• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ada ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabihat (mengandung kesamaran makna), tidak dapat difahami secara tekstual, jika difahami secara tekstual, maka akan terjerumus kepada tasybih (penyerupaan Allah Swt dengan makhluk) dan tajsim (penjasmanian wujud Allah Swt). Misalnya ayat:

ىَوَتْسا ِش ْرَعْلا ىَلَع ُنَم ْح َّرلا

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy”. (Qs. Thaha [20]: 5). Jika kita memahami ayat ini secara tekstual, maka kita akan menyamakan Allah Swt dengan seorang manusia yang duduk di atas kursi. Maha Suci Allah Swt dari sifat seperti itu, karena Allah Swt itu:

ُري ِصَبْلا ُاي ِمَّسلا َوُهَو ٌء ْيَش ِهِلْثِمَك َسْيَل

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan

Melihat”. (Qs. Asy-Syura [42]: 11).

Maka dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang semakna dengan ini, para ulama sejak zaman para shahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in, hingga sampai saat ini memahami ayat-ayat

mutasyabihat dengan dua metode:

Metode Pertama: Tafwidh (Menyerahkan maknanya kepada Allah Swt).

Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah:

َع ع ن ْتَلاَق َةَشِئا َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِ َّاللَّ ُلوُس َر َلاَت ُرَخُأَو ِباَتِكْلا ُّمُأ َّنُه ٌتاَمَكْحُم ٌتاَيآ ُهْن ِم َباَتِكْلا َكْيَلَع َل َزْنَأ يِذَّلا َوُه { َت اَم َنوُعِبَّتَيَف ٌغْي َز ْمِهِبوُلُق يِف َنيِذَّلا اَّمَأَف ٌتاَهِباَشَتُم َنوُخِسا َّرلاَو ُ َّاللَّ َّلاِإ ُهَليِوْأَت ُمَلْعَي اَمَو ِهِليِوْأَت َءاَغِتْباَو ِةَنْتِعْلا َءاَغِتْبا ُهْن ِم َهَباَش } ِباَبْلَ ْلأا وُلوُأ َّلاِإ ُرَّكَّذَي اَم َو اَنِ ب َر ِدْنِع ْنِم ٌّلُك ِهِب اَّنَمآ َنوُلوُقَي ِمْلِعْلا يِف َِّاللَّ ُلوُس َر َلاَق ْتَلاَق َنيِذَّلا ْمُتْيَأَر اَذِإ َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص َنيِذَّلا َكِئَلوُأَف ُهْنِم َهَباَشَت اَم َنوُعِبَّتَي ْمُهو ُرَذْحاَف ُ َّاللَّ ىَّمَس

Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw membacakan ayat: “ Dia-lah yang menurunkan

Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 7). Rasulullah Saw bersabda, “ Apabila kamu melihat orang-orang yang memperturutkan (membahas) ayat-ayat mutasyabihat, maka mereka itulah yang disebut Allah (orang yang sesat), maka jauhilah mereka”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

74 Hadits Kedua:

نم مهل رثكي نأ للاخ ثلاث لاإ يتمأ ىلع فاخأ لا : لوقي ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر امس هنأ يرعشلأا كلام يبأ نع الله لاإ هليوأت ملعي سيلو هليوأت يغتبي نميملا ذخأي بتكلا مهل حتعي نأو اولتتقيف نودساحتيف لاملا

Dari Abu Malik al-Asy’ari, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Tidak aku khawatirkan

terhadap ummatku kecuali tiga kerusakan: harta mereka menjadi banyak, lalu mereka saling dengki. Kemdian mereka saling membunuh. Dan dibukakan bagi mereka kitab-kitab, seorang mu’min mencari takwilnya, tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah Swt”. (HR.

ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).

Pendapat Imam Malik bin Anas (w.179H).

(} ِش ْرَعْلا ىَلَع ىَوَتْسا َّمُث{ :ىلاعت هلوق نع لئس امل ،الله همحر كلام ماملإا لاق 6

مولعم ءاوتسلاا :لاقف ؟ ىوتسا فيك )

.ملسو هيلع الله ىلص يبنلا ىلإ اعوفرمو افوقوم اهنع الله يضر ةملس مأ نع باوجلا اذه ىوريو .لوهجم فيكلاو

Imam Malik berkata ketika ditanya tentang firman Allah Swt, “Kemudian Allah Swt bersemayam

di atas ‘Arsy”, bagaimanakah Allah Swt bersemayam?”. Imam Malik menjawab, “Makna kata

bersemayam, semua orang mengetahuinya. Bagaimana Allah Swt bersemayam, tidak ada yang mengetahuinya”. Jawaban yang sama juga diriwayatkan dari Ummu Salamah (ketika ia ditanya tentang ayat ini), secara mauquf dan marfu’ kepada Rasulullah Saw109.

Pendapat Imam at-Tirmidzi (w.279H):

َه يِف ُتاَياَو ِ رلا ُتُبْثَت ْدَق اوُلاَق اَيْنُّدلا ِءاَمَّسلا ىَلِإ ٍةَلْيَل َّلُك ىَلاَعَتَو َك َراَبَت ِ ب َّرلا ِلو ُزُن َو اَذَكَه َفْيَك ُلاَقُي َلا َو ُمَّهَوَتُي َلا َو اَهِب ُنَمْيُي َو اَذ

َِّاللَّ ِدْبَع َو َةَنْيَيُع ِنْب َناَيْعُس َو ٍكِلاَم ْنَع َيِوُر ْن ِم ِمْلِعْلا ِلْهَأ ُل ْوَق اَذَكَهَو ٍفْيَك َلاِب اَهو ُّرِمَأ ِثيِداَحَ ْلأا ِهِذَه يِف اوُلاَق ْمُهَّنَأ ِكَراَبُمْلا ِنْب

ِةَعاَمَجْلاَو ِةَّنُّسلا ِلْهَأ

Tentang turunnya Allah Swt setiap malam ke langit dunia, mereka (para ulama) berkata bahwa riwayat-riwayat tentang ini shahih dan kuat. Riwayat-riwayat itu diimani, tidak diimajinasikan, tidak pula dikatakan kaifa (bagaimana model atau bentuknya?). Demikian diriwayatkan dari Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah dan Abdullah bin al-Mubarak. Mereka katakan tentang hadits-hadits seperti ini, “Berlakukanlah hadits-hadits-hadits-hadits itu tanpa kaif (seperti apa?)”. Demikianlah

pendapat ulama dari kalangan Ahlussunnah waljama’ah110.

109 Ibnu Abi al-‘Izz, Syarh ath-Thahawiyyah fi al-‘Aqidah as-Salafiyyah, juz.I (Wakalah ath-Thiba’ah wa at-Tarjamah fi ar-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ wa ad-Da’wah wa al-Irsyad), hal.183.

75 ا ُرْمَأ ِهيِف ُرَكْذُي اَم اَذَه ُلْث ِم ٌةَريِثَك ٌتاَياَو ِر َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِ يِبَّنلا ْنَع َيِوُر ْدَقَو اَم َو ِمَدَقْلا ُرْكِذَو ْمُهَّب َر َن ْو َرَي َساَّنلا َّنَأ ِةَي ْؤ ُّرل َأ َدْنِع اَذَه يِف ُبَهْذَمْلاَو َءاَيْشَ ْلأا ِهِذَه َهَبْشَأ َةَنْيَيُع ِنْباَو ِكَراَبُمْلا ِنْباَو ٍسَنَأ ِنْب ِكِلاَمَو ِ ي ِر ْوَّثلا َناَيْعُس ِلْثِم ِةَّمِئَ ْلأا ْنِم ِمْلِعْلا ِلْه َلاَو اَهِب ُنِمْيُنَو ُثيِداَحَ ْلأا ِهِذَه ىَو ْرُت اوُلاَق َّمُث َءاَيْشَ ْلأا ِهِذَه ا ْو َو َر ْمُهَّنَأ ْمِه ِرْيَغَو ٍايِك َوَو َقُي ِثيِدَحْلا ُلْهَأ ُهَراَتْخا يِذَّلا اَذَهَو َفْيَك ُلا َذَه َو َفْيَك ُلاَقُي َلا َو ُمَّهَوَتُت َلا َو ُرَّسَعُت َلا َو اَهِب ُنَمْيُيَو ْتَءاَج اَمَك ُءاَيْشَ ْلأا ِهِذَه ىَو ْرُت ْنَأ ِهْيَلِإ اوُبَهَذَو ُهو ُراَتْخا يِذَّلا ِمْلِعْلا ِلْهَأ ُرْمَأ ا

Diriwayatkan dari Rasulullah Saw banyak riwayat seperti ini (mutasyabihat), di dalamnya disebutkan tentang ru’yah (melihat), bahwa manusia melihat Rabb mereka, tentang kaki dan seperti itu. Mazhab ulama tentang masalah ini dari para imam seperti Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Malik bin Anas, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ibnu ‘Uyainah, Imam Waki’ dan para imam lainnya, bahwa mereka meriwayatkan hadits-hadits seperti ini, kemudian mereka berkata, “Hadits-hadits seperti ini diriwayatkan, kita mengimaninya, tidak dikatakan ‘bagaimana?”. Inilah pendapat yang dipilih para ahli hadits, bahwa hadits-hadits seperti ini diriwayatkan seperti apa adanya, diimani, tidak dijelaskan, tidak pula dibayang-bayangkan, tidak dikatakan ‘bagaimana?’. Inilah pendapat para ulama yang mereka pilih dan mereka pegang111.

Pendapat Imam Ibnu ash-Sholah (w.643H).

ةمئأ اعد اهيلإو اهتاداقو ءاهقعلا ةمئأ راتخا اهايإو اهتاداسو ةملأا ردص ىضم ةقيرطلا هذه ىلعو حلاصلا نبا ماملإا لاقو ىهتنا اهابأيو اهنع فدصي انباحصأ نم نيملكتملا نم دحأ لاو هملاعأو ثيدحلا

Imam Ibnu ash-Sholah berkata, “Berdasarkan metode ini (tafwidh: menyerahkan maknanya kepada Allah Swt), para ulama dan pembesar ummat Islam. Pendapat ini pula yang dipilih oleh para imam ahli Fiqh. Kepada pendapat ini pula seruan para imam ahli hadits dan para tokohnya. Tidak seorang pun dari ahli Ilmu Kalam yang memalingkan diri darinya dan menolaknya. Selesai112.

Pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w.852H).

فلسلا روهمج مهو هيبشتلاو هيعيكلا نع ىلاعت الله اهزنم لامجلإا قيرط ىلع هب انميم درو ام ىلع هارجا نم مهنمو

Sebagian ulama membiarkan teks-teks tersebut sebagaimana apa adanya, mengimaninya dengan cara global, mensucikan Allah Swt dari kaif (cara) dan mensucikan Allah Swt dari tasybih

(penyamaan dengan makhluk), mereka adalah mayoritas kalangan Salaf113.

Metode Kedua: Ta’wil.

111 Ibid., juz.IX, hal.116.

112 Mar’i bin Yusuf al-Karami al-Maqdisi, Aqawil ats-Tsiqat fi Ta’wil al-Asma’ wa ash-Shifat wa al-Ayat

al-Muhkamat wa al-Musytabihat, juz.I (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1406H), hal.66.

113 Al-Hafizh Ibnu Hajar ‘Asqalani, Fath Bari Syarh Shahih Bukhari, juz.III, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379H), hal.30.

76

Penjelasan makna Ta’wil disebutkan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani,

برعلا ملاك يف لمعتسم قيلي هجو ىلع هلوأ نم مهنمو

Ada diantara mereka yang menta’wilkannya ke pendapat layak yang digunakan dalam bahasa Arab114.

Contoh-Contoh Ta’wil: Ta’wil Abdullah bin Abbas. Ayat Mutasyabihat:

اَذَه ْمِهِم ْوَي َءاَقِل اوُسَن اَمَك ْمُهاَسْنَن َم ْوَيْلاَف

“Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan

pertemuan mereka dengan hari ini”. (Qs. Al-A’raf [7]: 51).

Ayat ini tidak dapat difahami secara tekstual, karena tidak mungkin Allah Swt memiliki sifat lupa. Sementara dalam ayat lain disebutkan,

اًّيِسَن َكُّب َر َناَك اَم َو

“Dan tidaklah Tuhanmu lupa”. (Qs. Maryam [19]: 64).

Maka untuk menjelaskan ini, Abdullah bin Abbas melakukan ta’wil terhadap ayat mutasyabihat ini:

Ta’wil Pertama:

عي نأ اوكرت امك ،ةمحرلا نم مهكرتن :لاق ، "اذه مهموي ءاقل اوسن امك مهاسنن مويلاف":سابع نبا نع .اذه مهموي ءاقلل اولم

Dari Ibnu Abbas, ayat, “Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana

mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini”. Ibnu Abbas berkata, (maknanya), “Kami

tinggalkan mereka dari rahmat, sebagaimana mereka meninggalkan amal untuk pertemuan pada hari ini”.

Ta’wil Kedua:

. رشلا نم مهسني ملو ،ريخلا نم الله مهيسن

Allah Swt melupakan mereka dari kebaikan, tapi tidak melupakan mereka dari kejahatan115.

114 Ibid.

115 Imam ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz.XII (Mu’assasah ar-Risalah, 1420H), hal.475.

77 Ayat Mutasyabihat:

لا ىَلِإ َن ْوَعْدُيَو ٍقاَس ْنَع ُفَشْكُي َم ْوَي َنوُعيِطَتْسَي َلاَف ِدوُجُّس

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa”. (Qs. Al-Qalam [68]: 42).

Ayat ini tidak dapat difahami secara tekstual, bagaimana mungkin betis Allah Swt disingkapkan, lalu manusia diperintahkan untuk sujud.

Maka Abdullah bin Abbas menta’wilkan ayat Mutasyabihat ini:

.ةمايقلا موي لوهلا نم اظعملا ديدشلا رملأا وه ) ٍقاَس ْنَع ُفَشْكُي َم ْوَي (:هلوق ،سابع نبا نع

Dari Ibnu Abbas, firman Allah Swt, “Pada hari betis disingkapkan”, adalah: perkara yang berat dan sangat keras karena ketakutan huru-hara pada hari kiamat116.

Ayat Mutasyabihat:

َنوُعِسوُمَل اَّنِإَو ٍدْيَأِب اَهاَنْيَنَب َءاَمَّسلاَو

Secara tekstual, terjemah ayat ini adalah, “Dan langit itu Kami bangun dengan tangan (Kami)

dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”. (Qs. adz-Dzariyat [51]: 47). .ةوقب :لوقي ) ٍدْيَأِب اَهاَنْيَنَب َءاَمَّسلاَو (هلوق ،سابع نبا نع

Ibnu Abbas menta’wilkan ayat mutasyabihat ini, “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan

(kami)”117. Kata ‘tangan’ dita’wilkan dengan kata ‘kekuatan’.

Ta’wil Imam Mujahid:

Allah Swt berfirman,

اَذَه ْمِهِم ْوَي َءاَقِل اوُسَن اَمَك ْمُهاَسْنَن َم ْوَيْلاَف

“Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan

pertemuan mereka dengan hari ini”. (Qs. Al-A’raf [7]: 51).

Imam Mujahid menta’wilkan ayat mutasyabihat ini dengan beberapa ta’wil:

Ta’wil Pertama:

116 Ibid., juz.XXIII, hal.555.

78

.اذه مهموي ءاقل اوكرت امك مهكرتن

“Kami tinggalkan mereka sebagaimana mereka telah meningalkan pertemuan mereka hari ini”.

Ta’wil Kedua:

يف مهكرتن رانلا

“Kami tinggalkan mereka di dalam api neraka”.

Ta’wil Ketiga:

.رانلا يف مهرخين

“Kami akhirkan mereka dalam api neraka”118.

Ta’wil Imam Malik bin Anas (w.179H).