• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spons merupakan hewan laut yang dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang bermanfaat sebagai antibiotik, antijamur, anti virus, anti kanker, anti inflamasi, dan antioksidan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui laju

pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup spons Petrosia nigricans yang

ditransplantasikan pada kondisi perairan yang berbeda. Metode transplantasi spons yang dipakai adalah fragmentasi (menanam potongan-potongan spons). Hasil penelitian ini ditemukan hubungan yang erat antara laju

pertumbuhan spons dengan bahan organik total (TOM). Spons yang

ditransplantasikan pada perairan yang tinggi mengandung bahan organik (Pulau Pari) menghasilkan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan perairan yang lebih rendah bahan organik (Pulau Pramuka).

Rata-rata laju pertumbuhan panjang spons P. nigricans berkisar antara

4.42±0.066-6.15±0.88 % per bulan. Rata-rata kelangsungan hidup spons berkisar 90.0-100.0%.

Abstract

Sponges is marine organism which able to produce bioactive metabolite as antibiotic, antifungal, antivirus, anticancer, antiinflammation, antioxidant. The aim of the research is to determine growth rate and survival rate of sponge P. nigricans transplanted in different waters condition. Sponge transplantation use fragmentation method (by plant fragment of sponge). In our study a strong correlation was found for growth rate with total organic matter. The transplanted sponges in high matter organic water (Pari Island) made better growth rate and gave higher live achievement than in lower matter organic water (Pramuka

Island). The average length growth rate of P. nigricans sponge was between

4.42±0.066-6.15±0.88 % per month. The average of sponge survival rate was

90.0 -100.0%.

Pendahuluan

Latar Belakang

Spons merupakan biota laut multi sel yang fungsi jaringan dan organnya sangat sederhana. Habitat spons umumnya adalah menempel pada pasir, batu-batuan dan karang-karang mati. Biota laut ini dikenal dengan filter feeder yaitu mencari makanan dengan mengisap dan menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui oskulum. Partikel-partikel makanan seperti bakteri, mikroalga dan detritus terbawa oleh aliran air (Amir dan Budiyanto 1996; Romimohtarto dan Juwana 1999).

Pada beberapa tahun terakhir ini peneliti kimia memperlihatkan perhatian pada spons, karena keberadaan senyawa bahan alam yang dikandungnya. Senyawa bahan alam ini banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan harganya sangat mahal dalam katalog hasil laboratorium (Pronzato et al. 1999). Keragaman metabolit sekunder yang dihasilkan spons telah banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk menemukan senyawa-senyawa aktif yang berguna bagi dunia pengobatan. Senyawa-senyawa tersebut dapat berupa turunan asam amino dan nukleosida, makrolida, porphirin, terpenoid, gugus alifatik peraoksida dan sterol. Obat-obat yang dihasilkan spons antara lain discodermolide, topsentin, manzamine A, plakortolide, dan berbagai senyawa lainnya yang diketahui bersifat sebagai antikanker, antifungal, anti-inflamasi, anti HIV, penghambat aktivitas enzim dan sifat-sifat lainnya (Proksch et al. 2003; Hadas et al. 2005; Zheng et al. 2005).

Salah satu langkah alternatif untuk penyediaan bahan baku senyawa bioaktif adalah pengembangan budidaya melalui transplantasi. Metode dilakukan dengan jalan melakukan fragmentasi pada induk spons menggunakan pisau. Setelah itu, fragmen-fragmen dengan ukuran tertentu diletakkan pada suatu substrat, kemudian diletakkan di dasar laut pada kedalaman tertentu untuk ditumbuhkan dan dipelihara. Teknik transplantasi saja belum cukup mengatasi ketersediaan bahan bioaktif spons. Lokasi transplantasi dimana terdapat perbedaan kualitas lingkungan perairan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kandungan bioaktif spons.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran spons. Pada perairan yang kaya nutrien spons akan mengalami pertumbuhan yang lebih cepat. Parameter yang mempengaruhi penyebaran spons adalah kedalaman, intensitas cahaya, pasang surut dan kecepatan arus (Voogd 2005). Parameter lingkungan yang mempengaruhi budidaya spons adalah salinitas, cahaya, oksigen, makanan, dan substrat (Yi et al. 2005). Terdapat korelasi yang positif antara pertumbuhan spons budidaya dengan suhu, biomassa alga dan kandungan karbon dalam bentuk partikel tersuspensi ( Koopmans dan Wijffels 2008).

Bahan organik di perairan mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup spons. Peneltian budidaya tiga spons di Teluk Awarange, Kabupaten Barru di Sulawesi Selatan menunjukkan pertumbuhan spons tinggi pada nilai TOM 11.21- 16.00 mg/l. Tingginya kandungan TOM digunakan spons

sebagai sumber makanan dengan filter feeder (Rosmiati et al. 2002). Umumnya spons, lamella branchia dan ascidians tumbuh optimal pada kondisi bahan organik 15.0 – 20.0 mg/l air laut (Jorgensen 2008). Tingginya biomassa spons di Karibia menggambarkan tingginya konsentrasi bahan organik. Biomassa populasi spons di Belize Karibia lima kali lebih tinggi dibandingkan di Great Barrier Reef. Perbedaan ini disebabkan spons di Karibia mengkonsumsi sepuluh kali lebih bahan organik dibandingkan spons di Great Barrier Reef (Wilkinson dan Anthony 1990).

Penelitian tentang pertumbuhan dan kelangsungan hidup spons pada kondisi habitat perairan yang berbeda di luar negeri telah banyak dilakukan seperti spons jenis Latrunculia wellingtonensis dan Polymastia croceus yang ditransplantasikan pada dua lokasi dengan laju aliran yang terbuka di Selandia baru (Duckworth dan Battershill 2003); terdapat perbedaan laju pertumbuhan

spons Petrosia ficiformis ditransplantasikan pada kedalaman 10m dan 20m

(Ferrety et al. 2008). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Indonesia masih

terbatas jenis Auletta sp (Masak 2003), Aaptos aaptos (Haris 2005) dan

Callyspongia biru (Voogd 2007). Perbedaan penelitian ini dibandingkan penelitian sebelum adalah spons ditransplantasi dengan kondisi kualitas air dan kedalaman yang berbeda serta pengaruhnya terhadap bioaktivitas antibakteri spons. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian tentang laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup spons tropis yang memiliki kandungan bioaktif. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk pengembangan budidaya spons dimasa mendatang, terutama untuk memproduksi bibit dan senyawa bioaktif secara komersial.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisa laju pertumbuhan dan tingkat

kelangsungan hidup spons P. nigricans yang ditransplantasikan pada kondisi

perairan yang berbeda.

Metode Penelitian

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilapangan bertujuan untuk memperoleh data laju

selama 12 bulan mulai bulan Juli 2007-Juli 2008. Sampel spons sebagai bahan transplantasi diambil dari perairan terumbu karang di perairan Pulau Pari. Transplantasi spons dilakukan di perairan Pulau Pari dan Pulau Pramuka dengan masing-masing pada kedalaman 7m dan 15m. Lokasi penelitian transplantasi spons terlihat pada Gambar 8.

Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan Departemen MSP IPB, Laboratorium Biologi Laut Departemen ITK IPB, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, dan Laboratorium PPLH-IPB.

Gambar 8 Peta lokasi penelitian di perairan Kepulauan Seribu DKI Jakarta

Sumber : 1. Peta Rupa Bumi Indonesia,2005, BAKOSURTANAL 2. Survei Penelitian Lapangan, 2007

Bahan dan Alat

Bahan dan Alat untuk Pengukuran Parameter Lingkungan

Bahan yang digunakan untuk pengukuran parameter lingkungan antara lain adalah: kalium permanganat, formalin, tiosulfat, sedangkan alat antara lain adalah: floating drouge, botol sampel, buret, pipet tetes, pipet volumetrik, gelas beker, turbidimeter, termometer, spektrofotometer, cool box, kenmerer water sampler, pH meter dan GPS.

Bahan dan Alat Penelitian untuk Transplantasi

Bahan yang digunakan untuk transplantasi antara lain adalah: spons laut dari Perairan Pulau Pari jenis P. nigricans, pelampung, kawat tembaga, rangka besi (1m x 1m) sedangkan alat antara lain adalah: peralatan selam SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus), pisau cutter, caliper (jangka sorong), pisau, dan kamera nikonus V.

Penentuan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dibagi atas dua stasiun yaitu yang masing-masing mewakili perairan Pulau Pari dan di Pulau Pramuka. Pulau Pari pada posisi 5

o

51’56.3” LS – 106 o37’01.6” BT dan Pulau Pramuka 06o45’6” LS -106o32‘45” BT. Pulau Pari merupakan gugusan pulau yang terdiri dari 5 pulau yaitu Pulau Tikus, Pulau Burung, Pulau Kongsi, Pulau Tengah dan Pulau Pari. Gosong Pramuka sebagai tempat rak-rak transplantasi spons terletak disebelah utara Pulau Pramuka. Penentuan lokasi didasarkan atas perbedaan kondisi variabel fisika, dan kimia perairan yang nyata dari kedua pulau tersebut. Pulau Pari yang letaknya lebih dekat daratan (Jakarta) mewakili perairan yang banyak mendapat masukan zat hara (nutrien) dari Teluk Jakarta dan perairan Gosong Pramuka mewakili perairan lebih jauh dari daratan. Perairan Pulau Pari dan Pulau Pramuka berjarak ±11.26 mill dan ± 20.12 mill dari daratan terdekat.

Kualitas Lingkungan Perairan

Pengukuran kualitas air dilakukan sekali sebulan selama 12 bulan pada kedalaman 7m dan 15m tempat spons ditransplantasikan. Parameter- parameter yang diukur langsung di lapangan meliputi kecepatan arus, suhu air, pH,

salinitas, kecerahan, dan DO, sedangkan parameter yang diukur dilaboratorium meliputi nitrat, fosfat, TSS, dan TOM (Tabel 5).

Tabel 5 Parameter kualitas air, metode dan tempat pengukuran

Parameter Satuan Alat/Metode Tempat Pengukuran

Fisika

Suhu oC Termometer In-Situ

Kecerahan m Sechi disc In-Situ

Kecepatan arus m/dt Floating drouge In-Situ

Kimia

Salinitas ‰ Refraktometer In-Situ

pH - pH meter In-Situ

TSS mg/l Gravimetrik Laboratorium

TOM mg/l Titrimetrik Laboratorium

DO mg/l Alat titrasi In-Situ

Fosfat mg/l Spektrofotometer Laboratorium

Nitrat mg/l Spektrofotometer Laboratorium

Identifikasi Spons

Identifikasi spons laut yang dijadikan hewan uji didasarkan pada petunjuk (Voogd dan Soest 2002), dan Hooper (2000).

Metode Transplantasi

Metode transplantasi didasarkan modifikasi penelitian (Duckworth et al.

1999). Spons dipotong secara in situ dan disisakan sekitar 30 % dari volume awal, untuk memberikan kesempatan beregenerasi. Semua spons dikumpulkan dan dipotong dalam air laut. Fragmen dipotong berbentuk kubus dengan ukuran kira-kira (5 cm x 5 cm x 5 cm) dan berat sekitar 30 gram. Semua fragmen paling sedikit mempunyai satu sisi yang tidak terpotong, dengan seluruh pinacoderm dan oskula.

Induk spons berasal dari sumber lokasi yang sama yaitu berasal dari Pulau Pari. Setelah spons dipotong sesuai ukuran diatas dan ditransplantasikan pada lokasi perairan Pulau Pari dan Pulau Pramuka.

Metode transplantasi spons yang dipakai pada penelitian ini adalah metode transplantasi dengan cara spons dilewatkan pada seutas tali polyetilen (diameter 4 mm) ditengahnya. Jarak antara satu fragmen spons dengan fragmen spons lainnya pada seutas tali adalah sekitar 10 cm dan jarak antar tali satu dengan yang lainnya sekitar 33 cm. Setelah fragmen

ditransplantasikan pada seutas tali, fragmen bertali tersebut kemudian diikatkan pada kerangka besi berukuran 1m x 1 m (Gambar 9). Fragmen bertali yang sudah dirangkai pada kerangka besi kemudian diletakkan pada posisi horizontal pada dasar perairan di Pulau Pari dan Pulau Pramuka dengan masing-masing kedalaman 7m dan 15m.

Pada penelitian spons ini diletakkan masing- masing sebanyak 3 transek spons pada lokasi Pulau Pari dan Pulau Pramuka. Transek pertama spons untuk pengamatan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup spons, transek ke dua dan ke tiga untuk pengamatan bioaktif antibakteri spons dan isolasi senyawa bioaktif spons. Transplantasi dilakukan pada Pulau Pari dan Pulau Pramuka dilakukan selama 12 bulan dengan mengukur laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup dilakukan setiap bulan.

Gambar 9 Metode transplantasi rak spons

Fragmen spons

Tali

Gambar 10 Metode transplantasi dengan melewatkan tali nilon pada fragmen (Duckworth et al. 1999)

Laju Pertumbuhan

Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran panjang, lebar dan tebal spons secara langsung dalam air. Pengukuran ini menggunakan jangka

sorong (caliper). Pengukuran dilakukan terhadap 30 buah spons dalam rak

transplantasi per lokasi (Tabel 6).

Laju pertumbuhan yang diukur adalah laju pertumbuhan relatif. Rumus laju pertumbuhan spons dirujuk oleh Ferretti et al. (2009) dari Duckworth dan

Battershill (2001). Rumus laju pertumbuhan dari Duckworth dan Battershill

(2001) dimodifikasi dengan mengalikan 100% untuk menyatakan persentase laju pertumbuhan spons. Laju pertumbuhan (% per bulan) dihitung dari tiap sampel spons menggunakan rumus:

GR = (Vm-Vm-1) X 100% (Vm-1)n

Dimana:

GR = Laju pertumbuhan (% per bulan)

Vm = Panjang/Lebar/Tebal spons yang diukur pada bulan m

Vm-1 = Panjang/Lebar/Tebal yang diukur pada bulan m-1

n = Jumlah bulan diantara dua pengamatan

Kelangsungan Hidup

Pengukuran tingkat kelangsungan hidup spons diakhir penelitian adalah dengan membandingkan jumlah fragmen spons yang hidup diakhir penelitian dan jumlah fragmen spons pada awal penelitian. Rumus yang digunakan adalah:

Dimana: S = Kelangsungan hidup spons (%)

Nt = Jumlah spons yang hidup pada akhir penelitian No = Jumlah spons pada awal penelitian

Tabel 6. Jumlah sampel dalam rak transplantasi untuk pengukuran pertumbuhan Lokasi Rak Spons ke n Jumlah (Buah) Pari 7m 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 …….30 30 Pari 15m 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 …….30 30 Pramuka 7m 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 …….30 30 Pramuka 15m 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 …….30 30 Jumlah Total 120

S = Nt x 100%

No

Analisis Data

Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup

Analisis pengaruh kedalaman lokasi dan waktu (bulan) terhadap laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup spons dilakukan dengan analisa Varian (Anova) dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan model linier (Steel dan Torrie 1993) sebagai berikut:

Yij = µ + Ji + Dj + εij

Yij = Respon laju pertumbuhan/kelangsungan hidup pada waktu ke i, kedalaman

lokasi ke j µ = Rataan umum Ji = Pengaruh waktu ke i

Dj = Pengaruh kedalaman lokasi ke j

εij = Pengaruh acak pada waktu ke -i dan kedalaman lokasi ke-j

Uji lanjut yang digunakan adalah uji Beda Nyata Terkecil (BNT0.05) pada selang kepercayaan 95% dengan rumus sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993):

BNT

α

=(t

α

)* (Sd)

Sd = √2S2/r

Diji = Xi-Xj

Dimana: Xi dan Xj adalah rataan perlakukan ke-i dan ke-j

Dij = perbedaan /selisih rata-rata antar perlakukan ke-i dan ke -j sd = galat baku beda rata-rata

r = banyaknya ulangan yang sama untuk kedua perlakukan S2 = kuadrat tengah galat

t

α

= t tabel pada taraf nyata

α

/2 dengan n (derajat bebas)

Penggunaan rancangan Rancangan Acak Kelompok dalam penelitian ini adalah pengelompokan berdasarkan waktu pengamatan (bulan). Perlakuan kedalaman berdasarkan lokasi perairan di Pramuka yang lebih jauh dari daratan (Teluk Jakarta) dan perairan Pulau Pari yang lebih dekat dengan daratan (Teluk Jakarta) sebagai daerah yang lebih banyak mendapat masukan nutrien.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji F untuk melihat pengaruh waktu dan kedalaman lokasi terhadap laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup spons. Analisis lebih lanjut dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk rancangan kelompok lengkap teracak dilakukan jika hasil uji F berbeda nyata. Jika D<BNT berarti selisih rata-rata antar perlakuan tidak berbeda nyata, dan bila D>BNT maka selisih rata-rata antar perlakuan berbeda nyata.

Kualitas Air

Perbedaan kualitas air pada kedua lokasi penelitian diuji dengan uji t berpasangan ditentukan dengan membandingkan parameter kualitas air Pulau Pramuka dan Pulau Pari. Rumus uji t berpasangan (Walpole 1995):

Dimana : t = uji berpasangan x1 = rata- rata populasi 1 x2 = rata-rata populasi 2 d0 = µ1- µ2

µ = nilai tengah populasi s2p = ragam populasi gabungan

Keterkaitan Laju Pertumbuhan Spons dan Kualitas Air

Untuk melihat keterkaitan antara laju pertumbuhan spons dengan kualitas air, digunakan analisis statistik multivariat yang berdasarkan Analisis Komponen

Utama atau Principal Component Analysis; PCA (Legendre dan Legendre 1983;

Ludwig dan Reynolds 1988).

Hasil dan Pembahasan

Kualitas Lingkungan Perairan

Parameter lingkungan perairan yang diamati meliputi suhu, kecerahan, kecepatan arus permukaan, salinitas, derajat keasaman (pH), padatan tersuspensi total (TSS), kelarutan oksigen (DO), fosfat dan nitrat. Pengukuran kualitas air dilakukan selama satu tahun mulai bulan Juli 2007 sampai Juli 2008. Secara umum hasil pengukuran kualitas perairan (suhu, kecerahan, kecepatan arus permukaan,TSS, DO, fosfat dan nitrat) memperlihatkan adanya variasi

t = (X1 –X2 )-d0 Sp√(1/n1) + (1/n2) S2p = (n1-1)S21+(n2-1)S22

antara lokasi penelitian (Tabel 7). Hasil uji t berpasangan terhadap parameter fisika-kimia lingkungan (kecerahan, kecepatan arus, TSS, DO, nitrat, dan fosfat) antara lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) dan tidak berbeda nyata antara kedalaman perairan (P>0.05). Nilai suhu, salinitas dan pH tidak menunjukkan perbedaan nyata antara lokasi dan kedalaman perairan

(P>0.05). Sedangkan nilai TOM menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

antara lokasi dan kedalaman perairan Pulau Pari dan Pramuka. Hasil pengukuran parameter kualitas air menunjukkan nilai yang masih berada di bawah ambang batas baku mutu, kecuali konsentrasi nitrat.

Tabel 7 Rata-rata hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian di perairan Pulau Pari dan Pulau Pramuka.

Parameter Satuan Lokasi

Baku Mutu

Pari 7m Pari 15m Pramuka 7m Pramuka 15m

Suhu oC 29.5 ±0.7 29.2 ±0.7 29.5 ±0.8 29.1 ±0.9 28-30 Salinitas 32.2 ±1.1 32.3 ±1.1 32.8 ±0.9 32.8 ±0.9 33-34 Kecerahan m 6.58 ±0.57 7.23 ±1.25 7.00 ±0.00 11.42 ±0.96 >5 Arus permukaan m/det 0.48 ±0.25 0.35 ±0.23 - pH 8.00 - 8.14 8.00 - 8.15 8.00 - 8.13 8.00 - 8.13 7-8.5 TSS mg/l 5.92 ±1.80 6.00 ±1.73 4.54 ±1.39 4.62 ±1.32 <20 TOM mg/l 18.09 ±2.64 20.14 ±2.55 12.64 ±1.74 14.29 ±1.98 - DO mg/l 6.25 ±0.63 6.22 ±0.63 7.01 ±0.79 6.84 ±0.85 >5 Fosfat mg/l 0.010 ±0.003 0.011 ±0.003 0.008±0.002 0.008±0.002 <0.015 Nitrat mg/l 0.084 ±0.014 0.085 ±0.014 0.076±0.015 0.077±0.015 <0.008

Keterangan: *) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004

Perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu berada di bawah pengaruh angin musim (monsoon) yang menurut Wyrtki (1961) dapat dibagi menjadi:

a. Musim Barat berlangsung dari bulan Desember hingga Februari, merupakan musim hujan;

b. Musim peralihan ke Musim Timur atau Musim peralihan I dari bulan Maret hingga Mei;

c. Musim Timur berlangsung bulan Juni hingga Agustus merupakan musim kemarau;

d. Musim peralihan ke Musim Barat atau Musim Peralihan II berlangsung mulai bulan September hingga Nopember.

Suhu

Pengukuran suhu pada kedalaman 7m dan 15m di perairan Pulau Pramuka dan Pari menunjukkan nilai yang tidak bervariasi. Hasil penelitian

menyatakan rata-rata suhu antara kedalaman lokasi berkisar antara 29.1±0.9oC sampai 29.5±0.7oC. Rata-rata suhu yang tinggi terjadi pada musim timur dengan nilai rata-rata 30.1±0.3oC dan suhu yang rendah pada musim barat dengan nilai 28.5±0.5oC (Lampiran 1). Hasil uji t berpasangan menunjukkan bahwa nilai suhu antara lokasi dan kedalaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05)(Lampiran 2). Berdasarkan hasil pengamatan suhu terendah terjadi pada musim barat dan suhu tertinggi terjadi pada musim timur. Variasi bulanan dengan suhu terendah terjadi pada musim barat dikarenakan curah hujan yang tinggi, angin yang kencang dan awan yang tebal. Penelitian Rudi (2006) menyatakan nilai suhu terendah terjadi pada musim barat dan nilai suhu tertinggi pada musim timur dan Nontji (1984) suhu rendah pada musim barat.

Suhu perairan yang tidak bervariasi diantara kedalaman lokasi karena masih dalam lapisan perairan yang homogen. Ilahude (1999) menyatakan lapisan homogen suhu air umumnya sama mulai dari permukaan laut hingga kedalaman 100m. Keadaan yang homogen dicapai karena adanya pengaruh kegiatan angin, gelombang dan turbelensi yang mengaduk massa air di lapisan ini sehingga suhu hampir homogen. Di daerah tropis suhu lapisan homogen berkisar di sekitar 29 oC. Wyrtki (1961) menyatakan lapisan homogen dimulai

dari permukaan hingga kedalaman 50-100m dengan nilai suhu berkisar 26-30 oC.

Salinitas

Hasil pengukuran terhadap salinitas di lokasi penelitian memperlihatkan kisaran nilai yang tidak terlalu besar yaitu antara 30.0-34.0‰ (Lampiran 3). Salinitas yang tinggi terjadi pada bulan September-Nopember (musim peralihan II) dengan nilai rata-rata 33.5±0.3‰ dan salinitas yang rendah pada bulan Desember-Februari (musim barat ) dengan nilai 31.2±0.8‰. Rata-rata nilai salinitas di perairan Pramuka lebih tinggi dari pada perairan Pulau Pari. Hasil uji t berpasangan menunjukkan nilai salinitas antara lokasi penelitian dan antara kedalaman perairan Pulau Pramuka dan Pulau Pari tidak menunjukan perbedaan yang nyata (p> 0.05)(Lampiran 4).

Berdasarkan hasil pengamatan salinitas nilai yang rendah terjadi pada musim barat (Januari-Februari) dan nilai salinitas yang tinggi terjadi pada peralihan II (September-Nopember). Hasil penelitian salinitas terlihat bahwa salinitas perairan Pulau Pari lebih rendah dari pada Pulau Pramuka. Hal ini karena lokasi spons di perairan Pulau Pari yang lebih dekat dengan daratan

sehingga lebih banyak mendapat masukan air tawar dari muara sungai di Teluk Jakarta dan Tangerang. Salinitas terendah terjadi pada bulan Januari karena pada waktu ini adalah musim penghujan. Penelitian Rudi (2006) dan Nontji (1984) salinitas lebih rendah terjadi pada musim barat (musim hujan). Spons hidup pada salinitas 28.00 – 34.00‰ (Voogd 2005). Salinitas maksimum di Teluk Jakarta hampir selalu dijumpai pada bulan Nopember, selain disebabkan karena pengaruh meterologi setempat, juga disebabkan karena pengaruh air yang bersalinitas tinggi dari Laut Flores yang dibawa oleh arus musim timur (Juni- Agustus) baru mencapai mencapai Teluk Jakarta bulan Nopember (Nontji, 1984). Wyrtki (1961) menyatakan setiap tahun Laut Jawa mengalami perubahan dua kali perubahan musim yang nyata. Pada musim timur arus utama di Laut Jawa bergerak ke barat membawa air dengan salinitas tinggi yang masuk dari Laut Flores.

Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi yang dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi. Hasil penelitian menyatakan kecerahan antara lokasi penelitian berkisar antara 5.50m sampai 13.50m. Rata-rata kecerahan yang tinggi terjadi pada peralihan II dengan nilai rata-rata 8.96±2.73m dan kecerahan yang rendah pada musim barat dengan nilai 7.17±1.85m. Rata-rata nilai kecerahan di perairan Pramuka lebih tinggi dari pada perairan Pulau Pari (Lampiran 5). Hasil uji t berpasangan menunjukkan nilai kecerahan antara lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)(Lampiran 6).

Berdasarkan hasil pengamatan kecerahan yang rendah terjadi pada musim barat (Desember-Februari) dan kecerahan yang tinggi terjadi pada musim peralihan I (Maret-Mei) dan Peralihan II (September-Nopember). Nontji (1984) mengemukakan bahwa perairan Teluk Jakarta bagian barat pada musim peralihan biasanya tenang dan kecerahan maksimum, sedangkan pada musim barat dengan angin dan ombak besar dengan kecerahan biasanya menurun.

Arus Permukaan

Hasil penelitian menyatakan rata-rata kecepatan arus permukaan yang tinggi terjadi pada bulan Desember- Februari (musim barat) dengan nilai rata-rata 0.80±0.11 m/det dan kecepatan arus yang rendah pada bulan Maret-Mei

(musim peralihan I) dengan nilai 0.21±0.07 m/det. Rata-rata nilai kecepatan arus permukaan di perairan Pramuka lebih rendah dengan nilai 0.36 ±0.23 m/det daripada perairan Pulau Pari dengan nilai 0.48 ±0.25 m/det (Lampiran 7). Hasil uji t berpasangan menunjukkan nilai kecepatan arus permukaan antara lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05 (Lampiran 8).

Berdasarkan hasil pengamatan rata-rata kecepatan arus permukaan yang rendah terjadi pada musim peralihan I (Maret-Mei) dan peralihan II (September- Nopember) dan kecepatan arus yang tinggi terjadi pada musim barat (Desember-Januari). Hasil penelitian rata-rata kecepatan arus permukaan terlihat bahwa kecepatan arus Pramuka lebih rendah dari pada Pulau Pari. Hal ini karena lokasi spons di Pramuka terletak pada perairan Gosong yang lebih terlindung dari perairan Pulau Pari yang lebih terbuka. Pardjaman (1977) arus laut pada Teluk Jakarta pada musim barat berkecepatan rata-rata 0.75 m/det dengan arah barat ke tenggara sedangkan pada musim timur terjadi sebaliknya dengan arus yang lebih lemah. Penelitian Rudi (2006) di perairan Pulau Lancang, Payung dan Pari kecepatan arus berkisar antara 0.18-0.82 m/det, musim barat arus bergerak dari barat laut menuju ke bagian tenggara. Sebaliknya selama musim timur arus laut secara umum dari timur menuju bagian

Dokumen terkait