• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEKANISME PENYUSUNAN BELANJA PEMBANGUNAN APBD Kelembagaan dalam Penyusunan APBD

DUKUNGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Bogor

MEKANISME PENYUSUNAN BELANJA PEMBANGUNAN APBD Kelembagaan dalam Penyusunan APBD

Lemahnya keterkaitan antara pengeluaran pemerintah terhadap pembangunan perekonomian mengindikasikan lemahnya peran kelembagaan di dalam perencanaan pembangunan di daerah. Akibatnya, keputusan yang diambil dalam melaksanakan kegiatan yang tercermin di dalam alokasi anggaran tidak memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Pada sektor ekonomi, alokasi anggaran tidak mengarah kepada sektor-sektor perekonomian yang tepat maka manfaat yang ditimbulkannya kecil sehingga tidak ada keterkaitannya.

Sebelum era otonomi daerah, pedoman di dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D). Peraturan tersebut merupakan dasar dari dilakukannya Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes). Berdasarkan peraturan tersebut, perencanaan dilakukan secara berjenjang dari bawah ke atas (bottom up), yaitu dari mulai tingkat desa sampai dengan tingkat kelurahan.

Dalam pertemuan Musbangdes tersebut, sebetulnya diharapkan terjadi adanya interaksi antar pelaku pembangunan dan penerima manfaat hasil pembangunan yang berada di daerah. Dalam Musbangdes, masyarakat desa atau kelurahan selaku penerima manfaat langsung dari pembangunan seharusnya turut berpartisipasi menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan dan mengetahui dampak yang akan ditimbulkan.

Pertemuan tersebut sebenarnya sangat ideal dan memadai, namun pelaksanaannya hak dan partisipasi masyarakat hanya diwakili oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sedangkan Rakorbang yang berada di Dati II umumnya hanya diikuti oleh aparat pemerintah dan perwakilan DPRD yang biasanya diwakili oleh anggota panitia anggaran dan tidak ada keterlibatan masyarakat di dalam proses perencanaan pembangunan selanjutnya (Bratakusumah 2003). Dalam Rakorbang diharapkan adanya pemaduserasian antara pendekatan top

down yang dimiliki oleh pemerintah dengan bottom up yang dimiliki masyarakat hasil usulan dari Musbangdes.

Karena tidak adanya wakil dari masyarakat dalam pelaksanaan Rakorbang, maka usulan-usulan yang berasal dari masyarakat biasanya tidak tersampaikan. Oleh sebab itu, perencanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibat yang ditimbulkannya adalah terjadi kemubaziran alokasi anggaran sehingga seperti alokasi anggaran tidak terkait dengan pembangunan perekonomian di Kabupaten Bogor.

Dari uraian di atas, maka perlu adanya reformasi kelembagaan dalam perencanaan pembangunan. Kelembagaan dalam perencanaan pembangunan terdiri dari dua pihak, yaitu masyarakat dan pemerintah daerah (eksekutif). Peran masyarakat di dalam perencanaan pembangunan bisa dilakukan dengan jalan memberikan aspirasinya secara langsung maupun melalui perwakilan di DPRD. Peran aktif masyarakat di dalam memberikan aspirasinya bisa dilakukan melalui pertemuan Musbangdes maupun dari forum-forum lainnya seperti media massa. Sedangkan aspirasi yang melalui DPRD dilakukan melalui mekanisme Jaring Asmara (menjaring aspirasi masyarakat). Namun tidak ada jaminan bahwa apa yang telah disampaikan kepada anggota dewan akan memperoleh tanggapan yang baik, karena anggota dewan biasanya turun ke daerah konstituennya saja sehingga aspirasi yang terserap tidak dapat diperoleh secara komprehensif.

Oleh sebab itu, perlu adanya pembenahan sistem kelembagaan. Kelembagaan juga berarti aturan main (rule of the game). Salah satu hal yang harus dilakukan juga adalah perbaikan di dalam sistem dan mekanisme perencanaan anggaran, sehingga perencanaan anggaran dilakukan secara transparan, terukur, dan sesuai dengan tujuannya.

Peran kepala daerah juga sangat menentukan dalam memberikan arah dan prioritas anggaran. Kepala daerah dengan perannya sebagai pemimpin dengan wawasan yang luas dan berpihak kepada publik akan lebih memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat di daerahnya. Kerjasama yang serasi antara DPRD dan eksekutif di daerah sangat diperlukan untuk sehingga arah pembangunan dapat

terarah. Kepala daerah sebagai penerima mandat dari masyarakat dalam melaksanakan tugasnya akan diawasi oleh DPRD sebagai wakil rakyat.

Inti dari perubahan paradigma penyusunan anggaran yang dulu bersifat top down menuju participatory budgeting system adalah kemauan dari unsur-unsur kelembagaan di daerah itu sendiri untuk merubah sikapnya, lembaga yang paling terkait tentunya adalah DPRD dan pihak eksekutif. Esensi dari otonomi daerah itu sendiri sebenarnya bukan penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah, namun lebih dari itu adalah berusaha mendekatkan pemerintah dengan masyarakat.

Dari uraian di atas, maka wujud dari perubahan kelembagaan yang harus dilakukan adalah :

1. meningkatkan kapasitas peran serta masyarakat di dalam memberikan arahan perencanaan pembangunan daerah, baik di bidang ekonomi, sosial, dan sebagainya.

2. perbaikan sistem dan mekanisme perencanaan serta pembagian tugas yang jelas antara eksekutif dan legislatif sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

3. peningkatan kapasitas pimpinan kepala daerah yang mampu mengarahkan prioritas pembangunan daerahnya.

APBD Kabupaten Bogor yang dialokasikan ke sektor (dinas) terdiri dari Belanja Rutin (BAU), belanja operasi/pemeliharaan (BOP) dan belanja modal. Sedangkan yang dialokasikan ke kecamatan adalah hanya BAU dan BOP saja. BAU untuk masing-masing Kecamatan jumlahnya sesuai dengan penggunaan listrik, air dan biaya rutin lainnya, sementara BOP untuk setiap kecamatan ditetapkan merata sebesar Rp 17 juta setiap bulannya.

Mekanisme Penyusunan Belanja Pembangunan APBD

Analisis pendapat gabungan para informan menunjukan bahwa aspek teknis perencanaan (nilai bobot 0.875) merupakan aspek penting yang diperhatikan dalam mekanisme penyusunan belanja pembangunan APBD Kabupaten Bogor. Aspek lain yang mempengaruhi adalah faktor nonteknis politis (nilai bobot 0.125). Setiap aspek yang dipertimbangkan dalam penyusunan belanja pembangunan APBD Kabupaten Bogor beserta nilai bobotnya.

Terpilihnya aspek teknis perencanaan sebagai prioritas utama yang harus diperhatikan mencerminkan bahwa penyusunan belanja pembangunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor didasarkan kepada dokumen perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Bogor, yaitu: (1) Strategi dan prioritas pembangunan Kabupaten Bogor; (2) Propeda, renstrada, dan repetada Kabupaten Bogor; dan (3) Arah dan Kebijakan Umum Kabupaten Bogor.

Secara implisit hal ini menunjukan bahwa dokumen perencanaan propeda, renstrada, dan repetada yang telah ditetapkan, menjadi pedoman dalam penyusunan belanja pembangunan APBD Kabupaten Bogor. Ini dikarenakan propeda, renstrada, dan repetada disusun antara lain melalui proses penjaringan aspirasi masyarakat. Penjaringan aspirasi masyarakat dilakukan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat secara lebih obyektif dan untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat yang setiap saat bisa berubah yang kemungkinan berbeda dengan rencana strategis dan visi misi Bupati yang telah ditetapkan.

Proses penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) dilakukan dengan melibatkan semua unsur masyarakat dan LSM untuk mengetahui kearah mana pembangunan Kabupaten Bogor ini akan dilaksanakan. Jaring asmara dilaksanakan dengan menggunakan berbagai metode, baik aktif maupun pasif. Jaring asmara secara aktif antara lain melalui musyawarah pembangunan kelurahan, musyawarah perencanaan pembangunan. Sedang jaring asmara pasif melalui dialog interaktif melalui radio, media massa yang digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan, usulan dan lain-lain.

Aspek lain yang selama ini terjadi dalam penyusunan belanja pembangunan APBD Kabupaten Bogor adalah aspek nonteknis politis. Dalam aspek ini,

dikemukakan tiga kriteria, yaitu: (1) pengaruh kelembagaan eksekutif; (2) Pengaruh kelembagaan legislatif; dan (3) Pengaruh kelembagaan partai politik.

Dari ketiga kriteria dalam aspek nonteknis politis tersebut, yang dipandang utama oleh para informan dalam mekanisme penyusunan belanja pembangunan APBD Kabupaten Bogor adalah pengaruh kelembagaan eksekutif (nilai bobot 0.637) kemudian diikuti oleh pengaruh kelembagaan legislatif (nilai bobot 0.258) dan pengaruh partai politik (nilai bobot 0.105).

Dalam penyusunan APBD Kabupaten Bogor terdapat hal-hal yang bersifat politis yang dilakukan oleh Tim Anggaran (kelembagaan eksekutif) dan Panitia Anggaran (kelembagaan legislatif). Pengaruh kelembagaan eksekutif terjadi karena pihak eksekutif yang tergabung dalam Tim Anggaran berusaha agar satuan kerjanya mendapat porsi anggaran yang lebih besar. Sedangkan pengaruh kelembagaan legislatif terjadi karena anggota DPRD yang tergabung dalam Panitia Anggaran berusaha untuk mewujudkan janji-janji mereka yang disampaikan kepada massa konstituennya pada saat kampanye pada pemilihan umum.

Menyikapi permasalahan nonteknis politis ini, tidak semua usulan dapat diterima. Hanya usulan yang benar-benar diharapkan oleh masyarakat, dipandang mampu menyelesaikan permasalahan, dan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat serta dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah yang dapat diterima setelah melalui suatu koordinasi dan pembahasan yang menyeluruh dan intensif terhadap semua usulan.

Berdasarkan pertimbangan setiap aspek dan kriteria yang dikemukakan dalam studi Analytic Hierarchy Process, dapat dianalisis mekanisme penyusunan belanja pembangunan APBD Kabupaten Bogor yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor. Analisis yang dilakukan memberikan hasil sebagai berikut:

1. Penentuan skala prioritas antara sektor unggulan dan pemberdayaan masyarakat. Jika ditinjau dari aspek teknis perencanaan dan nonteknis politis, sektor unggulan lebih merupakan prioritas dibandingkan dengan pemberdayaan masyarakat.

2. Penentuan skala prioritas antara sektor unggulan dan pembangunan berkelanjutan. Jika ditinjau dari aspek teknis perencanaan dan nonteknis politis,

sektor unggulan lebih merupakan prioritas dibandingkan dengan pembangunan berkelanjutan.

3. Penentuan skala prioritas antara pemberdayaan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Jika ditinjau dari aspek teknis perencanaan, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan prioritas dibandingkan dengan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan dari aspek nonteknis politis pembangunan berkelanjutan lebih merupakan prioritas dibandingkan pemberdayaan masyarakat.

4. Penentuan skala prioritas antara sektor unggulan dan pembangunan berkelanjutan berdasarkan kriteria dalam aspek teknis perencanaan.

5. Berdasarkan kriteria strategi dan prioritas pembangunan serta kriteria arah dan kebijakan umum Kabupaten Bogor, sektor unggulan lebih merupakan prioritas dibandingkan dengan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan berdasarkan kriteria propeda, renstrada, dan repetada, pembangunan berkelanjutan lebih merupakan prioritas dibandingkan sektor unggulan. Penentuan skala prioritas antara pemberdayaan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan berdasarkan kriteria dalam aspek teknis perencanaan. Berdasarkan kriteria strategi dan prioritas pembangunan, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan prioritas dibandingkan dengan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan berdasarkan kriteria Propeda, Renstrada, dan Repetada serta kriteria arah dan kebijakan umum Kabupaten Bogor, pembangunan berkelanjutan lebih merupakan prioritas dibandingkan pemberdayaan masyarakat.

6. Penentuan skala prioritas antara sektor unggulan dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan kriteria dalam aspek nonteknis politis. Berdasarkan semua kriteria pada aspek nonteknis politis, sektor unggulan lebih merupakan prioritas dibandingkan dengan pemberdayaan masyarakat. Penentuan skala prioritas antara sektor unggulan dan pembangunan berkelanjutan berdasarkan kriteria dalam aspek nonteknis politis. Berdasarkan semua kriteria pada aspek nonteknis politis, sektor unggulan lebih merupakan prioritas dibandingkan dengan pembangunan berkelanjutan.

7. Penentuan skala prioritas antara pemberdayaan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan berdasarkan kriteria dalam aspek nonteknis politis. Berdasarkan

kriteria pengaruh kelembagaan eksekutif, pemberdayaan masyarakat lebih diprioritaskan dibandingkan dengan pembangunan berkelanjutan. Sementara berdasarkan kriteria pengaruh kelembagaan legislatif, pembangunan berkelanjutan lebih merupakan prioritas dibandingkan dengan pemberdayaan masyarakat.

Dari hasil studi Analytic Hierarchy Process yang dilakukan, menunjukkan bahwa dalam penyusunan belanja pembangunan APBD Kabupaten Bogor yang mendapat prioritas utama atau mempunyai bobot tertinggi adalah sektor unggulan dengan nilai bobot 41,5%, kemudian pembangunan berkelanjutan dengan nilai bobot 37% dan pemberdayaan masyarakat dengan nilai bobot 21,5%.

Nilai consistency ratio (CR) pada kriteria strategi dan prioritas pembangunan, arah kebijakan umum, pengaruh kelembagaan eksekutif masing-masing adalah 0,003. Sedangkan untuk kriteria propeda, renstrada dan repetada, pengaruh partai politik nilai CR masing-masing adalah 0,046 dan kriteria pengaruh kelembagaan legislatif CR adalah 0,033.

Hasil proses hirarki analitik secara keseluruhan beserta nilai bobot kriteria dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:

Hasil proses hirarki analitik

Gambar 24 Hasil proses hirarki analitik beserta nilai bobot kriteria.

Mekanisme Penyusunan APBD Kab. Bogor (1,00)

Teknis Perencanaan dan Pola Dasar (0,875) Strategi & Prioritas Pemb’nan (0,109) Propeda Resntra Dan Repetada (0,582) Arah & Kebijakan Umum (0,309) Pengaruh Kelembagaan Eksekutif (0,637) Pengaruh Kelembagaan Legislatif (0,258) Pengaruh Partai Politik (0,191) Tujuan Kriteria Sektor Ungggulan (0,415) Pemberdayaan Masyarakat (0,215) Pembangunan Berkelanjutan (0,37) Alternatif Non Teknis Politis (0,125)

Berdasarkan Gambar 24, terlihat bahwa kelembagaan eksekutif mempunyai pengaruh cukup besar dalam penyusunan anggaran belanja APBD Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan lemahnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran. Seharusnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran cukup kuat karena anggaran sebagai instrumen terpenting dari kebijakan

fiskal merupakan formulasi kebijakan untuk mengalokasikan sumberdaya publik.

Struktur Belanja Pembangunan APBD

Anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran Kabupaten Bogor cenderung meningkat sejak tahun 2003 hingga tahun 2005, sedangkan dari sisi belanja masih didominasi oleh anggaran belanja rutin dibandingkan anggaran belanja untuk pelayanan publik. Hal tersebut terlihat pada Gambar 25 dan 26 di bawah ini:

- 200.000.000.000 400.000.000.000 600.000.000.000 800.000.000.000 1.000.000.000.000 1.200.000.000.000 Rupiah Penerimaan Daerah 700.151.361.148 943.760.139.715 843.983.005.358 991.691.771.238 1.086.580.686.194 Pengeluaran Daerah 563.153.897.888 822.278.972.763 791.982.227.802 974.948.086.642 1.039.365.473.430 2001 2002 2003 2004 2005

- 100.000.000.000 200.000.000.000 300.000.000.000 400.000.000.000 500.000.000.000 600.000.000.000 700.000.000.000 Rp. Aparat 412.939.804.162 581.890.005.477 479.595.018.145 596.455.816.898 602.682.934.461 Publik 150.214.093.726 240.388.967.286 312.387.209.657 378.492.269.744 436.682.538.969 2001 2002 2003 2004 2005

Gambar 26 Anggaran belanja Kabupaten Bogor tahun 2001 – 2005.

Belanja pembangunan Kabupaten Bogor tahun 2004 dibagi ke dalam 15 bidang/sektor. Dalam Tabel 37 disajikan struktur belanja pembangunan APBD Kabupaten Bogor tahun 2003 dan 2004 sebagai berikut:

Tabel 37 Struktur belanja pembangunan APBD Kabupaten Bogor tahun 2003 dan 2004 (Rp) Jumlah Belanja

Bidang 2003 2004

Anggaran Rutin 365.644.613.000 388.457.204.000 Anggaran Pembangunan 549.436.625.000 654.786.204.000 1 Bidang Pertanian 16.238.989.000 18.434.628.000 2 Bidang Perikanan & Peternakan 6.047.613.000 8.240.161.000 3 Bidang Pertambangan dan Energi 3.599.637.000 4.215.635.000 4 Bidang Perindustrian dan Perdagangan 8.457.277.000 9.411.896.000 5 Bidang Perkoperasian 1.781.608.000 2.834.106.000

6 Bidang Penanaman Modal - -

7 Bidang Ketenagakerjaan 4.591.349.000 5.507.633.000 8 Bidang Kesehatan 74.511.834.000 84.663.274.000 9 Bidang Pendidikan dan Kebudayaan 310.953.229.000 329.436.707.000 10 Bidang Bidang Sosial 3.105.578.000 3.541.871.000 11 Bidang Penataan Ruang 4.379.377.000 4.396.595.000 12 Bidang Pekerjaan Umum 102.343.663.000 159.286.950.000 13 Bidang Perhubungan 5.380.270.000 6.973.457.000 14 Bidang Kependudukan 4.910.774.000 13.211.298.000 15 Bidang Kepariwisataan 3.135.427.000 4.602.572.000

Jumlah 915.081.238.000 1.043.243.987.000

Dari Tabel 37 terlihat bahwa anggaran pembangunan APBD tahun 2004 Kabupaten Bogor tahun 2004 sebesar 654 miliar rupiah, nilai tersebut meningkat 19% dibanding tahun 2003, yakni sebesar 549 miliar rupiah.

Dokumen terkait