• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme meditasi Sumarah sehingga dapat memakna

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan

2. Mekanisme meditasi Sumarah sehingga dapat memakna

mengendalikan emosi yang ada dalam dirinya. Sebelum mempraktikan meditasi sumarah, meditator cenderung merespon stimulus yang tidak di sukainya dengan respon marah atau emosi negatif. Setelah melakukan

meditasi sumarah, meditator lebih dapat mengendalikan emosinya. Menurut Celestin-Westreich (2012), hal ini dikarenakan dalam praktik meditasinya, meditasi sumarah tidak melakukan mekanisme penilaian (nonjudgement)., terhadap stimulus eksternal yang membuat meditator memunculkan respon marah. Nonjudgement yang dilakukan meditator memunculkan apa yang dinamakan ketenangan jiwa, pada tahapan hening. Tenangnya jiwa ialah ketika kita tidak terpengaruh oleh suara-suara yang menyakitkan hati yang berasal dari luar diri, tidak terpengaruh oleh berita-berita buruk yang berasal dari luar diri, tidak terpengaruh oleh penilaian baik ataupun buruk orang lain terhadap diri (Direktorat Kebudayaan, 1980). Keberhasilan meditator dalam mengendalikan emosinya, merupakan factor internal dari kebahagiaan seseorang. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Seligman (2002) yang mengatakan bahwa ketika seseorang dapat mengetahui dan mempelajari bentuk emosi positif, diharapkan dapat mengarahkan emosinya kearah yang positif dengan mengubah perasaan tentang masa lalu, cara berpikir tentang masa depan dan cara menghadapi kehidupan saat ini.

Selain itu meditator dapat mengenali emosi yang akan muncul, hal tersebut membuat meditatator semakin menyadari stimulus yang muncul saat itu. Stimulus yang membuat meditator memunculkan respon emosi dan marah. Sudarno ( Stange, 2009) menjelaskan meditasi sumarah sebagai suatu proses alami yang terus bergerak menuju kesadaran batin dan terhadap apa yang sedang berlangsung saat itu sehingga batas antara pengawas dan diawasi

menjadi cair. Dalam pernyataan Sudarno tersebut, meditasi sumarah mempraktikan proses pengamatan terhadap stimulus-stimulus yang memunculkan respon negative bagi meditator. Diharapkan saat meditator menyadari stimulus tersebut, meditator dapat mengontrol respon negative yang akan muncul.

Praktik meditasi sumarah yang dijalani oleh para meditator, membuat para meditator lebih tenang, damai dan iklas dalam menghadapi berbagai hal dalam kehidupannya. Menurut Seligman (2013), perasaan tenang, damai dan ikhlas merupakan salah satu bentuk dari kebahagiaan yaitu hidup yang nyaman. Hidup yang nyaman ialah kehidupan dimana segala keperluan kehidupan terpenuhi, terpenuhinya semua keperluan hidup secara jasmani, rohani dan sosial. Hidup yang nyaman dimaksudkan memiliki hidup yang aman, tentram dan damai.

Setelah meditator mengikuti meditasi Sumarah, meditator lebih mampu menyadari emosi yang ada di dalam dirinya, hal ini menjadikan meditator mampu mengontrol emosi yang ada pada dirinya ketika mendapatkan stimulus yang tidak menyenangkan. Menurut Wals (Subandi 2003) mengemukaan bahwa meditasi merupakan teknik atau metode latihan yang digunakan untuk melatih perhatian sehingga dapat meningkatkan taraf kesadaran, yang selanjutnya dapat membawa proses‐proses mental menjadi lebih terkontrol secara sadar. Dalam hal ini kesadaran meditator dalam

mengontrol emosinya nerupakan peningkatan dalam diri meditator, meditator mengalami pertumbuhan pribadi yang baik. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ryff (1995) tentang aspek pertumbuhan pribadi pada kebahagiaan. Ryff (1995) mengatakan bahwa individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya,perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah..

Ketika meditator sudah mampu menyadari dan mampu mengontrol emosi dalam dirinya maka meditator akan merasa lebih tenang, sejuk dan merasakan kenikmatan karena mampu mengendalikan emosi negatifnya. Hal tersebut konsisten dengan mekanisme dalam Meditasi Sumarah. Dalam Meditasi Sumarah, kesejukan yang dirasakan oleh meditator dikarenakan meditator memasuki tahapan eling dalam meditasi sumarah. Dalam tahap eling, mekanisme yang dilakukan adalah mengontrol ego dan hawa nafsu, tahap menyatunya angen-angen yang merupakan inti dari raga yang secara otomatis dengan yang namanya rasa yang disebut inti dari jiwa. Ketika meditator merasakan kesejukan di dalam dada, dada terasa longgar, tidak ada rasa khawatir dan rasa takut yang ada hanya berserah diri pada Tuhan dan

terasalah aman, tenang dan damai (Direktorat Kebudayaan, 1980). Dalam keadaan yang seperti ini manusia telah menjadi manusia yang utuh, manusia yang tidak hanya terdiri dari kesadaran raga saja. Tetapi manusia yang mempunyai kesadaran jiwa raga sepenuhnya (awareness).

Selain meditator mampu mengontrol emosi yang ada pada dirinya dengan baik, melalui meditasi sumarah meditator juga memiliki pikiran yang lebih positif terhadap stimulus eksternal yang ada dan tidak memikirkan banget-banget. Menurut meditasi sumarah. hal ini dikarenakan dalam praktik meditasinya, meditasi sumarah tidak melakukan mekanisme penilaian (nonjudgement) Celestin-Westreich (2012), terhadap stimulus eksternal yang membuat meditator memunculkan respon marah. Nonjudgement yang dilakukan meditator memunculkan apa yang dinamakan ketenangan jiwa, pada tahapan hening. Tenangnya jiwa ialah ketika kita tidak terpengaruh oleh suara-suara yang menyakitkan hati yang berasal dari luar diri, tidak terpengaruh oleh berita-berita buruk yang berasal dari luar diri, tidak terpengaruh oleh penilaian baik ataupun buruk orang lain terhadap diri (Direktorat Kebudayaan, 1980). Hal tersebut membuat meditator tidak memikirkan stimulus eksternal dengan berlebihan, sehingga membuat meditator dapat berfikir secara positif.

Selain itu, selama meditator mengikuti praktik meditasi. Meditator belajar untuk berfokus pada pikirannya. Dalam praktiknya, meditator mencoba tenang dan tidak memikirkan sesuatu yang mempengaruhi fokus

pikiranya saat bermeditasi. Hal tersebut seperti yang dikatakan Celestin- Westreich (2012). Meditasi Sumarah ini adalah praktek meditasi yang berfokus, tidak menghakimi (nonjudgement), tidak reaktif (non-reaktif), dan merupakan kesadaran metakognitif Celestin-Westreich (2012). Pikiraan fokus membuat meditator masuk dalam aliran kesadaraan. Aliran kesadaran tersebut, membuat meditator menyadari bahwa permasalahaan yang ada dalam kehidupanya bersumber dari pikiran. Proses perubahan tersebut pada akhirnya akan membawa meditator dalam aliran kesadaraan dalam pikiran. Hal ini sama dengan yang di kemukakan oleh Stange (2009), perhatian yang tadinya berada di pikiran kemudian terpendar melalui segala yang ada. Setelah perhatian dihayati sebagai sesuatu yang bersifat batin, lebih dari sekedar sadar tentang dimensi batin, muncul apa yang disebut dengan kesadaran batiniah dan penerimaan lahiriah.

Kemampuan menyadari permasalahan yang ada membuat meditator lebih tenang dalam menghadapi permasalahan, hal ini dikarenakan kewaspadaan terhadap stimulus yang meningkat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Segall (2005) meluaskan wilayah kesadaran dapat meningkatkan pencatatan (pengawasan) terhadap tubuh (body) serta pengalaman perasaan. Mekanisme tersebut dapat meningkatkan kapasitas kewaspadaan, perasaan dan perilaku.

Para meditator juga mengalami perubahan sikap, menjadi lebih tenang, damai dan tidak ada rasa khawatir selama menjalani praktik meditasi sumarah.

Hal ini dikarnakan dalam latihan meditasinya meditator memasrahkan (menyerahkan) segala sesuatunya kepada Tuhan dan nrimo (menerima) kehendak Tuhan. Sehingga kekawatiran yang ada berubah menjadi ketenangan dan kedamaian. Hal ini seperti yang dikatakan (Stange, 2009), tujuan dari latihan meditasinya adalah pasrah atau penyerahaan total pada kehendak Tuhan dan ketika latihan meditasi selesai para meditator akan merasakan kedamaian batin secara otomatis dan akan melahirkan tindakan konstruktif dalam masyarakat. Kedamaian dan ketenangan yang dirasakan meditator merupakan salah satu bentuk dari kebahagiaan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Seligman (2013), hidup yang nyaman dimaksudkan memiliki hidup yang aman, tentram dan damai.

Sikap positif yang dimiliki meditator memunculkan tumbuhnya sikap percaya diri dalam dirinya. Meditator dalam menentukan hal-hal dalam hidupnya lebih dapat bertanggung jawab, mediatator dapat menerima resiko dari keputusaan yang diambilnya. Pengambilan keputusaan dan tanggung jawab dalam menerima konsekuensi dari keputusaan yang diambil merupakan bentuk dari kebahagiaan. Ryff (1995), dimensi kebahagiaan salah satunya adalah otonomi yang baik, dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self- determining) dan mandiri. Ia mampu mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan dari orang lain

Praktik meditasi yang di jalani oleh meditator, membuat meditator lebih dapat menerima dirinya. Meditator lebih percaya diri, dapat menerima

segala sesuatu yang dimilikinya. Proses penerimaan ini konsisten dengan konsep Meditasi Sumarah yang sering disebut pasrah kepada Tuhan atau (menerima kehendak semesta). Kepercayaan diri dan menerima berbagai aspek pada diri meditator, merupakan salah satu bentuk yang menandakan kebahagian. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan, Ryff (1995) bahwa self- acceptance berkaitan dengan penerimaan diri individu pada masa kini dan masa lalunya. Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, menghargai dan menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya, baik kualitas diri yang baik maupun buruk.

Selain itu, hubungan meditator dengan masyarakat berjalan dengan baik. Meditator dalam menjalin persahabatan dengan orang lain tidak membeda-bedakan, meditator menganggap semua orang adalah temanya. Meditator juga berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Hubungan baik meditator dengan orang lain konsisten dengan ajaran pokok Sumarah yaitu

(Sesanggeman) nomor empat yang berbunyi “mempererat persaudaraan,

berdasarkan rasa cinta kasih” (Direktorat Kebudayaan, 1980).. Keaktifan meditator dalam dalam kegiataan masyarakaat, sesuai dengan pernyataan Stange (2009), yang mengatakan ketika latihan meditasi selesai pelaku meditasi dipercaya dapat melahirkan tindakan konstruktif bagi masyarakat. Tidakan konstruktif tersebut di aplikasikan dengan cara mengikuti kegiatan di masyarakat. Kemampuan meditator dalam menjalin hubungan dengan orang

lain dan kepeduliaanya terhadap orang lain merupakan bentuk dari kebahagiaan individu. Hal tersebut di dukung oleh pernyataan Ryff (dalam Ryff, 1989; Ryff dan Keyes, 1995) bahwa individu yang memiliki hubungan yang positif dengan orang lain mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu tersebut memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi dan intimitas serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan pribadi.

Dalam kehidupanya meditator memaknai kehidupan sebagai sesuatu yang harus dijalani sesuai dengan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan menjalani kehidupan sebaik mungkin. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Handoyo (Saputo, 2009) yang mengatakan puncak dalam melakukan Sujud Sumarah ialah tercapainya kesatuan antara jiwa manusia dengan Zat Tuhan. Warga Sumarah menyebutnya dengan istilah Manunggaling Kawula Lan Gusti atau Jumbuhing Kawulo Lan Gusti. Ketika meditator memaknai hidupnya. Meditator mempunyai tujuan hidup yang lebih jelas, tujuan hidup meditator saat ini ialah membesarkan anak-anaknya sampai anak-anaknya menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Tujuan dan target yang dimiliki meditator merupakan bentuk dari kebahagian yang dialami meditator. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ryff (1995), bahwa individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup memiliki rasa keterarahan (directedness)

dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu dan masa kini, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup.

Meditator memaknai kebahagiaan sebagai bentuk penerimaan atau sering disebut pasrah. Pasrah atau penerimaan membuat meditator selaras dengan kehendak Tuhan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan (Dwiyanto, 2011), bahwa Sujud Sumarah merupakan mekanisme meditasi Sumarah untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta dengan cara pasrah dan menyerahkan diri secara total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Saat mediator dapat pasrah atau menerima, meditator menemukan kelancaran atau dipermudah dalam hidupnya. Kelancaran atau kemudahan dalam hidup, dimaknai oleh meditator sebagai bentuk kebahagiaan. Sehingga terciptalah suatu kedamaian dalam diri meditator, kedamaian dalam hatinya. Saat mediatator dapat menerima dan menemukan kemudahan dalam hidupnya, kedamaian di dalam hati yang didapatkan. Kedamaian merupakan bentuk dari kebahagian dalam diri individu. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Seligman (2013) yang mengatakan bahwa hidup yang nyaman ialah kehidupan dimana segala keperluan kehidupan terpenuhi, terpenuhinya semua keperluan hidup secara jasmani, rohani dan sosial. Hidup yang nyaman dimaksudkan memiliki hidup yang aman, tentram dan damai.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pemaknaan kebahagiaan pelaku Meditasi Sumarah dapat tercapai melalui mekanisme yang terjadi saat mempraktikan Meditasi Sumarah. Melalui praktik Meditasi Sumarah, dengan mengendalikan angan- angan dan rasa, pelaku meditasi sumarah merasakan kebahagiaan dalam bentuk, penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Akan tetapi saat pelaku meditasi menyerahkan kepada budi, membuat pelaku meditasi merasakan penerimaan, kepasrahan dan dipermudah dalam kehidupanya perasaan tersebut membuat pelaku meditasi merasakan kedamaian dalam hidupnya. Kedamaian yang dialami pelaku meditasi tersebut, dimaknai sebagai bentuk kebahagiaan.

B. Keterbatasan Penelitian

1. Dalam penggalian data ada beberapa istilah yang sulit diungkapkan secara konseptual.

2. Tidak adanya sumber referensi data secara tertulis berkaitan dengan makna kebahagiaan pelaku Kebatinan Sumarah. Sehingga gambaran

tentang makna kenahagiaan yang di dapat dalam penelitian ini apakah hanya karena pengalaman pribadi pada informan, ajaran penghayat kepercayaan ataukah memang sebuah nilai sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.

C. Saran

1. Dalam penelitian ini ada beberapa istilah yang sulit dijelaskan oleh pelaku meditasi secara konseptual, sehingga untuk memahaminya peneliti harus mempraktekannya agar sepengertian dengan pelaku Meditas Sumarah. 2. Bagi pembaca dari kalangan akademisi dan ahli kesehatan secara umum,

disarankan untuk mempertimbangkan praktik meditasi Sumarah sebagai salah satu pendekatan untuk meningkatkan kesehatan mental individu.

DAFTAR PUSTAKA

Al-banjari, Rachmad Ramadhan . (2009). The Route of Happiness. Yogyakarta: Diva Press

Albeniz & Holmes, j., (2009). Meditation: Concepts, effects and use in therapy International journal of psychotherapy; mar 2000; 5, 1; Academic, Research Library

Anam, Choirul & Dipenogoro, Muhammad, (2008). Perbedaan Kebahagiaan Wanita Lansia Menurut Tempat Tinggalnya. Yogyakarta : Universitas Ahmad Dahlan

Argyle & Crosland. (1987). The Dimension of Positive Emotions. Jurnal Social Psychology. Jun 26. Vol 2. 127-137.

Barraclough, J., (2000). Cancer and Emotion (Practical Guide to Psychology) John Wiley & Sons, Ltd, New York.

Baskara Adya, dkk. 2008. Kecerdasan Emosi Ditinjau Dari Keikutsertaan Dalam Program Meditasi. Jurnal Psikologi. Vol 35, No. 2, 101-115 Basuki, Hertoto, 2007. Mengenal Sumarah : Paguyuban Sumarah. Pustaka Kuntara: Semarang.

Berscheid, E. (2003) . A Psychology of human strengths : Fundamental questions and future directions for a positive psychology. Washington, DC : American Pschological Association

Bogart, G. (1991). The Use Of Meditation In Psychotherapy- A review of the Literature. The American Journal Of Psychotherapy, Vol. XLV, No. 3, 1991

Carr, A. (2004). Positive Psychology :The science of Happiness and Human Strengths. Hove & New York : Brunner-Routledge Taylor and Francis group.

Celestin-Westreich (2012). Sumarah Meditation in cognitive-emotional perspective: participant motivasion and effects and their link with personal and background determinants. Master Thesis Clinical Psychology: Faculteit Psychology en Educatiewetenschppen

Cozzoline W., (2006). The Nuts and Bolts of Meditation. Raissa Publishing. Update March 10.

Creswell, J. W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. London: Sage Publications.

Diener, E., & Ryan, K. (2009). Subjective well-being: A general overview.

South African Journal of Psychology, 39(4), 391-406.

doi:10.1177/008124630903900402

Endraswara, S. (2010). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta : Penerbit Cakrawala

Farid, M & Zaenab, P. 2015. Hubungan antara Religiusitas dan Dukungan Sosial dengan Kebahagian Pelaku konversi Agama. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol 4, No 01, hal 100-110

Hakiksukta & Juliana Irmayanti Saragih. (2012). Kebahagiaan Pada Bhane Treravada (Happiness in Bhante Theravada). Predicara Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Vol 1. No 1

Hardiansyah, H. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi. Jakarta Selatan: Salemba Humanika

Harmaini, Alma Yulianti. (2014). Peristiwa-Peristiwa yang Membuat Bahagia. Jurnal: Ilmiah Psikologi, Vol 1, No 2.

Heimbach, M. F. 2009. Peran Meditasi Mindfullness terhadap Pemaknaan Kebahagian. Skripsi. Universitas Sanata Dharma

http://www.sumarah.net/en/introduction/introduction-to-sumarah.html (diunduh Agustus 2016)

http://news.detik.com/internasional/3139442/pertama-kali-uni-emirat-arab- punya-menteri-kebahagiaan (diunduh Agustus 2016)

http://www.sumarah.net/en/introduction/introduction-to-sumarah.html (diunduh Agustus 2016) http://www.kompasiana.com/grassius/sumarah26_552a8cbff17e61931dd623d (diunduh November 2016) http://www.kompasiana.com/grassius/sumarah14_552e0de46ea834cc2a8b45d 5 (diunduh November 2016 http://www.kompasiana.com/grassius/sumarah31_5529cc986ea8349625552d8 (diunduh November 2016 http://www.sumarah.net/en/introduction/introduction-tosumarah.html(diunduh November 2016)

Djoko Dwiyanto (2011) Bangkitnya Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Yogyakarta: Ampera Utama, 176.

Kim, J., Anna, J., Kim, M (2011). Relationship between improvements of subjective well-being and depressive symtoms during acute treatment of schizophrenia with a typical antipsychotics. Journal of clinical pharmacy & Therapeutics, 26, 172-178, doi: 10.1111/j.1365-2710.2010.01175.x

Miwa, P (2012). Kebahagiaan Pada Perempuan. Jurnal Psikogenesis, Vol 1 No 1

Muchit A Karim. (2011). Dinamika Paguyuban Sumarah di Kota Yogyakarta. Jurnal Multikultural & Multireligius. Volume X, nomor 4. Hal 853.

Muchit A Karim. (2011). Perkembangan Paham Keagaman Lokal di Indonesia. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementrian Agama RI. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI. ISBN: 978-979-797-326-1

Nenny Ika Simarmata. (2015). Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Well-being Karyawan in Pt. Intan Havea Industry, Medan. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommsensen. Vol 1, No 1, ISSN: 2460-7835

Peterson, C., & Seligman, M. E. (2004). Character Strengths and Virtues: Handbook and Classification.Washington D.C: Oxford University Press, Inc

Rachman Sani, Yoga Untuk Kesehatan (Semarang: Dahara Prize, 2006), h. 209.

Ridin Sofwan, Menguak seluk beluk aliran kebatinan, (Semarang, CV. Aneka Ilmu, 1999), 228-229.

Rusydi.(2007). Psikologi Kebahagiaan. Yogyakarta: Progresif Books.

Ryff, C.D. & Keyes, C.L.M. (1995). The structure of psychological well- being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 57, No. 69, 719-727

Ryff, D. 1989. Happiness is everything, or is it? Exploration on the meaning of Psychological Well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57.1069-1081

Saraydarian, T. (2007). Meditasi. Yogyakarta : Delphi

Schimmel, Jörg. 2009. Development as Happiness: The Subjective Perception of Happiness and UNDP’s Analysis of Poverty, Wealth and Development. Journal of Happiness Studies Vol 10 Issue 1, p93-111, 19p.

Segall, S. R. (2005). Mindfulness and self-development in psychotherapy. Journal of Transpersonal Psychology, 37(2), 143-163.

Sejarah Paguyuban Sumarah 1935-1970, diterbitkan oleh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat

Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tahun 1980, 56

Seligman, M. E. P. (2004). Bahagia Sejati. (diterjemahkan oleh: RekhaTrimaryoan). Jakarta: Pustakaraya

Seligman, M. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfillment. New York: Free Press

Seligman, Martin. E. (2005). Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif : Autentic Happieness. Bandung : Mizan Media Utama (MMU)

Seligman, M.E.P. (2013). Beyond Authentic Happines, Menciptakan Kebahagiaan Sempurna dengan Psikologi Positif. Bandung: Kaifa

Septian Nugroho, (2015). Makna Kebahagiaan Para Penghayat Kepercayaan di Gunung Srandil. Skripsi: Universitas Sanata Dharma.

Smith, J. A. (Ed.). (2008). Qualititative psychology: a practical guide to research methods (ed. Ke-2). London : Sage Publications.

Stange,P (2009). Kejawen Modern : Hakikat dalam Penghayatan Sumarah. Yogyakarta : Lkis Yogyakarta

Subagya, R. (1976).Kepercayaan, Kebatinan, Kerohaniaan, Kejiwaandan Agama. Yogyakarta: Kanisius

Subandi, M.A. 2003. Latihan Meditasi untuk Psikoterapi (dalam Subandi, M.A. Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan Kontemporer). Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Unit PublikasiFakultas Psikologi UGM. Tart, C. T. 1969. Altered States of Consciousness. New York: AnchorBooks,

Uchida, Y., Norasakkunkit, V., Kitayama, S., (2004). Cultural Constructions of Happiness: Theory and Empirical Evidence. Journal of Happiness Studies, 5: 223‐239. Netherlands: Kluwer Academic

Veenhoven, R. 1994. Is happiness a trait? Test of the theory that a better societydoes not make people any happier. Social Indicator Research,32, pp.101-106.

Widodo G.G, Puji Purwaningsih. 2013. Pengaruh Meditasi Terhadap Kualitas Hidup Lansia Yang Menderita Hipertensi di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. Jurnal Keperawatan Medikal Bedah. Vol 1, No.2

Williams, K, Brian; Sawyer, C, Stacey & Wahlstrom, M, Carl. 2006. Marriages, Families & Intimate Relationship. A practical Introduction. USA: Pearson Education, Inc.

A.Pengelolaan diri negative 1. Mudah emosi

2. Ragu dalam mengambil keputusaan 3. Kehampaan dalam hati

(Nomor) 34, 35 40 47 B. Regulasi emosi 1. Pengendalian emosi

2. Tidak mengedepankan emosi dalam pengambilan keputusan

3. Mengendalikan perilaku ketika marah

27,33 45 46 C. Perubahan sikap menjadi positif

1. Lebih tenang menghadapi masalah 2. Lebih iklas

3. Menempatkan diri

4. Kesadaran akan adanya Tuhan 5. Kedamaian hati 25, 28, 37, 38, 60, 75 57, 52, 54, 82 64 63, 80 53, 73, 81 D.Hubungan positif dengan orang lain

1. Menjalin hubungan baik

2. Tidak mempunyai masalah dengan orang lain

17 39 E.Proses pengelolaan pikiran saat meditasi

1. Pikiran fokus

2. Piliran lebih terkendali 3. Melepas pikiran negative

32 48, 50 76, 74 F. Penerimaan diri positif

1. Percaya diri 2. Menerima dirinya

23 69, 26 G.Otonomi

1. Tenang dalam mengambil keputusan 2. Menerima resiko dari keputusan

41 42,43 H.Tujuan Hidup

1. Membesarkan anak 77

I. Pemakna Hidup

1. Sesutau yang harus di jalani 55,56

J. Makna kebahagiaan 1. Menerima

2. Hidup berjalan lancar

71 15, 65

1. Sudah sejak kapan bapak mengikuti meditasi sumarah?

Wah sudah sejak saya berumur sepuluh tahun (10 th) apa ya. Umur sepuluh tahun, masuk SD itu saya sudah dibiat,

Awal mengikuti sumarah umur 10 tahun

Awal mengikuti sumarah 2 3 4 5 6

sepuluh tahun dibiat? Iya, dibiat itu kayak dijanji, janji benar-benar mau ikut sumarah. Tapi ya ada niat, niat sumarah.

Kayak sesangeman ? iya kayak

dibacain sesangeman, kayak ikut apa, ikut sumarah gitu. Tapi kalau di sini istilahnya kalau pak Untung itu dibiat itu dibukakan hati nuraninya jadi yang membelenggu hati kita itu nafsu-nafsu

itu dibuka jadinya itu kita

mendekatkan diri pada Tuhan itu lebih mudah.

Kalau dibiat itu ya pak? Tapi kalau

dulu itu beda biatnya? Ya itu saya

dulu tahun 80 berapa ya, saya kan lingkungannya keluarga sumarah dari kecil ya tau, dari kecil lingkungan sumarah, kakek saya sumarah jadi ya tau karena lingkungan sumarah. ya sekitar delapan berapa ya dulu itu..

Kelas sepuluh pak? Eh umur sepuluh tahun? Iya sekarang udah 40

tahun jadi ya sekitar 30 tahun ikut sumarah.

Tapi seriusnya ikut itu tahun berapa? Ya itu saya kecil itu udah

Dokumen terkait