkonsultasi dengan bawahannya. Maka diperlukan komunikasi yang baik dengan bawahannya, menghargai kesetaraan. Jarak kekuasan menjelaskan derajat ketergantungan karyawan pada atasannya. Semakin dekat jarak kekuasaan, maka semakin akrab hubungan antara bawahan dengan atasannya, dan semakin rendah (kecil) tingkat ketergantungan bawahan pada atasan yang bersangkutan. (Ndraha, 1999:243)

Dimensi yang kedua adalah Individualism versus Collectivism (IC). Dimensi ini mengacu pada sejauh mana suatu budaya mendukung tendensi individulistik dan kolektivistik. Masyarakat individualistik mengharapkan anggota-anggotanya untuk mandiri atau bebas dan merealisasikan hak-hak pribadinya, sehingga tumbuh kemandirian secara emosional pada instansi atau perusahaan. Sementara budaya kolektif menekankan kewajiban pada masyarakat atau kelompok daripada hak-hak pribadinya. Bahkan diharapkan untuk mengorbankan kepentingan pribadinya demi tujuan kelompok.

Adanya perbedaan dalam dimensi IC akan berpengaruh dalam perbedaan secara nyata dalam sikap, nilai-nilai, keyakinan dan perilaku yang berkaitan dengan kerja dan perusahaan. Dimensi IC juga berpengaruh pada perbedaan tentang kepemimpinan ideal yang diharapkan.

Untuk mengukur sisi individualisme, digunakan instrumen yang terdiri dari:

1. Personal Time, yaitu pekerjaan (job) yang memberikan waktu luang yang cukup untuk diri sendiri dan keluarga.

2. Freedom, yaitu kebebasan untuk menggunakan cara pendekatan sendiri terhadap pekerjaan.

3. Challenge, yaitu pekerjaan yang menantang, yang memberikan kebanggaan dan kepuasan dalam melaksanakan (sense of accomplishement)

Sedangkan untuk sisi kolektivisme diukur dengan instrumen:

1. Training, yaitu kesempatan untuk mengalami pelatihan guna meningkatkan job performance.

2. Physical Conditions, yaitu adanya lingkungan kerja yang baik (ventilasi, cahaya, ruangan, warna, dsb).

3. Use of skill, yaitu penggunaan keterampilan sepenuhnya dalam melakukan pekerjaan. (Ndraha, 1999:245)

Dimensi yang ketiga adalah dimensi masculinity (MA) yang lebih berorientasi materialisme dari pada hubungan kekerabatan. Dimensi ini secara konseptual berguna untuk memahami perbedaaan gender dalam dunia kerja. Dimensi masculinity menunjukan tingkat tingkatan atau sejauh mana suatu masyarakat berpegang teguh pada peran gender atau nilai-nilai seksual yang tradisional yang didasarkan pada perbedaan biologis dan menekankan pada nilai asertivitas, prestasi, dan performansi. Sedangkan dimensi feminnity lebih mengutamakan hubungan interpersonal, keharmonisan dan kinerja kelompok.

Perbedaan dalam dimensi ini akan berpengaruh pada struktur organisasi dan corak hubungan dalam suatu perusahaan. Biasanya dalam masyarakat yang memiliki dimensi masculinity tinggi maka perbedaan antara pria dan wanita menjadi menonjol, remaja pria mengharapkan karir pekerjaan yang bagus dan kurang mentolerir kegagalan. Masyarakat yang memiliki dimensi feminity menganggap bahwa kerja yang baik menuntut

kemampuan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan orang lain dan kurang mengutamakan kepentingan diri sendiri.

Ndraha (1999:246) menulis instrumen Hoffstede yang digunakan dalam penelitian. Sisi masculinity digunakan instrumen:

1. Earning, yaitu pendapatan: kesempatan mendapat job yang menjanjikan pendapatan yang tinggi.

2. Recognition, yaitu pengakuan atau penghargaan masyarakat terhadap pekerjaan.

3. Advancement, yaitu kesempatan untuk maju dan mendapat kedudukan tinggi.

Pengukuran untuk instrument femininity yaitu dengan:

1. Manager, yaitu adanya hubungan baik atasan dan bawahannya.

2. Cooperation, yaitu kerjasama antar karyawan di dalam perusahaan yang bersangkutan.

3. Living area, yaitu bertempat tinggal di pemukiman yang layak bagi karyawan dan keluarganya.

4. Employment security, yaitu ketenangan bekerja selama karyawan suka, tanpa dihantui oleh pemutusan hubungan kerja.

Dimensi yang keempat adalah dimensi Uncertainty Avoidance (UA) menunjukkan tingkatan atau sejauh mana masyarakat dalam menghadapi situasi yang samar-samar atau tidak pasti. Masyarakat yang memiliki UA tinggi merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi resiko itu.

Organisasi dalam budaya UA-nya tinggi juga cenderung memiliki kejadian turn over (keluar-masuk karyawan) yang sedikit, dan karyawan yang rendah ambisinya, perilaku yang kurang berani mengambil resiko dan petualangan, dan perilakunya lebih ritual. Masyarakat yang memiliki orientasi UA yang rendah, toleransi terhadap situasi yang samar-samar atau tidak pasti. Dalam situasi ini orang akan lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. (Daya Kisni, 2003: 277-283)

Menurut Ndraha ( 1999:247) ada beberapa instrumen untuk mengukur penghindaran ketidakpastian dalam masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Job stress, yaitu frekuensi meregang atau nervous di tempat kerja atau

sewaktu bekerja.

2. Rule orientation, yaitu persetujuan terhadap ketentuan bahwa aturan wajib ditaati.

3. Intent to stay with company for a long-term career, yaitu seberapa banyak karyawan yang ingin bekerja untuk jangka waktu lama di perusahaan yang bersangkutan.

Jadi, kultur lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas.

Dokumen terkait