• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

Lampiran 10. Bagan Model Penggunaan Kawasan Hutan dan Skenario

1.1 Latar belakang

Emisi gas rumah kaca sejak tahun 1970 hingga tahun 2004, terus meningkat sampai 70% dan diantaranya terjadi peningkatan sebanyak 24% selama periode tahun 1990 hingga 2004. Dari angka tersebut 40% disumbang dari sektor penggunaan lahan dan kehutanan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan dan deforestasi dan degradasi hutan (IPCC 2007). Menurut Stern (2006) menyebutkan sektor deforestasi dan degradasi hutan telah menyumbang 18% emisi ke atmosfer. Laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia selama tahun 2003 – 2006 mencapai 1,089 juta hektar per tahun (Kemenhut 2009).

Secara umum, penurunan cadangan karbon di kawasan hutan dan non-kawasan hutan Indonesia dari sektor pengelolaan lahan baik hutan maupun

non hutan terus menurun terjadi pada periode tahun 1990-2000, yaitu sebesar 3.646,1 Mt atau rata-rata per tahun sebesar 364,64 Mt, kemudian turun menjadi

1.046,78 Mt pada periode 2000-2003 atau 348,93 Mt /tahun, dan periode 2003-2006 menurun lagi menjadi 531,68 Mt atau 177,56 Mt/tahun (Budiharto 2009). Penurunan terbesar terjadi di P. Kalimantan dan P. Sumatera

dengan rata-rata perubahan sebesar 112,35 Mt/tahun dan 77,57 Mt/tahun. Saharjo (2009) menyebutkan bahwa jumlah karbon yang tersimpan di wilayah tropika mencapai 83,3 Gt, 44,5 Gt atau sekitar 53,1% terdapat di Indonesia yang terbagi pada 3 pulau besar yakni Sumatera tersimpan 18,3 Gt (41,1%), Kalimantan 15,1 Gt (33,8%) dan Papua Barat 10,3 Gt (23%). Menurut FAO (2010), cadangan karbon pada biomasa hutan Indonesia tahun 1990 sebesar 16.335 juta ton, tahun 2000 sebesar 15.182 juta ton, tahun 2005 sebesar 14.299 juta ton, tahun 2010 sebesar 13.017 juta ton. Cadangan karbon biomasa hutan Indonesia per hektar 2010 mencapai 138 juta ton/hektar.

Deforestasi hutan Indonesia berdampak pada penurunan PDB (Product Domestic Bruto) kehutanan terhadap PDB Indonesia. Tahun 1997

proporsi PDB Kehutanan terhadap PDB Indonesia mencapai 1.56% namun di tahun 2000 menurun menjadi 1,18%. Tahun 2008 mencapai 0,81% (Kemenhut

2009) dan di triwulan II tahun 2009 hanya menyumbang 0,85% atau Rp. 4.433,3 Milyar (Kemenhut 2010).

Penurunan potensi hutan dan konversi lahan hutan terjadi merata di seluruh wilayah termasuk provinsi Jambi. Menurut Wurjanto diacu dalam Prasetyo (2009), dari perubahan citra landsat terlihat ada pengurangan jumlah tutupan

hutan sebesar 2% per tahun dari total luas 1,2 juta hektar hutan di Jambi. Sampai dengan tahun 2008, tersisa 2 IUPHHK Hutan Alam dengan luas mencapai

45.825 hektar dan jatah tebangan tahunan 2008 mencapai 60.000 m3 atau turun 14.130 m3 di tahun 2006 (Kemenhut 2008). Untuk keperluan kayu industri, di provinsi Jambi telah dibangun HTI dari tahun 2004 – 2008 mencapai 101.907,34 hektar. IUPHHK Hutan Tanaman terdapat 13 unit usaha yang mengelola lahan seluas 572.054 hektar. Realisasi produksi kayu bulat untuk tahun 2008 hanya mencapai 4.895.484,55 m3 dari rencana sebanyak 8.334.519,58 m3.

Penurunan potensi dan perubahan fungsi penggunaan kawasan hutan yang terjadi terus menerus disebabkan oleh perbedaan kepentingan stakeholder terhadap kawasan hutan dan mempengaruhi institusi yang mengatur tentang pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Hubungan ini membentuk suatu sistem yang utuh dan saling mempengaruhi. Portela dan Rademacher (2001), menggunakan model dinamika untuk menganalisis pola deforestasi yang ditunjukan oleh perbedaan pola degradasi lingkungan di hutan Amazon Brasil.

1.2 Perumusan Masalah

Tingginya angka emisi sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) kebutuhan lahan dan hasil hutan yang terus meningkat. Pada tahun 2005 telah dilepas kawasan hutan sebesar 66.180.70 hektar, tahun 2006 seluas 151.892,73 hektar dan tahun 2007 sebesar 73.673.99 hektar. Sedangkan tahun 2008 dilepas kawasan hutan seluas 77.216,73 hektar (Kemenhut 2008).

Pentingnya pembangunan sektor non-kehutanan mengakibatkan berkurangnya luas dan tutupan kawasan berhutan. Kebutuhan lahan hutan untuk eksploitasi sumberdaya tambang, alokasi lahan hutan untuk kebun dan transmigrasi serta pemanfaatan hasil hutan kayu melalui HPH dan pemenuhan kebutuhan kayu industri melalui HTI merupakan faktor pendorong berubahnya

3

luas dan tutupan hutan. Selain itu, desakan masyarakat untuk mengelola kawasan hutan semakin tinggi. Hasil rekap data statistik Kementerian Kehutanan menunjukan bahwa sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan pinjam pakai kawasan hutan seluas 344.305 hektar, tukar menukar kawasan yang keluar dari kawasan hutan sampai dengan tahun 2009 mencapai 48.193 hektar dan yang masuk menjadi kawasan hutan sebesar 80.861 hektar. Jumlah HPH yang masih

aktif sampai dengan tahun 2009 hanya 1 perusahaan dan HTI mencapai 131.260 hektar.

Untuk mengurangi laju penurunan tutupan hutan dan meningkatkan pendapatan dari pengelolaan hutan, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan merencanakan pembangunan HKm seluas 45.500 hektar, hutan desa 39.000 hektar, RHL 62.100 hektar sampai dengan tahun 2014. Untuk memenuhi kebutuhan kayu industri, di provinsi Jambi akan dibangun HTR dan HTI sampai tahun 2020 seluas 508.000 hektar. Selain itu akan dilakukan pemanfaatan LOA (Log Over Area) seluas 163 ribu hektar (Kemenhut 2010).

Upaya menurunkan emisi pada BAU (business as usual) dengan skema REDD+ melibatkan unsur stakeholder pemerintah pusat, daerah, masyarakat lokal dan stakeholder yang berkepentingan lainnya. Setiap stakeholder memiliki tujuan dan motivasi tertentu dalam manajemen peruntukan lahan. Perubahan peruntukan lahan dapat berdampak positif maupun negatif baik terhadap penutupan lahan, ekonomi masyarakat dan pendapatan negara dan daerah.

Pertanyaan yang menjadi masalah penelitian adalah : (1) bagaimanakah bentuk manajemen hutan di provinsi Jambi pada masa lampau dan rencana akan datang? (2) bagaimana peran stakeholder di level provinsi Jambi dalam menentukan peruntukan lahan hutan selama ini? dan (3) bila REDD+ dilaksanakan, berapa nilai ekonomi yang dapat diterima?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain :

1. Menganalisis institusi pengurusan hutan pada masa lampau dan rencana akan datang serta peran aktor dalam manajemen hutan;

2. Membangun model simulasi pemanfaatan dan peruntukan hutan sebagaimana BAU (business as usual) dijalankan

3. Mengetahui nilai REDD+ yang dapat diperoleh berdasarkan standar pasar karbon yang ada.

1. 4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi tentang :

1. Peran yang dikendalikan oleh setiap stakeholder yang berwenang dalam pengurusan kawasan hutan;

2. Membangun model dinamika perubahan lahan berdasarkan ketertarikan agen; 3. Fluktuasi cadangan karbon ketika BAU dan REDD+ dijalankan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan

Metode pendugaan karbon tersimpan pada berbagai jenis penggunaan lahan adalah hal penting dalam menduga besarnya perubahan cadangan karbon ketika terjadi perubahan penggunaan lahan, misalnya dari areal berhutan menjadi kebun atau sebaliknya dari tanah kosong menjadi areal bertutupan vegetasi hutan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menduga simpanan karbon pada setiap jenis lahan diantaranya dilakukan oleh Rahayu et al (2005) dan Agus et al (2009). IPCC (2006) memberikan pedoman pendugaan cadangan karbon pada areal berhutan, pemukiman, lahan pertanian, padang rumput dan bentuk penggunaan lahan lainnya yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang dilakukan di beberapa negara.

Karbon merupakan fungsi dari biomasa pohon. Biomasa merupakan fungsi dari volume yang dibentuk dari dimensi tinggi dan diameter. Pertambahan dimensi tinggi dan diameter terbentuk karena adanya proses fotosintesis yang mengubah CO2 dan H2O menjadi selulosa. Besarnya kandungan karbon dapat

menduga besarnya serapan CO2 untuk keperluan fotosintesis yakni sebesar nilai

karbon dikalikan dengan berat molekul CO2 yakni sebesar 44/12 yang dinyatakan

dengan satuan ton/ha (Aminudin 2008). Kandungan karbon dalam biomasa diasumsikan sebesar 50% dari nilai biomasa (Brown 1997). Penelitian lain menemukan bahwa angka konversi biomasa ke nilai kandungan karbon tidak mencapai 50% atau hanya mencapai 10% atau kurang dari 50%. Kesalahan dalam penggunaan nilai konversi ini akan berakibat pada kesalahan pendugaan cadangan karbon pada satu individu pohon dan suatu hamparan penggunaan lahan (Tabel 1).

Tabel 1. Nilai Karbon terikat terhadap kandungan biomasa No. Tipe hutan/jenis pohon Persen Karbon

Terikat (%)

Sumber Pustaka

1. Mangrove 19.00 – 47.00 Hilmi (2003)

diacu dalam Widyasari (2010) 2. Hutan Kerangas, Kalimantan

Barat

19.00 – 27.00 Onrizal (2004)

3. Acacia mangium, Sumatera Selatan

a. Areal Bekas Tebangan b. Areal Bukan Bekas

Tebangan 14.70 – 28.80 14.40 – 28.40 Ismail (2005) diacu dalam Widyasari (2010)

4. Pohon Puspa, Sumatera Selatan a. Kelas diameter 2 – 10 cm b. Kelas diameter 10 – 20 cm c. Kelas diameter > 20 cm 31.53 28.51 33.54 Salim (2005) diacu dalam Widyasari (2010)

5. Acacia crassicarpa, Sumatera Selatan a. Umur 2 tahun b. Umur 4 tahun c. Umur 6 tahun 15.21 18.69 17.63 Limbong (2009) diacu dalam Widyasari (2010)

6. Hutan Gambut bekas tebangan Sumatera Selatan

13.7 – 22.99 Novita (2010)

7. Hutan gambut bekas terbakar a. Kelas diameter 2-10 cm b. Kelas diameter 10-20 cm c. Kelas diameter >20 cm 17.7 16.83 16.99 Widyasari (2010)

Tabel di atas menunjukan bahwa presentasi karbon terikat pada biomasa pohon tidak merupakan setengah dari biomasa pohon sebagaimana disampaikan oleh Brown. Hal ini sangat mempengaruhi pendugaan nilai karbon pada suatu jenis peruntukan lahan. Widyasari (2010) menyebutkan bahwa perbedaan pendugaan karbon terikat pada biomasa dengan hasil penelitian Brown (1997) karena Brown (1997) tidak menggunakan pendekatan perhitungan kadar abu seperti penelitian yang dilakukan sebagaimana tabel di atas. Hygreen dan Bowyer (1993) diacu dalam Aminudin (2008), sepotong kayu terdiri atas 49% unsur C, 6% unsur H dan 44% unsur O serta 0.1% abu.

Kandungan biomasa di pohon berbeda-beda. Biomasa terbesar sekitar 68,08-82,28% terdapat di batang, di daun terdapat 4,17-14,44%, di ranting terdapat 6,16-10,32% serta 7,15-7,45% terdapat di cabang (Widyasari 2010).

7

Pendugaan cadangan karbon berkorelasi positif dengan nilai transaksi perdagangan karbon dan sangat mempengaruhi rekomendasi untuk partisipasi dalam pemanfaatan jasa lingkungan karbon. Berdasarkan ketelitian dan ketersediaan data, IPCC (2006) mengklasifikasikan metode pendugaan karbon dalam 3 (tiga) tingkat ketelitian yang disebut dengan tier. Semakin tinggi angka tier yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon, data yang digunakan semakin rumit dan lengkap sehingga hasilnya semakin teliti. Metode tier 1 dirancang untuk penggunaan sederhana dalam menduga cadangan karbon, dengan mengalikan nilai cadangan karbon yang telah ditetapkan dengan luas peruntukan lahan maka dapat diketahui cadangan karbon yang terdapat pada suatu peruntukan

lahan. Tier 2 dapat menggunakan pendekatan metodologi yang sama seperti tier 1 tetapi angka-angka yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon

menggunakan data spesifik pada satu negara atau wilayah tertentu ditambah faktor yang mempengaruhi pengambilan karbon. Tier 3, menggunakan model dan teknik pengukuran disesuaikan untuk mengatasi keadaan nasional, berulang dari waktu ke waktu, dan didorong oleh resolusi data yang tinggi. Metode ini memberikan estimasi kepastian lebih besar dari tingkatan yang lebih rendah. Pemilihan metode pendugaan cadangan karbon bergantung pada ketersediaan dan ketelitian pengumpulan data.

Perubahan gas-gas rumah kaca di sektor AFOLU (agriculture, forestry and other land use) dapat diduga dengan 2 cara yakni (1) perubahan bersih karbon stok pada suatu periode waktu tertentu dan (2) laju perubahan aliran CO2 ke dan

dari atmosfer. Besarnya serapan CO2 dari atmosfer bergantung pada kerapatan

biodiversitas tumbuhan yang melakukan fotosintesis dan menyimpan hasilnya dalam bentuk biomasa. Sebagian besar CO2 dipindahkan dari atmosfer ke

ekosistem daratan melalui fotosintesis dan respirasi. Serapan CO2 melalui

fotosintesis sering disebut dengan gross primary product (GPP). Setengah dari GPP akan terlepas kembali ke atmosfer melalui proses respirasi dan yang tersisa pada tubuh tumbuhan disebut sebagai net primary production (NPP) yakni total

produksi biomasa tumbuhan dan bahan organik mati dalam satu tahun (IPCC 2006).

2.2 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Cadangan Karbon Lahan

Perubahan bentuk penggunaan lahan berkorelasi negatif dengan cadangan karbon, namun tidak berarti bahwa perubahan bentuk akan mengemisi sejumlah cadangan karbon yang dimiliki. Pada tanah mineral, konversi hutan primer dan hutan sekunder dengan simpanan karbon rata-rata berturut-turut 300 dan 132 t/ha, dapat menurunkan simpanan karbon tanah dan tanaman (emisi karbon neto positif). Jika lahan semak belukar atau lahan alang-alang dengan simpanan karbon masing-masing 15 dan 2 t/ha direhabilitasi menjadi lahan perkebunan, pada umumnya akan meningkatkan simpanan karbon tanah dan tanaman (emisi karbon neto negatif). Pada tanah gambut, emisi karbon terjadi karena dekomposisi gambut, kebakaran gambut (jika ada), dan emisi karbon dari tanaman. Pembangunan kebun di lahan gambut terlantar yang ditumbuhi semak belukar (dengan simpanan karbon 15 t/ha, dan kedalaman drainase rata-rata 40 cm) akan meningkatkan cadangan karbon. Hal ini berpotensi menurunkan emisi sebesar 862 tCO2-e/ha/25 tahun (34 tCO2-e/ha/tahun), karena besarnya penurunan kehilangan

karbon dari biomasa dan tanah gambut. Bila belukar gambut dipertahankan maka akan mengemisi sekitar 22 CO2-e/ha/tahun. Bila belukar gambut dikonversi

menjadi sawah, perkebunan karet atau perkebunan sawit, tingkat emisi berturut- turut menjadi 11, 7, dan 30 CO2-e/ha/tahun. Dengan demikian, rehabilitasi belukar

gambut menjadi sawah atau perkebunan karet mengurangi emisi berturut-turut 11 dan 15 CO2-e/ha/tahun, sedangkan rehabilitasi belukar gambut menjadi

perkebunan kelapa sawit hanya menambah emisi 8 CO2-e/ha/tahun, dibandingkan

bila belukar gambut diterlantarkan. Dengan demikian, ekstensifikasi perkebunan perlu diprioritaskan melalui rehabilitasi belukar atau padang alang-alang di tanah mineral atau belukar gambut karena selain penambatan CO2 netto juga berpotensi

memperbaiki kehidupan masyarakat (Agus et al 2009). Konversi hutan gambut bekas tebangan dan sekunder mengakibatkan penurunan cadangan karbon vegetasi masing-masing sebesar 103,53 ton/ha/tahun dan 61,02 ton/ha/tahun (Rochmayanto 2009).

Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa konversi lahan kosong atau belukar menjadi perkebunan dapat meningkatkan simpanan dan serapan karbon.

9

Namun jika perkebunan dibangun dengan mengkonversi hutan alam dengan cadangan karbon di hutan alam maka akan menurunkan simpanan karbon di lahan tersebut. Penurunan cadangan karbon tidak berarti akan mengemisi sebesar nilai cadangan karbon, namun dapat diduga dengan menghitung selisih perubahan cadangan karbon hutan alam ke perkebunan dikalikan dengan rendemen pengolahan kayu. Rendemen pengolahan kayu bulat dari hutan alam mencapai 57% – 70% dari volume yang dipanen (Kemenhut, 2007). Hal ini menunjukan bahwa pengambilan cadangan karbon dalam bentuk kayu tidak langsung diuapkan menjadi CO2 bebas di atmosfer namun dikonversi menjadi bentuk simpanan

karbon lainnya seperti mebel, kayu pertukangan, konstruksi, kayu lapis, veneer dan lain-lain (Soedomo 2010).

Untuk meningkatkan serapan dan simpanan karbon di hutan, maka tegakan hutan yang pertumbuhannya telah mencapai klimaks perlu ditebang dan dilakukan permudaan sehingga selisih fotosintesis terhadap respirasi positif. Tumbuhan muda lebih membutuhkan karbohidrat untuk pertumbuhan dibandingkan tumbuhan yang tua yang telah mencapai keseimbangan antara serapan CO2 untuk

proses fotosintesis dan melepaskan CO2 sebagai hasil respirasi. Pada awal

penebangan akan terjadi kehilangan cadangan karbon, namun akan memberi ruang untuk tumbuh tanaman muda. Pinard dan Cropper (2000) menyebutkan bahwa, cadangan karbon hutan diptero akan mengalami penurunan setelah 7 tahun tebangan yakni dari 213 ton C/Ha menjadi 97 ton C/Ha. Untuk menurunkan laju hilangnya cadangan karbon, ketika tebangan mencapai 20-50% dari AAC (Annual Available Cutting) maka perlu ditanam lagi tanaman pioneer yang mampu meningkatkan serapan karbon tegakan 15-26% di 40-60 tahun mendatang.

Lasco et al (2006) menyebutkan bahwa kegiatan penebangan akan menurunkan paling sedikit 50% dari simpanan karbon yang ada di hutan. Konversi hutan alam menjadi padang rumput atau lahan pertanian akan

mengakibatkan penurunan cadangan karbon kurang dari 40 ton/ha dari 500 ton/ha yang dimiliki. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman juga

mengakibatkan penurunan cadangan karbon sekitar 50% dari cadangan karbon yang ada. Kegiatan pemanenan dan perlakuan TPTJ (tebang pilih tanam jalur)

memberikan pengaruh nyata pada kandungan karbon serasah. Kandungan karbon serasah di areal bekas tebangan lebih tinggi dibandingkan hutan primer. Kandungan karbon di serasah segar sekitar 6,1 ton C/ha pada areal bekas tebangan dan hanya 2,4 ton C/ha di hutan primer. Namun pelaksanaan silvikultur TPTJ tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan karbon tanah pada kedalaman 0-40 cm (Almulqu 2008).

Beberapa penelitian untuk menduga cadangan karbon pada jenis penggunaan lahan yang berbeda disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai cadangan karbon setiap penggunaan lahan No. Jenis Penggunaan Lahan Cadangan

Karbon Ton/Ha Sumber Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Hutan Primer

Hutan Bekas Tebangan Kebun Karet

Kebun Kelapa Sawit Alang-alang

Agroforestry Hutan rakyat jati

Kerangas di Taman Nasional Hutan gambut bekas terbakar Hutan gambut bekas tebangan Hutan Gambut 348.02 189.26 206.8 16.43 4,8 4,2 37,7 66,3 176,1 29,1 41,82

Tresnawan dan Rosalina (2002) Tresnawan dan Rosalina (2002) Widayati et al (2005) Yulianti (2009) Widayati et al (2005) Widayati et al (2005) Widayati et al (2005) Aminudin (2008) Onrizal (2004) Widyasari (2010) Novita (2010)

2.3 REDD dan Peluang Pelaksanaan di Jambi

Menurut Lund (2008) bahwa definisi deforestasi dapat dikelompokkan ke dalam kategori : perubahan penutupan lahan, perubahan penggunaan lahan, perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Berikut ini beberapa definisi deforestasi yang telah digunakan oleh berbagai institusi internasional, antaranya adalah : UNFCCC 11/CP.7 mendefinisikan deforestasi sebagai konversi langsung yang disebabkan oleh manusia terhadap lahan hutan menjadi lahan non-hutan. FAO (2010) mendefinisikan konversi hutan ke penggunaan lahan lain atau pengurangan dalam jangka waktu yang lama dari kanopi pohon kurang dari batasan minimal 10%. Dengan demikian deforestasi merupakan kehilangan petutupan lahan hutan secara permanen atau jangka waktu yang panjang, baik yang disebabkan oleh pengaruh manusia maupun dari gangguan alam. Konversi

11

hutan ke lahan pertanian, padang rumput/penggembalaan, dan area perkotaan juga termasuk deforestasi.

Definisi degradasi hutan juga bervariasi, hingga kini setidaknya terdapat lebih dari 10 definisi yang telah digunakan oleh berbagai institusi (Lund, 2007). Salah satu definisi degradasi hutan adalah perubahan yang terjadi di dalam hutan yang memberi efek negatif pada struktur ataupun fungsi tegakan, sehingga menurunkan kapasitas produksi (FAO 1993 dalam Lund 2007). Perubahan yang terjadi di dalam hutan yang masih dalam kategori terdegradasi tidak melampaui batasan area yang ditentukan sebagai hutan. UNFCCC-IPCC menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai kehilangan langsung, yang disebabkan oleh manusia, untuk jangka panjang (terjadi selama X tahun atau lebih) atau sedikitnya Y% dari persediaan karbon hutan (dan nilai hutan) sejak waktu T dan tidak dapat dikategorikan sebagai deforestasi. Parameter X, Y dan T belum ditetapkan.

Tingginya angka deforestasi adalah peluang pelaksanaan REDD (Masripatin 2007). Bila angka deforestasi tersebut dapat ditekan maka akan terpelihara carbon sink yang mampu menyerap CO2 bebas di atmosfer. Bila carbon sink ini

ditingkatkan maka kemampuan untuk menyerap CO2 akan makin meningkat.

Menurut FAO (2010) bahwa laju perubahan tahunan cadangan karbon di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan 2010 terus menurun. Antara tahun

1990-2000, perubahan cadangan karbon mencapai 1,5 juta ton, antara tahun 2000-2005 menurun sebesar 1,3 juta ton dan di tahun 2005-2010 mengalami

penurunan sebesar 1,7 juta ton. Menurunnya cadangan karbon menjadi perhatian utama pemerintah. Pemerintah berkomitmen menurunkan 14% emisi karbon dari sektor LULUCF dari Bussines As Usual (BAU) yang telah dijalankan selama ini, manajemen sampah yang benar 6%, dan efisiensi energi 6%. Bila BAU dijalankan sampai tahun 2020 maka emisi tahunan akan menjadi 1,24 Gt CO2e dan

kemampuan serapan CO2e hanya berkisar antara 0.6 sampai dengan 0.71 Gt CO2e

(Kemenhut 2010). Guna memenuhi program tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp 83,3 triliun pada tujuh sektor prioritas, yakni sektor energi yang diupayakan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 1%. Sektor transportasi dan industri

masing-masing 0,3% dan 0,01%, sektor pertanian 0,3%, sektor kehutanan 13,3%, pengelolaan limbah 1,6%, dan pengelolaan lahan gambut 9,6%.

Untuk meningkatkan serapan karbon dari BAU akan dilakukan upaya mitigasi dengan skema REDD yang diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti mampu menyerap 1.31 Gt CO2e dengan menanam 500.000 hektar per tahun dan

upaya lainnya. Skema REDD (reducing emission from deforestation and forest degradation) dicetuskan dalam konferensi UNFCCC ke-13 di Bali pada akhir tahun 2007. Hal ini bermaksud untuk menyertakan sektor kehutanan dalam skema perdagangan karbon sebagai carbon sink terbaik. Namun COP (Conference of Parties) ke 15 di Kopenhagen – Denmark memutuskan REDD sebagai suatu instrumen kerjasama internasional yang tidak mengikat.

Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan berhutan maka dapat menunda terjadinya emisi ke atmosfer karena menurut Masripatin (2007) vegetasi dan tanah dapat menyimpan ± 7500 Gt CO2 atau dua kali lipat lebih banyak CO2

di atmosfer, sedangkan hutan menyimpan 4500 Gt CO2 lebih besar dari gas rumah

kaca yang terdapat di atmosfer. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2020 disusun untuk merealisasikan komitmen pemerintah RI dalam mereduksi emisi sebesar 14%. Kegiatan pengayaan dan penanaman hutan, pengaturan jatah tebangan tahunan dari 17 juta m3 menjadi 9 juta m3 serta pengendalian jumlah titik api. Selain itu dilaksanakan pengendalian volume kayu yang diekstraksi dengan illegal logging dan mengurangi kerusakan tegakan tinggal dengan metode RIL (Reduced Impact Logging). Diharapkan sampai

dengan tahun 2020 nanti terdapat selisih antara emisi dan serapan sebesar 0,7 Gt. Bila BAU dijalankan maka selisih negatif sebesar 0,53 Gt dan bila hanya

dilakukan penanaman seluas 500.000 hektar per tahun maka selisih negatif sebesar 0,35 Gt. Pencapaian penurunan target emisi sebagaimana dijelaskan di atas, akan dilaksanakan bersama-sama dengan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut. Beberapa rencana strategi peningkatan serapan karbondi Provinsi Jambi disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3. Rencana strategis peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi (Kemenhut 2010)

Jenis Kegiatan Rencana Pelaksanaan (Ha)

2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah

13

Hutan Desa 16.500 8.500 6.100 4.300 3.600 39.000

HTI/HTR 47.000 42.500 52.000 46.500 41.000 229.000

RHL 11.500 12.000 11.300 13.400 13.900 62.100

Pengelolaan LOA 50.000 52.000 61.000 163.000

Skema REDD diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia. Insentif yang disiapkan negara-negara maju untuk mempersiapkan pelaksanaan REDD di negara-negara berkembang yang memiliki hutan tropis dalam Copenhagen Accord sebesar 30 milyar US$ dan

untuk pembayaran REDD sampai tahun 2020 disiapkan dana sebesar 100 milyar US$ (UNFCCC 2009). Skema REDD perlu dilihat dari dua sisi

perhitungan pilihan kerangka kerja yakni (1) pilihan untuk mengikutkan REDD pada semua kerangka kerja hanya di sektor kehutanan, dan (2) pilihan untuk mengikutkan sektor kehutanan dalam semua kerangka kerja pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Total stok karbon hutan pada suatu waktu ditentukan melalui dua faktor yakni (1) luas areal berhutan atau kawasan hutan dan (2) kerapatan karbon per hektar hutan (Angelsen et al 2008). Hal ini berarti bahwa dalam mengestimasi kandungan karbon suatu tegakan hutan perlu melihat keberadaan dan status kawasan hutan (tidak berkurang) yang disebut deforestasi dan tidak menurun stok karbon pada setiap hektar hutan yang disebut degradasi hutan.

Menurut Stern (2008) diacu dalam Angelsen dan Kanounnikoff (2008), terdapat tiga kriteria dalam mengevaluasi pencapaian tujuan REDD yakni effectiveness yakni mitigasi dan adopsi emisi gas rumah kaca (GHG) pada skala yang disyaratkan untuk menjaga resiko dari perubahan iklim pada level yang

Dokumen terkait