• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Kultur Jaringan Tanaman

2. Media kultur

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan. Murashige dan Skoog memublikasikan formulasi media MS (singkatan dari Murashige dan Skoog) yang sampai sekarang terbukti cocok untuk kultur jaringan banyak tanaman dan banyak digunakan di laboratorium kultur jaringan di seluruh dunia (Yusnita, 2003).

Media kultur dapat berbentuk cair atau padat. Media cair merupakan campuran komponen-komponen zat kimia dengan air suling (Hendaryono dan Wijayani, 1994), sedangkan media berbentuk padat merupakan media cair dengan penambahan pemadat media seperti agar-agar (Yusnita, 2003).

Jaringan yang dikulturkan memerlukan unsur hara makro dan unsur hara mikro dari dalam media tumbuh. Media kultur juga harus mengandung bahan-bahan lain yang berguna untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan sel jaringan yang dikulturkan. Pemisahan eksplan dari tanaman induk menyebabkan perubahan biosintesis di dalam eksplan tersebut, sehingga perlu diberikan unsur hara ke dalam media kultur untuk membantu eksplan supaya dapat tumbuh dan berkembang. Bahan-bahan itu adalah bahan-bahan organik yang meliputi karbohidrat, vitamin, asam amino, serta zat pengatur pertumbuhan (Katuuk, 1989).

a. Air

Air memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengulturan karena 95% dari media kultur terdiri dari air. Air yang digunakan adalah air distilata (akuades) atau air distilata ganda (akuabides). Air ledeng atau air sumur sebaiknya tidak digunakan karena mengandung sejumlah kontaminan (substansi atau mikroorganisme) yang dapat merusak proses perkembangan kultur eksplan. Air suling disimpan dalam kondisi steril dengan tidak memberi peluang pada bakteri untuk hidup dan berkembang (Katuuk, 1989; Yusnita, 2003).

b. Garam-garam anorganik

Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan secara in

vitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan nutrisi tanaman yang ditumbuhkan di tanah. Kebutuhan nutrisi yang berupa unsur makro dan mikro diberikan melalui akar, yaitu dengan menambahkan unsur-unsur tersebut pada medium agar. Unsur makro adalah unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, sedangkan unsur mikro dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit. Fungsi dari unsur-unsur mikro belum diketahui secara pasti, namun ketidakhadiran unsur mikro dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan (Katuuk, 1989).

Unsur-unsur yang termasuk unsur makro antara lain:

1) Nitrogen (N)

Kegunaan nitrogen pada tanaman adalah untuk meningkatkan daya tumbuh tanaman karena unsur N dapat membentuk protein, lemak, klorofil, alkaloid, hormon tanaman, dan asam amino. Kekurangan N akan menyebabkan daun berwarna kuning dan pertumbuhan terganggu. Sebaliknya, terlalu banyak N akan mengakibatkan perkembangan vegetatif lebih besar daripada perkembangan buah (Katuuk, 1989; Hendaryono dan Wijayani, 1994).

2) Fosfor (P)

Fosfor dibutuhkan tanaman untuk pembentukan karbohidrat dengan cara mengikat fosfat. Terlalu banyak fosfor dalam media akan menghambat pertumbuhan eksplan karena adanya persaingan penyerapan

unsur lainnya seperti seng, besi, dan tembaga (Katuuk, 1989; Hendaryono dan Wijayani, 1994; Santoso dan Nursandi, 2002).

3) Kalium (K)

Kalium berfungsi memperkuat tubuh tanaman karena kalium dapat menguatkan serabut-serabut akar sehingga daun, bunga, dan buah tidak mudah gugur. Di samping itu, kalium juga berfungsi dalam pembelahan sel, memperlancar metabolisme, dan mempengaruhi penyerapan makanan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

4) Kalsium (Ca)

Kalsium terdapat dalam batang dan daun tanaman. Kalsium bertugas dalam merangsang pembentukan bulu-bulu akar, mengeraskan batang, dan merangsang pembentukan biji karena kalsium bersama-sama dengan magnesium akan memproduksi cadangan makanan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

5) Magnesium (Mg)

Magnesium merupakan elemen utama dalam molekul klorofil. Penambahan magnesium dalam tanaman akan meningkatkan kandungan fosfat dalam tanaman. Fosfat digunakan sebagai bahan mentah dalam pembentukan sejumlah protein yang akan menyempurnakan pertumbuhan daun dan membentuk karbohidrat, lemak, serta minyak-minyak (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

6) Sulfur (S)

Sulfur merupakan unsur yang penting untuk pembentukan beberapa

jenis protein, seperti asam amino dan vitamin B1. Sulfur juga berperan

dalam pembentukan bintil-bintil akar dan membantu pembentukan anakan sehingga pertumbuhan dan ketahanan tanaman terjamin (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Unsur-unsur yang termasuk unsur mikro antara lain:

1) Besi (Fe)

Besi dibutuhkan lebih banyak daripada unsur mikro lainnya. Dalam

media kultur, besi diberikan dalam bentuk FeSO4 dan dicampurkan

terlebih dahulu dengan garam ethylene diamine tetraasetic acid (EDTA).

Besi tidak boleh dicampurkan langsung ke dalam media karena besi bersifat tidak larut dalam air sehingga dapat menimbulkan endapan yang menyebabkan besi tidak dapat digunakan oleh jaringan atau kultur. Cara

untuk mengatasi hal ini adalah dengan menambahkan chelating agent yang

akan membungkus ion Fe sehingga dapat bercampur rata dengan larutan (Katuuk, 1989; Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Pemberian besi dalam media kultur jaringan adalah sebagai penyangga kestabilan pH media selama digunakan untuk menumbuhkan jaringan tanaman. Pada tanaman, besi berfungsi dalam pernafasan dan pembentukan hijau daun (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

2) Tembaga (Cu)

Tembaga berperan sebagai bagian dari enzim, ikut ambil bagian dalam proses fotosintesis dan pembentukan klorofil, ikut pula dalam aktivitas reduksi nitrit (Santoso dan Nursandi, 2002).

3) Mangan (Mn)

Mangan berperan sebagai aktivator enzim dengan bertindak sebagai perantara, pembentuk klorofil, dan aktif dalam fotosintesis, metabolisme protein serta pembentukan vitamin C (Santoso dan Nursandi, 2002).

4) Seng (Zn)

Seng adalah unsur yang berperan penting dalam pembentukan protoplas. Tanaman yang cukup seng mampu memproduksi auksin IAA (indole asetic acid) endogenus, sehingga tidak memerlukan penambahan auksin sintetik dalam media (Katuuk, 1989).

5) Boron (B)

Boron berperan dalam metabolisme karbohidrat. Kekurangan boron pada tanaman tertentu akan mengakibatkan kerusakan jaringan, sebaliknya terlalu banyak boron akan mengakibatkan tanaman mati. Media kultur yang kekurangan boron akan menyebabkan sintesis sitokinin dalam media terganggu (Katuuk, 1989; Santoso dan Nursandi, 2002).

6) Molibdenum (Mo)

Molibdenum berguna dalam proses pengikatan nitrogen dari atmosfer menjadi nitrat dengan bantuan bakteri pengikat nitrogen. Selain itu, molibdenum berperan dalam pembentukan klorofil. Bila molibdenum

diberikan berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan tanaman (Katuuk, 1989).

7) Kobalt (Co)

Kobalt berguna untuk mengikat nitrogen. Dalam kultur jaringan, kobalt digunakan untuk pembentukan asam inti (Katuuk, 1989).

8) Iodium (I)

Iodium ditambahkan dalam media sebagai KI. Unsur iodium tidak terlalu diperlukan dalam media namun sering juga digunakan. Beberapa asam amino juga mengandung iodium (Katuuk, 1989).

Unsur-unsur makro dan mikro diberikan dalam bentuk garamnya supaya lebih mudah larut dalam air (Yusnita, 2003). Unsur-unsur makro biasanya diberikan dalam bentuk NH4NO3, KNO3, CaCl2.2H20, MgSO4.7H2O

dan KH2PO4. Sedangkan unsur-unsur mikro biasa diberikan dalam bentuk

MnSO4.4H2O, ZnSO4.4H2O, H3BO3, KI, NaMo4.2H2O, CuSO4.5H2O dan

CoCl2.6H2O (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Media tumbuh pada kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya. Macam-macam media kultur jaringan telah ditemukan sehingga jumlahnya cukup banyak. Media tumbuh untuk eksplan berisi kualitatif komponen bahan media yang hampir sama, hanya agak berbeda dalam besarnya kadar untuk tiap-tiap senyawa. Medium yang biasa digunakan untuk budidaya tanaman

berkayu adalah medium standar WPM (Woody Plant Medium). Kesulitan yang

phenolic compound’ sehingga kalus atau eksplan menjadi berwarna coklat

yang akhirnya tidak tumbuh. Hal ini disebut ‘browning’ (Hendaryono dan

Wijayani, 1994).

c. Vitamin dan Myo-inositol

Vitamin merupakan komponen media yang berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus. Vitamin yang sering digunakan dari kelompok vitamin B,

yaitu tiamin-HCl (vitamin B1), piridoksin-HCl (vitamin B6), asam nikotinat,

dan riboflavin (vitamin B2). Tiamin adalah vitamin yang terpenting untuk

hampir semua kultur jaringan tanaman. Tiamin berfungsi untuk mempercepat pembelahan sel pada meristem akar, juga berperan sebagai koenzim dalam reaksi yang menghasilkan energi dari karbohidrat dan memindahkan energi.

Fungsi dari vitamin B6 adalah sebagai ko-enzim yang membantu reaksi kimia

dalam proses metabolisme (Katuuk, 1989). Asam nikotinat juga penting dalam reaksi-reaksi enzimatik, di samping berperan sebagai prekursor dari beberapa alkaloid. Vitamin C, seperti asam sitrat dan asam askorbat, kadang-kadang digunakan sebagai antioksidan untuk mencegah atau mengurangi pencoklatan atau penghitaman pada permukaan irisan jaringan eksplan (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Yusnita, 2003). Vitamin E berperan untuk memperkuat pembentukan sel-sel kalus pada tanaman tertentu (Katuuk, 1989).

Myo-inositol merupakan heksitol dan sering digunakan sebagai salah satu komponen media yang penting karena terbukti merangsang pertumbuhan jaringan yang dikulturkan dan membantu proses diferensiasi. Bila myo-inositol diberikan bersama dengan auksin, kinetin, dan vitamin, dapat

mendorong pertumbuhan jaringan kalus (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Yusnita, 2003).

d. Asam amino

Asam-asam amino berperanan penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi kalus. Kebutuhan asam amino untuk setiap tanaman berbeda-beda. Asparagin dan Glutamin berperan dalam metabolisme asam amino, karena dapat menjadi pembawa dan sumber amonia untuk sintesis asam-asam amino baru dalam jaringan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

e. Sumber energi

Pada umumnya, tidak semua sel tanaman yang terisolasi dalam kultur in vitro bersifat autotrof sehingga tidak dapat menyediakan energi untuk proses fotosintesis. Kebutuhan akan energi menyebabkan perlunya penambahan karbohidrat sebagai sumber energi dalam media kultur (Yusnita, 2003). Karbohidrat adalah kimia karbon yang meliputi gula, pati, dan selulosa. Ada banyak jenis karbohidrat yang dipakai dalam kultur jaringan, namun yang paling banyak digunakan adalah sukrosa atau D-glukosa (Katuuk, 1989).

f. Zat pengatur tumbuh

Keberadaan hormon dan zat pengatur tumbuh dalam kegiatan kultur jaringan adalah mutlak karena kegiatan kultur jaringan umumnya menggunakan bahan tanam yang tidak lazim (sel, jaringan, atau organ) dan budidayanya adalah budidaya terkendali (Santoso dan Nursandi, 2002). Hormon adalah zat yang diproduksi dalam tumbuhan itu sendiri dan aktif dalam konsentrasi kecil. Zat itu disebut juga zat endogenus. Untuk keperluan

kultur jaringan, telah dibuat hormon tumbuhan buatan secara sintetik maupun melalui fermentasi. Hormon atau zat tersebut dinamakan zat pengatur tumbuh (Katuuk, 1989). Zat pengatur tumbuh (ZPT) pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat mengubah proses fisiologi tumbuhan. ZPT diperlukan sebagai komponen medium bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan ZPT dalam medium, pertumbuhan akan terhambat atau mungkin tidak tumbuh sama sekali (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Penentuan macam dan konsentrasi hormon dan zat pengatur tumbuh untuk tujuan kultur tertentu tidak mudah. Diperlukan pengetahuan yang lebih luas tentang kedua zat tersebut, dan melihat serta mempelajari contoh-contoh penggunaannya (Santoso dan Nursandi, 2002). Zat pengatur tumbuh yang sudah dikenal antara lain auksin, sitokinin, adenin, giberelin, etilen, dan abscicin. Dari semua jenis ZPT tersebut, auksin dan sitokinin adalah yang paling banyak digunakan (Katuuk, 1989).

1) Auksin

Auksin adalah hormon tanaman yang diproduksi secara alamiah dalam tubuh tanaman dan juga dapat secara sintesis. Dalam media, auksin berfungsi untuk merangsang pertumbuhan kalus, perbesaran sel, pertumbuhan akar, dan mengatur morfogenesis (Katuuk, 1989).

Auksin alamiah yang paling banyak dikenal adalah IAA (3-indoleasetic acid). Selain IAA dikenal juga auksin sintetik, yaitu NAA (a -naphtalene asetic acid), 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid), IBA

(3-indole butyric acid), dan PCPA (P-chlorophenoxy asetic acid) (Katuuk, 1989).

Pengaruh rangsangan auksin terhadap jaringan berbeda-beda. Pada kadar yang tinggi, auksin lebih bersifat menghambat daripada merangsang pertumbuhan dan menyebabkan diferensiasi kalus cenderung ke arah pembentukan primordia akar. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukan adanya indikasi bahwa auksin dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, dan melunakkan dinding sel yang diikuti menurunnya tekanan dinding sel sehingga air dapat masuk ke dalam sel yang disertai dengan kenaikan volume sel (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

2) Sitokinin

Dalam kultur jaringan, sitokinin berfungsi untuk mengatur pertumbuhan serta morfogenesis. Sitokinin juga merupakan hormon yang diproduksi secara alamiah (endogenus), dan juga dapat dibuat secara sintesis (Katuuk, 1989).

Sitokinin alami ditemukan lebih dari 30 jenis dan terdapat dalam bentuk sitokinin bebas, maupun sebagai glukosa atau ribosa. Dua sitokinin alami yang paling banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah zeatin (4-hydroxy-3-methyl-trans-2-butenylaminopurine) dan 2-iP (N6-(2-ispentyl)adenin). Sitokinin sintetik yang digunakan dalam kultur jaringan

antara lain kinetin atau FAP (6-furfurylaminopurine), BAP atau BA

)-N’-phenylurea), PBA (SD 8339) ((6-benzylamino )-9-(2-tetrahydropyranyl)-9H-purine), thidiazuron (N-phenyl -N’-1,2,3-thiadiazol-5-phenylurea), dan 2,6Cl-4PU (N-(2,6-dichloro-4-pyridyl )-N’-phenylurea) (Santoso dan Nursandi, 2002).

Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin berpengaruh pada pembelahan sel. Sitokinin bersama-sama dengan auksin mempengaruhi diferensiasi jaringan. Pemberian sitokinin yang relatif tinggi akan menyebabkan kalus ke arah pembentukan primordia batang atau tunas (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Dokumen terkait