• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meditasi Sumarah

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

B. MEDITASI SUMARAH

3. Meditasi Sumarah

Sumarah lahir di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta sekitar tahun 1935. Paguyuban ini lahir di tengah masyarakat Jawa yang berorientasi pada Keraton Yogyakarta. Mereka menjalani kehidupan yang penuh dengan tekanan politik dan ekonomi Penjajah Belanda (Muchit, 2011). Perjuangan yang dilakukan oleh penghayat kepercayaan Sumarah dilakukan dengan cara (berdo’a) kepada Tuhan dengan melakukan cara melakukan Sujud Sumarah (menyerah pada Tuhan Yang Maha Esa) dalam mencari jalan keluar permasalahan hidupnya. Sujud Sumarah juga dilakukan saat terjadi kesenjangan antara realita dan kehendak yang di inginkan.

Menurut Dewan Pimpinan Pusat Paguyuban Sumarah Arymurthi (1978) sujud Sumarah tidak dapat dilepaskan dari perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai dan mengisi kemerdekaan. Hal tersebut tersirat pada petunjuk yang mengantar turunnya Tuntunan/Wahyu Sumarah pertama kalinya, ketika pak Sukino memanjatkan permohonan pada Tuhan Yang Maha Esa untuk kemerdekaan bangsa Indonesia (Muchit A Karim, 2011). Paguyuban Sumarah didirikan oleh Sukinohartono pada tahun 1935.

Sukinohartono lahir pada tanggal 27 Desember 1897 dan meninggal pada 27 Maret 1971 di sebuah desa di wilayah Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Pada masa dewasanya Sukino secara intens mengikuti berbagai paguron di Yogyakarta, keterlibatanya dalam dua paguron yaitu Hardopusoro dan Subud membantu Sukino dalam memperoleh wahyu yang akan menutunnya menuju kelahiran Sumarah.

Wahyu pertama di terima Sukino pada Agustus 1935, Sukino mengatakan bahwa ia mulai merasakan banyak sekali terpaan ujian dan godaan. Pada tahap inilah dia mengalami kontak batin yang jernih dengan

Hakiki. Hakiki sering di sebut “Hak” merupakan istilah yang sering

digunakan Sukino dan para warga Sumarah yang berarti kontak langsung dengan Tuhan. Bagi sukino kekuatan dan kemurnian Hakiki yang diperolehnya menciptakan titik balik personal yang begitu signifikan.

Pertama , ia meragukan beberapa istilah yang dia peroleh meskipun sedikit yang terwariskan sejak dalam kandungan. Akan tetapi, penyangkalan yang paling besar tentang pendirian fanatiknya ketika di Hardopusoro, yang telah membuat dirinya meragukan Tuhan.

Kedua, Sukino mengalami proses penghukuman dan pembersihan yang terjadi pada 29 juni 1936. Pertama-tama ia menyaksikan beberapa timbangan yang menakjubkan dimana terukur segala keseimbangan hidup. Disana, kebaikan (becik) berada di sisi kanan, sedangkan keburukan (awon) berada di sisi kiri. Ia melihat, ternyata bobot kesalahan

lebih besar dari kebaikan sehingga sebagai hukumanya dia harus dipotong menjadi tiga bagian lalu dibakar. Sukino merasakan secara sadar leher dan perutnya dipotong dan dibakar menjadi abu. Serakan tubuh tadi yang telah hangus ahirnya terstuan dan hidup kembali. Meskipun Sukino hanya meninggalkan sebuah cerita saja, sebuah catatan dalam sejarah Sumarah menjelaskan lebih lanjut mengenai signifikansi kisah tadi. Tubuh yang dipotong menjadi tiga dan terbakar menandakan tiga pusat okultis utama (Trimurti yang terdiri dari Janaloka, Endraloka, dan Guruloka) sudah termurnikan. Meski sudah mengalami pembersihan, Sukino tetap merasa dosanya melimpah sehingga ia yakin akan masuk neraka.

Meskipun masih dibebani oleh perasaan itu, Sukino mendapat bisikan gaib (kedhawuhan) agar ia mengikuti petunjuk apapun yang datang padanya melalui Hakiki dan Malaikat Jibril. Pertama, ia memasuki suatu alam yang damai dan membahagiakan tanpa matahari, bulan dan bintang. Dari sana ia bisa melihat bumi meski diselimuti kabut. Tempat yang damai itu ditinggali segala macam penghuni. Sukino lantas diperingatkan untuk meneruskan kepasrahan totalnya karena ia mengadapi suatu godaan. Kedua, ia masuk ke alam hijau penuh tumbuh- tumbuhan. Ketiga, ia masuk ke alam binatang. Setiap transisi yang dialaminya, dirasakan layaknya layar kaca. Kemudian untuk beberapa saatu ia dikembalikan ke alam kesadaran manusia normal. Setelah itu, ia melanjutkan perlanjutkan perjalanan spiritualnya masuk ke alam yang

kelima, sebuah jagad arwah yang tampak penuh damai dalam keadaan iman (in the state of faith).

Beberapa waktu kemudian, tepatnya 7 juli 1937, dia mendapatkan wahyu yang menyuruhnya untuk menjadi warana bagi Sumarah sampai tahun 1949. Wahyu datang dalam bentuk mahkota yang memancarkan cahaya biru langit. Ketika mahkota itu menyentuh kepalanya , dia merasakan berat dan bertanya-tanya apakah ini hanya tipuan iblis semata. Perlahan berat mahkota berkurang, rasa takutnya sirna, dan hatinya menjadi lega. Menjelang tujuh hari, perasaan tadi sudah kembali normal. Sejak saat itulah, dirinya menjadi terbuka , bersih dan tanpa tabir dalam menerima pancaran wahyu Sumarah (Stange, 2009)

Dari sanalah lahirnya eksistensi ajaran Sumarah, yaitu ketika R. Ng. Soekinohartono untuk pertama kalinya tahun 1935 menerima Tuntunan/Bimbingan atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Tuntunan ini dihayati sebagai bimbingan kerohanian yang berasaskan bukti, saksi, nyata dalam menjalankan ibadat sujud Sumarah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu sampai sekarang Soekino dinobatkan oleh penganutnya sebagai warono perintis.

Selanjutnya untuk mengembangkan ajaran dan memberikan bimbingan pada para penghayatnya, iadidampingi oleh dua orang pamong yakni Soehardo dan H. Soetadi. Keduanya adalah pamong pertama dan sebagai pinisepuh Sumarah. Kemudian setelah ketiga-tiganya meninggal

dunia tugas warono dan pamong diemban dan berkembang pada diri petugas-petugas yang dikehendaki oleh Tuntunan Sumarah atas kesaksian dalam Sujud bersama. Pada era tahun 1935-1950 Sumarah masih berbentuk Paguyuban bukan organisasi. Paguyuban didasarkan pada kesatuan kelompok yang berbasis pada budaya kerohanian atau kepentingan kehidupan spiritual. Tetapi dalam paguyuban tersebut dikenal kepemimpinan atau kepengurusan yang dikehendaki oleh Tuntunan Sumarah atas kesaksian dalam sujud bersama. Kepengurusan tersebut bukanlah berdasar kesepakatan pamong (guru) dan para muridnya.

Dalam periode ini Paguyuban Sumarah berada di tangan tiga orang pinisepuh dengan pembagian tugas: Soekino bagian kerohanian/ Ketuhanan Yang Maha Esa, Sohardo bagian pendidikan dan pengembang, serta Soetadi bagian organisasi (kepengurusan) dan praja (pengaturan). Tingkat bimbingan kerohanian juga baru dititik beratkan pada tahap bimbingan aneka martabat yang berorientasi kepada perjuangan ragawi (fisik) dalam kesadaran ber-Tuhan Yang Maha Esa. Pada waktu itu belum ada tahapan-tahapan ajaran yang lebih tinggi seperti sujud kanoman,

kesepuhan (Muchit, 2011). Sekarang ini Sumarah menjadi organisasi

kebatinan dengan sekitar enam ribu anggota. Kepengurusaan tertinggi dipegang oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di Jakarta, sedangkan untuk wilayah pusat daerah di bawah kendali Dewan Pimpinan Daerah (DPD).

Diantara daerah tersebut adalah Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Magelang, Madiun, Ponorogo, Kediri, Malang, dan Surabaya (Stange, 2009)

Dalam Sumarah tidak dikenal Kitab Suci (ajaran) atau buku pegangan ajaran Sumarah.Ajaran tertulis atau lisan hanyalah berbentuk Sesanggeman dan himpunan wewarah. Sesanggeman (pedoman, tuntunan) yang terdiri empat kalimat atau kaidah yang berfungsi mengarahkan sikap mental penghayatnya dan untuk memahami moral kehidupan dalam penghayatan Sujud Sumarah. Ia juga dijadikan sebagai identitas umum Sumarah. Sedangkan himpunan wewarah (nasehat lisan) sebagai catatan dan kumpulan tuntunan yang pernah muncul dalam perjalanan sejarah Paguyuban Sumarah sehingga dapat diketahui kesinambungan dan konsistensinya serta bukti, saksi dan kenyataan petunjuk-petunjuk masalalu. Himpunan wewarah ini diperlakukan sebagai pedoman internal dalam penghayatan Sujud Sumarah warga paguyuban (perkembangan).

b. Proses Sujud Sumarah

Menurut Basuki, Sujud Sumarah dapat disebut juga meditasi. Menurut Handoyo (dalam Saputro, 2009) meditasi bukan sebuah cara berfikir, bukan pula membiarkan pikiran melayang-layang atau menghayal. Meditasi melampaui pengalaman inderawi meperkaya kehidupan dan memberikannya arah tujuan.

Dalam Paguyuban Sumarah, tujuan Sujud Sumarah adalah untuk memperoleh ketenangan dan ketentraman hidup lahir maupun batin, serta mencapai kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat. Menurut Arymurthy, Sujud Sumarah dapat dipelajari oleh semua umat manusia, terutama umat manusia yang ahli kebatinan atau kerohanian. Kemudian untuk posisi Sujud adalah dengan duduk, menghadap ke arah mana saja diperbolehkan, karena Tuhan itu ada di mana-mana. Waktu untuk melakukan Sujud ini juga bisa kapan saja, baik pagi, siang, sore, ataupun malam hari, jadi tidak terikat oleh waktu. Inti sujud adalah berdiam diri dengan tenang dan tentram, artinya: tenang dalam pikiran dan panca inderanya (dalam Bahasa Jawa disebut lerem), tentram hatinya yang akan mengakibatkan sepi atau suwung. Dalam waktu sepi atau suwung itu hanya ada rasa Sujud Sumarah yang tertuju kepada Allah atau Tuhan Yang Maha Esa (Saputro, 2009).

Dalam melakukan sujud Sumarah, memiliki susunan tersendiri yang wajib di ikuti dengan benar,yaitu;

1. Pembukaan, dalam sujud Sumarah akan di pimpin oleh seorang pamong dari Paguyuban Sumarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum memulai kegiatan sujud, pamong akan mengarahkan anggota lainya agar memposisikan badan senyaman mungkin.

2. Setelah itu pamong biasanya akan mengarahkan anggota Sumarah selama proses sujud dilakukan

“Monggo poro kadang senajan mboten wonten ingkang di entosi, enjang meniko kito wiwiti sujud Sumarah. Kuataken tekad kito ingkang bade sujud sumarah, pasrah jiwo rogo kalian allah kito tingkataken tekad kito amben kito tansah timandang ing allah. Monggo kito sareng-sareng hinggo kito saget sujud, sujud Sumarah. Monggo alon-alon mboten kanti keseso, ampun kesupen kangge gampilaken kempaling angen-angen, roso lan budi kumpul ing sanubari. Rogo kendo ampun kenceng, penggalihipun suwung mboten penggalih nopo-nopo. Ingkang sampun keraos angen-angen, roso lan budi lenggah ing sanubari barniku pasrah. Ingkang sampun keroso sakniki monggo dzikiraken. Monggo mulai sujud Sumarah ing Allah.

Sujud ipun mbotensah ragu-ragu kendor lan pasrah.

Allah….Allahh….Allahhhh….” (Mari saudara-saudara dikarenakan tidak ada lagi teman-teman yang ditunggu, kita mulai saja sujud sumarah. Kuatkan tekad yang akan melakukan Sujud Sumarah, berserah jiwa dan raga kepada Tuhan. Kita kuatkan tekad saat bertemu dengan Tuhan. Mari kita bersama-sama sampai kita dapat sujud, Sujud Sumarah. Mari pelan-pelan tidak usah terburu-buru, jangan lupa untuk memudahkan berkumpulnya angen-angen, roso dan budi menjadi satu di sanubari. Raga rileks jangan tegang, keinginan dikosongkan, yang sudah merasakan angen-angen, roso dan budi menjadi satu di sanubari setelah itu serahkan kepada Tuhan. Sekarang mulai dzikir. Silahkan

mulai Sujud Sumarah kepada Tuhan. Dalam melakukan sujud jangan ada keraguan rileks dan pasrah. Allah..Allahhh..Allahhh..

3. Dzikir akan dilakukan berulang-ulangkali setelah itu pamong pertama akan menunjuk salah satu anggota yang dipercaya oleh pamong pertama untuk memimpin sujud dan itu akan berlangsung beberapa kali.

4. Pada proses sujud Sumarah pamong akan memberi instruksi anggota untuk sejenak beristirahat. Waktu istirahat digunakan para anggota dan pamong untuk berdiskusi apakah latihan sujud yang dilakukan tersebut sudah benar atau belum.

5. Setelah istirahat di rasa cukup, pamong akan melanjutkan kembali sesi meditasi. Pamong tidak mengulangi kata-kata diawal seperti sebelum meditasi di mulai. Pamong akan melanjutkan dzikir kembali. Setelah dirasa cukup pamong akan menutup sesi meditasi, (Wawancara Untung, 2016).

Apabila Sujudnya sudah benar, maka ada tandanya, ialah terasa di dalam dadanya, pertama rasanya seperti kena air yang dingin, tetapi rasanya enak, lama-lama akan terasa semakin enak sekali. Rasa yang demikian itu, yang enak sekali, tiap melakukan latihan Sujud Sumarah harus diusahakan. Apabila rasa itu belum ada, berarti Sujud Sumarahnya belum benar. Rasa yang enak sekali itu adalah pengaruh

dari Perbawa Tuhan Yang Maha Esa (Zat kesucian dan keluhuran dari kenyataan Allah).

Dalam prakteknya atau pelaksanaanya, Sujud Sumarah harus mengalami eneng, ening, dan eling Eneng atau meneng itu ialah diam, yang maksudnya kosong, diamnya panca indera, pikiran, perasaan, angan-angan, semuanya suwung (sunyi-sepi). Ening maksudnya hati lerem (tenang), tentrem, mewujudkan wening, bening, atau jernihnya hati. Kemudian eling artinya selalu ingat kepada Allah atau Tuhan Yang Maha Esa (Saputro 2009).

Menurut Pak Soehardo, jika Sujud Sumarahnya sudah berada pada tahap kedua (indra loka) tepatnya jiwa sudah berada di sanubari (lapisan pertama), maka panca indera dan nafsu menjadi tenang, dan hati terasa tentram. Kemudian jika posisi jiwanya berada di kolbu (lapisan kedua), maka akan terasa tenang, tentram, heneng, dan hening. Di dalam kolbu ada sinar, disebut Nur Illahi/budi/pepadanging urip/Zat Yang Maha Esa. Selama Sujudnya berada di kolbu, maka diperkenankan memohon segala kebutuhan hidup di dunia, baik untuk pribadi, keluarga, saudara, maupun orang lain. Diperkenankan juga untuk menerima “wahyu” dari Allah melalui perantara hakiki, dan seterusnya sampai tak terbatas.

Kemudian apabila posisi Sujud Sumarahnya atau jiwanya berada di bait Allah (lapisan ketiga), maka Sujud Sumarahnya sudah

mencapai tenang, tentram, heneng, hening, awas-eling atau eneng, ening, eling. Kalau eneng, ening, dan eling sudah terwujud, maka akan menyatukan trimurti, yaitu angan-angan (mewakili raga), ditambah rasa (mewakili jiwa), dan budi (mewakili nur pepadanging urip). Eneng, ening, eling, adalah menyatukan sifat Kemanusiaan, yaitu jiwa dan raga (rasa dan angan-angan) dengan sifat Ketuhanan, yaitu budi (nur pepadang urip), sehingga pada akhirnya sifat kemanusiaan lebur ke dalam sifat Ketuhanan (manunggaling kawula lan gusti atau jumbuhing kawula lan gusti).

Kondisi tersebut artinya sudah lepas dari belenggu alam materi atau jagad lahir, dan telah menuju ke alam kesucian atau alam Surga. Sujud Sumarah itu ialah menyatukan trimurti (angan-angan, rasa, budi) melalui eneng, ening, eling (diam, hening atau jernihnya hati, dan sadar hidup). Menurut penjelasan Pak Kino, angan-angan, rasa, dan budi itu kejadian dari tiga macam unsur, yaitu: angan-angan sebagai wakil dari raga, rasa sebagai wakil dari jiwa, dan budi itu sebagai wakil Nur Pepadanging Urip atau yang menerangi hidup. Sujud Sumarah itu kumpulnya jiwa dan raga (jasmani-rohani). Jadi yang melakukan Sujud Sumarah itu adalah angan-angan (raga), rasa (jiwa).

Sedangkan budi itu sebagai cahaya yang menerangi kehidupan dan tidak turut Sujud Sumarah. Budi itu yang memberikan penerangan jiwa dan raga. Budi itu yang memberikan penerangan saat

manusia sedang berfikir tentang persoalan yang rumit. Tempat kedudukan cahaya hidup itu berada di otak kecil. Jika budi itu menerangi batin manusia, maka manusia akan paham atau mengerti tentang ajaran (pendidikan) dari Allah, sebab menurut Pak Kino, budi itu bagian dari Allah yang menguasai hidup, juga yang menerangi alam gaib (Basuki, 2007: 38).

Jika seseorang sudah dapat mempersatukan trimurti (angan- angan, rasa, dan budi), dengan mewujudkan eneng, ening, eling, maka sudah dapat disebut manunggaling kawula lan gusti atau jumbuhing kawula lan gusti. Kemudian yang dianggap manusia adalah rasa dan angan-angan (jiwa-raga), sedangkan yang disebut gusti adalah pepadang atau sinar (Nur Ilahi, Nur Pepadanging Urip), semuanya (rasa, angan-angan, pepadang) berkumpul menjadi satu yang disebut trimurti atau manunggaling kawula lan gusti (Basuki, 2007: 43).

Menyatunya trimurti tersebut adalah ketika jiwa berada di baital mukharam (tepatnya di lapisan ketiga, yaitu bait Allah) dan jiwa berada di baital makmur (guru loka), karena sinar urip atau pepadang itu berada dibaital mukharam dan baital makmur. Jika seseorang sudah dapat mengendalikan semua piranti (perlengkapan) hidup di dunia, seperti: empat macam hawa nafsu (nafsu luamah, amarah, supiyah, dan mutmainah), ditambah angan-angan, rasa, sudah menyatu dalam jiwa, kemudian yang ada tinggal eling atau sadar, maka dapat

diibaratkan manunggaling kawula lan gusti atau jumbuhing kawula lan gusti, yaitu jiwa atau rohnya diijinkan masuk ke alam suwung kang amengku hana, yaitu suwung yang pada kenyataanya tidak ada apa-apa dan tidak mempunyai apa-apa, sepi, sunyi, kosong, dan hana yang kenyataanya berada di alam suwung, hanya ada jiwa atau roh dengan perasaan eling (sadar), dan itu sebenarnya intisari dari panembah atau menyembah atau Sujud Sumarah.

Di Alam Suwung itu sudah tidak ada kiblat lagi, tidak ada arah, tidak ada atas-bawah, timur-barat, utara-selatan, yang ada hanya pepadang, yang disebut Nur Ilahi atau Zat Tuhan Yang Maha Esa atau Zat Allah atau Urip (hidup), yang menghidupi dunia beserta isinya, tidak ada yang terlewatkan. Hal ini seperti dalam perumpamaan Jawa “gusti kuwi adoh tanpa wangenan, cedak ora senggolan”. Allah itu ada meliputi jagad raya, jauh tidak terbatas, dekat tidak bersentuhan (Saputo 2009)

Menurut Hertoto (2007) Sujud Sumarah dapat juga disebut meditasi. Menurut Handoyo (Saputro, 2009), meditasi bukan sebuah cara berpikir, bukan pula membiarkan pikiran melayang-layang atau menghayal. Meditasi melampaui pengalaman inderawi, memperkaya kehidupan dan memberikannya arah tujuan. Meditasi memiliki tujuan yang pasti. Meditasi adalah hubungan dengan Tuhan. Hal ini sama seperti ajaran Paguyuban Sumarah, bahwa puncak dalam melakukan

Sujud Sumarah ialah tercapainya kesatuan antara jiwa manusia dengan Zat Tuhan. Warga Sumarah menyebutnya dengan istilah Manunggaling Kawula Lan Gusti atau Jumbuhing Kawulo Lan Gusti

Paguyuban sumarah mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia dalam melakukan hubungan dengan Tuhanya dapat dilakukan melalui sujud Sumarah. Sujud sumarah menurut Arymurthy merupakan cara atau system pendekatan diri pribadi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan cara ini dapat di pelajari serta dihayati oleh semua umat manusia dari kepercayaan dan keyakinan apapun sepanjang yang bersangkutan berpegang dan bernaung terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Hertoto, 2006). Sedangkan Sudarno (Stange, 2009) menjelaskan meditasi sumarah sebagai suatu proses alami yang terus bergerak menuju kesadaran batin dan terhadap apa yang sedang berlangsung saat itu sehingga batas antara pengawas dan diawasi menjadi cair, dalam melakukan meditasi sumarah sesorang harus membuka diri dan tetap rileks.

Dwiyanto (2011) mengatakan Sujud Sumarah merupakan bentuk komunikasi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, karena sujud itu pada hakikatnya merupakan aktifitas batin/ rohani/ spiritual/ jiwa seorang manusia untuk berdoa dan memohon menghaturkan puja dan puji serta berserah diri secara total kepada Tuhan melalui kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Dari beberapa pengertian mengenai sujud sumarah yang di uangkapkan oleh para ahli pada intinya sama, bahwa Sujud Sumarah merupakan mekanisme

Paguyuban Sumarah untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta dengan cara pasrah dan menyerahkan diri secara total kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Stange (2009), mengungkapkan bahwa meditasi Sumarah merupakan suatu proses alami yang terus bergerak menuju kesadaran batin (awareness) dan terhadap apa yang sedang berlangsung waktu itu (here and now). Sedangkan, Edi (wawancara, 2016) menyatakan bahwa dalam proses meditasi sumarah kemampuan untuk mengamati aliran kesadaran tanpa melakukan penilaian (judgement) merupakan hal yang sangat penting, “delok sak delok, krungu sak krungu lan roso sak roso”.

Meditasi sumarah berarti berada dalam keadaan santai secara fisik, emosional, mental, dan mengurangi hambatan yang biasanya muncul antara kita dengan realitas yang berada di sekitar kita. Meditasi sumarah dimulai dengan relaksasi tubuh, perasaan dan pikiran untuk menciptakan ruang dan keheningan yang diperlukan untuk kebangkitan dan terungkapnya kesadaran

Meditasi sumarah dimaknai sebagai pemusatan batin, bukan merubah perhatian dari luar kedalam.Perhatian yang tadinya berada di pikiran kemudian terpendar melalui segala yang ada. Setelah perhatiaan dihayati sebagai sesuatu yang bersifat batin, lebih dari sekedar sadar tentang dimensi batin, muncul apa yang disebut dengan kesadaran batiniah dan penerimaan lahiriah (Stange, 2009).“Perhatian yang tadinya berada di pikiran kemudian terpendar melalui segala yang ada” mekanisme tersebut sama dengan

mekanisme yang dipakai oleh meditasi mindfulness. Menurut Segall (2005) manfaat latihan meditasi mindfulness dalam wilayah psikologi yaitu meluaskan wilayah kesadaran, mekanisme tersebut dapat meningkatkan pencatatan (pengawasan) terhadap tubuh (body) serta pengalaman perasaan. Mekanisme tersebut dapat meningkatkan kapasitas kewaspadaan, perasaan dan perilaku. Selain itu, Mindfulness adalah keseluruhan pikiran yang terus- menerus berubah dan mengalir. Mindfulness memerlukan konsentrasi untuk mengendalikan dan memfokuskan perhatian, tetapi pikiran yang sudah terkonsentrasi tersebut kemudian di arahkan pada objek yang bergerak, yaitu aliran kesadaran (stream of consciousness) (Heimbach, 2009).

Terminologi meditasi yang dipakai Sumarah sama dengan yang dipakai dalam ajaran Buddhisme yaitu “ kesadaran” dan “perhatian yang benar” yang terkait dengan meditasi Vipassanabhavana (Stange, 2009). Meditasi vipassana sering disebut juga dengan meditasi mindfulness. Objek dari meditasi mindfulness sama dengan yang dipakai oleh meditasi sumarah yaitu keseluruhan pikiran yang terus menerus berubah dan mengalir (Heimbach, 2009). Sedangkan, Celestin-Westreich (2012) mengatakan bahwa meditasi Sumarah ini adalah meditasi mindfullness yang menentukan pelepasan dari pengendalian internal pada tingkat fisik mental dan emosional. Praktek meditasi yang berfokus, tidak menghakimi (nonjudgement), tidak reaktif (non-reaktif), dan merupakan kesadaran metakognitif. Pengertian tersebut sama dengan yang di sebutkan oleh Kabat-Zinn (Heimbach, 2009)

mindfulness merupakan peningkatan kesadaran dengan berfokus pada pengalaman masa kini (present-moment awarnes) tanpa memberikan penilaian (nonjudgemental) dan adanya penerimaaan (acceptance).

Meditasi sumarah berarti berada dalam keadaan santai secara fisik, emosional, mental, dan mengurangi hambatan yang biasanya muncul antara kita dengan realitas yang berada di sekitar kita. Dalam melakukan meditasi sumarah sesorang harus membuka diri dan tetap rileks

Dalam meditasi sumarah titik kesadaran diarahkan untuk menuntun orang menuju rileksasi yang sadar dalam kehidupan sehari-hari.Dalam melakukan meditasi Sumarah, Dzikir menjadi hal yang penting. Seperti yang dikatakan Suwondo (Stange, 2009) bahwa dzikir yang biasanya diucapkan berulang-ulang seperti “Allah…” Allah menekankan keberkaitan antara kepasrahan total kepada Tuhan.

Sedangkan tujuan dari latihan meditasinya adalah pasrah atau penyerahaan total sehingga individu diharapkan menjadi fokus sempurna bagi ekspresi kehendak Tuhan. Ketika latihan sujud selesai, warga sumarah yakin mengalami kedamaian batin secara otomatis meluas menuju penyelarasaan dengan melahirkan tindakan konstruktif bagi kehidupan masyarakat (Stange, 2009).

Meditasi Sumarah berlangsung dengan melalui beberapa tahap: Tahap Eneng, Ening, Eling (Direktorat Kebudayaan, 1980).

Tahap Eneng atau disebut dengan tahap diam, latihan meditasi tersebut

Dokumen terkait