• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Kajian Pustaka

2.2 Landasan Teori

2.2.4 Aktor kebijakan publik

2.2.4.2 Manfaat kebijakan publik

Menurut Dye dan Anderson dalam Subarsono (2005 : 4), studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting yaitu :

1. Pengembangan ilmu pengetahuan

Dalam konteks ini, ilmuwan dapat menempatkan kebijakan publik sebagai variabel terpengaruh (dependen variable) sehingga berusaha menentukan variabel pengaruhnya (independen variable). Studi ini berusaha mencari variable-variable yang dapat mempengaruhi isi dari sebuah kebijakan publik.

2. Membantu para praktisi dalam memecahkan masalah-masalah publik

Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi akan memiliki dasar teoritis tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang baik dan memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan publik. Sehingga ke depan akan lahir kebijakan publik yang lebih berkualitas yang dapat menopang tujuan pembangunan.

3. Berguna untuk tujuan politik

Suatu kebijakan publik yang dibuat melalui proses yang benar dengan dukungan teori yang kuat memiliki posisi yang kuat terhadap kritik dari lawan-lawan politik. Kebijakan publik tersebut dapat meyakinkan kepada lawan-lawan politik yang tadinya kurang setuju. Kebijakan publik seperti itu tidak akan mudah dicabut hanya karena alasan kepentingan sesaat dari lawan-lawan politik.

2.2.5. Tujuan Kebijakan

Ada beberapa tujuan kebijakan menurut Hoogerwef dalam Soenarko (2000:82) yaitu :

a. Memelihara ketertiban umum (Negara sebagai stabilisator)

b. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal (Negara sebagai perangsang, simulator)

c. Menyesuaikan berbagai aktivitas (Negara sebagai koordinator)

d. Memperuntukkan dan membagi berbagi materi (Negara sebagai pembagi, alokator

Tujuan-tujuan yang demikian itu, tentu saja merupakan tujuan antara guna untuk mencapai tujuan akhir. Untuk bangsa dan negara Indonesia, tujuan kebijaksanaan itu adalah :

a. Memajukan kesejahteraan umum b. Mencerdaskan kehidupan bangsa c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia

Sedangkan untuk tujuan akhirnya (goal) adalah : masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2.2.6. Evaluasi Kebijakan

Menurut Winarno (2004 : 165), evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai manfaat suatu kebijakan.

Menurut Jones dalam Tangkilisan (2003:25), mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak yang tidak diinginkan.

Menurut Moshoed (2004:91), mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat membuahkan hasil.

Dengan disimpulkan dari pengertian-pengertian diatas bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai apakah suatu kebijakan berhasil mencapai tujuannya dan seberapa besar dampak yang ditimbulkan akibat implementasi kebijakan tersebut.

Didalam evaluasi kebijakan terdapat beberapa tipe evaluasi, salah satunya seperti yang dikemukakan Heath dalam Tangkilisan (2003:27), membedakan tipe evaluasi kebijakan publik atas 3 (tiga) tipe yaitu :

1. Tipe Evaluasi Proses

Dimana evaluasi ini dilakukan, dan perhatiannya pada pernyataan bagaimana program dilaksanakan.

2. Tipe Evaluasi Dampak

Dimana evaluasi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah dicapai program.

3. Tipe Evaluasi Strategi

Dimana evaluasi ini bertujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana program dapat dilaksanakan secara efektif, untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat dibanding dengan program-program lain yang ditunjukkan pada masalah yang sama sesuai dengan topik mengenai kebijakan publik.

2.2.7. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi menurut Hartono dalam Alisjahbana (2004:45), adalah proses yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan Negara diwujudkan sebagai “outcome” hasil akhir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2002:65), menyatakan bahwa implementasi yaitu memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian pada suatu kebijakan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses yang sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat.

Adapun implementasi kebijakan menurut Islamy (2004:28), dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami “apa yang senyatanya ada dan terjadi” sesudah suatu program yang dirumuskan, yaitu peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan publik, baik itu menyangkut peristiwa-peristiwa.

Menurut Subakti dalam Alisjahbana (2004:28), berdasarkan pada suatu kebijakan terlaksana, terdapat 5 (lima) tahap implementasi kebijakan, yaitu : 1. Menyediakan sumber daya bagi pelaksanaan kebijakan

2. Melaksanakan interpretasi dan penjabaran kebijakan dalam bentuk peraturan melaksanakan dan petunjuk pelaksanaan.

3. Menyusun perencanaan sejumlah langkah kegiatan pelaksanaan menurut waktu, tempat, situasi dan anggaran.

4. Pengorganisasian secara rutin atas personil, anggaran dan sasaran materiil lainnya

5. Memberikan manfaat kepada individu dan masyarakat

Sedangkan menurut Wibawa dan Koryati, Hidayat dalam Tangkilisan (2004:10), mengatakan bahwa implementasi kebijakan yaitu pengejawantahan

keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu undang-undang, namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundangan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses yang sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat.

2.2.7.1. Model-Model Implementasi Kebijakan

Dalam implementasi kebijakan ada beberapa bentuk model implementasi yang dikenal, model ini berguna untuk menyederhanakan sesuatu bentuk dan memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan.

Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2004 : 71) mengemukakan model “Top Down Approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna (perfect implementation) ada 10 (sepuluh) persyaratan, yaitu :

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan / instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan / kendala yang serius.

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia

4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kualitas yang andal.

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan 8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. 9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna

10. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Variable-variable kebijaksanaan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi organisasi formal maupun informal sedangkan komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksananya mencakup antar hubungan didalam lingkungan sistem politik dan dengan kelompok-kelompok sasaran. Akhirnya pusat perhatian pada sikap para pelaksana mengantarkan kita pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program di lapangan.

2.2.7.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Menurut Islamy (2004:107), menjelaskan bahwa kebijaksanaan akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah dan Negara. Dengan demikian kalau mereka tidak bertindak / berbuat sesuai dengan keinginan pemerintah / negara itu, maka kebijaksanaan negara menjadi efektif.

Kebijaksanaan apapun sebenarnya mengandung resiko untuk gagal, Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2004:61) telah membagi pengertian kegagalan kebijaksanaan (policy failure) dalam 2 (dua) kategori yaitu : non implementation (tidak terimplementasi) dan unsuccessful implementation (implementasi tidak berhasil).

Tidak terimplementasi mengandung arti bahwa suatu kebijaksanaan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah sepenuhnya menguasai permasalahan, sehingga implementasi yang efektif sulit tercapai.

Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijaksanaan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (semisal tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan, bencana alam dan sebagainya). Kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.

Menurut Hood dalam Wahab (2004 : 77), bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlakukan suatu sistem satuan administrasi tunggal (unitary administrative sistem) seperti halnya satuan tentara yang besar yang hanya memiliki satuan tanpa kompartementalisasi atau konflik didalamnya.

2.2.7.3. Keberhasilan Implementasi Kebijakan

Menurut Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan (2003:21), menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan tinjau dari 3 (tiga) faktor, yaitu :

1. Perspektif kepatuhan yang mengukur implementasi kebutuhan aparatur pelaksana;

2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan;

3. Implementasi yang berhasil mengarah pada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.

2.2.8. Penataan PKL (Pedagang Kaki Lima) 1. Kebijakan dan Penataan

Kebijakan berarti serangkaian keputusan yang sifatnya mendasar untuk dipergunakan sebagai landasan bertindak dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kebijakan menurut Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 mengatur tentang kawasan, lokasi pedagang, waktu berjualan, jenis barang dagangan dan alat peraga yang digunakan untuk berdagang. Lokasi pedagang kaki lima menurut Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan PKL adalah tempat untuk menjalankan usaha PKL yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang berada di lahan fasilitas umum yang dikuasai oleh Pemda.

Sesuai dengan Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan PKL, bahwa kegiatan pedagang kaki lima merupakan usaha perdagangan sektor informal yang perlu diberdayakan guna menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat. Sehingga perlu dilakukan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima sesuai yang diatur pada pasal 3 yang meliputi waktu kegiatan usaha PKL, mengatur jumlah PKL, menetapkan jenis barang yang diperdagangkan dan mengatur alat peraga PKL.

Penataan dalam kamu besar Bahasa Indonesia (2001:1147), adalah sebagai pola tata perencanaan yang terorganisir untuk sebuah kota dalam membangun misalnya jalan, taman, tempat usaha, dan tempat tinggal agar kota tampak apik, nyaman, indah, lingkungan sehat dan terarah pada masa depan.

Dengan demikian penataan juga mengandung makna sebagai pembaharuan yaitu melakukan usaha untuk membuat sesuatu menjadi lebih sesuai atau cocok dengan kebutuhan, menjadi lebih baik dan menjadi lebih bermanfaat.

2. Penataan Pedagang Kaki Lima

Dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 kebijakan penataan telah diatur pada pasal 2 ayat 3 dimana penetapan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL diatur dengan memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi, ketertiban dan kebersihan lingkungan sekitarnya, dalam

Pemerintah Kota Surabaya mengarah kepada terciptanya suasana kota yang lebih tertib, rapi, indah dan nyaman. Agar keberadaannya tidak mengganggu kenyamanan kota maka dalam menangani PKL perlu dicari solusi yang baik dan bijaksana, karena penertiban tanpa memberi jalan keluar dengan memberi tempat yang memenuhi syarat, sama saja akan mematikan tumbuhnya ekonomi kerakyatan.

Penataan menurut Supriyanto (1996:121), merupakan serangkaian kegiatan dalam rangka melaksanakan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi pembangunan fisik kota, kawasan atau desa berdasarkan rencana tata ruang yang ada sehingga tercapai efisiensi dalam pemanfaatan sumber dana, tenaga dan lahan atau ruang, dan atau juga dapat meningkatkan produktifitas, pemerataan dan perluasan kesempatan kerja, peningkatan kondisi sosial ekonomi, pelestarian budaya dan sejarah serta perbaikan lingkungan hidup.

3. Langkah Kebijakan Penataan

Menurut Simanjuntak (Prisma No. 3, 1985:51), aktivitas program kebijakan penataan PKL dapat dikelompokkan ke dalam 2 pendekatan, yaitu :

1. Mendorong sektor yang ada menjadi formal, PKL diorientasikan nantinya dapat mendirikan toko yang permanen tentunya didirikan pada tempat yang memang khusus untuk menampung pedagang formal. Misalnya pasar pusat perbelanjaan modern dan dalam jangka waktu tertentu diharapkan usaha PKL menjadi lebih maju dan bersedia

serta mampu untuk pindah ke pasar atau toko sesuai dengan jenis barang dagangannya.

2. Dilakukan relokasi, yaitu penempatan PKL di lokasi baru yang dianggap penting karena PKL sering dianggap menimbulkan kerugian sosial dan kemacetan jalan. Namun penempatan ini perlu dipertimbangkan faktor konsumen dan kemampuan penyesuaian lokasi baru tersebut. Di satu pihak perlu diperlakukan yang manusiawi oleh para petugas, akan tetapi di pihak lain yang tidak kalah penting adalah konsistensi pengaturan yang perlu diterapkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas-aktivitas program kebijakan penataan PKL dapat dilakukan dengan mendorong sektor informal menjadi formal, meningkatkan kemampuan dalam usaha sektor informal, serta menyediakan lokasi baru bagi para PKL.

2.2.9. Sektor Informal

Menurut Sathuraman dalam Alisjahbana (2003:10), bahwa sektor informal terdiri dari unit usaha kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan dalam usahanya sangat dihadapkan berbagai kendala seperti faktor modal fisik, faktor pengetahuan dan faktor keterampilan.

Pendapat yang dikemukakan oleh Wirosardjono dalam Alisjahbana (2003:13), bahwa sektor informal adalah suatu kondisi nyata dari berbagai kegiatan sejumlah tenaga kerja yang umumnya berpendidikan rendah, tidak

Sedangkan menurut Hidayat dalam Alisjahbana (2003), sektor informal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Kegiatan usahanya tidak terorganisir secara baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor informal.

b. Pada umumnya tidak mempunyai ijin usaha

c. Pola usaha tidak teratur, baik lokasi maupun jam kerja

d. Tidak terkena langsung kebijakan pemerintah untuk membantu ekonomi lemah

e. Unit usaha mudah beralih antar sub sektor f. Berteknologi rendah

g. Skala operasinya kecil karena modal dan perputaran usahanya juga relatif kecil

h. Tidak memerlukan pendidikan formal, karena hanya dibantu pekerja keluarga yang tidak dibayar.

i. Mereka bermodal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi

j. Pada umumnya bekerja sendiri atau hanya dibantu pekerja keluarga yang tidak dibayar

k. Sebagian besar hasil produksi atau jasa mereka hanya dinikmati masyarakat berpenghasilan rendah serta sebagian kecil masyarakat golongan menengah. l.

2.2.10. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL di Kota Surabaya

Peningkatan jumlah PKL yang terjadi di kota-kota besar, seperti Surabaya telah berdampak terganggunya kelancaran lalu lintas, ketertiban dan kebersihan kota serta fungsi prasarana kota. Selain mengganggu berbagai aktivitas kota, PKL yang merupakan usaha perdagangan sektor informal perlu dilakukan penataan untuk menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat dan sekaligus sebagai salah satu pilihan dalam penyediaan barang dagangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan harga yang relative terjangkau.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Kota Surabaya mengeluarkan Peraturan Daerah kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.

Dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 2 menjelaskan tentang : 1. Kegiatan usaha Pedagang kaki Lima dapat dilakukan di daerah;

2. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan, memindahkan dan menghapus lokasi PKL;

3. Penetapan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi, ketertiban dan kebersihan lingkungan sekitarnya;

4. Kepala daerah berwenang melarang penggunaan lahan fasilitas umum tertentu untuk tempat usaha PKL;

Selain itu Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 3 juga menjelaskan bahwa Kepala Daerah berwenang :

1. Menetapkan dan mengatur waktu kegiatan usaha PKL;

2. Menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi PKL; 3. Menetapkan jenis barang yang diperdagangkan;

4. Mengatur alat peraga PKL

Pada dasarnya Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 dibuat untuk mengatur secara umum tentang penataan dan pemberdayaan PKL di semua sudut kota Surabaya. Dalam pelaksanaannya Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 mengatur tentang Penetapan Waktu Kegiatan, Jumlah PKL, Jenis Barang dan Alat Peraga.

Sedangkan ketentuan Tanda Daftar Usaha diatur pada pasal 4 yang berisi :

1. Setiap orang dilarang melakukan usaha PKL pada fasilitas umum yang dikuasai oleh Kepala Daerah tanpa memiliki Tanda Daftar Usaha yang dikeluarkan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk;

2. Untuk memperoleh Tanda Daftar Usaha yang bersangkutan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk; 3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilampiri :

a. Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surabaya;

b. Rekomendasi dari Camat yang wilayah kerjanya meliputi lokasi PKL yang dimohon;

c. Gambar alat peraga PKL yang akan dipergunakan; d. Surat pernyataan yang berisi :

1) Tidak akan memperdagangkan barang illegal;

2) Tidak akan membuat bangunan permanent / semi permanent di lokasi tempat usaha;

3) Mengosongkan / mengembalikan / menyerahkan lokasi PKL kepada Pemerintah Daerah apabila lokasi dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah, tanpa syarat apapun.

4) Tata cara permohonan dan pemberian Tanda Daftar Usaha ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Daerah.

5) Jangka waktu Tanda Daftar Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang

Selain itu juga diatur dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 5 mengenai kewajiban dan larangan pemegang Tanda Daftar usaha PKL, yaitu : 1. Memelihara kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kesehatan

lingkungan tempat usaha;

2. Menempatkan sarana usaha dan menata barang dagangan dengan tertib dan teratur;

3. Menempati sendiri tempat usaha sesuai Tanda Daftar Usaha yang dimiliki; 4. Mengosongkan tempat usaha apabila Pemerintah Daerah mempunyai

kebijakan lain atas lokasi tempat usaha tanpa meminta ganti rugi;

5. Mematuhi ketentuan penggunaan lokasi PKL dan ketentuan usaha PKL yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;

7. Mengosongkan tempat usaha dan tidak meninggalkan alat peraga di luar jam operasional yang telah ditentukan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.

Yang dijelaskan pula dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 6 yang berisi :

1. Mendirikan bangunan permanen / semi permanen di lokasi PKL; 2. Mempergunakan tempat usaha sebagai tempat tinggal;

3. Menjual barang dagangan yang dilarang untuk diperjualbelikan;

4. Melakukan kegiatan usaha di lokasi PKL selain yang telah dinyatakan dalam Tanda Daftar Usaha;

5. Mengalihkan Tanda Daftar Usaha PKL kepada pihak lain dalam bentuk apapun.

Sedangkan pengawasan dan penertiban diatur dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 BAB V pasal 9, yaitu :

1. Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan Peraturan Daerah ini;

2. Dinas Polisi Pamong Praja atau Instansi lain yang mempunyai tugas untuk menegakkan Peraturan Daerah berwenang melaksanakan penertiban atas pelanggaran Peraturan Daerah ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

3. Ketentuan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Daerah.

Sanksi administratif diatur dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 10, yaitu :

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (5), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 dan Pasal 6, Kepala Daerah berwenang memberikan peringatan-peringatan dan atau membongkar sarana usaha atau mengeluarkan barang dagangan yang dipergunakan untuk usaha PKL dari fasilitas umum yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah / lokasi PKL.

2.2.11.Kebersihan Lingkungan

Kebersihan menurut Entjang (1997:100), adalah bersih dan tidak kotor. Yang dimaksud dengan suatu keadaan yang bersih, tidak kotor yakni tidak hanya secara fisik saja, tetapi juga mencakup kesehatan atau sanitasi dalam arti keadaan yang bersih dan terbebas dari pencemaran terhadap lingkungan fisik seperti polusi udara, polusi tanah dan polusi air.

Kebersihan tidak hanya dirasakan dan dilihat secara fisik belaka, namun mencakup kebersihan dalam arti kesehatan. Terhindarnya sampah serta akibat yang ditimbulkannya seperti bau busuk, pemandangan yang kurang baik, tempat bersarang berbagai serangga dan binatang lain yang menyebabkan penyakit.

Menurut Marbun (1994:107-108), dalam melakukan aktivitasnya PKL juga dapat menyebabkan permasalahan kebersihan lingkungan. Selain kebersihan lingkungan yaitu masalah sampah yang biasanya muncul, PKL juga membawa akibat bagi pencemaran lingkungan yaitu :

1. Bau busuk yang mengganggu warga kota yang berada di dekat pembuangan sampah.

2. Mempercepat atau sumber penularan penyakit

3. Tersumbatnya got-got dan aliran sungai yang pada musim penghujan memperbesar bahaya banjir

Dokumen terkait