• Tidak ada hasil yang ditemukan

NSC/NEA akan menetapkan mekanisme penyampaian keluhan yang akan memungkinkan masyarakat, komunitas-komunitas atau individu masyarakat yang terkena dampak untuk mengajukan keluhan-keluhan dan agar mendapat tanggapan yang memuaskan secara tepat waktu. Sistem tersebut juga akan mencatat dan mendokumentasikan semua keluhan dan tindak lanjutnya. Sistem tersebut akan dirancang untuk menerima keluhan-keluhan yang terkait ESMF yang berhubungan dengan proyek DGMI.

Pada tingkat proyek, OMS/OBM yang terlibat harus membuat mekanisme pengaduan untuk keluhan-keluhan terkait dengan proyek. OMS/OBM harus menugaskan staff untuk bertanggungjawab dalam mengelola sistem penanganan keluhan. Sistem tersebut akan menerima, dan secara tepat menindaklanjuti keluhan-keluhan dari masyarakat, komunitas-komunitas dan para individu masyarakat, baik penerima manfaat maupun para pihak lainnya, secara tepat waktu. OMS/OBM dapat menggunakan sistem penanganan keluhan yang sudah ada, apabila sistem tersebut sudah tersedia dan berfungsi dengan baik dengan prosedur-prosedur dan mekanisme-mekanisme yang sesuai dengan persyaratan dari GRM sebagaimana ditentukan.

Keluhan yang muncul sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan proyek akan diselesaikan melalui suatu mekanisme penanganan keluhan, berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Hak-hak dan kepentingan-kepentingan para pihak terkait proyek akan dilindungi; 2) Masalah-masalah yang dihadapi para pihak yang muncul dari proses implementasi proyek

diselesaikan secara sungguh-sungguh, dengan cara dan waktu yang tepat;

3) Dukungan sumber penghidupan (livelihood) untuk MAKL penerima manfaat diberikan tepat waktu dan sesuai dengan rencana yang telah disetujui;

4) Masyarakat menyadari hak-haknya, dan mampu mengakses prosedur pengaduan keluhan secara cepat dan gratis;

5) Mekanisme penanganan keluhan sesuai dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Informasi tentang prosedur dan mekanisme pengaduan keluhan dan proses penanganannya dapat diakses atau dijangkau oleh seluruh lapisan dan kategori kelompok masyarakat,

24

hal | 24 misalnya dituangkan pada papan-papan pengumuman di Balai Dusun dan Balai Desa/Adat

atau media-media leaflet dan booklet, serta disediakan secara online pada situs DGMI. Langkah-langkah umum dalam Mekanisme Penanganan Keluhan dijabarkan dalam Gambar 2, mencakup dua tingkat sebagai berikut:

Tingkat Lapangan

Penanganan keluhan di tingkat lapangan dilakukan oleh OMS/OBM dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat (tokoh adat, tokoh keagamaan) dan/atau warga masyarakat yang dipilih, dihormati, dan diterima oleh seluruh warga masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat tersebut telah terbukti memiliki kapasitas dalam menangani sengketa atau konflik di tingkat komunitas dan antar komunitas. OMS/OBM harus menyediakan personil yang bertanggungjawab dalam menangani keluhan di tingkat lapangan dan membuka akses hotline bagi semua bentuk keluhan yang terjadi. Setiap keluhan harus didokumentasikan secara online agar dapat diakses oleh NEA.

Proses penanganan keluhan harus segera dimulai dan tidak boleh lebih dari 14 hari sejak keluhan diterima. Berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan, pengambilan keputusan dilakukan tidak lebih dari 30 hari setelah pengaduan diterima. Apabila diperlukan, investigasi dapat dilakukan untuk melengkapi dan mendalami data dan informasi.

OMS/OBM mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penanganan keluhan di tingkat lapangan. Peristiwa-peristiwa tersebut mencakup nama orang atau kelompok masyarakat yang mengadukan keluhan, alamat domisilinya, hal keluhan yang diadukan, proses-proses penanganannya, dan keputusan-keputusan yang dibuat. OMS/OBM melaporkan penanganan keluhan kepada NEA dan NSC.

Tingkat Nasional

Keluhan yang di luar kewenangan dan/atau kapasitas OMS/OBM menjadi kewenangan Unit Penanganan Keluhan di tingkat nasional di bawah tanggung jawab NEA/NSC. Keluhan tersebut antara lain mencakup konflik vertikal atau horisontal yang tidak dapat ditangani di tingkat lapangan. Dalam hal ini NEA/NSC harus menyediakan personil yang bertanggungjawab dalam penanganan keluhan, serta membuka akses hotline bagi seluruh penerima manfaat dan para pihak terkait. Seluruh keluhan dapat dilakukan melalui media sosial atau media pelaporan anonim yang dikelola oleh NEA. Dalam hal penanganan keluhan yang melibatkan kebijakan pemerintah, NEA/NSC dapat meminta bantuan DKN untuk memfasilitasi proses penanganan keluhan.

Proses penanganan keluhan oleh NEA/NSC harus dimulai dalam kurun waktu 30 hari sejak keluhan diterima. Berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan, dan memutuskannya tidak lebih dari 60 hari setelah pengaduan diterima. Apabila diperlukan, NEA/NSC dapat mengadakan studi atau investigasi independen untuk melengkapi dan mendalami permasalahan dan menemukan jalan keluar.

NEA mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penanganan keluhan di tingkat lapangan. Peristiwa-peristiwa tersebut mencakup nama orang atau kelompok masyarakat yang mengadukan keluhan, alamat domisilinya, hal keluhan yang diadukan, proses-proses penanganannya, dan keputusan-keputusan yang dibuat.

25 hal | 25 Tidak - keluhan ditolak Sampaikan hasil keputusan Ya Implementasikan pendekatan Tidak terselesaikan n Telusuri, dokumentasikan, umpan balik, pelajari Revisi pendekatan

Gambar 2. Langkah umum dalam mekanisme penyampaian keluhan Menyaring dan menilai

Menerima dan mendaftar

Keputusan untuk merespon

Tentukan pendekatan appoach

nd

Terselesaikan

26

hal | 26

7. Evaluasi

Pengawasan, pemantauan, evaluasi dan penilaian kinerja ESMF akan dilakukan pada tingkat lapangan dan tingkat DGMI secara keseluruhan. Di tingkat lapangan akan dilakukan oleh NEA yang harus menyediakan personil yang bertanggungjawab dalam evaluasi dan penilaian di tingkat lapangan/lokasi proyek. Di tingkat DGMI harus dilakukan dengan melibatkan Dewan Kehutanan Nasional (DKN).

Evaluasi dan penilaian akan difokuskan pada proses perencanaan dan implementasi kegiatan DGMI yang membutuhkan ESMF, termasuk:

1. Catatan proses Konsultasi Atas Dasar Informasi Awal dan Tanpa Paksaan (FPIC) selama penyusunan proposal/rencana kegiatan MAKL. Penilaian didasarkan pada kualitas keputusan apakah itu benar-benar dibuat oleh MAKL yang dilakukan melalui mekanisme pengambilan keputusan yang berlaku sesuai norma/kebiasaan/adat komunitas pengusul, juga pelaksanaan rencana untuk mengurangi dampak negatif. 2. Catatan implementasi kerangka partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan,

untuk menilai apakah proposal/rencana kegiatan terbukti merupakan usulan MAKL. 3. Catatan implementasi kerangka partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan, untuk menilai apakah kegiatan yang diusulkan/direncanakan oleh MAKL diterima/mendapat persetujuan dari pemangku kepentingan terkait.

4. Bukti adanya ijin lingkungan pada kegiatan yang relevan.

5. Laporan perencanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan (RLPS).

6. Umpan balik dari MAKL dan para pemangku kepentingan atas hasil mitigasi dampak negatif.

hal | 27

Lampiran

Lampiran 1 Prosedur Penapisan Daftar Negatif

Semua kegiatan atau sub-proyek DGMI akan mematuhi semua kebijakan perlindungan lingkungan dan sosial Bank Dunia yang relevan dan mematuhi hukum Indonesia. Kegiatan yang tidak memenuhi syarat untuk didanai oleh DGMI tercantum di bawah ini, termasuk namun tidak terbatas pada:

No Daftar Negatif Ya Tidak Catatan

1 Pemukiman baru atau perluasan permukiman dalam hutan konservasi, kawasan lindung dan taman nasional

2 Setiap aktivitas yang berpotensi dapat menyebabkan dan/atau mengakibatkan kerusakan dan/atau relokasi sumber daya budaya fisik;

3 Setiap aktivitas yang berpotensi dapat menyebabkan dan/atau mengakibatkan konversi hutan primer dan/atau habitat alami; 4 Membeli dan/atau menggunakan pestisida, insektisida herbisida,

atau bahan kimia berbahaya lainnya yang dilarang peraturan perundang-undangan dan aturan internasional

5 Melakukan akuisisi/pembelian lahan secara paksa

6 Kegiatan di mana dukungan masyarakat dan dukungan luas tidak diperoleh melalui proses informasi/konsultasi yang diberikan sebelumnya dan persetujuan yang diberikan secara bebas; atau tidak ada bukti bahwa proses pemerolehan dukungan semacam itu telah dilakukan;

7 Setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, misalnya infrastruktur besar, infrastruktur baru yang dibangun di wilayah yang peka terhadap lingkungan, infrastruktur yang mewajibkan AMDAL, UKL-UPL dan SPPL.

8 Melakukan pembiayaan untuk kampanye atau pemilihan pemimpin; dan/atau terkait dengan lingkaran elit.

9 Melakukan perdagangan satwa liar dan/atau tumbuhan yang dilindungi undang-undang.

10 Melakukan kegiatan yang menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia

11 Melakukan pembelian senjata dan/atau amunisi perang. 12 Kegiatan yang berdampak negatif terhadap perempuan dan

anak-anak;

13 Melakukan pemusnahan, pemindahan atau pengubahan situs budaya, termasuk situs yang memiliki nilai arkeologi, paleontologi, kesejarahan, keagamaan atau nilai alam unik. 14 Konversi, deforestasi atau degradasi atau perubahan lain dari

hutan alam atau habitat alami termasuk, antara lain, konversi menjadi pertanian atau perkebunan tanaman keras

hal | 28

Lampiran 2 – Kerangka Partisipasi Masyarakat (CPF)

Deskripsi

Kerangka CPF dikembangkan untuk melakukan mitigasi dampak proyek-proyek yang didanai DGMI, khususnya potensi konflik, baik konflik vertikal dengan pemerintah, konflik dengan pihak swasta, maupun konflik horisonal sesama anggota MAKL. Melalui asas partisipatif, para pihak terkait, MAKL, instansi pemerintah terkait, swasta terkait dan anggota masyarakat di luar penerima manfaat di sekitar lokasi proyek didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan kerangka pengaman lingkungan dan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pedoman mengenai proses keterlibatan para pihak dan masyarakat dalam perencanaan dan implementasi DGMI sangat diperlukan, antara lain untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban para pihak yang sejalan dengan Kerangka pengaman Lingkungan dan Sosial, serta mewujudkan pelaksanaan kerangka pengaman lingkungan dan sosial secara transparan, efektif, akuntabel dan berkualitas.

Tujuan

Tujuan dari partisipasi masyarakat dalam kegiatan DGMI adalah:

1) MAKL yang menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan kegiatan DGMI memahami potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial;

2) MAKL penerima manfaat mendapatkan informasi mengenai rencana kegiatan DGMI sejak dini dengan memenuhi persyaratan FPIC sebagaimana disajikan pada Lampiran 3. 3) Mencegah terjadinya konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horisontal.

Tata Cara Partisipasi Pada Tahap Penyusunan Proposal

Partisipasi diwajibkan pada saat OMS/OBM menyusun proposal atau pada saat perencanaan kegiatan atau proposal dengan tujuan utama untuk memastikan bahwa rencana kegiatan adalah milik komuniti MAKL dan telah memenuhi syarat-syarat FPIC sebagaimana disajikan pada Lampiran 3. Proses partisipatif juga dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengantisipasi potensi konflik antar anggota MAKL dan mitigasi yang diperlukan. Desain proyek harus mentargetkan bahwa minimal 30% penerima manfaat adalah perempuan. Selain itu juga harus mentargetkan manfaat bagi kelompok rentan, misalnya: kelompok pemuda. Proses partisipasi harus melibatkan para pihak dengan melibatkan sebanyak mungkin perempuan dan perwakilan kelompok rentan. Proses partisipatif pada tahap penyusunan rencana kegiatan/proposal harus memenuhi tahapan berikut:

1. NEA/NSC menyampaikan informasi awal yang secara jelas menyebutkan ruang lingkup DGMI, peluang yang ditawarkan, serta manfaat yang dapat diperoleh MAKL. Penyampaian informasi awal harus menegaskan daftar negatif kegiatan yang tidak dapat didanai DGMI, baik melalui call for proposal, komunikasi dan informasi publik, baik dalam media cetak maupun online .

2. Berdasarkan konsultasi dengan anggota NSC regional, OMS/OBM/IPO menetapkan MAKL prioritas yang akan difasilitasi dalam penyusunan rencana kegiatan/proposal. 3. OMS/OBM/IPO menyampaikan informasi awal yang secara jelas menyebutkan ruang

hal | 29 Penyampaian informasi awal harus menegaskan daftar negatif kegiatan yang tidak dapat

didanai DGMI.

4. Berikan waktu yang cukup agar informasi tersebut dapat mencapai seluruh lapisan masyarakat, termasuk perempuan, kelompok pemuda/remaja dan kelompok rentan lainnya.

5. Dorong mekanisme pengambilan keputusan sesuai norma/kebiasaan/adat yang berlaku agar secara sadar MAKL bersedia mengajukan proposal/rencana kegiatan DGMI. Dalam hal tertentu, mekanisme pengambilan keputusan perlu diperluas dengan melibatkan sebanyak mungkin perempuan dan perwakilan kelompok rentan.

6. Lakukan fasilitasi proses perencanaan secara partisipatif untuk mendapatkan peluang yang ditawarkan DGMI sesuai aspirasi MAKL. Buat kesepakatan mengenai baseline (potensi dan permasalahan), kesenjangan terhadap harapan masyarakat, kemudian tetapkan tujuan, sasaran, output, kegiatan, serta indikator keberhasilan rencana yang diusulkan.

7. Susun proposal lengkap oleh OMS/OBM/IPO sesuai dengan hasil perencanaan partisipatif yang telah dilakukan. Ungkapkan secara jelas isi proposal kepada masyarakat melalui mekanisme konsultasi terbuka.

8. Proposal yang siap untuk diajukan kepada NEA/NSC harus disertai dengan bukti persetujuan tertulis dari MAKL melalui lembaga yang ditetapkan bersama dalam proses partisipatif. Persetujuan secara eksplisit harus menyatakan: (1) keberterimaan tanpa pkasaan dari MAKL terhadap OMS/OBM/IPO yang menjadi fasilitator; (2) keberterimaan tanpa paksaan dari MAKL terhadap proposal/rencana kegiatan yang diusulkan OMS/OBM/IPO kepada NEA/NSC.

9. Jika proposal disetujui namun dinilai belum sepenuhnya memenuhi syarat ESMF, NEA akan melakukan coaching clinic untuk memperbaik proposal hingga mendapatkan persetujuan NSC.

Tata Cara Partisipasi Pada Tahap Implementasi

Sesuai dengan karakeristik DGMI, implementasi proyek/kegiatan harus dilakukan secara partisipatif dengan tujuan utama untuk mencegah atau mengelola potensi konflik yang diperkirakan akan terjadi, baik konflik vertikal dengan pemerintah, maupun konflik horisontal antar anggota masyarakat, baik dengan pihak di luar penerima manfaat ataupun antar anggota masyarakarat MAKL penerima manfaat, termasuk kelompok-kelompok rentan dan minimal 30% adalah perempuan.

Proses partisipasi, khususnya yang berkaitan pemetaan dan pengakuan wilayah adat merupakan isu sensitif yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Dalam hal ini, inisiatif pemetaan dan pengakuan wilayah adat yang prosesnya telah dimulai oleh MAKL dapat diprioritaskan, sehingga dapat dipastikan tidak menimbulkan konflik pada eskalasi yang tidak bisa diputuskan dalam jangka waktu lama. Partisipasi berorientasi pada keberterimaan seluruh stakeholders kunci, termasuk namun tidak terbatas pada:

hal | 30 2. Perwakilan kunci MAKL yang ada di sekitar lokasi kegiatan

3. Perangkat desa terkait

4. Pengambil Keputusan pada instansi pemerintah terkait, khususnya: pengelola KPH, UPT Pemerintah Pusat yang menangani Kawasan Hutan, Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Dinas yang menangani urusan Kehutanan di tingkat provinsi, Dinas yang menangani masalah sosial dan Lingkungan Hidup di tingkat Kabupaten. 5. Swasta yang wilayah ijinnya terkait dengan MAKL penerima manfaat.

Beberapa prinsip fundamental proses partisipasi dalam pemetaan dan pengakuan wilayah adat adalah:

1. Proses pemetaan harus mengadopsi penuh mekanisme pemetaan partisipatif wilayah adat yang diakui para pihak, misalnya: Panduan Pemetaan Wilayah Adat dari BRWA dan JKPP.

2. Proses pemetaan harus dapat diintegrasikan dengan mekanisme pengakuan wilayah adat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku agar mendapatkan dukungan penuh dari para pihak.

3. Seluruh proses kebijakan terkait dengan pengakuan wilayah adat diikuti oleh personil yang kompeten dari OMS/OBM/IPO dan NSC.

4. Seluruh kesepakatan proses partisipasi harus didokumentasikan, dilampiri dengan daftar hadir peserta dan dituangkan dalam laporan kegiatan.

5. Proses-proses partisipasi sebaiknya dipandu oleh tim atau seorang fasilitator yang memahami kepentingan MAKL penerima manfaat, namun mampu secara obyektif mengakomodasikan pendapat para pihak untuk mencegah dan atau mengelola potensi terjadinya konflik, baik konflik vertikal atau horisontal.

Selain pemetaan dan pengakuan wilayah adat, proses partisipatif juga digunakan dalam implementasi pengembangan mata pencaharian masyarakat, termasuk penyiapan ijin perhutanan sosial bagi masyarakat lokal. Proses ini lebih ditujukan untuk mengelola konflik horisontal antar anggota MAKL, meningkatkan efektivitas/efisiensi kegiatan dan memastikan pembagian manfaat yang adil dan merata bagi seluruh anggota MAKL, termasuk kelompok rentan dan minimal 30% perempuan.

Dalam proses partisipatif ini, beberapa tahapan penting adalah:

1. Penyampaian informasi awal mengenai ruang lingkup, tujuan dan peluang pengembangan mata pencaharian yang akan diimplementasikan.

2. Melakukan pendalaman secara partisipatif apakah rencana pengembangan mata pencaharian yang pernah disepakati tidak/akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial budaya masyarakat atau bertentangan dengan modal sosial yang dimiliki MAKL.

3. Menyiapkan rencana aksi mitigasi apabila diketahui bahwa memiliki dampak negatif. Apabila disyaratkan dalam peraturan daerah, mitigasi dampak negatif harus dituangkan dalam dokumen UKL/UPL atau SPPL untuk mendapatkan ijin lingkungan. Ijin lingkungan menjadi syarat dalam operasionalisasi kegiatan di lapangan.

4. Menetapkan secara partisipatif kegiatan yang akan dilakukan dalam periode tertentu dengan tata waktu yang jelas.

hal | 31 5. Menetapkan lokasi secara partisipatif. Dalam hal lokasi kegiatan melibatkan tanah

hibah/peminjaman/ijin dilewati, prosedur sebagaimana dituangkan pada Lampiran 4 harus diikuti.

6. Melakukan pembagian peran dalam implementasi kegiatan.

7. Melakukan pemantauan dan evaluasi patisipatif implementasi kegiatan secara periodik.

hal | 32 Lampiran 3 - Panduan Konsultasi Atas Dasar Informasi di Awal dan Tanpa

Paksaan (FPIC)

Cakupan, frekuensi dan tingkat keterlibatan yang disyaratkan oleh proses konsultasi harus sesuai dengan resiko proyek yang teridentifikasi dan dampak buruk serta keluhan yang diungkapkan oleh MAKL. FPIC dibangun berdasarkan proses yang saling diterima antara perwakilan anggota masyarakat dan OMS/OBM/OMA. FPIC setidaknya memiliki dua tujuan:

1. Menyediakan landasan untuk melakukan proses konsultasi dengan iktikad baik dan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga memberikan peluang bagi MAKL untuk menyampaikan keluhan mereka, pandangan terhadap manfaat DGMI, resiko, dampak, dan langkah-langkah mitigasi serta mencari berbagai cara untuk membangun

kesediaan mereka agar ikut terlibat dalam DGMI yang sejalan dengan manfaat yang dapat diterima secara budaya dan sosial.

2. Menyediakan pintu masuk bagi OMS/OMS/OMA agar terlibat dengan lembaga MAKL dan proses pengambilan putusan berdasarkan pada mekanisme lokal/adat.

FPIC harus diarahkan untuk memperoleh dukungan komunitas secara luas dimana dukungan tersebut terdiri dari berbagai pernyataan dari anggota masyarakat dan/atau perwakilan resmi mereka dalam mendukung kegiatan proyek/sub-proyek yang diusulkan. Sesuai dengan pendekatan DGMI yang khusus, FPIC hendaknya menggunakan lembaga MAKL dan mekanisme proses pengambilan keputusan lokal/adat selama tahap

perencanaan. Perspektif gender harus disertakan untuk memastikan bahwa setidaknya 30% kaum perempuan dalam komunitas tersebut akan memperoleh manfaat dari proyek. Sebanyak mungkin perempuan harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan pada tahapan perencanaan.

Kerangka Kerja Partisipasi Komunitas perlu dibangun dengan pendekatan sensitif gender dan antar generasi yang inklusif. FPIC yang efektif dibangun berdasarkan proses dua-arah yang harus:

1. Melibatkan anggota komunitas yang terkena dampak dan perwakilan lembaga dan organisasi mereka dengan itikad baik.

2. Menjaring pendapat maupun kekhawatiran dari kaum laki-laki, perempuan dan segmen komunitas yang rentan termasuk manula, kaum muda, pengungsi, anak-anak, orang yang berkebutuhan khusus, dll. tentang dampak, mekanisme mitigasi, dan manfaat jika dipandang perlu sebagaimana tercermin dalam SIAP dan CSP. Jika diperlukan, forum atau pertemuan secara terpisah dapat dilaksanakan sesuai keinginan mereka.

3. Memulai secara dini dalam proses identifikasi resiko maupun dampak lingkungan dan sosial serta meneruskan secara berkelanjutan seiring dengan munculnya resiko dan dampak.

4. Didasarkan pada pengungkapan (disclosure) sebelumnya dan diseminasi/sosialiasi informasi yang relevan, tranparan, obyektif, bermakna, dan mudah diakses dalam bahasa dan format yang tepat secara kultur dan dapat dipahami oleh MA yang terkena dampak. Dalam merencanakan metode konsultasi dan penggunaan media, perhatian khusus perlu diberikan agar dapat menampung berbagai kekhawatiran

hal | 33 masyarakat adat dari kalangan perempuan, generasi muda, dan anak-anak serta akses

mereka terhadap peluang dan manfaat pembangunan.

5. Menitikberatkan pada keterlibatan inklusif terhadap mereka yang terkena dampak secara langsung daripada mereka yang terkena dampak tidak secara langsung. 6. Memastikan bahwa proses konsultasi bebas dari manipulasi, intervensi, paksaan

dan/atau intimidasi dari luar. Cara-cara konsultasi tersebut dirancangkan agar tercipta lingkungan yang mendukung bagi partisipasi yang bermanfaat, jika

memungkinkan. Selain bahasa dan media yang digunakan, waktu, tempat pelaksanaan, serta komposisi partisipasi perlu dipertimbangkan secara matang untuk memastikan agar setiap orang dapat mengemukakan pandangan mereka dengan bebas.

7. Didokumentasikan.

Jika ada dukungan yang luas dari MAKL terhadap proyek, OMS/OBM/OMA hendaknya menyiapkan:

1. Bukti FPIC yang terdokumentasikan serta langkah-langkah yang diambil untuk menghindari dan meminimalkan resiko serta dampak buruk terhadap aspek lingkungan dan aspek sosial-budaya. Hal ini mencakup daftar peserta, notulensi pertemuan serta dokumentasi lainnya (misalnya foto, video, dll.);

2. Rencana aksi dan rekomendasi bagi FPIC selama pelaksanaan proyek, monitoring, dan evaluasi, dan

3. Perjanjian formal yang dicapai dengan MAKL dan/atau perwakilan lembaga mereka. Persyaratan

Untuk memastikan agar terpenuhinya FPIC, persyaratan-persyaratan berikut ini diperlukan untuk menentukan apakah:

- Tingkat keterlibatan dapat diterima sehingga memungkinkan partisipasi MAKL dengan informasi yang memadai;

- Tingkat dukungan dan penolakan di kalangan MAKL terhadap proyek dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan dan pengembangan langkah-langkah mitigasi.

Pertimbangan Persyaratan

Strategi dan prinsip-prinsip proyek tentang keterlibatan

Kerangka Kerja Partisipasi Komunitas untuk mengarusutamakan FPIC;

Manual Operasi Proyek tentang FPIC; Penyediaan anggaran dan personil;

Jadwal konsultasi dan dokumentasi pendukung lainnya. Identifikasi dan analisa

pemangku kepentingan Analisa pemangku kepentingan sebagai bagian dari Kajian Sosial; perlu dibangun berdasarkan pendekatan inklusif yang sensitif gender dan lintas-generasi

Keterlibatan masyarakat Rencana konsultasi, konsultasi publik dan rencana pengungkapan, serta rencana keterlibatan pemangku kepentingan;

Jadwal dan dokumentasi keterlibatan masyarakat termasuk diskusi dan konsultasi dengan anggota masyarakat dan perwakilan mereka.

hal | 34

Pertimbangan Persyaratan

Material telah disiapkan untuk pengungkapan dan konsultasi;

Dokumen terkait